#PacarAnakBand

By mockingjaybirdx

349K 38K 5.1K

Rintik Senja April (April) Suka Jeffri, namanya, dan ujan-ujanan di motor. Kinara Bintang Rahayu (Kinar) Satu... More

Fe dan Bram #1
Alisha dan Dodi #1
April dan Jeff #1
Kinar dan Satria #1
Vidia dan Wira #1
Acknowledgement
HP April Ilang?!
Lisha Nonton Dodi Manggung
Fe Jadi Supporter
Kejutan Ulangtahun Wira
Author's Note: Ngobrol Bareng Janu
April Kecelakaan
Fe Kebingungan
Dodi Cemburu
Satria Menyerah
Dilema Vidia
Kencan Fe dan Bram
Hari Jadi Kinar dan Satria
Weekend Bersama April dan Jeff
Alisha dan Dodi Kondangan
Vidia dan Wira: Akhir
Bonus Chapter: Unseen Transcript #1
Bonus Chapter: Bram & Bram
Bonus Chapter: Selamat Ulang Tahun, Wira
Bonus Chapter - Dodi dan Alisha: An Origin Story
Bonus Chapter: Headache
Types of Kisses: Tender
Types of Kisses: Warm
Types of Kisses: Passionate
Types of Kisses: First-Time
Types of Kisses: Last Kiss

Foto Masa Kecil Satria

9.9K 1.2K 162
By mockingjaybirdx

Salahsatu hal yang paling aku syukuri dari menjadi pacar seorang Muhammad Imam Satria adalah kesempatan untuk mengenal keluarganya.

Keluarga Satria kecil, hanya terdiri dari 4 orang yaitu ibunya, bapaknya, kakak perempuannya, dan Satria sendiri. Aku mengenal semua anggota keluarganya dengan baik semenjak kami mulai berpacaran 3 tahun yang lalu. Ibu Ratih, ibunya Satria, adalah seorang ibu rumah tangga dengan pekerjaan sampingan sebagai wirausaha-beliau berjualan baju-baju muslim dari rumah. Perempuan yang biasanya aku panggil dengan sebutan Ibu ini adalah anggota keluarga Satria yang paling dekat denganku, disusul dengan kakaknya Satria, Mbak Ratna, di posisi kedua.

Sejak Satria mengenalkanku kepadanya dulu, Ibu langsung secara nggak resmi mengangkatku jadi anak ketiga keluarga Satria, karena rupanya kami berdua memiliki kesamaan hobi yaitu bikin kue. Seringkali Ibu menghubungiku untuk sekedar bertanya soal resep kue yang baru dia lihat dari instagram (Ibu lagi senang main instagram dan follow-follow akun resep masakan belakangan ini). Terkadang kalau aku lagi main ke rumah, Ibu juga kerap mengajakku berkolaborasi di dapurnya untuk mempraktikkan resep kue terbaru yang ia temukan. Seru deh.

Kemudian ada Bapak Yusuf, bapaknya Satria, yang merupakan seorang pegawai negeri sipil di Kementrian Agama. Beliau juga menjabat sebagai ketua RT dan imam masjid di lingkungan setempat. Bapak Yusuf ini adalah salahsatu tokoh yang cukup disegani di daerah tempat Satria tinggal karena wibawa dan kebijaksanaannya sebagai ketua RT. Hampir semua orang mengenal sosok Bapak Haji Yusuf Abdullah. Makanya kalau kamu baru pertama kali main ke rumah Satria, nggak usah bingung nyari di GPS, langsung aja tanya sama warga sekitar, "Rumah pak haji Yusuf dimana ya?" nah nanti pasti langsung ditunjukkin atau bahkan dianterin sekalian sampai depan pagar.

