Yours

By Leonpie

254K 31K 3.9K

[KOOKV; Collection] Sejauh apapun langkah ini menuju, duniaku akan terus berputar pada porosmu. More

He
April Fools
Changes
Lost
Beauty Boy
Spring Day
Secret Admirer
Boys 1.0
Boys 2.0
Book 1.0
Book 2.0
Move
Lie
Nonton
An Angel
Jokes
Cooking
Haruman
Jurnalis 1.0
Jurnalis 2.0
Winter
DNA
Study 1.0
Study 2.0
Enemy
Dream
Differences
The Doctor
Clover 1.0
Clover 2.0
Otherwise
Upnormal
Kim Taehyung
Jeon Jungkook
Yeontan 1.0
Yeontan 2.0
Prasangka 1.0
Prasangka 2.0
Second Button
Pleasure
Him
Distance
Challenge Letter

Volley

6.6K 756 99
By Leonpie

Terbang, dan biarkan mereka melihat sayapmu.

.
.
.

"Taehyung!"

Taehyung menghentikan laju sepedanya beberapa meter di depan gerbang. Ia hafal jenis suara ini, dan nada kurang ajar yang terselip di dalamnya.

Jeon Jungkook menjadi tetangganya semenjak delapan bulan lalu. Tidak begitu pintar, namun memiliki daya ingat yang luar biasa baik. Lalu entah bagaimana semua ini bermula, tahu-tahu Jungkook sudah menempelinya sepanjang waktu. Sebuah jitakan mendarat di surai gelapnya tanpa tedeng aling-aling, bersamaan dengan langkahnya yang berhenti di hadapan Taehyung.

"Aku lebih tua dua tahun darimu, di mana sopan santunmu, jerk?" Sungutnya jengah. Masalahnya, ini sudah terlalu sering terjadi. Dan jawaban Jungkook selalu,

"Aku memanggil Tae hyung dengan spasi, hyung saja yang tidak mendengar dengan baik."

Begitu.

Taehyung memutar mata, tidak ingin membahas tentang honorifik lebih jauh. Toh memang namanya yang membuat semua ini terdengar sulit. Ia mendelik ketika sebuah lengan padat mengambil alih pegangannya pada stang sepeda, lantas menarik tubuhnya ke bagian belakang.

Jungkook tidak perlu bicara lebih banyak untuk membuat Taehyung naik ke pijakan belakang sepeda. Berdiri di belakang punggungnya dan meremas bahunya agar menjaga tubuh kurus pemuda itu tetap tegak. Dan perlahan benda itu bergerak membelah jalanan Seoul.

.
.
.

"Hyung, ekskul apa yang kau ikuti?"

Taehyung bisa merasakan rahangnya jatuh dramatis kala pertanyaan itu terlontar dengan terlampau santai dari belah bibir yang lebih muda. Sama sekali tidak ada raut bersalah di wajahnya. Seolah pemuda yang menerobos masuk ke dalam kamarnya lima menit lalu sambil menggenggam selembar kertas pemilihan ekstra kurikuler —pukul lima dini hari dan tentu saja mengganggu tidurnya— adalah orang yang berbeda.

Jungkook menempatkan diri di sisi ranjang, duduk bersila di atas lantai dan menumpukan dagunya di permukaan spring bed. Taehyung tidak habis pikir dengan kelakuan pemuda itu. Mengusap matanya yang terbuka sayu, Taehyung mengambil selimutnya yang terjatuh keluar ranjang, mengabaikan surai cokelatnya yang mencuat ke sana ke mari.

"Kenapa memangnya?" Taehyung menjatuhkan diri ke atas ranjang, kembali menggulung diri di dalam selimut. Masih ada dua jam lebih sebelum pelajaran dimulai, dan gravitasi kasurnya seperti meningkat berkali lipat.

Menunduk, Jungkook mengamati berbagai pilihan di lembaran kertas di tangannya. Menimbulkan kerutan samar di pangkal hidungnya. "Aku tidak tahu harus memilih apa," ujar pemuda itu lirih, yang hanya dibalas gumaman tidak jelas dari pemuda lain di ruangan tersebut. Jungkook menarik selimut dalam sekali sentak. Menyebabkan tubuh kurus Taehyung berguling dan berhenti beberapa senti di depan wajahnya.

