Knock Your Heart

By ndaquilla

3.2M 266K 17.9K

Sebagian BAB berada dalam Mode Private *** Yang satu tengah mencari calon suami, sementara lainnya masih berl... More

Prolog
1. Eve - Abra
2. The Game
3. And Then ... Show Time!
4. Good Night, Boy!
5. Seminggu Berlalu
6. Merana Ala Abra
7. Bagian Yang Tak Disangka
8. Kejutankah?
9. Fix! Delusi Akut!
10. Kesintingan Yang Sama
11. The Idiot Man
12. What?!
13. Lemah Iman
14. Evelyn Aluna Smith
15. Analogi Celana Dalam & Putri
16. Mantan & Calon Masa Depan
17. Bukan Biksu
18. Mendadak Pias
19. Gugup Part One
20. Gugup Part Two
21. Gugup Part Three
22. Menikahiku 'kan?
23. Restui Saya, Om!
24. Abra, Evelyn, Dan Dunia Yang Tak Sama
25. Abra Nikah, Mamen!
26. Hai, Istri!
27. Dua Idiot Yang Gemar Menggores Nadi
28. Dewinya Abra
30. Suami (Sah)
31. Dinding Yang Mencuri Dengar
32. Knock-knock Your Heart, Ab!
33. Telur Dadar
34. Abra Bilang "Jombelo"
35. Menyembunyikan Skandal Sang Puteri
36. Kegalauan Abra Versi Terbaru
37. Jadi gini ....
Knock Your Heart : Special Ilustration Moment
Pre Order Knock Your Heart

29. Gangguan Fabian

65.1K 6.5K 369
By ndaquilla


***

Tak perlu resah
Kuasa Tuhan itu sempurna
Termasuk menakdirkan kita tuk berpisah
Tidak apa-apa
Kita hanya harus pasrah dan menerima

***

Abra menginginkan tidur seharian atau bila boleh sampai dua harian, untuk menebus kelakuan primitifnya yang kampungan malam tadi. Abra ingat betul, ia menjelma seperti anak SMA lepas perjaka dengan tak mampu mengendalikan ular perkasanya di bawah sana. Kalau ada yang mempercayainya, maka Abra bersumpah, ia bahkan sampai berdecak penuh ketidaksabaran dan nyaris mengumpat saat merasakan pendingin ruangan menjelma menjadi pemanas ruangan.

Well, tapi di balik semua keluhan Abra mengenai betapa lelahnya dirinya tadi malam. Fakta bahwa dirinya amat sangat terpuaskan, justru membuatnya serasa di awan. Lalu bolehkah Abra melakukan pengandaian?

Jika diperbolehkan, maka Abra akan katakan kalau staminanya berubah luar biasa layaknya manusia serigala yang mengawini betinanya di malam bulan purnama. Kemudian, tidakkah kalian pahami, tidak ada manusia sesialan Abra sekarang?

Ya, ya, ya, Abra memang seberharga itu untuk menjadi suatu pengecualian. Bahkan untuk orang gila sekalipun.

Tapi ngomong-ngomong, Abra sudah terjaga sekitar lima belas menit yang lalu. Tangannya yang tadi ia gunakan untuk memeluk bantal, kini ia fungsikan memanjang. Meraba sisi kanan tempat tidurnya, yang ia ingat betul seharusnya ia menjumpai punggung mulus menggoda yang membelakanginya. Namun alih-alih mendapati apa yang pikiran mesumnya bayangkan, Abra harus mendesah kecewa ketika pintu kamar mandi justru menjawab pertanyaannya.

“Kamu udah bangun?”

Padahal dalam benak Abra yang romantis ini, paling tidak ia harus berbisik manja di telinga istrinya. Lalu mengecup tengkuk belakang sang istri, sebelum menjalankan kecupan beserta tangannya keseluruh tubuh polos yang berbagi selimut yang sama dengannya tadi malam.

“Bangun, Ab. Mandi gih.”

Abra sudah menebaknya, Evelyn bukanlah wanita romantis yang akan tersipu-sipu saat mendapati pagi hari terbangun bersama seorang pria tampan di atas ranjang dalam keadaan polos tanpa busana, yang kalau diadaptasi ke dalam sinetron-sinetron, tak jarang si tokoh perempuan itu akan menjerit atau gelagapan. Serius, Abra sudah memprediksi, kalau Evelyn tidak akan pura-pura terkejut, lalu menutup wajahnya yang memerah dengan selimut dan akan memukul-mukul bahunya malu. Abra sadar betul, imej seperti itu memang tidak cocok untuk Eve. Tapi yang Abra tak habis pikir, bagaimana mungkin Evelyn mampu bertingkah sangat waras di saat tubuh sialannya justru kembali berkedut menginginkan kegilaan yang serupa semalam.

