Fate In You (COMPLETED)

By ssania30

77.4K 4.1K 403

[#3 in Sad Romance 16012019] Berawal dari sebuah tragedi yang terjadi di suatu senja yang berawan. Sinta Da... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45
Part 47
Part 48
Part 49
Part 50
Part 51
Part 52
Part 53
Part 54
Part 55
Part 56
Part 57
Part 58
Part 59
Part 60
Part 61
Part 62
Part 63
Part 64
Part 65
Part 66
Part 67
Part 68
Part 69
Part 70
Part 71
Part 72
Part 73
Part 74
Part 75
Cover
Part 76
Part 77
Part 78
Part 79
Part 80
END
Hello!

Part 28

870 42 4
By ssania30

Tidak ada yang lebih menguntungkan daripada melihat tanggal bertinta merah di kalender.

Apalagi kalau bukan hari libur nasional? Entah hari penting apa, bagi Sinta, itu waktu yang sangat tepat untuk memanjakan diri, tidur, tidur seharian.

Tak peduli berapa pesan yang Fiona kirim, mengajaknya hang out, ia tak akan membiarkan satupun orang mengganggu kesenangannya, hanya saja satu orang yang memiliki kuasa atas itu, yaitu Mary, mama-nya.

Ia tak ingat mimpi apa yang menghiasi tidurnya beberapa saat lalu, andai saja Mamanya tidak mengganggunya.

Sepertinya Mary tak ingin melihat anak gadisnya bergumul didepan selimut seharian penuh tanpa bergerak sesenti pun.

"Tunggu Mang Amin tukang sayur di depan rumah, Mama mau buat sayur kangkung!"

Derit gerbang memecah hening kompleks nan sepi, Sinta yakin sekali ini terlalu pagi untuk keluar di hari libur. Matanya terkantuk-kantuk memandang belokan kompleks dimana Mang Amin biasa muncul. Ia menguap lebar, mengikat rambut sembarang. Ia nyaris saja kembali tidur sambil berdiri sampai suara pria mengagetkan.

Lotre apa yang baru di dapat hingga pagi-pagi begini bertemu dengan pria bening bersetelan training menawan? Kulitnya se putih susu dan mata yang berbentuk satu garis lurus, dan jangan lupakan keringat yang membasahi kening tampannya.

"Sinta, ngapain disini?"

Oh! Sinta sadarlah! Dia hanya tetanggamu, satu dari beberapa pria yang menyewa kost pada Om Rudy, pria tampan berdarah Jepang-Medan yang sedang melakukan studi teknik mesin yang berada di semester V.

"Oh.. Kak Yuta.. Dari mana pagi-pagi begini?"

Pria bermata kecil itu tersenyum heran.

"Pagi? Ini sudah jam setengah sembilan, aku juga baru selesai jogging nih, kamu gak olahraga?"

Sinta mengucek matanya, dan menguap lagi. Tak sama sekali berusaha menjaga image-nya di depan pria tampan ini.

"Em.. setengah sembilan? Itu sih masih pagi."

Terdengar kekehan keluar dari bibir Yuta. Ia menggeleng kepalanya pada gadis yang sudah dikenalnya dua tahun ini, tepat semenjak ia menyewa tempat pada Pak Rudy.

"Gimana kalau pacarmu lihat kamu dalam keadaan seperti ini.. ck ck ya sudah aku masuk dulu ya! Ah, Sinta, jangan jalan sambil merem gitu, buka matanya!"

"Bukannya aku ya yang harus bilang gitu ke Kak Yuta?" balas Sinta.

Yuta tertawa renyah dengan sindiran anak SMA itu. ia menepuk bahu Sinta dan melenggang pergi dengan senyuman lebar yang membuat matanya benar-benar menghilang.

Sementara Sinta.. ia mendecak melihat Yuta pergi.

Apa pria zaman sekarang berkiblat pada drama-drama korea itu? pantas saja para gadis mudah tergelincir jatuh cinta, pria jaman sekarang terlalu bersikap manis.

Berbicara soal manis, kenapa Pak Amin tidak muncul? Biasanya kedatangan pria paruh baya bersuara lantang itu seketika membuat para ibu histeris keluar rumah, Pak Amin, Ibu-nya berkata kalau para tetangga menyukai Mang Amin karena wajah sawo matangnya terbilang manis, apalagi kalau tawaran harga sayur diloloskan, makin manis saja rasanya Mang Amin itu.

"Kak Yuta!"

Pria Jepang itu spontan menoleh mendengar Sinta memanggil keras.

"Lihat Mang Amin lewat gak?"

Kali ini, Yuta benar-benar tertawa lepas.

"Tidak dengar ya yang kubilang tadi? Ini sudah jam setengah sembilan, kalau mau nunggu Mang Amin sampe besok pagi sih boleh-boleh aja."

Sinta membuka mulutnya dan mengangguk seperti orang bodoh. Ia mengerti sekarang.

