Emily's Lover

By womaninparadise

812K 52.7K 1.3K

This is a story about Teddy and his first love. Sekuel dari Relationship. Berlatar cerita di California, di m... More

1. A Girl Named Emily
2. Jealous With Raspberry Color
3. A Guide to Fall in Love with Emily
4. Goddamn Virgin
5. Pillow Talk
6. Imaginary Stupid Thoughts
7. Blow Yours
8. Nightmare and Family
9. Melancholic Drunker
10. Politician's Daughter and Psycopath's Sister
11. Sexy Guy in My Flat
12. Clumsy Proper Date
13. Lets Live Together
14. Failed Seduction
15. Hot and Cold
16. Sudden News from Dictactor
17. Let's Settle the Undone Business
18. One Best Night
19. Separate Ways
21. My Future Is You, Emily
22. at Best Friend's Apartment
23. Meet the Parent
24. Two Most Beloved Women
25. Temptation Settlement
26. Debate-in-law
27. Your Blessings
28. Finally Ever After
Epilogue
Short Story - Five Years Later...

20. The Engagement

18.1K 1.4K 45
By womaninparadise

Emily menarik kain brukat yang melekat sangat sempurna di tubuhnya dengan tidak nyaman. Jelas kebaya tidak akan pernah menjadi pakaian favoritnya. Dia merasa sesak, gerah dan sulit bernapas. Rasa laparnya bahkan sudah hilang karena terlalu ketatnya kemben yang mengikat tubuhnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kalinya dia mengenakan pakaian seperti ini, karena dia menolak untuk mengenakannya saat wisuda kelulusan sarjananya dan dia tidak pernah hadir dalam acara resmi apapun yang harus mengenakan kebaya.

Rambutnya juga tertata dengan rapi sesuai keinginan ayahnya. Dia bahkan dilarang untuk menggaruk rambutnya yang terasa gatal karena akan membuatnya berantakan. Rambut Emily ditarik rapi ke belakang dan hanya menyisakan poninya yang jatuh dengan tertata.

Emily melihat wajahnya sendiri dari pantulan cermin. Mau tidak mau dia kagum dengan penata rias yang bisa menyamarkan bintik-bintik merah di wajahnya dengan sangat sempurna. Wajahnya nampak mulus tanpa satupun bintik di permukaannya, sesuatu yang memang selalu diharapkannya untuk berubah dari wajahnya.

Namun entah kenapa dia tiba-tiba begitu menginginkan bintik di wajahnya itu kembali. Teddy menyukainya. Teddy selalu mengecup hidung dan pipi berbintiknya dengan gemas, dan kehilangan bintiknya membuat Emily merindukan lelaki itu.

"Kamu kelihatan cantik, Emily."

Emily bergidik mendengar suara dari belakangnya. Seharusnya dia sendiri di ruang rias ini. Namun entah kenapa suara yang paling tidak ingin didengarnya malah yang harus muncul saat ini. Suara yang selalu hadir dalam mimpi buruknya saat kecil.

Emily memasang wajah datar saat menengok walau jauh di dalam dirinya dia gemetar karena takut.

Wajah tampan seorang lelaki berusia tiga puluhan menyeringai sambil bersandar di samping pintu, yang sialnya merupakan satu-satunya pintu keluar untuk Emily melarikan diri. Wajahnya tidak berubah banyak semenjak Emily bertemu dengannya beberapa tahun yang lalu, kecuali garis-garis kedewasaan yang semakin muncul di setiap lekuk wajahnya, dan membuatnya semakin mirip dengan ayahnya, orang tua mereka. Dan itu semakin membuat Emily mual.

"Kamu seharusnya nggak boleh ada di sini, Ethan." kata Emily dingin.

"Aku lebih suka waktu kamu manggil aku 'kak Ethan', sayang. Seperti waktu dulu," Ethan masih tersenyum dengan senyuman yang membuat Emily mau muntah.

Kata 'dulu' yang keluar dari mulut lelaki itu membuat Emily ingat akan masa lalu, dan dia tidak suka rasanya.

Emily berdiri dari tempatnya duduk dan beranjak menghampiri lelaki itu untuk melewatinya menuju pintu keluar. Dia harus memberanikan diri untuk pergi dari sana. Dia tidak mau berada di tempat yang sama dengan lelaki itu lebih lama lagi.

Ethan mencengkram lengan Emily dengan kuat saat gadis itu berusaha melewatinya.

"Kamu mau kemana, sayang?" tanya Ethan dalam bisikan ke samping telinga Emily, membuat gadis itu bergidik.

