3141 : The Dark Momentum [Sel...

A-Sanusi tarafından

64.6K 9.9K 681

[Sci-fi/Mystery/Thriller] 3141, tahun di mana akan tercatat sejarah perubahan dunia. Sebuah alat teleportasi... Daha Fazla

0. Catatan Penulis
1. Pilot
2. Quantum
3. Quantum II
4. Glitch
5. Good Night
6. Perfect World
7. Perfect World II
8. Perfect World III
9. Circle
10. Cogito Ergo Sum
11. Cogito Ergo Sum II
12. Cogito Ergo Sum III
13. World of the Damned
14. World of the Damned II
15.World of the Damned III
16. Infinite Infinity
17. Infinite Infinity II
18. The Day the World Went Away
20. Humanity
21. Relativity
22. Insanity
23. Chemistry in Physics
24. Chemistry in Physics II
25. Chemistry in Physics III
26. Intersection
27. Los Hermanos
28. Los Hermanos II
Sedikit tambahan
[Coming Soon] 3141: The Dark Momentum akan dibukukan
Update buku + behind the scene naskah (yang sempet bikin sedih, wkwk)
Update buku (voting cover karena saya suka demokrasi)
Open PO Buku (Akhirnya yeeeee)
Diskon pembelian The Dark Momentum

19. The Day the World Went Away II

1.3K 270 9
A-Sanusi tarafından

Aku yakin pria tua itu sebenarnya tak ingin memperlihatkan kesan demikian. Namun, aku dapat melihatnya dengan jelas. Aku sendiri bukan seorang ahli psikologi yang dapat menilai sikap serta perasaan seseorang secara tepat. Namun, untuk hal-hal yang mendasar, kurasa semua orang jug abisa melakukannya, termasuk diriku.

Pria tua itu mengepalkan kedua tangannya, seolah-olah sudah siap untuk meninju diriku hingga terhempas ke belahan samudra. Namun, aksinya itu digantikan oleh pertanyaan sederhana.

"Kalau kau mengetahui hal itu, berarti kau sendiri sudah melihatnya, ya?"

Aku mengangguk, menandakan bahwa tebakannya memang tepat. Namun, pria tua itu hanya menampilkan tatapan kosong sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Sekali lagi, aku dapat melihat rasa kesal, takut dan kecewa dalam dirinya.

Aku berlari kecil, berusaha menyamakan jarakku dengannya, hingga akhirnya langkah yang kami buat kembali seirama.

"Kurasa aku baru melihat sebagian kecil yang ada di dunia ini. Bisa kau ceritakan padaku apa yang sebenarnya teradi?"

Pria tua itu kembali menjadi orang yang menyebalkan dengan tidak menjawab pertanyaanku.

"Hei, Pak."

Pria tua itu masih berjalan dengan langkahnya yang berjarak tetap.

"Jika kau tidak menjawab pertanyaanku, aku bersumpah akan membunuhmu."

Akhirnya, pria tua itu diam.

Dia berbalik, mengerutkan keningnya, memperhatikan tindakanku yang bodoh seraya berkata, "Benarkah? Wow."

Hah?

Sialan, apakah ketika diriku tua nanti juga aku akan menyebalkan seperti orang ini? Duh, dari cerita yang Aksa42 berikan, kupikir pria tua ini akan berpenampilan layaknya seorang laki-laki yang bijak. Kenyataannya? Dia lebih brengsek dari diriku.

Perjalanan yang sedari tadi kami lakukan akhirnya berujung pada sebuah titik kegelapan. Tidak, bukan dalam makna konotasi, tapi denotasi. Gua yang gelap terpampang di hadapan kami. Aku yang masih belum mengerti kenapa pria tua itu mengajakku untuk masuk ke sini sempat menghentikan langkah. Namun, pria tua itu berjalan seolah tak ada kendala.

Akhirnya, aku terpaksa mengikutinya karena tak ingin tersesat di dalam hutan seorang diri.