Jadi begini ya, rasanya ditipu..

Sayur Mang Amin bahkan suadh ludes di borong ibu-ibu kompleks ketika jam baru menunjukkan pukul setengah depalan. Jadi ini ulah ibunya? Ah! Waktu tidur berhargaku..

Sinta berbalik kesal kembali kerumah-

"Permisi. Boleh numpang tanya?"

Sinta menoleh, kali ini berusaha membuka matanya dengan benar, ah berat rasanya.

Dan.. pria mana lagi sekarang?muncul dari mana? Jinsnya berwarna biru pudar robek-robek, kaus denim dan topi hitam stylish.

"Saya sedang mencari alamat ini, tahu tidak?"

Sinta melirik wajah dibalik topi itu, lalu beralih pada layar ponsel yang ditunjukan si pria. Sinta kemudian menujuk sebuah rumah yang berdiri tepat di hadapannya.

"Itu rumahnya. Apa mas ini mau kost di tempat ini juga? Tapi pemiliknya hanya kemari seminggu sekali saja-"

"Ah, tidak. Saya sedang mencari teman saya. Apa mungkin kenal orang yang kost di rumah itu? Orang nya tinggi, rambutnya berponi kaya member boyband, dan punya kepribadian yang buruk daripada yang lain. Namanya Bintang."

Mata Sinta seketika terbuka lebar begitu mendengarnya, aneh sekali. Sinta menautkan alis, kepribadian paling buruk? Rasanya Sinta ingin mengajak pria ber-high five, satu orang menyadari sikap menyebalkan Bintang.

"Saya teman satu kampus Bintang, Nico. Tunggu-apa kita pernah bertemu sebelumnya? Kau terlihat familiar. Siapa namamu?"

Baru saja sedetik lalu Sinta pikir ada satu pria di dunia yang berbeda, euforianya sirna. Kenapa para pria selalu meminta nama dan berujung nomor ponsel ketika bertanya alamat? Sinta sudah menemukan lima pria seperti ini di jalanan.

"Aish! kemana anak itu setelah membuat masalah, kenapa juga membatalkan beasiswa berharga itu hanya karena seorang gadis, sindi-sily-sinta atau apalah itu! ck..ck.. andai ia tahu betapa kecewanya dosen."

Sinta membelalak, "Tunggu, apa maksudmu? Bintang membatalkan beasiswa untukku?"

Nico menatap Sinta, memperhatikan Sinta dari ujung kaki hingga kepala. Wajahnya nampak kaget, sangat. "S-sinta?"

***

Menjadi seorang ibu bagi anak dan istri bagi suami adalah impian seluruh wanita diseluruh penjuru dunia. Menyiapkan sarapan di pagi hari, memakaikan dasi suami setiap pagi, pergi ke taman hiburan setiap akhir pekan, dan mengantar anak pergi les.

Dulu Mary menuliskan cita-cita itu di buku diary-nya dan menunjukkannya pada Panca.

Anak lelaki berumur sembilan tahun itu tersenyum membaca harapan sederhana Mary kecil.

"Kalau cita-cita Caca apa?"

"Aku akan membantu Mary mewujudkan cita-citanya." Jawabnya polos. "Tapi ada syaratnya."

"Apa Caca?"

"Jangan panggil aku Caca, itu kan nama anak perempuan."

Kring! Kring! Lamunan Mary perihal masa kecilnya bersama Panca pudar ketika telepon rumah berdering. "Selamat siang. Kediaman keluarga Sanjaya disini. Lia? Oh iya, ponsel saya lagi di charge, kenapa? ada masalah di kantor?"

"Tidak kok Bu. Saya hanya ingin kembali menginformasikan kalau meeting untuk lusa di percepat jadi hari ini. Selepas makan siang."

"Ya, Lia. Saya sebentar lagi siap-siap dan berangkat. Makasih sudah mengingatkan ya."

"Tentu saja Bu. ini kan tugas saya sebagai sekretaris Ibu. Apa ada yang ingin anda pesan sesampainya di kantor? Biar saya beritahu OB di pantry."

"Oh gak perlu. Saya sudah makan. Oh ya, bilang ke OB dan team kita, jangan pesan makanan diluar hari ini, saya akan bawa makan siang untuk mereka."

"Aduh, Bu Mary. Selalu saja begitu. Saya akan sampaikan, terimakasih sebelumnya bu."

"Sama-sama, saya tutup ya."

Pik! Mary meletakkan gagang telepon ke tempat semula. Meraih bingkai foto yang terduduk manis disamping telepon. Potret Panca, dirinya, serta Sinta yang masih berumur enam bulan, waktu itu Sinta baru belajar tengkurap dan duduk.

"Katanya kamu mau buat aku berhasil menggapai cita-citaku."