"Lepas, sebelum aku laporkan ke Papa." Emily berusaha menarik lengannya sambil memberikan tatapan tajam penuh antipati kepada lelaki itu. Dia tidak tahu gertakannya akan berhasil atau tidak karena yang penting dia berusaha.

Ethan hanya tersenyum semakin senang menikmati tatapan tidak bersahabat wanita di depannya.

"Emily yang penurut menyenangkan, tapi Emily yang pembangkang seperti ini juga nggak kalah menarik." Ethan kembali mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga gadis itu, "Kamu bikin aku bergairah, Emily sayang."

Emily merinding mendengar kalimat vulgar barusan.

"Kamu sakit!" kata Emily menjauhkan tubuhnya, "Aku kira kamu udah sembuh setelah menikah dan punya anak. Tapi ternyata sakit kamu makin parah."

"Istri dan anak itu cuma keinginan Papa, Emily. Kamu pasti tahu kalau yang aku sayang cuma kamu." Ethan mengelus pipi Emily dan gadis itu menghindar secepat mungkin karena jijik dengan sentuhannya.

"Aku cuma menuruti apa yang Papa mau, seperti apa yang kamu lakukan sekarang." seketika ekspresi tersenyum lelaki itu berubah kaku dan mengeras, "Tapi aku nggak akan biarkan itu terjadi, Emily. Aku nggak akan biarkan kamu jadi milik orang lain sebelum kamu jadi milik aku. Kamu boleh menikah sama lelaki manapun, tapi pemilik pertama kamu adalah aku, Emily. Aku pastikan itu."

"Sakit!" kata Emily menahan getaran dari suaranya. Dia mendorong tubuh besar lelaki dihadapannya sekuat tenaga dan berusaha dengan tenang keluar dari ruangan itu.

Emily berjalan cepat menuju toilet perempuan terdekat di hotel tersebut. Dia merasa lebih aman sekarang setelah berada di tempat umum. Orang gila itu tidak akan berani macam-macam padanya di tempat umum seperti ini.

Emily masuk ke salah satu bilik. Kakinya terasa lemas dan tangannya bergetar kuat. Air matanya hampir menetes namun dia menahannya. Dia mencemooh dirinya sendiri yang berubah menjadi cengeng karena Teddy. Ini bukan pertama kalinya dia mendengarkan kata-kata sinting kakaknya dan dia tidak pernah menangis ketakutan sebelumnya.

Emily mengingatkan dirinya untuk kembali menjadi gadis tegar seperti dulu, sebelum dia selalu dimanjakan oleh Teddy bear-nya. Karena kini kondisi kembali seperti awal, dia sendiri dan tidak akan ada orang yang bisa membantunya.

Setidaknya dia harus merasa tenang akan satu hal. Keinginan kakak sintingnya itu tidak akan terjadi karena Emily sudah menjadi milik lelaki lain. Dia sudah memberikan dirinya untuk Teddynya. Tidak ada yang lebih melegakan daripada kenyataan itu.

***


Tiga puluh menit berlalu tanpa benar-benar ada yang masuk ke dalam pikiran Emily. Semuanya terjadi tanpa kesadaran penuh dalam dirinya.

Dimulai dari perkenalannya dengan Reza, lelaki berusia akhir dua puluhan yang Emily akui tidak terlalu buruk. Mereka duduk bersebelahan sementara orang tua dari kedua pihak beserta keluarganya duduk berhadap-hadapan di sepanjang meja panjang di ruang VIP yang disewa.

Keluarga dari pihak Emily hanyalah ayahnya, kakak, kakak ipar serta putra mereka yang sampai saat ini tidak pernah Emily ingat namanya. Karena Emily bahkan tidak tertarik untuk lebih akrab lagi dengan keluarga kecil kakaknya. Mengingat Ethan saja sudah membuatnya mual apalagi melihat putranya yang hampir seperti jiplakan kakaknya itu, Emily jadi selalu ingat kejadian masa kecilnya.

Sementara keluarga dari pihak Reza berjumlah lebih banyak walau Emily tetap tidak ingat satupun dari mereka, kelihatannya lelaki itu memiliki banyak kakak yang sudah menikah sehingga lebih banyak jumlah anak kecil dari pihaknya. Emily hanya tahu bahwa suami dan istri paruh baya yang terus berbincang-bincang dengan ayahnya di tempat terdekat dengannya duduk adalah ayah dan ibu dari lelaki itu. Karena ayahnya terus saja tersenyum terlalu sopan kepada mereka.

