Alohaaaaaaa^^
Mianhae sorry sorry baru bisa updateT.T
Huhu happy reading readers tercintah!
Jangan lupa krisannya\^
-----------------------------------------------------------------
Musik R&B mengalun selaras dibalik earphone yang memeluk kepalanya. Ia bersenandung sambil menyeruput Frappucino-nya keluar dari toko kelontong.
Ia menjinjing kantung kresek kecil berwarna hitam. Ia membuka dan mencicip multi grainnya sambil berjalan pulang.
Ia tak hiraukan pandangan beberapa orang yang melihat ia mirip dengan gelandangan putus sekolah. Kaos belel, snickers tua dan jeans pudar robek-robek.
Nyatanya, ia memiliki banyak aset dimana-mana. Satu alawan kenapa ia tak menerima semua kemewahan itu, hanya satu, ia tidak menginginkannya. Dan itu milik kedua orang tuanya.
Ia sampai dirumah mewahnya, mengerut melihat seorang pria tinggi bertubuh lesu memandangi bangunan tersebut dengan ekspresi tak terbaca.
"Bintang, ngapain disini? mau maling ya?"
"Oh! Nic, apaan itu yang dibawa?"
"Ini kecap. Tadi Mba Arti lagi masak terus kehabisan kecap. Eh, ngapain mager disini sih biasanya langsung nerobos masuk."
"Di warung kelontong jual kiss frappicinno ya?"
"Eh? Ini.. Sebelum ke warung tadi ke coffee shop. Oh ya, tadi juga ketemu dengan-"
"Rumah ini, bagaimana perasaanmu ketika masuk sini?"
"Huh? Aku senang karena ada seseorang yang bisa ditemui didalamnya." Jawab Nico sambil memandangi rumahnya.
"Senangnya ada yang menunggu dirumah."
"Yah, setidaknya ada Mba Arti yang menyambut ketika pulang. Kenapa? kau rindu rumahmu?"
Bintang tersenyum miring, "Sejak kapan rumah jadi tempat yang kita rindukan? Yah, setidaknya rumahmu tidak sesakit rumahku, ditempatku, bahkan dari gerbang, aku sudah mencium aroma perang."
Nico menghela, "Kalau rumahmu sakit, berarti rumahku ini kamar mayatnya, karena tidak ada satupun membuatnya hidup. Tapi, kenapa tiba-tiba seperti ini?"
"Hanya.. aku hanya teringat sesuatu, ice cream coklat, kamus korea, foto X-Ray, dan.. air terjun."
"Ngomong apa sih dia?" tanya Nico pada dirinya sendiri.
Ia berjalan mendahului Bintang, "Ayo masuk. cerita di dalam saja, Mba Arti-"
"Tidak usah. Aku pergi dulu."
Nico menghela menatap punggung sahabatnya yang perlahan mengecil.
"Dia sungguh membuat orang lain khawatir. Datang tiba-tiba, pergi tiba-tiba. Aku harus menaruh pelacak untuknya."
Nico mendecak.
***
"Bi Asih! Dorr!"
"Ya Tuhan!"
Wanita yang nyaris beruban itu kaget bukan main. Ia tersentak kebelakang ketika pria muda tiba-tiba saja ada disampingnya. Ia memegang dadanya yang hampir copot.
"Den Bintang! Ngagetin aja! Bibi bisa mati kena serangan jantung!"
Bintang tersenyum lebar tak berdosa. "Eih, baru sampe masa diomelin sih, Bi? Bibi gak kangen sama Binta-Aw! Bi sakit bi!"
Bintang melindungi tubuhnya yang dipukul dengan gagang sapu. "Den Bintang lama gak pulang-pulang, pas datang malah ngagetin, siapa yang gak kesal?"
Bintang tertawa, "Wah, baru kali ini Bi Asih mukul Bintang, Bintang laporin ke Komisi Perlindungan Anak lho!"
Bi Asih tergelak, memperlihatkan gigi putih bersihnya, "Silahkan kalo den Bintang mau, tapi boleh Bibi lihat KTP-nya?"
Bintang tersenyum lebar, sudah lama tak ada yang mengajaknya bersenda gurau.
Bi Asih melanjutkan bicaranya, "Bibi kesepian banget gak ada den Bintang, Tuan dan Nyonya juga-"
"Bibi ngapain bawa sapu?",tanya Bintang.