Semakin dalam, pencahayaan yang diberikan semakin minimum. Sejauh mata memandang, aku hanya dapat melihat kegelapan di tengah udara yang lembab. Bajuku seolah-olah basah akibat embun yang menghinggapi seluruh permukaan bajuku.

Namun, semua itu berubah ketika sang pria tua menyalakan sebuah tombol, membuat pencahayaan yang menimbulkan kesan berbeda seratus delapan puluh derajat. Kegelapan tadi kini berubah menjadi cahaya yang terang benderang, aku dapat melihat jalanan yang menelusuk ke dalam gua ini semakin dalam tanpa perlu merasa ketakutan.

Aku terkejut.

"Kau membangun tempat ini!?" tanyaku, setengah berteriak dengan sisiran bola mata ke tiap penjuru.

"Bukan, aku menemukan tempat ini. Kurasa bekas perang dunia."

"Dan masih berfungsi setelah ratusan tahun ditinggalkan?"

"Aku hanya perlu memperbaiki generatornya."

Kutelisik kembali seluruh pemandangan yang menakjubkan ini. Aku memang pernah tinggal di laboratorium bawah tanah yang sengaja dibuat untuk melakukan penelitian. Namun, aku tak pernah menemui hal yang seperti ini, sebuah gua yang dipadu dengan teknologi, menimbulkan kesan keindahan yang nyata antara situasi alam dan buatan.

Aku berdecak kagum, menimbulkan gema yang kembali menusuk telingaku.

"Dengar, Aksara." Pria tua itu memandangku dengan tajam dengan jarak terpaut beberapa meter. "Apa kau benar-benar berasal dari dunia yang lain?"

Uh, pertanyaan itu lagi, pertanyaan yang benar-benar tak ingin kujawab. Pertanyaan itu seolah-olah menimbulkan keraguan dan membuatku terlihat seperti seorang pembohong yang tak pandai berbohong.

Sebenarnya, ingin sekali kuberikan berbagai alasan, meyakinkannya bahwa aku benar-benar tak berasal dari dunia ini. Namun, karena aku sedang tak ingin melakukan perdebatan yang tak penting, pada akhirnya kuputuskan untuk memberikan jawaban yang singkat, padat dan jelas.

"Ya," kataku, masih dengan menelusuri pemandangan yang luar biasa ini dengan kedua bola mataku.

Pria tua itu menghela napas kemudian melanjutkan perjalanannya, meninggalkanku yang masih memandangi sekeliling. Sekali lagi, aku berlari kecil, menyamakan jarakku dengan pria itu, membuat ketukan seirama antara sol sepatu dan lantai gua yang kurasa dingin ini.

Kami berjalan semakin dalam, memasuki lorong yang semakin sempit. Kurasa lorong yang kami lewati sekarang ini hanya bisa dimasuki oleh sepuluh orang dewasa sekaligus.

Akhirnya, pria tua itu menghentikan langkahnya tepat di samping sebuah lubang berukuran orang dewasa. Ia kembali berbalik, menatapku, seraya berkata, "Aku ingin kau melihat ini." Kemudian memasuki celah besar itu tanpa tersangkut, membuatku mengikuti perjalanan yang dilakukannya.

Sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan, sih? Dia hendak memasak atau melakukan ekspedisi?

Celah yang besar ini kulalui, membuatku berpindah pada sebuah tempat yang cukup luas. Bahkan, saking luasnya, aku tak dapat percaya bahwa tempat ini adalah gua yang alami. Tempat ini lebih mirip seperti bunker yang sengaja dibuat untuk berlindung dari bencana alam.

Sama seperti lorong yang tadi kulalui, ruangan ini dihiasi oleh lampu-lampu yang memijarkan warna putih terang. Ukuran ruangan ini kira-kira sama seperti laboratoriumku tanpa sekat. Ya, benar-benar meyakinkanku bahwa ini bukanlah gua, tapi memang benar-benar bunker.

