Book 2.0

5.4K 829 105
                                    

Tok tok tok

Jimin bergerak terganggu di atas kasur ketika pintu apartemennya diketuk brutal. Niatnya untuk pura-pura tidak dengar terpaksa dikubur dalam kala ketukan itu makin keras terdengar. Pemuda itu meraih ponsel di atas nakas dan merapalkan kutukan saat mengetahui bahwa jam masih menunjukkan pukul setengah satu dini hari.

Siapa, sih, yang bertamu tengah malam begini?

"Jimin-ah."

Suara lirih di balik pintu membuat Jimin melangkahkan kakinya lebih cepat. Dia kenal suara ini.

"Astaga, Jeon." Jimin menangkap tubuh Jungkook yang ambruk di detik pertama daun pintu apartemennya terbuka. Menampilkan sosok tinggi dengan luka memar di bagian wajah. Tidak terlalu parah, memang. Tapi Jimin berani bertaruh luka di balik bajunya berkali lipat lebih menyakitkan daripada yang terlihat saat ini. "Ayahmu lagi?"

Jungkook mengangguk sekali, terlalu lemah untuk sekadar membuka mata.

Jimin menuntun pemuda itu untuk mendudukkan diri di atas sofa. Ikut meringis ketika Jungkook mendesis kesakitan. "Laporkan saja tua bangka itu ke polisi. Ini makin keterlaluan."

"Malas berurusan dengan polisi," tolaknya seperti yang sudah-sudah. "Aku akan tinggal di sini sementara," tukasnya lantas merebahkan diri. Bukan permintaan izin, namun lebih seperti pernyataan yang tidak dapat dibantah, sekalipun oleh pemilik apartemen.

Jimin mendengus putus asa, lalu berjalan menuju kamarnya sambil bergumam, "Kalau kau tidak mau, biar aku yang lakukan."

.
.
.

Jeon Jungkook.

Jimin mengenalnya. Atau tepatnya, semua orang mengenal pemuda itu. Tampan, atletis, cerdas luar biasa. Nyaris tanpa cacat. Mereka masuk ke sekolah menengah atas di tahun yang sama. Lalu ketika kenaikan kelas, Jimin menemukan pemuda itu sudah berada di barisan para senior.

Jimin iri, tadinya.

Kemudian ia menemukan sebuah kejanggalan. Jungkook tidak pernah tersenyum, tidak juga berteman. Wajahnya selalu terlihat serius. Sibuk mengejar kesempurnaan layaknya orang sekarat. Singkatnya, Jeon Jungkook seperti seorang maniak peringkat.

Dalam sekejap, rasa iri itu berubah menjadi kebencian.

"Berhenti menatap sinis ke arahku."

Jimin berkedip beberapa kali. Ia bahkan tidak sadar bahwa objek pandangnya sudah berpindah ke sisinya. "Hah?"

"Kau melihat seperti ingin meninjuku," sahut pemuda itu lagi.

Memang, balas Jimin dalam hati.

"Aku juga ingin sekali menghajar orang. Dengan begitu mungkin aku bisa sedikit menikmati hidup." Jungkook membuang nafas. Jujur, Jimin kebingungan, sama sekali tidak mengerti kemana pembicaraan ini mengarah. Tetapi Jungkook tidak peduli dan memilih untuk melanjutkan apa yang telah ia mulai. Toh, sudah terlanjur. Sesekali Jungkook ingin menceritakan kisah hidupnya, memberitahu orang lain betapa lelah ia selama ini.

"Ayahku benci kekalahan. Menurutnya menang berarti berada di tempat teratas. Tidak peduli bagaimana prosesnya, dia ingin aku selalu berada di puncak. Jika aku gagal, gespernya melayang ke tubuhku. Ayahku juga suka sekali baseball. Tapi tidak ada yang lebih dia sukai daripada memukuli tubuh anaknya dengan tongkat baseball. Aku tidak mau hidup seperti ini. Menurutmu aku harus bagaimana?"

Jimin diam.

Memangnya saran seperti apa yang Jungkook harapkan darinya? Ayolah, pemuda jenius seperti Jeon Jungkook pasti punya sejuta ide brilliant yang jauh lebih berguna dibanding miliknya.

YoursWhere stories live. Discover now