Keduanya terdiam, saling tenggelam dalam netra satu sama lain. Hingga Taehyung berpijak pada dunianya kembali. Pemuda itu berdeham dan segera beringsut mundur. "K-Kenapa kau lakukan itu?"

"Kau mengabaikan pertanyaanku, jadi— aku tidak menyangka tubuhmu selemah itu," balasnya canggung.

Taehyung bangkit dari posisi tidurnya, menegakkan punggung dan bersandar pada kepala ranjang dengan kaki berselonjor. Rasa kantuknya lenyap tak bersisa setelah insiden beberapa menit lalu. "Orang yang bisa melakukan apa saja sepertimu harusnya tidak sulit menentukan pilihan. Apa yang paling kau sukai?"

Jungkook diam, menatap kosong melalui jendela kamar Taehyung yang terbuka. Di luar sana langit masih tampak gelap, tidak ada suara bising kenalpot kendaraan yang memekakkan. Tidak ada pedestrian berlalu lalang. Hanya ada desau angin, dan deru nafas mereka yang saling bersahutan. Keterdiaman Jungkook menunjukkan bahwa pemuda itu sedang berpikir, dan Taehyung menangkup pipi lawan bicaranya dengan teramat cepat setelah menyadari hal itu. "Jangan berpikir Jeon Jungkook! Otakmu tidak diciptakan untuk berpikir!" serunya panik.

"Aku," Jungkook bergumam pelan, sedikit tidak jelas karena mulutnya tidak bisa bergerak sebebas biasanya (Taehyung masih menekan pipinya, omong-omong), namun masih bisa diterima cukup baik oleh indra pendengar Taehyung. Pemuda itu diam, menunggu kelanjutan kalimat yang Jungkook biarkan menggantung menjadi sebuah tanda tanya besar dalam kepalanya. "Suka saat bersama hyung."

Perlahan, Taehyung menarik tangannya pergi. Melangkah turun keluar ranjang sekadar untuk menyembunyikan wajahnya yang bersemu. Bisa-bisanya Jungkook bicara begitu dengan ekspresi teramat datar. "Sudah kubilang jangan berpikir. Responsmu jadi aneh."

Jungkook tidak menjawab. Pemuda itu justru sibuk menyentuh dahi dan lehernya berulang-ulang. "Hyung."

"Hm?"

"Kurasa aku sedang tidak sehat," kata Jungkook ragu.

Taehyung mengerutkan dahi. "Kenapa?" tanya yang lebih tua kebingungan, menepis pelan tangan Jungkook yang sibuk menerka-nerka suhu badannya lewat dahinya, lantas mendaratkan punggung tangan miliknya di sana; menggantikan posisi tangan Jungkook sebelum ini. "Tidak panas, kok."

"Jantungku berdetak terlalu cepat."

Mendengar itu, Taehyung tercenung sesaat. Melepaskan segala kontak fisik dengan pemuda Jeon, ia melangkah cepat ke kamar mandi tanpa mengeluarkan lebih banyak kata. Jangan tanyakan seberapa merah wajahnya saat ini.

Karena, Jeon Jungkook, kau tidak sendiri.

.
.
.

Di sinilah mereka sekarang, berdiri bersisian di ruangan seukuran tiga puluh dua kali dua puluh dua meter persegi, menyaksikan orang-orang berlari ke sana kemari, melompat bebas; seolah ada sayap imajiner menggantung di pundak mereka. Memukul benda bulat yang melayang bergantian, dan tak sekalipun membiarkan benda itu menyentuh permukaan lantai tempat mereka berpijak. Karena jatuh, artinya kalah.

Taehyung mencintai voli dengan seluruh hembusan nafasnya. Ia sudah menggeluti bidang ini semenjak sekolah menengah pertama, dan berlanjut hingga jenjang menengah atas. Taehyung selalu bersungguh-sungguh tentang ini, dan membawa nama sekolah ke posisi teratas dalam kejuaraan voli nasional adalah mimpinya saat ini.