Reza, lelaki yang duduk di sebelahnya, nampak seperti lelaki baik. Setidaknya menurut Emily, Reza tidak memberikan pandangan ingin memakannya hidup-hidup seperti yang sedang dilakukan oleh kakak kandungnya sendiri yang saat ini sedang duduk di serong tempat duduk Emily. Reza kelihatan cukup sopan saat berbincang-bincang dengannya. Lelaki itu cukup ramah dan luwes berbicara dengan tunangan yang baru ditemuinya untuk pertama kalinya.

Emily merasa cukup nyaman berbicara dengan lelaki itu. Berbicara dengan Reza mengingatkannya kepada Teddy. Kecuali atas fakta bahwa Teddy lebih muda, Teddy lebih mempesona untuk Emily dan Teddy adalah lelaki yang dicintainya. Namun Emily merasa bertunangan dengan Reza merupakan pilihan yang terbaik baginya saat ini. Pertama karena Reza waras dan kedua karena Reza bisa membuatnya terus ingat kepada Teddy. Emily cukup puas bisa terus mengenang lelaki itu.

Bagi Emily jauh lebih menyenangkan dan manusiawi untuk menjalani hidup sambil merasakan rasa sakit karena tidak bisa memiliki Teddy daripada hidup seperti mayat tanpa perasaan seperti yang sudah dilaluinya selama dua puluh tahun lebih hidupnya.

***

"Tadi kamu panggil calon suamimu apa?" tanya wanita paruh baya yang duduk di serong kanannya dengan suara ketus dan nada retoris.

Suaranya yang besar membuat seisi ruangan yang tadinya sibuk berbincang-bincang seketika hening dan menjadikan Emily dan Reza serta calon ibu mertuanya itu menjadi pusat perhatian. Jelas sekali wanita paruh baya itu sudah menguping perbincangan Emily dan Reza yang seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan tersebut.

Emily tidak suka menjadi pusat perhatian, dan terlebih lagi dia tidak suka dengan cara perempuan tua itu berbicara menggunakan nada memerintah kepadanya.

"Reza?" ulangnya masih berusaha bersikap sopan. Setidaknya Emily ingat bahwa guna dari dirinya di sini adalah menjadi tumbal untuk keluarga lelaki di sampingnya ini, dan otomatis, bersikap sopan adalah jalan terbaik bagi tujuannya.

Wanita paruh baya itu mengerutkan keningnya tanda tidak suka dengan apa yang baru saja di dengarnya.

"Aku nggak ngerti ya dengan gimana kamu diajarkan selama ini," kata wanita itu dengan nada ketus, "Tapi seharusnya kamu memanggil lelaki yang lebih tua itu dengan sebutan 'Mas'. Apalagi ini kepada calon suami kamu sendiri."

Emily tidak pernah paham dengan masalah tata krama, mengenai mengapa orang-orang begitu peduli dengan hal-hal kecil seperti bagaimana cara memanggil orang dengan sapaan, padahal menurutnya hal yang lebih penting  adalah seseorang menjaga perilakunya tetap waras. Emily memang tidak pernah peduli dengan bagaimana dia menyapa orang ataupun sebaliknya, makanya tadi dia memanggil Reza hanya dengan namanya. Apalagi lelaki itu adalah orang yang nantinya akan menjadi orang yang cukup dekat dengannya dan usia mereka hanya terpaut beberapa tahun, yang membuatnya merasa merepotkan untuk memanggil lelaki itu dengan embel-embel 'Mas'. Dan yang terpenting, Reza sama sekali tidak kelihatan keberatan dengan caranya memanggil lelaki itu sejak tadi. Jadi kenapa perempuan tua ini tidak senang dengan apa yang tidak berhubungan dengannya.

Emily melihat wajah ayahnya yang mulai berubah ungu karena menahan marah. Dia jelas tahu bahwa kemarahan ayahnya bukan karena merasa putrinya dilecehkan, namun karena Emily membuatnya merasa direndahkan. Dan Emily tahu ayahnya paling tidak suka harga dirinya diinjak-injak, oleh siapapun.

"Mas Reza," panggil Emily tidak berniat memperpanjang apapun yang sedang dihadapinya, pandangan orang-orang, celotehan perempuan tua cerewet itu, maupun wajah ungu ayahnya.

Emily bukan gadis keras kepala. Dia hanya suka menjadi pembangkang saat menghadapi Teddy. Hanya karena dia suka bagaimana reaksi Teddy dan bagaimana lelaki itu selalu menurutinya saat dia sedang keras kepala. Namun tidak ada yang menyenangkan melakukannya saat ini untuk melawan siapa pun di ruangan ini. Tidak ada lagi yang menarik untuk Emily saat ini.