Terakhir adalah Mbak Ratna. Kakak Satria satu-satunya ini juga cukup dekat denganku karena dulu ia ternyata adalah anak sanggar tari. Kalau kami bertemu, obrolannya pasti nggak jauh-jauh deh dari dunia menari; mulai dari pengalaman dia yang udah menari kemana-mana (Mbak Ratna pernah mewakili Indonesia dalam festival tari internasional di Korea lho), suka dukanya di sanggar, tips dan trik, curhatan soal anggota sanggarnya yang lain... macem-macem deh. Sayangnya, Mbak Ratna udah nggak tinggal di rumah sejak setahun terakhir. Dia pindah ke Medan bersama suaminya yang dapat penugasan di sana, dan akan stay di ibu kota Sumatra Utara itu hingga 2 tahun ke depan.

Ini juga yang jadi bikin kedatanganku ke rumah Satria selama setahun terakhir jadi hal yang sangat dinanti oleh Ibu dan Bapak. Terutama Ibu sih yang mengaku kesepian di rumah sejak Mbak Ratna pindah.

"Ki, Ibu tuh seneng banget kalau Kinar main ke sini. Habisnya di rumah sepi. Ratna di Medan, Satria pulang kampus seringnya malam. Bapak aja masih mending sore terkadang sudah di rumah tapi kalau lembur ya malam juga. Ibu paling cuma ngobrol sama Bi Asih. Haduh bosen Ibu tuh kadang" begitu ujar beliau suatu hari. BTW, Bi Asih itu asisten rumah tangga keluarganya Satria yang sudah bekerja di situ sejak Satria masih bayi.

"Sering-sering aja lho Kinar main ke sini. Anggep aja rumah sendiri. Toh Ibu sama Bapak juga sudah anggap Kinar sebagai anak sendiri"

Hehe. Aminin aja ya guys.

Maka itu, di hari Sabtu yang cerah ini aku memutuskan untuk main ke rumah Satria. Sekalian nganter oleh-oleh buat Ibu sama Bapak Yusuf, dari Ayahku. Dia baru balik abis dinas dari Cina 2 hari yang lalu soalnya.

"Mau aku jemput ke rumah nggak?" tanya Satria via telepon saat aku tengah bersiap-siap.

Kusemprotkan parfum ke pergelangan tangan dan tengkuk, sementara ponsel aku biarkan dalam mode loudspeaker. "Nggak usah, aku bawa mobil aja nanti. Ibu sama Bapak ada di rumah kan hari ini?"

"Ada. Bapak lagi mandiin burungnya tuh di depan. Ibu baru beres bungkusin pesenan baju sama Bi Asih. Mau ngomong?"

Aku terkekeh. Ku ikat rambutku menjadi satu kuncir kuda longgar sebagai sentuhan terakhir. "Nggak, nanti aja di rumah ngobrolnya. Ya udah aku otw dulu ya, Sat. See you"

"Hati-hati di jalan. Assalamualaikum, Ki"

"Waalaikumsalaam, Satria"

Setelah menyampirkan sling bag dan membawa goodie bag oleh-oleh yang sudah aku pisahkan semalam, aku pun melangkah keluar dari kamar. Turun dari tangga, aku melihat Ayah sama Bunda lagi duduk di meja makan bareng sama Kak Bhakti. Buat yang penasaran, Kak Bhakti ini adalah kaka sepupu aku dari garis Bunda. Dia tinggal di rumahku karena baru banget dua minggu yang lalu dipindahtugaskan dari kantornya di Semarang ke Jakarta. Selama dia belum dapet kosan, Bunda nawarin (slash setengah memaksa) Kak Bhakti untuk tinggal di sini aja dulu. Semacam nge-kost sementara gitu.

"Mau kemana, Ki?" tanya Ayah begitu melihatku yang sudah berpakaian rapi siap pergi.

"Ke rumah Satria, Yah. Nganter oleh-oleh yang kemarin" aku mengangkat goodie bag oleh-oleh yang kujinjing di tangan kanan. "Oh ya, kunci mobil ada di ayah?" lanjutku sembari mencomot sepotong panada isi sayur di atas meja makan.

"Kamu mau bawa mobil? Minta anterin Bhakti aja, biar sekalian dia jalan-jalan ngapalin Jakarta" Bunda menggestur ke arah kak Bhakti yang asyik lagi memamah biak bakwan.

"Eh iya, Ki. Gue anter aja yuk. Rumahnya temen lo itu dimana?" ujarnya semangat.

Temen?