Oke, baiklah, Abra akan mengaku, bahwa istrinya memang setidak peka itu.

Come on, Ab. Kita harus keluar dan bergabung untuk sarapan.”

Shit!

Satu-satunya yang ingin Abra makan adalah tubuh polos Evelyn yang tadi malam merintih di bawah tubuhnya, mengejang ketika hentakan demi hentakan ia berikan dengan penuh semangat. Dan yang paling Abra ingin lakukan adalah, mendengar jeritan Evelyn yang merdu saat meneriakan namanya begitu klimaks panjang melanda mereka. Sumpah, hanya mengulang lagi kejadian semalam, maka Abra akan bertobat layaknya biksu Tong mencari kitab suci ke Barat. Tetapi Abra tak bisa mengatakan itu, sebab alih-alih masih memakai handuk, Evelyn Aluna Smith yang begitu memikat itu justru telah rapi dengan selembar gaun berwarna salem dengan rambut cokelatnya yang sudah berhasil di keringkan.

Oh, man! Bahkan kini sang istri sedang memoles bibirnya dengan lipstick.

Sial!

Kalau sudah begini, mana mungkin Abra dapat bermandi keringat lagi. Jangankan bermandi keringat, Abra sangsi ia mampu mendapat satu ciuman selamat pagi setelah ini.

Ah, tampaknya Evelyn tidak mempan dengan satu pesona saja. Baiklah, setelah ini Abra masih memiliki banyak waktu untuk mengeluarkan ribuan daya tariknya.

“Harusnya suami bangun itu ditawari morning kiss, atau kalau kamu lagi luang, boleh dong morning sex.” Abra menggeliat dari balik selimut. Walau dikatakan dengan nada setengah bercanda, namun Abra sungguh-sungguh menyampaikannya. “Ugh, penganten baru ini lho. Dibanguninya pakai perasaan, sayang. Badannya diguncang-guncang manja, atau paling nggak telinganya digigit gitu.” Sindir Abra mengedipkan mata.

Evelyn menggeleng-gelengkan kepala, senyum kecilnya mengembang cantik. Dan tanggapan Evelyn juga sangat santai. “Waktu kita lagi nggak luang, Ab. Lalu tawaran morning kiss, mungkin bisa kuberikan saat kamu bangkit dari tempat tidur.” Eve membalas sambil memperhatikan melalui cermin riasnya. Melihat  bagaimana Abra buru-buru duduk di atas ranjang, kemudian Eve tertawa karena tingkah Abra.

“Kok nggak bilang dari tadi sih,” Abra menggerutu, buru-buru ia menyibakkan selimut. Hal yang kontan membuat Evelyn terpekik sambil menutup mata.

“Pakai selimut, Abra!” pekiknya setengah meringis. “Astaga, kamu telanjang!” serunya menutup mata.

Sebelah alis Abra naik ke atas, berusaha mencerna jeritan merdu istrinya yang membuat bagian lain dari tubuh rupawannya terbangun. Ah, kenapa harus menjerit sih? Kan tubuh Abra sensitive.

“Biasain pakai sesuatu, Ab! Kamu bukan tarzan, oke?” Evelyn kembali berseru. Dan kali ini lebih panik, karena Abra sama sekali tak bergerak menutupi ketelanjangannya. Malah pria itu tampak santai saja, tak peduli bahwa Evelyn sudah membuang mukanya ke lain arah, agar tak dapat menyaksikan Abra mempertontonkan tubuhnya lewat cermin di depan wajahnya ini. “Ya Tuhan, Abra!”

Sambil menggaruk tengkuknya, Abra segera meraih selimut lalu melilitkan secara asal di pinggangnya. “Udah nih lho, buka mata dong, sayang.” Abra harus memaklumi, adaptasi Evelyn terhadap orang-orang baru di sekelilingnya memang payah. “Kalau kamu nggak buka mata sekarang, jangan salahkan aku ya, kalau beberapa detik lagi aku bakal buka-buka yang lain.”

Dan ancaman  bernada geli itu sukses membuat Eve membuka mata dengan segera. Ia segera berbalik, mencoba menghalau semburat merah di kedua pipinya. Evelyn gagal bersikap tegas, sebab tanpa membuang waktunya, Abra melangkahkan kakinya tergesa menuju dirinya.