"Maafin Mamaku ya," kata suara seseorang yang dari tadi duduk di sebelah kanan Emily setelah perhatian semua orang tidak berkumpul bersama mereka lagi.

Emily memandang lelaki di sisinya dengan tidak suka. Dia tahu lelaki itu memang tidak bersalah sama sekali. Satu-satunya kesalahan Reza hanyalah karena dia putra dari perempuan tua yang tidak disukai Emily sejak hari ini, sejak perempuan itu mencelanya dan membuatnya jadi pusat perhatian di depan banyak orang. Reza bukan orang pertama yang tidak disukainya tanpa sebab. Contoh lainnya juga berada di ruangan ini, anak lelaki Ethan. Bocah itu sama sekali tidak pernah membuat Emily benci, namun wajahnya yang bagai pinang dengan Ethan membuatnya muak setiap kali melihatnya.

"Mamaku memang seperti itu, bicaranya memang ketus dan nggak ada yang bisa menentangnya. Dia orang nomor satu di rumah," lanjut Reza separuh berbisik supaya tidak terdengar oleh Mamanya yang duduk di samping kanannya.

"Dia tidak suka denganku," kata Emily menekankan fakta yang dengan jelas diketahuinya, "Apa dia memang selalu seperti itu apa hanya kepada orang-orang tertentu?"

Reza menghela napas sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaan Emily. Tunangannya ini jelas bukan tipe yang lembut dan pemalu yang akan takut karena gertakan Mamanya.

"Hanya kepada orang-orang tertentu," jawab Reza jujur.

Emily mengangguk paham, "Dan dia tidak setuju dengan pertunangan ini?" tebaknya.

Reza mengangguk, "Aku anak lelaki satu-satunya di keluargaku, dan Mamaku mau dia memilih sendiri wanita yang jadi calon istriku. Tapi sepertinya dia kalah langkah dari Papaku yang ternyata sudah ada pembicaraan dengan Papa kamu."

"Kenapa Mamamu mau menjodohkan kamu dengan wanita pilihannya?" Emily mengerutkan keningnya tanda ketidakpahamannya. Dia tahu bahwa bahwa baik Papanya maupun Papa lelaki itu menjodohkan mereka dengan alasan kerja sama politik. Alasan yang masuk akal menurutnya. Namun alasan perempuan tua itu akan memilihkan wanita untuk menikah dengan putranya, sungguh tidak masuk di akal Emily.

"Aku putra kesayangan Mamaku," jelas Reza walau dia merasa malu untuk mengatakannya sendiri, "dan dia merasa pilihannya adalah yang terbaik buatku."

"Menurut kamu juga begitu?"

"Pilihannya sering kali terbaik buat aku. Bagaimanapun dia Mamaku kan? Menurutinya bukan hal yang buruk," jawab lelaki itu sambil tersenyum.

"Jadi menurut kamu aku bukan pilihan yang baik?"

Tawa lelaki itu hampir meledak kalau dia tidak menahan senyumannya dan menggantinya dengan dengusan sambil menutup mulutnya sendiri.

Emily merasa pertanyaannya barusan cukup serius untuk dapat ditertawakan oleh lelaki tersebut. Tapi yang berhasil membuatnya kesal adalah perempuan menyebalkan di samping Reza yang kembali melanjutkan usaha mengupingnya, terutama setelah Reza tertawa dan mereka sudah kembali hanya berbincang berdua. Mata wanita paruh baya itu sesekali mencuri lihat ke arah Emily dan Reza. Dan Emily membencinya.

"Maaf," kata Reza berusaha menghentikan senyumannya. Dia mengira wajah masam Emily karena dirinya yang menertawakan gadis itu.

Tanpa pikir panjang, sambil memperhatikan wajah yang masih mengintip di balik lelaki di hadapannya, Emily mendekatkan kepalanya dan mencium bibir lelaki itu. Walau sebenarnya yang dilakukan Emily hanyalah melekatkan bibir mereka, dia berhasil membuat lelaki itu terkejut.

"Apologize accepted," kata Emily sambil kembali menjauhkan wajahnya.

Emily tersenyum kecil penuh kemenangan saat melihat wanita paruh baya di belakang Reza melihatnya dengan pandangan kesal dan jijik.

Emily menikmatinya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 74.2K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
4.5K 388 25
Ada dua hal yang membuat Nara Nalani memutuskan pindah ke Tangerang; pertama, karena ingin melupakan Rimbatara, dan terakhir ikut mamanya. Perseterua...
39.7K 3.2K 32
Hidupku adalah masa tersulit ku.
354K 39.1K 27
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA] 21+++ Tanpa blurb, dijamin baper. ( ✧Д✧) カッ!!