Kabut tipis menghalangi Panca dari jangkauan mata Mary. Foto lawas yang masih terlihat baru, seolah itu baru terjadi kemarin sore, sekarang Sinta bahkan sudah tidak ingin tidur dengannya lagi karena sudah besar katanya.

Menjadi ibu ternyata tak mudah dilakukan, tak seperti ketika Panca masih disisi-nya. Ia sekarang harus menjadi Ibu, ayah, kakak dan teman Sinta. Karena, ia sudah bersalah pada Sinta. Ketika seharusnya Sinta pergi diantar pergi les, ia harus melayani klien yang complain, ketika harusnya Sinta pergi ke taman hiburan di akhir pekan, ia malah harus meeting di luar kantor.

Ia sadar betul, sejak ia kehilangan Panca dan nyaris gila belasan tahun lalu, Sinta kecil yang paling tegar. Ia hanya diam melihat ibunya meraung-raung, ia terdiam ketika menyadari ibunya hanya memikirkan betapa terlukanya di tinggal kekasih, bahkan melupakan buah cinta mereka sendiri.

Mary bahkan tidak sadar sudah menyakiti Sinta lebih jauh setelah membuang semua kesedihannya dengan bekerja dengan keras-karena memenuhi permintaan Panca untuk kembali bangkit.

Lagi-lagi ia tak tahu menahu kalau kegilaannya pada perkerjaan membuat Sinta sangat kesepian, sampai-sampai ia akan terus tidur sepanjang akhir pekan.

Sinta bahkan tidak pernah protes sedikitpun, kemudian Mary baru disadarkan begitu menyaksikan Sinta yang masih duduk di bangku tiga SD terisak didepan pintu ruang Panca yang ia tutup akses masuknya.

Sambil sesegukan dengan napas hampir habis, ia masih mengkhawatirkan mama-nya.

"Pa, Sinta senang karena Papa kabulkan permintaan Sinta dan Mama sembuh dan gak terus menangis kaya dulu. Tapi, tolong kasih tahu mama jangan kerja terus, nanti mama sakit. Sinta takut mama ninggalin Sinta karena kecapekan kerja, kayak papa." Gemetar suara Sinta menggema di rumah yang sepi.

"Sinta gak mau Mama pergi, Pa. Papa jangan pengen Mama dulu, Sinta masih mau sama mama sekarang. Hiks hiks."

Mary menghapus derai di pipinya. Sungguh ia begitu dangkal karena mengabaikan satu-satunya peninggalan Panca yang tak ternilai harganya itu.

Sejak hari itu, ia berusaha sebisa mungkin meluangkan waktunya untuk anak semata wayangnya, namun sepertinya ia sedikit terlambat. Sinta terlanjur nyaman dengan dunia-nya, dan anak gadisnya sudah dewasa hingga waktu bersamanya makin terkikis. "Maafkan aku, Panca. Aku belum bisa jadi ibu yang baik."

Mary menepuk pipinya berkali-kali. Dan melanjutkan membersihkan nakas dengan kemoceng. Sudah berapa lama waktu yang ia buang untuk menyesali masa lalu? Yang harusnya ia perbuat ialah membuat setiap waktunya bersama Sinta jauh lebih bermakna, dan ia bersumpah untuk menjaga Sinta dengan sisa-sisa kekuatannya. Ia akan menjadi ayah yang bijaksana, ibu yang pengertian, kakak yang penuh kasih, dan sahabat yang menyenangkan untuk Sinta.

Mary melirik jam di dinding, Oh! Ia bisa terlambat meeting!

Mary menggantung kemoceng disamping kulkas, tetapi, kemoceng bulu ayam itu kembali jatuh. Ia menunduk memungutnya, namun sebuah benda berkilau yang terpantul cahaya lampu mengintip dari bawah lemari piring. Rantai? Bukan, ini bukan rantai. Dan sebuah liontin berdebu yang menggantung, Mary mengangkat alisnya. Ini kan..

***

---------------------------------------------------------------
Sorry udah lama gak update^^ gimana menurut kalian? Gaje sorry^^

Continue Reading

You'll Also Like

22.2K 4.1K 37
Shenza Aurora dan Navaro Abimanyu adalah kepingan hati yang tak ingin kembali utuh. Kepahitan di masa lalu membuat keduanya membangun dinding menjula...
20.5K 5.7K 46
[Sequel of Make You Happy] Baza berharap dapat melupakan Aunia dan melakukan segala hal yang membuatnya bahagia. Tetapi, bagaimana jika ternyata hal...
106K 7K 55
[COMPLETED] Bintang selalu merasa bahwa cinta tak pernah berpihak padanya. Sebagai mahasiswa desain komunikasi visual dan Presbem FSRD, kegiatan hari...
6.7K 3.1K 33
[ Don't Copy My Story ] [ PLAGIAT HARAP MENJAUH ] [ Alert⚠ : typo everywhere, be careful ] [ Update Setiap Hari Senin ] [ COMPLETED ] [ Segera Terbit...