“Nah, ini baru istriku,” tahu-tahu aja sebelah tangan Abra sudah berhasil membelai wajah Evelyn yang masih merona. Walau senyum yang ditawarkan pria itu bukan jenis senyum jutaan dollar yang mampu membuat lutut wanita lemas, nyatanya senyum receh macam itu mampu membuat Evelyn tidak berkutik. Mungkin karena pergaulan Eve dengan lelaki tidak sebanyak pakaian dalamnya yang tersimpan di laci. Jadi dengan mudah ia meleleh begitu saja. “Duh, kalau malu-malu gini, jadi pengin disayang-sayang.” Celoteh Abra tak bermatabat. “Diusap-usap gini aja, ngegemesin, apalagi kalau dicium ya?”

Menarik napas dalam-dalam, Eve mencoba menyelamatkan dirinya dari kegilaan Abra yang ia takut mampu menyeret kewarasannya tenggelam. “Jangan dibiasain males,” Eve mencoba melotot namun gagal karena Abra justru menyerukkan wajahnya di leher Eve. Membuat wanita yang semula terkenal kaku itu mendesah, tak mampu berkata lagi. “Kamu ini, ya?” namun Eve hanya terkekeh saja. Ia menyerah menghadapi Abra. “Mandi dulu ya?” ia menepuk punggung Abra pelan-pelan. “Udah siang, kasian yang nungguin kita.” Seumur hidup, hanya Alaric yang kerap dibujuknya, jadi rasanya masih sangat aneh ketika ia harus membujuk orang lain. “Athalla nanti nyari-nyari aku.”

“Kamu nggak bakat ya ngerayu orang?” Abra tertawa setelah mendaratkan satu kecupan di leher sang istri. Sementara kedua tangannya memeluk pinggang Eve posesif. “Bukan gitu caranya ngerayu, sayang,” Abra membiarkan tangan kanannya berkelana ke bawah. “Kayak gini, biar aku ajari ya?”

Dan yang dilakukan Eve adalah menarik napasnya dalam-dalam, sambil berpegangan pada bahu polos Abra yang melingkupinya. “Abra,” Eve memperingatkan. Namun peringatannya begitu lemah. Sangat tidak mampu untuk menghentikan kegiatan jemari-jemari nakal Abra yang sedang menggerayangi pahanya. “Please,” Eve merintih saat bibir Abra mulai menghujani lehernya dengan ciuman-ciuman basah yang dalam.

Seketika saja, pertahanan tubuh Eve melemah. Ia sampai mundur beberapa langkah ke belakang, nyaris terjatuh andai Abra tidak sigap menangkapnya. Membuat wanita itu terengah dan semakin merapatkan tubuh pada Abra yang hanya melapisi tubuhnya dengan selembar selimut.

Abra akhirnya mendongak, namun pandangan yang ia suguhkan untuk sang istri bukan lagi bersifat jenaka. Kabut gairah sudah kembali memenuhinya. “Kalau kita sarapannya di kamar aja gimana? Aku makan kamu, kamu makan aku. Abis itu aku janji, bakal langsung mandi.”

Dan sialannya, Abra tak membiarkan Evelyn menjawabnya, bibirnya telah terlebih dahulu mengambil alih. Mengarahkan Evelyn kembali ke ranjang mereka, Abra sekarang memiliki kegemaran baru, yaitu menindih Eve di ranjang. Sebab pria itu sadar betul, kalau dua detik saja dibiarkan berpikir jernih, Eve akan mendorongnya menjauh. Sementara Abra menolak berakhir dengan sabun di kamar mandi. 

Karena satu-satunya yang enak di cengkram dalam genggaman adalah payudara kenyal wanita dengan puncak ranum yang akan menegang ketika lidah basahnya memberi jilatan panas di sana. Lalu ngomong-ngomong, Abra sudah tidak sabar lagi untuk menelanjangi jelmaan Aprodhite di bawahnya ini.

Dan untuk mertuanya yang menunggu mereka sarapan di bawah sana, Abra berharap mereka mampu memaklumi gelora pengantin baru yang sedang panas-panasnya ini.

Ah, iya … Abra selalu suka sensasinya.

***

Benar saja, mereka keluar kamar dua jam kemudian. Itu juga Evelyn sudah mati-matian menolak Abra yang menginginkan dirinya lagi setelah mereka selesai mandi. Padahal mandi saja, Abra harus membuat Eve pegal setelah membawanya berdiri nyaris dua puluh menit di bawah guyuran shower. Sebelum pada akhirnya mengangkat Eve menuju counter dan kembali menyatukan tubuh mereka lagi.