Aku, Ayah, dan Bunda otomatis berpandangan. Sedetik kemudian koor tawa kami bertiga memenuhi ruang makan.

"Bhakti, Satria itu pacarnya Kinar lho. Udah jadi pacar mosok kamu bilang temen, friendzone dong namanya. Salah kamu" Ayah terkekeh pelan saat menjelaskan kepada Kak Bhakti mengenai kesalahannya barusan.

"Calon mantu Bulik lho itu, Ti. Calon sepupu-ipar kamu" Bunda menambahkan. Aku cuma bisa geleng-geleng sambil tersenyum kecil.

Kak Bhakti tampak tersipu malu atas kesalahannya barusan, namun untuk menutupinya ia malah ketawa-ketawa kemudian nyengir kuda. "Oalah, ini toh yang dibilang 'calon'-mya Kinar itu? Ya ya ya. Paham aku, Bulik"

Ia kemudian mengalihkan tatapannya kepadaku. "Yowis, Ki. Yuk gue anter sini ke rumah calon mertua. Mau naik mobil apa motor?"

"Pakai Livina aja, Bhak. Bentar Paklik ambil kuncinya dulu" Ayah beranjak dari kursinya dan melangkah ke kamar untuk mengambil kunci mobil.

Gantian, aku yang menduduki kursi tempatnya barusan.

"Ti, kalah kamu tuh sama Kinar. Kamu udah umur segini belum ada juga 'calon'-nya" goda Bunda pada Kak Bhakti yang cuma bisa mesem-mesem.

"Eh iya nih. Kak Bhakti kayaknya masih betah aja sendirian. Nggak ada yang nyangkut-nyangkut di kantor apa, Kak?" timpalku.

Kak Bhakti berdecak pelan. "Haish Bulik nih kayak Mamah aja pertanyaannya. Kerjaanku udah kayak romusha gini lho, Bulik. Mana sempet lirik-lirik"

"Pasti Mamah-mu itu udah nagih-nagih cucu ya? Paling getol kan dia tuh" Bunda tertawa mengingat sifat saudara perempuannya yang memang sangat terobsesi untuk menimang cucu.

"Bhak, nih kunci Livinanya" Ayah memotong pembicaraan kami soal calon pendamping Kak Bhakti saat ia kembali dari kamar dengan kunci mobil kami.

"Oke, Paklik" Kak Bhakti menerima kunci tersebut kemudian menenggak air putih di gelasnya hingga tandas. "Yuk, Ki, Udah siap kan?"

Aku bangkit dari kursi dan mengangguk. "Eh, tapi Kak Bhakti hafal kan sampe Taman Mini? Rumahnya dia di daerah situ soalnya. Ntar takutnya pulangnya nyasar lagi"

Ia mengerenyit. "Taman Mini... Tamini Square?"

"Iya. Gak jauh dari situ kok"

"Oh oke. Tau tau. Kalau bingung nanti gue pake Waze aja gampang" ia menepuk ringan kantung celana kargonya. Dugaanku sih di dalamnya berisi ponsel.

"Sip deh. Ya udah yuk cus" Aku menghampiri Ayah dan Bunda kemudian salim sama keduanya. "Aku berangkat ya, Bun, Yah"

"Salam buat ibu sama bapaknya Satria ya. Buat Satria juga" ujar Bunda.

"Siap, Bun. Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam, Kinar"

***

"Ini rumahnya?"

Livina silver yang dikendarai aku dan Kak Bhakti berhenti di depan rumah Satria. Di terasnya aku bisa melihat Bapak Yusuf lagi duduk dan mengobrol bersama seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Satria sendiri.

Aku mengangguk. "Iya, Kak. Kak Bhakti pulang aja aku nanti paling baliknya sama dia tuh" aku menunjuk ke arah Satria yang tengah mengenakan kaus abu-abu kebanggaan jurusannya plus celana pendek.

"Dia yang mana nih? Yang ubanan apa yang belum ubanan?" Kak Bhakti menatap kearah teras rumah Satria dari balik kaca mobil.