Jeon Jungkook mengekor pada akhirnya. Taehyung tidak melarang, karena semua orang berhak untuk bergabung. Toh kemampuan pemuda itu dibidang non akademik tidak perlu diragukan lagi. Semua tahu bahwa Jeon Jungkook memegang posisi teratas dalam olahraga.

"Nah, selamat bergabung. Aku adalah kapten tim, jadi tanya saja aku jika kau ingin tahu tentang sesuatu," mulai pemuda itu, lantas berjalan ke tengah-tengah dan dalam waktu singkat, seluruh pemain menghentikan latihan mereka dan membuat barisan. Jungkook mengikuti, tanpa mengalihkan onyxnya dari wibawa seorang Kim Taehyung. Menyampaikan aba-aba sambil menunggu kedatangan pelatih, tanpa menanggalkan senyumnya sama sekali. "Bermain dengan adil, dan semangat!" tutup pemuda itu sebelum barisan kembali terpencar.

"Jeon, lakukan pemanasan sebelum main."

Jungkook mengangguk patuh. Melakukan beberapa gerakan stretching; dengan Taehyung di sampingnya, lalu keduanya berhenti pada posisi sit up. Taehyung melempar tatapan penuh tanya ketika Jungkook berpindah ke hadapannya, mengaitkan kaki mereka. "Ku rasa ini akan lebih mudah jika dilakukan berdua," tuturnya.

Tanpa merasa perlu menunggu persetujuan dari yang lebih tua, Jungkook mulai bergerak, dan Taehyung memilih untuk mengikuti. Menyelaraskan gerakan mereka, lalu membeku (dalam posisi duduk) ketika Jungkook mengedip kepadanya satu kali dengan sengaja.

Jungkook tertawa dalam hati, menikmati bagaimana warna merah mulai merambat di wajah seniornya. Dan ia tidak bisa menahan diri untuk,

Cup

memberi kecupan ringkas di bibir Taehyung.

Taehyung menutup mulutnya dengan kedua tangan, menatap Jungkook dengan sorot menghakimi, meski wajahnya sudah semerah kepiting rebus. "Hey! Kau—"

"Kapten, aku mengerti kau sedang kasmaran. Tapi tolong jangan pacaran di tempat umum!" umpatan di ujung lidah pemuda Kim kembali tertelan kala anggota timnya mulai terbahak keras. Dan Taehyung berharap agar Tuhan membuat lubang besar di bawah kakinya sekarang juga, menghisap eksistensinya sampai ke inti bumi. Karena sungguh, Jeon Jungkook baru saja membuat wibawanya sebagai seorang kapten, jatuh hingga ke mata kaki.

.
.
.

Berulang kali Taehyung menginteruksikan anggotanya untuk tidak gugup; mengucapkan puluhan kalimat penenang sampai tenggorokannya kering. Namun menyaksikan sendiri ada beratus pasang mata yang memperhatikan setiap pergerakan mereka, membuatnya berkeringat. Perutnya bergejolak hebat, rasanya ada beban seluas Seoul yang menggantung di pundaknya, dan ia ingin pulang saja lalu meringkuk di balik selimut.

Ditambah lagi,

"Hai, Taehyung-ah. Senang bisa bertemu lagi."

Sebuah tangan terulur, dan Taehyung menyambutnya dengan senyum. "Aku juga. Ayo bersenang-senang, Namjoon-ssi."

"Hahaha, tentu saja."

Kim Namjoon. Kapten tim voli dari sekolah menengah atas yang memenangkan kejuaraan nasional tahun lalu. Menyapu bersih seluruh penghargaan; termasuk kategori pemain terbaik yang Namjoon terima tiga tahun berturut-turut di jenjang menengah atasnya.

"Semoga beruntung, dan lakukan yang terbaik," tutupnya final lantas berbalik untuk kembali ke tempatnya.