Bi Asih tersenyum paham, "Bibi mau bersihin gudang, aden mau bantuin?"
Bintang mengambil alih sapu dari Bi Asih, dan berjalan duluan, "Berangkat!"
***
"Banyak banget debunya."
Bintang menutup hidungnya begitu masuk satu ruangan berdebu. Dingin, lembab, dan kotor.
Sudah lama sejak terakhir kali Bintang mengunjungi ruangan ini. Dulunya, dindingnya penuh poster super hero, sofa dan televisi di sisi lainnya, serta rak buku milik ayahnya. Sekarang, ruangan ini tak ubahnya seperti museum tak terawat tergulung debu.
"dulu 'kan den Bintang sering main PS disini sama teman-teman, dan Tuan juga yang nemenin den Bintang kalo lagi takut sendirian."
Bintang tak merespon, ia tak ingat lagi, tak ingin.
"Bi, kenapa gak nyuruh orang aja buat bersihin ruangan ini? Ini terlalu berdebu, kan gak baik buat kesehatan Bibi."
"Gak apa-apa kok den. Kalau minta orang lain takut ada barang yang hilang. Tuan sendiri yang bilang kalau ruangan ini gak boleh di apa-apain."
"Daddy?"
"Iya, Tuan bilang gak boleh ada yang masuk ke kamar ini selain orang yang tinggal disini, kayaknya ada banyak barang berharga yang disimpan disini. Jadi bibi putuskan untuk membersihkannya sendiri."
"Berharga?"
Bintang tersenyum miring, Bahkan sebuah ruangan lebih berharga dari keluarga?
Ketika Bi Asih mulai membuka kain putih penutup, Bintang berkeliling mengamati ruangan tersebut. Sampai kemudian ia berhenti pada sebuah rak buku setinggi dua meter yang berada di balik kain, Bintang menyingkapnya.
Bi Asih keluar untuk mengambil sesuatu, Bintang memutuskan untuk melihat buku-buku ayahnya.
Ada lima tingkat rak, Bintang mengambil buku sembarang. Kumpulan Dongeng Anak, Ilmu Politik dan Bisnis, dan beberapa biografi wirausaha ternama.
Jadi, ini yang dikatakan berharga?
Bintang mengambil sebuah buku dari rak paling atas.
Bukan buku, tapi sebuah album foto yang sudah usang. Covernya berwarna hitam pekat dan tertulis,
'Memory of Humam Family'
Bintang membukanya penasaran, lembar pertama foto seorang bayi laki-laki, dirinya.
Fotonya sudah menguning dan penuh flek. Beberapa lembar setelahnya, hanya potret ia dalam masa pertumbuhan, ketika pertama kali berjalan, sedang mandi, dan masuk pra-sekolah. Yang satu fotonya bersama sang ibu, dan yang lain dengan ayahnya.
Tidak ada satupun gambar yang mengabadikan momen dimana ketiganya bersama, dulu ia belum mengerti, tapi sekarang ia paham mengapa.
Bintang menutup album tersebut, debu langsung berterbangan. Di tempat ia mengambil buku, ada sebuah kotak perhiasan hitam mencolok. Ia membukanya, kosong.
"Lagi ngapain den?"
"Bi, ini kotak perhiasan siapa?kok gak ada isinya?"
Bi Asih menyipitkan mata, mengingat-ingat. "Bukannya itu punya den Bintang ya waktu dulu?"
"Punya Bintang?"
"Ah! Bibi inget! Itukan kotak tempat kalung yang Tuan berikan buat den Bintang, waktu den Bintang ulang tahun ke enam-eh tujuh! Waktu itu kan Nyonya gak bisa datang karena sibuk, jadi tuan seharian main sama den Bintang ke wahana gitu, Bibi pernah lihat fotonya kok!"
Foto?
Bintang mengambil kembali album, membuka lembar demi lembar foto tadi, ia tak ingat ayahnya pernah memberinya benda seperti itu. Jari telunjuknya berhenti pada sebuah foto, pria kecil menangis karena menaiki komedi putar, dibelakangnya sang ayah tertawa bahagia.
Bukan itu.. tapi sebuah kalung yang melekat di leher kecilnya dulu. Bintang menyipit, kalung cantik berbentuk bintang segi lima.
Bintang mengingatnya sekarang.
Dan itu..
Kalung Sinta.
***
-----------------------------------------------------------------
Next? Next? Next?