"Kak Bhakti mah ih. Menurut Kakak aja yang mana" Aku memutar bola mata kemudian terkekeh. "Udah ah. Duluan ya, Kak. Hati-hati di jalan pulang, ntar nyasar" lanjutku kemudian keluar dari mobil.

Tepat saat itu, Satria dan Bapak Yusuf menoleh ke arahku kemudian tersenyum. Satria bangkit bangkit dari duduknya. Aku mengangkat tangan untuk menyapanya.

Kak Bhakti menglakson sekali sebelum memundurkan mobil dan berlalu pergi.

"Assalamualaikum..." aku melangkah menuju teras dengan senyum.

"Waalaikumsalam. Eh ada Kinar" Bapak Yusuf tersenyum saat aku menghampirinya untuk salim. "Apa kabar, Ki?"

"Baik, Pak. Alhamdulillah. Bapak sehat?" tanyaku ramah.

Ia mengangguk-angguk ringan. "Sehat. Ayo masuk masuk"

"Masuk aja yuk, Ki" Satria berujar sebelum menggiringku masuk ke dalam rumahnya bersama dengan Bapak Yusuf.

"Bu, ini ada Kinar" Bapak Yusuf memanggil Ibu saat aku telah berada di ruang tamu rumah mereka. "Kinar duduk aja dulu. Bapak mau ke atas dulu ya" senyumnya, kemudian berlalu menuju lantai 2.

Aku pun mengangguk. Goodie bag oleh-oleh dari Ayah kuletakkan di pangkuan.

Nggak lama, Ibu muncul dari arah dapur dengan rambut dicepol dan apron yang melapisi bajunya. "Eh, ada Kinar. Apa kabar, Ki? Gimana latihan buat pagelarannya? Lancar?"

Aku tertawa kecil saat menghampiri Ibu untuk salim dan cipika cipiki sejenak. "Kinar sehat, Bu. Latihannya udah lebih intensif sekarang, Sabtu-Minggu juga harus latihan bahkan. Tapi kebetulan buat minggu ini Kinar dapat jadwal yang Minggu jadi hari ini bisa main-main ke sini" jelasku.

"Oh iya, ini Kinar ada bawa oleh-oleh. Ayah kemarin baru pulang dari Cina terus titip ini buat Ibu sama Bapak" aku meraih goodie bag oleh-oleh tadi dan memberikannya kepada Ibu.

Ibu menerima goodie bag tersebut dengan sumringah. "Walah, Ki. Nggak usah repot-repot toh. Apa kabar Ayah sama Bundamu?"

"Alhamdulillah baik, Bu" aku mengangguk.

"Alhamdulillah... Salam ya buat dua-duanya?" Ibu menepuk pundakku ringan. "Yowis, Ibu tak balik ke dapur dulu. Kinar mau minum apa? Udah sarapan? Mau ibu bikinin apa?"

Aku tertawa. Setiap kali aku main ke rumah Satria, pasti aku selalu pulang dengan perut kenyang. Alasannya adalah karena Ibu nggak akan membiarkanku pulang sebelum aku mencicipi semua hidangan yang dia sajikan hari itu. Dan yang kumaksud hidangan itu minimal terdiri dari 2 lauk dan 1 dessert. Gimana nggak kenyang?

"Belom jadi mantu aja begini, gimana nanti kalau kamu beneran jadi mantunya Ibu ya. Bisa-bisa kalah aku sebagai anak kandungnya" begitu canda Satria dulu terkait dengan perlakuan Ibu kepadaku.

"Apa aja yang lagi Ibu masak deh. Kinar mah suka-suka aja selama itu masakan Ibu" ujarku akhirnya.

"Kamu tuh bisa aja. Ya udah. Di sini aja ya, nanti Ibu panggil kalau makanannya udah siap" Ibu tersenyum lalu melenggang kembali ke dapur.

"Tadi dianter siapa, Ki?" tanya Satria setelah Ibu menghilang di balik sekat yang membatasi ruang tamu dan ruang makan.

"Kak Bhakti. Dia kan masih di rumah, belum dapet kosan. Terus ya udah akhirnya Bunda tadi suruh dia anterin aja sekalian biar dia ngafalin jalanan sini" jawabku.