Ah, ya, aku menyebut tempat ini sebagai ruangan karena aku sudah sangat yakin jika tempat ini sengaja dibuat.

Selain itu, aku dapat melihat sebuah kubus berlapis baja yang cukup besar berada di samping kiri ruangan ini.

Tunggu.

"Jangan bilang kau mencoba menciptakan alat teleportasi," kataku, membuat gema yang menyelimuti ruangan ini. Bahkan, suaranya terdengar lebih mendengung daripada sebelumnya, membuat pria tua itu melakukan kontak mata denganku.

"Alat pelintas dimensi," ralatnya dengan cepat.

"Tunggu." Kuteguk ludahku, membuat jeda sebelum akhirnya berkata, "Kau benar-benar akan membuat alat itu?"

"Ya," pria tua itu berkata seolah-olah tak ada beban dalam hidupnya. Lantang dan dingin.

Aku tak percaya diriku yang sudah menua di dimensi yang lain mencoba membuat benda itu.

"Lalu, kau berhasil?"

"Tidak kulanjutkan," pria itu berkata dengan nada yang lirih, kembali menimbulkan kesan kecewa dalam dirinya.

Aku berjalan mendekati pria itu, dan untuk ketiga kalinya, aku menyamai langkahnya yang berjalan semakin dekat menuju baja itu.

"Kenapa?" tanyaku, "'dia berkata jika kau ingin meninggalkan dunia ini. Lalu, mengapa tak kau lanjutkan?"

Pria itu menghela napas beratnya, seolah-olah ingin menghajar wajahku karena menanyakan pertanyaan yang tak perlu dijawab. Namun, pada akhirnya pria itu hanya bisa mengalah dan menjawab, "Hal apa yang dapat meyakinkanku seandainya aku meninggalkan dunia ini, maka aku akan tinggal di dunia yang lebih baik."

Aku bergeming, mendengarkan pemikirannya.

"Bagaimana jika aku menuju dunia di mana perang dunia ketiga tak selesai dengan baik dan para kecerdasan buatan menguasai dunia?"

Napasku semakin berat.

"Bagaimana jika ternyata aku akan terlempar ke dunia di mana sebuah penyakit mematikan sudah membinasakan umat manusia, dan membuatku menjadi satu-satunya manusia di dunia itu, tanpa ada satupun makhluk hidup lainnya?"

Aku dapat mendengar suara ketakutannya.

"Bagaimana jika aku hanya mendapati dunia yang sama seperti dunia ini? Atau malah lebih buruk?"

"Kurasa aku terlempar ke dunia yang tak pernah kuinginkan adanya," celetukku, membuatnya terkejut mendengar suaraku yang begitu tiba-tiba. Matanya menatap tajam, tapi aku yakin dia tak akan marah ketika aku menghina dunianya ini, karena memang benar adanya.

"Tapi bukan masalah besar untukku."

"Sebenarnya, apa tujuanmu ke sini?"

"Tak sengaja," jawabku dengan mantap tanpa adanya rintangan sama sekali.

"Tak sengaja bagaimana?"

"Aku tak pernah berpikir untuk melakukan perjalanan lintas dimensi. Pada awalnya aku hanya ingin menciptakan alat teleportasi, dan semuanya tidak berjalan dengan baik."

Pria tua itu terkejut, "Tapi kau berhasil menciptakan alat itu, kan?"

"Ya, meskipun pada awalnya aku tak ingin membuat alat itu."

Hening. Pria tua itu tak mengucapkan sepatah katapun. Mungkin, kejutan pada akson syarafnya membuatnya kaku, mencoba mengonversi antara kejadian yang terjadi dan harapan yang terjadi, tentu saja kejadian yang kualami.

