Emily's Lover

By womaninparadise

811K 52.7K 1.3K

This is a story about Teddy and his first love. Sekuel dari Relationship. Berlatar cerita di California, di m... More

1. A Girl Named Emily
2. Jealous With Raspberry Color
3. A Guide to Fall in Love with Emily
4. Goddamn Virgin
5. Pillow Talk
6. Imaginary Stupid Thoughts
7. Blow Yours
8. Nightmare and Family
9. Melancholic Drunker
10. Politician's Daughter and Psycopath's Sister
11. Sexy Guy in My Flat
12. Clumsy Proper Date
13. Lets Live Together
14. Failed Seduction
15. Hot and Cold
17. Let's Settle the Undone Business
18. One Best Night
19. Separate Ways
20. The Engagement
21. My Future Is You, Emily
22. at Best Friend's Apartment
23. Meet the Parent
24. Two Most Beloved Women
25. Temptation Settlement
26. Debate-in-law
27. Your Blessings
28. Finally Ever After
Epilogue
Short Story - Five Years Later...

16. Sudden News from Dictactor

17.9K 1.4K 39
By womaninparadise

Emily melihat pesan singkat di ponselnya sambil mengernyitkan alisnya heran. Sudah dua tahun dia tidak pernah mendapatkan apapun dari lelaki tua itu termasuk kabar darinya, kecuali kiriman uang setiap bulannya.

Dan pesan singkat itu mengganggu hari tenangnya.

Hari minggu depan pesta pertunangan kamu dan bulan depan kamu akan menikah. Asisten Papa akan telepon kamu segera.

Dengan siapa dia akan menikah dan apa tujuan ayahnya dengan menikahkan dia cukup membuatnya penasaran, walau dia yakin dia tidak perlu membalas pesan tersebut untuk bertanya karena sebentar lagi orang kepercayaan ayahnya akan menghubunginya terlebih dahulu.

Namun satu minggu untuk pertunangan dan satu bulan untuk pernikahan terasa terlalu terburu-buru untuknya. Pada saat kakaknya ditunangkan dengan istrinya yang sekarang saja, kakaknya sudah mengetahui lebih dahulu setahun sebelumnya. Dan dia hanya punya waktu satu bulan.

Emily tahu suatu saat pesan ini akan muncul cepat atau lambat. Dia hanya tidak menduga Teddy ada dalam hidupnya saat pesan itu mendatanginya.

Bukan. Bukan pesan singkat itu yang mengganggu hidupnya. Teddy yang membuatnya merasa pesan itu mengganggu hidupnya. Dan tanpa disadarinya, Emily menghela napas panjang.

Ponselnya kembali berbunyi dengan nomor asing yang tidak dikenalnya. Nomor panggilan dari Indonesia.

Emily mengangkat panggilan tersebut.

"Halo mbak Emily, saya Ichsan, asisten pribadi Bapak Johan."

"Ya," jawab Emily datar.

"Sesuai perintah Pak Johan, saya sudah pesankan tiket pesawat ke Jakarta, nanti akan saya kirimkan ke email Mbak Emily."

"Oke."

"Untuk calon Mbak Emily namanya Mas Reza. Usianya dua puluh tujuh dan beliau putra kedua Bapak Budiman, ketua partai Nasional."

Emily sudah mendapatkan lebih dari cukup jawaban yang perlu diketahuinya. Lelaki itu putra dari Partai yang akan bekerja sama dengan Partai ayahnya, dan pernikahannya tentu diperlukan untuk mengikat hubungan keduanya.

"Saya juga akan mengirimkan foto calon suami Mbak melalui email."

"Nggak perlu," kata Emily singkat.

Emily merasa tidak lagi perlu melihat siapa lelaki yang akan dinikahkan dengannya. Toh bagaimanapun lelaki itu akan menjadi suaminya.

"Perintah Bapak, saya harus mengirimkan foto dan beberapa data mengenai Mas Reza kepada Mbak Emily."

"Ya udah, terserah saja," kata Emily tak acuh.

"Nanti kalau ada yang mau ditanyakan, bisa hubungi saya di nomor ini ya, Mbak. Terima kasih."

Emily mematikan sambungan ponselnya. Lagi-lagi dia menghela napas panjang.

"Who was it? Any problem?" tanya Suzie yang dari tadi memperhatikan Emily.

Camille juga menunggu sama penasarannya. Mereka sedang minum-minum bersama di Vault. Tidak ada yang pernah menelepon Emily menggunakan bahasa asal Emily kecuali Teddy selama ini. Dan baik Camille maupun Suzie tahu bahwa barusan Emily bukan berbicara dengan Teddy, karena Emily tidak pernah berbicara dengan lelaki itu menggunakan ekspresi sedatar dan selesu barusan.

"Nothing," jawab Emily singkat. Dia malas dan tidak berminat menjelaskan. Kepada siapa pun itu.