Satria mengangguk-angguk paham. "Aku kira kamu naik grabcar. Kalo gitu mah mending kamu tadi aku anterin" ujarnya.

Di sela-sela pembicaraan, Bi Asih datang membawakan dua gelas berisi nutrisari jambu dingin dan sepiring brownies di nampan.

"Monggo Mbak Kinar dimakan dulu cemilannya" ujar perempuan paruh baya itu ramah.

"Makasih ya, Bi" aku membalas senyumnya sebelum ia berlalu pergi.

"Eh, Ki. Aku mau nunjukin kamu sesuatu deh" tanya Satria tiba-tiba.

Aku yang lagi menyesap nutrisari dingin langsung meletakkan kembali gelas beling yang kupegang ke atas meja. "Sesuatu apa?" tanyaku heran.

Satria tersenyum penuh teka-teki. "Tunggu di sini ya" ujarnya kemudian ngacir ke kamar.

Mataku mengikuti setiap langkahnya dengan heran. Dia mau nunjukin apa ya? Kayaknya dari kemarin nggak ada bilang apa-apa, atau aku yang lupa?

Nggak sampai 5 menit, Satria keluar dari kamarnya dengan setumpuk album-album foto usang berbagai ukuran di tangannya. Aku bangun dari tempat duduk dan menghampirinya, membantu dia membawa album-album foto tersebut ke meja ruang tamu.

"Kamu mau nunjukkin aku album foto?" tanyaku sembari membuka-buka salahsatu album paling atas.

Satria mengangguk semangat. Ekspresinya sekarang kayak anak kecil yang excited nunjukkin hasil karya Lego buatan dia ke mamanya. Bayangin aja, seorang Muhammad Imam Satria, Ketua BEM FISIP UI, berekspresi seperti itu. Gemes, gemes deh kalian.

"Nih liat" Satria menarik sebuah album foto berukuran besar dan membukanya. Di halaman pertama langsung terpampang foto seorang bayi laki-laki dengan sebuah kupluk warna kuning sedang bersantai di atas stroller.

Aku menggeser posisi dudukku mendekat kearah Satria. Sebuah senyuman lebar terlengkung di wajahku tanpa bisa kutahan saat melihat foto tersebut. "Ini kamu?"

Satria menoleh kearahku dan mengangguk. Wajahnya yang tampan (ya, gapapa sekali-sekali aku memuji dia di depan umum) dihiasi senyuman yang nggak kalah lebar dari punyaku. "Iya, hehe. Ini waktu aku umur 6 bulan. Itu di Taman Mini karena waktu itu Mbak Ratna katanya ngerengek-rengek pengen main ke Taman Mini pas liburan. Akhirnya Ibu sama Bapak nurutin dan ngajak aku sekalian"

Aku tertawa kecil. Jemariku bergerak meyentuh foto tersebut dengan lembut. Satria versi bayi lucu banget sangat fluffy dan soft. Minta dicubitin banget liat tuh pipinya!

"Nih ada lagi" Satria menunjukkan kepadaku foto selanjutnya. Masih foto dia versi bayi, di atas stroller. Bedanya kali ini dia nggak pakai kupluk kuning kayak di foto sebelumnya. Di foto itu dia lagi boboan sambil pake onesie dengan muka datar yang jadi andalannya kalau lagi bertugas di BEM.

"Kamu tuh ya kecil-kecil udah galak aja mukanya" kekehku kemudian menusuk-nusuk pipi Satria dengan telunjukku.

Satria cuma tertawa. "Cetakan pabriknya gitu, Ki. Tapi sama kamu aku nggak galak kan?"

"Hmm galak gak ya..." aku mengangkat alis.

Satria malah mengacak-acak rambutku lalu melingkarkan lengannya di bahuku dan merangkulku erat. Dengan senang hati aku menyandarkan kepala di dadanya sementara Satria lanjut membuka-buka koleksi album foto masa kecilnya.