"Dengar, aku tak ingin membuatmu tersinggung, tapi kenapa kau dan dia bisa berbeda dari yang lain?" tanyaku dengan tiba-tiba. Namun, itu tak mengubah apapun yang terjadi pada pria itu, dia masih saja diam dengan mulutnya yang tertutup.

"Maksudku, aku sudah cukup lama tinggal di dunia ini, ya, walaupun hanya beberapa bulan, sih. Tapi aku menemukan sesuatu yang berbeda dari dia, mungkin juga dirimu. Kenapa kalian berusaha untuk keluar dari rutinitas, sedangkan orang-orang yang lain, bahkan duplikatku yang lain, tampaknya tidak begitu peduli akan hal itu."

Akhirnya, menghentikan permainannya, pria tua itu membuka mulutnya. Sedikit kaku, tapi pada akhirnya aku mendengar dia berkata, "Mereka sedang mengembangkan teknologi terbaru."

"Teknologi terbaru?"

Aku tidak terlalu terkejut biarpun mataku sedikit terperanjat. Ya, aku sudah menduganya. Melihat lapisan plasma hijau membentuk sebuah tabung kosong dan menonton video mengenai perkembangan janin di dalam tabung, siapa yang tak akan menyangka sampai ke sana? Belum lagi banyak manusia kembar di dunia ini, yang pada akhirnya meyakinkanku bahwa teknik kloninglah yang berjasa akan semuanya, membuat segala pertanyaan ketika pertama kali mampir ke dunia ini terjawab.

"Tidak hanya itu, mereka mencoba memodifikasinya."

Aku tidak terlalu mengerti akan arti memodifikasi yang pria tua itu katakan. Jadi, aku hanya mengangkat sebelah alisku, mempertanyakan maksud sebenarnya dari kata modifikasi yang ia lontarkan.

"Mereka memodifikasi bagian-bagian gugus fosfat pada sel yang mereka miliki, membuat manusia cacat yang tak memiliki rasa simpati dan empati, menghilangkan perasaan yang akan manusia miliki, menghilangkan gairah hidup, menghilangkan segalanya."

Kini, aku benar-benar terperanjat. Aku mengerti kata mereka mengarah pada federasi perdamaian dunia. Tapi, dengan manusia yang tak memiliki perasaan? Apa yang akan terjadi?

"Tapi, kau masih bisa merasakan takut, kan? Begitu juga dengan dia, kalian juga memiliki keinginan untuk keluar dari dunia ini, kan? Bukankah itu juga termasuk perasaan?" aku berargumen, berusaha membuat pria tua itu menceritakan lebih jauh akan hal yang ia ketahui dan ingin kuketahui. Namun, pria tua itu menggertakan giginya, seolah-olah tak ingin menceritakan apa yang ia ketahui, namun harus.

"Itu masih percobaan," jawabnya, sedikit gugup. "Teknologi itu baru dilakukan secara masif beberapa puluh tahun lalu."

Aku teringat akan kejadian orang-orang yang tak peduli akan keberadaanku di gedung-degung perkantoran. Mereka bekerja dengan sibuknya, menghiraukanku yang tengah berjalan di antara mereka. Bahkan, jika aku melakukan aksi melompati gedung pun kurasa orang-orang tak akan peduli.

Aku ingat ketika kuhajar Aksa42, membuatnya tersungkur tepat di depan rumahnya dan tak ada orang yang peduli, membiarkan kami berdua berkelahi. Dan jika aku membunuhnya, tampaknya tak akan ada seorangpun yang peduli.

"Teknologi itu belum berjalan sempurna. Manusia masih memiliki perasaan, biarpun tidak sepenuhnya." Pria tua itu memasukan kedua lengannya ke dalam saku, kemudian menggerakan kepalanya ke sana dan kemari secara acak, memberikan gambaran yang tidak menyenangkan dalam kehidupannya.

"Seolah-olah mereka akan membuat kecerdasan buatan dengan jantung yang berdetak, ya?"

"Ya."

Baiklah, aku mulai menyukai pria tua ini.