Bagi Emily tidak ada masalah yang berarti dari pembicaraan barusan. Semua yang barusan disampaikan asisten ayahnya adalah hal yang wajar dan seharusnya terjadi. Tapi entah kenapa Emily merasa sesak. Sesuatu mengganjal perasaannya dan membuat hatinya sakit. Hati yang seharusnya sudah mati.

***


Emily mabuk. Teddy bisa mencium bau alkohol dari mulut gadis itu saat Emily menciumnya sewaktu Teddy membukakan pintu untuknya tengah malam. Dan Emily terkekeh seperti orang gila. Oleh karena itu Teddy tahu kalau gadis itu sedang mabuk.

Emily melingkarkan kedua lengan dan menjatuhkan tubuhnya ke pelukan lelaki itu, membuat Teddy harus menggendong gadis mabuk itu masuk ke dalam flat-nya.

Teddy menjatuhkan Emily ke atas sofa.

"Aku ambilin air putih dulu buat kamu, Ems. Tunggu di sana." kata Teddy seraya berjalan menuju dapur untuk mengambilkan satu gelas air putih untuk gadis itu.

Teddy membelalakkan matanya lebar saat menemukan gadis itu sudah berdiri oleng di atas sofa dan telah berhasil melepaskan jeans panjangnya. Kini dia sedang menarik ujung bawah kaosnya melalui atas kepalanya sendiri. Emily memulai kebiasaan mabuknya, striptease.

Teddy buru-buru meletakkan gelas di tangannya ke meja terdekat untuk menghampiri si gadis pemabuk. Teddy kembali menahan tubuh gadis itu.

"Nanti kamu jatuh, Ems." kata Teddy sambil menahan kedua paha gadis itu.

Emily kembali terkekeh dan menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Teddy. Emily menciuminya membabi buta sambil terduduk di pangkuan lelaki itu. Tangannya masuk ke balik kaos Teddy dan mengusap-usap pinggangnya yang menegang akibat perlakuan Emily. Teddy biasanya panik melihat aksi striptease Emily saat sedang mabuk, tapi sepertinya cukup menyenangkan kalau hanya berdua seperti ini. Emilynya menjadi lebih agresif dan menggoda.

Teddy membalas ciuman Emily dengan sama menuntutnya. Tangannya menahan tengkuk gadis itu agar tidak menjauh. Sesekali dia meremas pantat gadis itu dan membuat Emily menambahkan desahan dalam ciumannya.

Teddy bahkan sudah melupakan tingkah menyebalkan Emily tadi pagi yang berhasil membuatnya kesal sepanjang hari.

"Ted.." Emily memanggil di tengah ciuman mereka.

"Hm?" jawab Teddy seadanya.

"I'm getting married, Ted."

Teddy melepaskan ciuman mereka. Matanya memandang lurus ke mata Emily dengan jarak yang sangat dekat, berusaha mencerna kalimat Emily barusan. Kalimat tersebut terlalu aneh untuk menjadi kalimat lamaran dari gadis itu untuknya. Tapi apa yang dimaksud Emily dengan dia akan menikah? Dengan siapa lagi Emily akan menikah kecuali dengannya?

Emily tersenyum dan kemudian mulai terkekeh seperti orang gila.

"I don't know if he is a good kisser like you. But he's handsome."

Teddy kini yakin bukan dirinya yang dimaksud.

"Siapa?" tanya Teddy bingung. Mungkin Emily sedang bercanda dengannya.

"Aku kasih lihat kamu fotonya," Emily memanjangkan lengannya untuk berusaha menggapai tas lempang yang tadi dibawanya dan mengambil ponsel dari dalam tasnya.

Teddy menunggu sementara gadis itu membuka email yang diterimanya beberapa saat lalu dan menunjukkan foto seorang lelaki kepada Teddy.

Foto lelaki berusia dua puluhan akhir dengan perawakan yang rapi dan lumayan tampan. Dan Teddy mengeraskan rahangnya. Perkara gadis itu hanya bercanda atau tidak, adanya foto lelaki itu di ponselnya membuat Teddy kesal.

"Gimana? Cocok sama aku nggak, Ted? Kamu nggak mau ucapkan selamat buat aku?" tanya Emily masih dengan senyumannya.

Teddy masih mengeraskan rahangnya sambil kembali memandang Emily heran. Dia mulai tidak suka dengan cara Emily bercanda sekarang. Kalau gadis itu memang sedang bercanda dengannya.

"Apa maksud kamu, Ems? Ini nggak lucu." tanya Teddy dingin.

Emily juga mulai kehilangan senyumnya. Dia melempar ponselnya ke ujung sofa.

"Kamu nggak suka Ted?" kata Emily dengan nada sendu, kehilangan semua kekehan dan senyuman gilanya, "Padahal aku sengaja cerita ke kamu. Aku nggak cerita ke siapapun kecuali kamu. Aku pikir kamu akan suka kalau aku cerita segalanya ke kamu."