Serius, Eve berpikir ia tak pernah selelah ini seumur hidupnya.

Sementara untuk Abra sendiri, ia akui ia memang cukup lelah. Namun baginya, lelah itu tak seberapa dibanding dengan klimaks beruntun yang ia alami. Dan ngomong-ngomong sekarang Abra kelaparan, setelah dinding-dinding kewanitaan Eve yang kencang, menggerus habis cairannya tanpa ampun.

Sial! Apa Abra harus berubah menjadi kampungan dengan berubah menjadi pencinta seks yang tak mau jauh-jauh dari selangkangan wanita? Karena kalau sampai hal itu benar-benar terjadi, Abra hanya tahu satu hal yang pasti. Bahwa mereka tak akan membuka pintu kamar sampai mati.

Oh Tuhan … mengapa Abra harus gila lagi?

Padahal ia sudah menikah. Sudah memiliki kepuasan halal yang tak akan membuatnya terserang batuk pilek karena jajan di luar. Dan kenapa harus gila lagi?

Lalu jawabannya hanya satu, karena dia adalah Abra. Lain soal kalau ia berubah menjadi Alaric atau mungkin Amar.

Hah, sepertinya, memang hanya otak Abra yang bekerja paling rumit jika itu menyangkut selangkangan. Kemudian, siapa yang harus Abra salahkan? Rumput bergoyang? Atau malah pantat yang berdendang?

Shit! Jangan pantat lagi, tolooong …! Abra tidak mau kejantanannya membengkak dan meminta penyaluran. Paling tidak, jangan di sini. Di saat mereka berdua tengah berjalan menuju lobi demi mengantar beberapa sanak keluarga yang hari ini akan kembali ke rumah mereka masing-masing.

Sumpah, Abra tidak ingin mendapati mertuanya kembali memasang wajah garang. Abra sedang ingin berperan sebagai menantu yang dapat di andalkan.

“Semoga pernikahan kalian membawa keberkahan, ya?”

Seorang nenek tua memberi doa sebelum beliau masuk ke dalam mobil yang sudah berisi keluarganya. Tangannya tak henti meremas tangan Evelyn, sementara matanya berbinar penuh harap. Eve ingat, nenek ini merupakan kerabat jauh ibunya yang menetap di Surabaya. Dan Eve sangat menyayanginya. “Hati-hati di jalan, Nek. Terima kasih sudah ke sini dan memberi doa untuk kami.” Wanita tua itu mengangguk, lalu Evelyn menyempatkan diri memeluknya, kemudian berhati-hati membantu nenek tersebut masuk ke dalam mobil.

Abra segera merangkul pinggang Eve setelah tamu terakhir tadi berlalu dari hadapan mereka. “Kalau ada yang doain gitu lagi, sebelum jawab, harusnya bilang amin dulu. Biar berkah.”

Eve hanya menyunggingkan senyum, tangannya mengelus lengan Abra. “Udah di dalam hati. Dan Tuhan, sudah mendengarnya.”

Abra pura-pura mencibir, tetapi pada akhirnya ia berhasil mencuri satu kecupan di pipi Eve. “Kalau ibu direktur udah bilang gitu, iyain aja deh, biar proposal make a baby-nya cepet-cepet di Acc.” Celetuk Abra genit.

Eve langsung tertawa, ia mencoba menjauh dari jengkauan tangan Abra. “Tergantung gimana kinerja karyawan. Kalau menurut bos kinerjanya udah oke dengan peluang keberhasilan di atas 80 %, bos mana sih yang nggak mau Acc?” balas Eve santai.

“Oh, jadi begitu ya?”

“Iya dong,” Evelyn tertawa lagi. Pasalnya, Abra sudah memberinya seringai mesum yang kini Evelyn telah mengerti artinya. Membuatnya menjadi geli sendiri.

Namun wajah berseri Evelyn segera pupus, begitu sosok gadis muda yang sebelumnya telah ia lupa, mendadak memunculkan wajahnya kembali. Lalu saat itulah, Eve kembali mengingat segalanya. Juga kejanggalan mengenai Dylan yang beberapa minggu terakhir ini tak pernah ia lihat bersama gadis muda ini.