Taehyung tidak menjawab, melainkan menunduk dalam. Sadar bahwa timnya harus gugur di babak penyisihan selepas ini. Namun kehangatan menjalar ketika sebuah tangan menggenggam jemarinya tanpa izin. Menyalurkan semangat tanpa frasa dan membuat rasa cemasnya meluruh seketika; hanya Jungkook yang bisa melakukannya.

Lalu saat pertandingan dimulai, Jungkook yang turun sebagai pemain starter (tidak sulit baginya untuk masuk ke dalam tim inti, omong-omong. Karena Jeon Jungkook segera mendapat kepercayaan dari pelatih untuk mengikuti pertandingan, seminggu setelah ia bergabung), menolak untuk digantikan hingga babak kedua selesai.

"Time out!"

Taehyung menarik Jungkook ke pinggir lapangan tanpa banyak membuang waktu. "Kenapa kau lakukan itu?" ujarnya lirih setelah mendudukkan Jungkook di kursi pemain. Berjongkok di hadapan yang lebih muda, lantas meraih kotak P3K dan mulai mengerjakan tapping pada tangan kanan Jungkook. "Ini tahun pertamamu, brat. Kenapa kau menggunakan tanganmu seolah ini adalah tahun terakhirmu?" lanjutnya lagi.

Terdengar hembusan nafas, diikuti sentuhan lembut Jungkook di dagunya. Pemuda itu mengangkat wajah Taehyung dengan telunjuk kirinya yang bebas, menatapnya intens. Jungkook biasanya selalu bertingkah bodoh, tapi melihatnya seperti ini, Taehyung tidak tahu harus berbuat apa. "Aku lelah melihat hyungku terus merendahkan pandangan di hadapan sekolah lain. Aku ingin menang, untukmu hyung."

"Bodoh." Taehyung meninju dada Jungkook pelan sebelum melanjutkan, "Kita adalah tim. Duduk diam di sini dan percayakan semua pada kami."

Taehyung berbalik untuk kembali ke lapangan saat peluit tanda pertandingan kembali akan dimulai, terdengar. Namun urung saat Jungkook menahan tangannya. "Aku ingin bermain bersamamu, dan membuat kesepakatan," mulainya menggantung. Jungkook mendongak, menatap lurus ke dalam netranya yang menatap balik dengan sorot kebingungan. "Jika kita menang, aku mau kau menjadi milikku, Tae."

Taehyung menelan saliva tanpa sadar. Lalu sebuah jitakan mendarat di surai gelap yang lebih muda, dan menimbulkan ringisan pelan setelahnya. "Hey, sudah kubilang, aku lebih tua dua tahun darimu," sungutnya dengan wajah merona.

"Siapa peduli?" Jungkook terkekeh, lantas berdiri. Sebuah kecupan berhasil dicuri di tengah prosesnya menegakkan punggung. "Let's kick some ass."

.
.
.

Pertandingan berlangsung lebih panas daripada sebelumnya. Daripada pertandingan antar sekolah, ini lebih pantas di sebut sebagai duel antara Kim Namjoon dan Jeon Jungkook. Berkali-kali Namjoon mengumpan bola ke arah Jungkook, berkali-kali pula pemuda itu mengembalikannya. Namun, mengungguli pemain terbaik tiga tahun berturut-turut sepertinya butuh lebih banyak waktu bagi Jungkook si pemula. Sebab, pertandingan hari itu berakhir dengan score dua-satu, dengan tim lawan yang keluar sebagai pemenang.

"Anak baru?" Namjoon menjabat tangan Jungkook bersahabat, menampilkan lesung pipi yang begitu memikat. "Kau bermain bagus, dude. Kalian bisa saja menang, seandainya kau tidak bermain dengan emosi. Dan, Taehyung." Melepaskan tautan tangannya dari Jungkook, pemuda itu kini beralih menjabat Taehyung. "Sampai bertemu di pertandingan selanjutnya, Kapten. Sebagai mahasiswa."

Taehyung tersenyum lebar. "Tentu."

.
.
.

Sudah tiga hari sejak kekalahan mereka, dan Jungkook seperti menghilang dari peradaban. Beberapa kali Taehyung memilih untuk menunggu di parkiran sepeda, namun hingga satu jam berlalu, Jungkook tidak terlihat di manapun. Dan hari keempat adalah batasnya, Taehyung tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

"Taehyung?"