"Dan dia, orang yang kau ajak kemari, adalah salah satu kegagalan dalam percobaan itu. Kurasa sama seperti diriku."

"Membuatnya benar-benar berbeda dari yang lain, ya?"

Akhirnya, pertanyaan itu terjawab. Alasan mengapa Aksa42 menerimaku dengan baik, alasan mengapa Aksa42 memilih untuk keluar dari rutinitasnya dengan paksaanku, alasan mengapa Aksa42 membuat pistol itu sesuai dengan suruhan pria tua ini. Ya, ternyata pria tua ini sudah tahu sedari dulu. Dia sudah mengetahui kebrengsekan yang terjadi di dunia ini, dan dia menyadari ada seorang laki-laki yang berbeda dari yang lain, melakukan pengkhianatan pada federasi perdamaian dunia.

Apakah selama ini Aksa42 menyadari bahwa dirinya sedikit berbeda dari yang lain? Ataukah lingkungan sialan yang berada di antaranya membuatnya berpikir bahwa dia sama saja dengan yang lain?

"Lalu, sekarang apa yang akan kau lakukan?" tanyaku pada pria tua itu, membuatnya menghentikan gertakan giginya serta gerakan acak yang kepalanya lakukan. Dia menatapku, tepat menembus kedua bola mataku, seolah mempertanyakan balik, mengapa aku menanyakan hal itu.

"Kau sudah tahu kenyataannya, kau ragu untuk keluar dari dunia ini. Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanyaku kembali, menegaskan. Namun, pria tua itu tetap bergeming.

"Melihat kegilaan yang terjadi dan diam saja?"

Pria tua itu masih tak sanggup mengatakan apa-apa.

"Kalian manusia, kan? Bukan sebuah kecerdasan buatan yang digunakan untuk perang? Mereka sendiri sudah mengambil hak kalian sebagai manusia. Perdamaian dunia? Kurasa nama itu benar-benar tak pantas. Untuk apa manusia hidup jika tak memiliki tujuan? Hanya diciptakan, hidup, bekerja, kemudian mati, untuk apa?"

Aku masih menunggu jawabannya, tapi dia belum juga melakukannya, membuat mulutku gatal untuk berteriak, namun kutahan.

"Aku merasa bersyukur di duniaku manusia hidup selayaknya manusia. Tapi, aku sendiri tak dapat menahan diri seandainya ada dunia lain di mana diriku hidup tidak seperti manusia seharusnya. Aku tidak akan berbohong jika aku benar-benar ingin pulang ke duniaku, tapi bagaimana mungkin aku bisa tenang mengingat ada saudaraku, hidup di dunia yang brengsek ini?"

"Lalu apa yang akan kau lakukan?"

Aku menatap mata pria itu dengan tajam.

"Menghancurkan federasi perdamaian dunia sialan itu, menciptakan perdamaian yang sesungguhnya."

Ya, aku tidak sedang bercanda, tidak seperti kebiasaanku yang kutampilkan di depan Aksa42.

Aku benar-benar serius.

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

5.7K 454 7
Selamat datang pada Pesona Mistis Indonesia, kumpulan kisah mistis yang akan membuat anda sekalian paham atas betapa hebatnya Indonesia yang memberik...
26.8K 2.2K 23
Tragedi terjadi. Ia keturunan yang tersisa. Dan bersamanya lah ia mampu melewatinya. Namun apa yang terjadi kalau dia mengenal seseorang yang baru h...
64K 1.6K 8
Book 3 of Aster Trilogy Aster (Higest rank #4 in science fiction - 8/1/17) Petualangan terakhir Aster di kota Dione masih tetap menyisakan berbagai...
81.5K 14.4K 56
Para ilmuwan memprediksi bahwa kaum pria, akan punah dalam kurun waktu lima juta tahun ke depan karena penyusutan kromosom Y. Tapi bagaimana jika ter...