Tetapi bukan Evelyn yang menyapa terlebih dahulu, Abra yang melakukannya. Membuat Eve kembali harus menyalahkan kewaspadaannya yang entah menghilang di mana, begitu mengingat kalau Abra dan gadis itu saling mengenal.

“Lho, Tissa?” itu jelas seruan Abra. Dan sebagai informasi, Tissa merupakan Custumer Service di salah satu Bank tempat Abra bekerjasama.

Tissa mencoba tersenyum manis pada Abra, walau tatapan matanya hanya terarah pada Evelyn. Sementara kedua tangannya saling meremas gelisah. “Mbak Eve, bisa bicara sebentar?”

“Nggak bisa,” Eve menjawab langsung. Ia paling tidak suka menunda-nunda jawaban. “Mungkin tidak sekarang,” tambahnya lagi dengan pandangan dalam. “Tidak disituasi begini.” Tetapi ia tidak bisa lebih kejam dari ini pada Tissa, wanita itu tidak sepenuhnya bersalah. Lalu pelan-pelan, Evelyn menarik napas, Tissa tidak pantas mendapati sikapnya yang begini. “Kamu mengerti maksudku ‘kan?”

Tissa diam sejenak, dipandangnya wajah dingin Eve dalam-dalam. Lalu wanita muda itu mengangguk perlahan. “Aku ngerti, Mbak,” ia tersenyum sungkan. Ia sudah memperkirakan tanggapan Evelyn yang begini. “Next time?” namun ia tak bisa bila tidak mencoba peruntungan. Ia perlu berbincang dengan Evelyn mengenai satu atau dua hal.

Dan beruntung, Eve tidak sekeras yang ia bayangkan. Buktinya wanita itu mengangguk. “Next time,” balasnya singkat.

Itu cukup untuk Tissa. Jadi wanita muda itu mengangguk. Hendak melangkah pergi, namun kerutan di wajah Abra menghentikan niatannya. Ia lupa menyapa Abra. “Hehehe … selamat ya, Bang. Sori, gue nggak datang semalam, ada acara sama nyokap.”

Tanggapan Abra begitu santai, seperti interaksinya dengan Tissa di hari-hari sebelumnya, Abra jelas terlalu polos untuk bisa membaca urusan antara istrinya dan rekan kerjanya itu. “Halah, lo kayak apaan aja sih, Tis.” Kelakar Abra sambil memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana jins. “Eh, kantor gue buka ya, mulai besok. Walau gue masih cuti, tapi kalau ada akad kredit pegawai gue bisa handle kok.”

Evelyn membiarkan Tissa dan Abra mengobrol di depan lobi, sementara dirinya memutuskan masuk. Ia tahu, Tissa tidak akan sepicik itu untuk membuka fakta yang sampai saat ini masih ia simpan rapat. Dan kalau boleh ia berharap, rahasia itu tak akan pernah terbuka di hadapan Abra.

Prinsip Eve sekarang berganti, jika bangkai itu bisa ditutup sampai mati, untuk apa kita membuatnya terbongkar suatu hari ini. Jadi, jika memang memungkinkan menutupnya rapat-rapat, Eve tak ingin Abra mengetahui masa lalunya. Termasuk alasan terkait pernikahan mereka. Sebab Eve percaya, menjaga hati agar tak terluka lebih mulia dibanding membiarkannya berdarah.

“Tissa di sini?”

Evelyn mendesah, ketika mendapati Fabian sudah berada di hadapannya. Fabian ini merupakan saudara kembar Dylan, salah satu sepupunya yang sangat gemar mendebatnya.

“Tapi Dylan tidak di sini?”

Eve paham betul Fabian sedang mencoba memprovokasinya. Dan mood Eve sangat luar biasa sensitive hari ini. Tak peduli bahwa ia baru saja mengalami dua kali orgasme beberapa jam lalu, suasana hatinya begitu mudah berubah. “Dia mencariku,” jawab Eve sekilas, berharap setelah ini Fabian akan membiarkannya lewat.

“Wah, kenapa aku sudah bisa menebaknya, ya?”

Perkiraan Evelyn sangat akurat. Fabian tak akan membuatnya lepas dengan mudah. Setelah gagal mengintrogasinya sebelum pernikahan karena istri pria itu baru saja melahirkan sepasang bayi kembar. “Aku sudah tahu sejak lama, kalau seorang Fabian yang menjengkelkan memiliki keakuratan berpikir yang begitu mengagumkan.” Cibir Eve tak peduli.