Taehyung menutup pintu hati-hati. "Ibumu menyuruhku langsung ke kamarmu saja, jadi aku— kau marah padaku, ya?" tanyanya frontal.

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Kau seperti menjauh akhir-akhir ini," adu Taehyung dengan kepala tertunduk. Memainkan jemarinya pada ujung kaus; seperti anak kecil yang sedang dimarahi. Gesturnya yang terlampau menggemaskan, membuat Jungkook menggigit pipi bagian dalamnya tanpa sadar.

"Aku tidak marah."

"Lalu kenapa kau begitu?"

Jungkook mengedik. "Kau tahu alasannya, kesepakatan itu."

"Tidak ada yang menyebutkan bahwa kau akan menjauh jika kita kalah. Tahu begitu aku tidak akan setuju," suara Taehyung bergetar di akhir kalimat. Bibirnya sudah membentuk lengkungan, siap menangis kapan saja.

"Hey, jangan menangis, dasar cengeng." Jungkook yang panik segera menenggelamkan wajah Taehyung di dadanya. Memberikan usapan-usapan penenang, sebelum kalimat Taehyung kembali terngiang dalam benaknya. "Kau merindukanku, ya?" tanyanya usil.

"Iya, aku kangen. Jadi berhenti menjauh," jawab Taehyung teredam, namun masih bisa diterima dengan jelas oleh Jungkook; membuat pemuda itu membeku seketika. Sungguh, Jungkook melontarkan pertanyaan itu hanya untuk menggodanya, sama sekali tidak menyangka Taehyung akan jadi sejujur ini. Senyumnya mengembang sampai ke telinga.

"Tapi kau harus jadi pacarku dulu."

Hening sesaat, sebelum Taehyung mengangguk malu-malu, masih dalam dekapan yang lebih muda. "Ya sudah."

"Ya sudah apa?"

"Aku mau."

"Mau apa?"

"Ya sudah, tidak jadi!" Taehyung mendorong Jungkook hingga kontak fisik mereka terlepas sempurna.

Jungkook terkekeh, meraih pinggang ramping Taehyung sebelum mendaratkan ciuman ringkas ke bibir ranumnya. "Aku hanya bercanda," katanya. Dan kecupan-kecupan itu terus berlanjut hingga menghujani seluruh bagian wajah Taehyung.

Sebelum kecupan itu beralih menjadi sesuatu yang lebih intim, Nyonya Jeon lebih dulu menginterupsi kegiatan mereka —dan untung saja Taehyung memiliki reflek yang baik, karena saat pintu terbuka, keduanya sudah berdiri terpisah; seolah tidak ada yang terjadi sebelum ini. "Eomma baru selesai membuat kue —Astaga, Taehyungie, kau menangis?" hebohnya ketika melihat netra Taehyung yang memerah. "Kau apakan Taehyung?" tudingnya kemudian dengan telunjuk yang teracung lurus ke wajah putranya.

"Aku tidak melakukan apapun," balas Jungkook membela diri.

Wanita itu mendelik sinis ke arah Jungkook, lantas menuntun Taehyung ke luar kamar. "Jangan pedulikan dia, ayo kita makan kue."

"Eomma! Siapa sebenarnya anak kandungmu!"

.
.
.

fin.

p.s inspired by Kkumri's fanart, TaekookxHaikyuu!

Continue Reading

You'll Also Like

46.4K 4.6K 5
Jungkook memiliki dua malaikat tak bersayap yang selalu siap berada di sisinya kapan saja. KOOKV. Parents!taekook. Family!au
11.6K 824 18
kisah keseharian jaesahi dan anaknya
7.6K 737 25
Bercerita tentang baji, ryuguji ken, dan haitani Ran yang tersesat di hutan.. Mereka kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat di bawa pohon Ketika...
4.1K 388 9
Bagaimana kau tahu kalau dia adalah mate yang ditakdirkan untukmu? Apakah kau mencarinya? Atau dia datang padamu? Katanya, saat kau bertemu dengannya...