"Aku bukan nggak suka kamu cerita ke aku, Ems. Cerita ke aku semuanya, ada apa sebenarnya?"

"Kan udah aku bilang, aku akan nikah."

Teddy merasa otak dan hatinya tersambar petir bersamaan. Emily tidak bercanda.

"Tapi kenapa tiba-tiba?" Teddy berusaha terdengar normal, tapi bahkan dia bisa mendengar suaranya sendiri bergetar.

"Ayahku butuh bantuanku, tentu saja. Foto lelaki yang aku kasih lihat barusan adalah anak dari rekan politiknya. Dia mau memperkuat posisi partainya, makanya dia butuh pernikahan politik itu."

"Tapi kamu kan belum kenal orang itu."

Emily mulai kembali tersenyum. Tapi bukan senyum gila seperti sebelumnya. Dia hanya memberikan senyuman getirnya. "Apa bedanya aku kenal atau tidak sama orang itu? Toh aku akan tetap menikah sama dia. Bahkan tadi aku udah bilang aku nggak perlu foto orang itu, tapi tetap dikirim oleh asisten ayahku."

"Kamu bisa menolak kan?"

"Teddy, aku udah pernah bilang kan hubunganku dengan ayahku. Kami saling membutuhkan. Selama ini aku mendapatkan uangnya. Dan kini waktu dia butuh aku, aku harus membantu. Dan ini nggak sulit. Bahkan aku beruntung bisa menikah dengan lelaki tampan yang kelihatan normal. Dia bahkan anak ketua partai. Hidupku terjamin kan."

Teddy merasa perasaannya terluka mendengar kalimat Emily barusan. Entah apa arti dirinya selama ini di mata Emily. Teddy mengira selama ini dia adalah orang paling berarti dalam hidup Emily, salah satu kandidat pendamping hidupnya. Tapi sepertinya dia salah besar.

"Jadi kamu setuju?" tanya Teddy pelan.

"Bukan masalah setuju nggak setuju, Ted. Tentu saja aku harus."

"Dan kamu bahagia?"

Teddy bahkan sempat bertekad dalam hitungan detik, kalau gadis itu mengatakan dirinya bahagia, dia akan rela melepaskan Emily dengan lelaki itu dan kalau gadis itu tidak bahagia, dia akan membawanya pergi sejauh-jauhnya.

"Ini nggak ada hubungannya dengan bahagia, Ted," kata Emily di luar perkiraan Teddy, "Ini kewajiban."

Teddy sangsi gadis ini memiliki hati. Mungkin saja selama ini Teddy jatuh cinta dengan perempuan yang tidak memiliki perasaan. Dan Teddy geram karena sempat mengira dirinya memiliki tempat di hati gadis itu.

"Tapi kenapa harus ada kamu mengganggu kewajiban aku, Ted?" kata Emily lagi dengan suara yang hampir hilang.

Teddy menatap gadis itu. Mata dan hidungnya memerah, menjadi sewarna dengan bintik di wajahnya. Emily menahan tangisnya.

"Emily.." panggil Teddy tidak paham.

"Harusnya aku biasa saja mendengar berita itu tadi." Emily menjatuhkan keningnya di pundak Teddy dan masih berbicara dengan suara sengaunya, "Harusnya aku udah tahu dari lama dan itu bukan berita mengejutkan. Tapi kenapa dada aku sakit dan perasaanku nggak enak sejak tadi? Kenapa bayangan kamu muncul terus Ted?"

Teddy terdiam. Tangannya memeluk tubuh gadis yang semakin terisak di pelukannya itu. Teddy merasa berengsek karena sempat menuduh perempuan yang dicintainya ini tidak memiliki hati.

Teddy terus menepuk pundak Emily berusaha menenangkan sementara Emily masih belum berhenti terisak. Teddy merasa tidak berdaya. Otaknya terasa penuh sekali.

Emilynya akan menikah, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa.

***

Sorry yah slow update belakangan 🙏🏻
Selamat menunaikan ibadah puasa juga bagi yg berpuasa 😁

Continue Reading

You'll Also Like

4.7M 532K 43
(FOLLOW AUTHORNYA) (JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN GUYS💚💚) Ini tentang drama antara babysitter dengan bosnya. Bosnya yang tampan sekaligus duda berana...
6.4M 993K 69
Rank #1 teenficiton 3/9/21 Rank #2 Fiction 3/8/21 Rank #1 Fiction 4/8/21 "Lo...gay?" Tanya Abbie memberanikan diri, bukannya menjawab Khages malah me...
3.9M 211K 29
Cerita sudah tamat! Sudah tersedia versi Audio Book Pogo ya teman-teman :) Sinopsis, "Biar saya lihat," gumam Pak Adam membuat Alara terperanjat ka...
1.3M 183K 47
[SEBAGIAN CHAPTER DI PRIVATE, FOLLOW BIAR BISA BACA] Ketika Ara si cewek bar-bar dipertemukan dengan Azka si cowok polos yang terlalu tampan. Entah a...