Dan si sinting Fabian tertawa mendengarnya. “Aku selalu tersanjung terhadap semua kalimat yang keluar dari bibirmu, Eve. Haruskan kini aku memujamu seperti Dylan yang masih menganggapmu dewi mataharinya?”

Eve melengos, “Itu bukan urusanku.”

“Ya, tentu saja. Karena urusanmu sekarang adalah pria lugu yang berstatus suamimu.” Nada sarkatis itu tiba-tiba saja membuat telinga Eve berdenging. Namun Fabian tak membiarkan Evelyn menyelanya. “Dari tampangnya yang masih mampu melempar tawa di depan Tissa, aku asumsikan, bahwa pria itu masih begitu polos.” Fabian menaikkan sebelah alisnya, dan pandangannya beralih pada Abra yang masih berdiri di luar bersama Tissa. “Jadi, apakah kita harus bertaruh, Eve?”

“Hentikan Fabian,” Eve mengeram pelan.

Tetapi Fabian memang bebal, pria itu tidak mau berhenti. “Ayo kita bertaruh, Eve. Seberapa lama pernikahan ini akan bertahan?”

Menancapkan tatapan tajamnya pada Fabian, Eve mengepalkan tangan. “Berhenti mengolok pernikahanku, Fabian.” Eve memperingatkan. “Jangan biarkan pikiran kotormu merusak kebahagiaanku.”

Fabian membalasnya dengan seringai, pria itu maju dua langkah ke depan, lalu menyejajarkan tingginya dengan Eve. Merunduk ringan, Fabian memamerkan senyum kecil saat mulutnya berada tepat di atas telinga sepupunya itu. “Menjadikan pernikahan sebagai pelarian, bukan tindakan yang bijaksana, Eve.”

Eve segera memberi lirikan penuh peringatan, namun Fabian sudah kembali memasang tampang menyebalkan yang membuat Evelyn muak. Sebuah ekspresi menjengkelkan, ketika pria itu merasa sudah merasa menang.

“Nah, itu dia suami sepupuku tersayang. Mari kita mulai sandiwara menyenangkan ini.” Lalu tanpa aba-aba, Fabian berjalan meninggalkan Evelyn. “Hallo, Abra, bagaimana rasanya hari pertama menjadi bagian dari keluarga kami?”

Evelyn memejamkan mata. Mungkin diantara Alaric dan Dylan, Fabian adalah yang paling mahir berbasa-basi dengan orang. Tetapi nada riang yang pria itu gunakan untuk menyapa Abra di belakang punggung Eve ini, merupakan bentuk dari olok-olok semata. Dan seperti yang Fabian katakan tadi, Abra begitu polos untuk menerjemahkan semua makna tersirat di balik setiap kata yang digelontorkan pria itu.

Sebab Abra membalas sapan tersebut dengan nada yang sama riangnya. Namun Eve dapat merasakan ketulusan dari suara suaminya itu. Sebuah kebanggaan kecil dari Abra yang merasa telah diterima dengan sangat baik.

“Hai, Fabian ‘kan?” itu suara Abra, ia belum begitu mahir membedakan Fabian dengan Dylan. “Dan, wow, rasanya mengagumkan.” Kelakar Abra menjawab pertanyaan Fabian tadi.

Lalu kalimat Fabian selanjutnya benar-benar membuat Eve geram.

“Semoga selalu mengagumkan ya? Bahkan setelah kamu masuk semakin dalam dikehidupan kami.”

Eve yakin pria itu menyeringai.

Fabian mungkin tidak akan sekurang ajar itu dengan membeberkan apa yang diketahui pria tersebut di kepalanya. Namun Eve yakin, Fabian akan terus berada di sekeliling Abra dan memberikan pancingan-pancingan kecilnya setelah ini.

Sial! Seharusnya Evelyn membuat Fabian amnesia selagi ada kesempatan waktu itu.

***
Posisi kita tak lagi sama
Kau biarkan aku terpaku dalam bayang-bayang
Sementara kubiarkan kau mencintainya begitu dalam
Lentera kita telah padam
Lalu bersama mari akhiri kelam

***

Continue Reading

You'll Also Like

152K 24.8K 28
Swipe right. Dua kata yang tidak asing untuk pengguna dating apps. Bermula saat Liora merasa iri dengan teman-temannya yang sudah punya pacar, akhirn...
4.3M 476K 49
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
165K 11.4K 55
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
867K 67.8K 50
Alessia terbangun kembali sejak malam dirinya diculik oleh orang yang tidak dikenal. Dirinya bangun di tubuh perempuan yang lebih tua enambelas tahun...