"IH INI ANAK SIAPA!" pekikku gemas saat kami sampai pada sebuah foto dimana Satria mini kayaknya lagi berlari sambil memakai baju bayi yang ada tudungnya. Tapi yang bikin aku gemas bukan outfitnya, melainkan ekspresi dia di foto itu yang kayaknya bahagia banget lengkap dengan senyum lebar menghiasi wajahnya yang bulat.

"Lucu ya? Hehehe" Satria cengengesan menanggapi reaksiku barusan.

"Ya allah aku mau bawa pulang dia boleh gak?" aku mendongak menatap Satria dengan penuh harap. Ini Satria apa mochi vanilla lucu banget lembut gembil gemas huhuhu nggak kuat.

Satria menggeleng pelan, tapi kemudian mengeluarkan foto itu dari halaman album foto. "Jangan ilang ya kalo ilang nanti dia nangis kasian" ujarnya sembari menyerahkan selembar foto itu kepadaku.

"Fix aku pajang di kamar nanti" ujarku saat menerima foto tersebut. "Aku foto terus aku masukin instagram boleh ya?"

"Y-yah yang bener aja, Ki.." Satria tampak ragu. "Malu aku..." lanjutnya pelan.

Aku terkikik geli melihat dia yang tampak salah tingkah. Beruang gede ini emang nggak pernah suka tampil di sosial media. Instagramnya aja aku yang bikinin, itu juga jarang banget di-update. Terakhir update pas kampanye pemilihan ketua BEM kemarin tuh dia post foto berdua sama Janu ala-ala pasangan cagub-cawagub. Abis itu udah. Nggak ada postingan lagi sampai sekarang.

"Sekaliiiiiii aja. Ya? Please?" aku menampilkan ekspresi ter-imut yang kubisa. Biasanya hampir selalu berhasil karena ekspresi ini adalah kelemahannya Satria.

Sst, jangan biilang-bilang tapi ya. Apalagi sama Janu, nanti kata Satria Janu bakal berkelakuan imut terus kalau dia tau ini. Dan bukannya lemah Satria malah bisa muntah-muntah liatnya. Alergi, katanya.

"Ya udah iya. Satu aja tapi yang ini" ujar Satria menyerah.

Yes! Bener kan apa kataku?

Aku dan Satria menghabiskan waktu membuka semua album-album usang tersebut dan tertawa menikmati foto-foto masa kecil dia; mulai dari masih bayi banget sampai udah sekolah. Ini beberapa foto yang sengaja aku dokumentasiin buat koleksi pribadi:

Gemes banget nggak sih kalian? Siapa yang nyangka anak bayi sekecil itu gedenya bakal lantang menyuarakan aspirasi mahasiswa di bundaran HI dan jadi ketua BEM? Hahaha.

"Kinar, makan siang dulu yuk. Tuh Ibu masak rawon sama perkedel. Ada setup nanas juga tadi Bi Asih yang bikin" Ibu tiba-tiba datang menghentikan sejenak kegiatanku menikmati foto-foto masa kecil Satria. "Sat, kamu tuh Kinarnya kok nggak diajak makan. Udah jam segini juga"

"Eh nggak pa-pa, Ibu. Tadi Kinar lagi liatin foto-foto jaman dulu nih sama Satria" jawabku.

Ibu melangkah menghampiri kami kemudian malah ikut melihat-lihat album. "Satria udah ngasih unjuk toh? Iya ini Ibu kemarin kan habis beres-beres loteng atas, terus nemu album-album ini. Ibu kira udah pada rusak lho kena air kan loteng sering bocor tuh" jelasnya sambil tertawa-tawa kecil.

"Lucu ya, Ki? Satria waktu masih kecil tuh bandelnya masyaAllah. Kerjaannya main layangan terus di lapangan belakang. Baru pulang kalo laper atau kalo bapaknya udah keliatan jalan ke masjid buat maghriban" Ibu bercerita. Aku sudah sering sih mendengar kisa ini tapi entah kenapa nggak pernah keberatan kalau harus mendengarkannya lagi.

"Sekarang gedenya masih suka bandel juga nggak, Bu?" tanyaku iseng. Satria menutupi mukanya dengan bantal sofa, malu.

"Wis jan... dia nih kalau udah main gim di kamar, susaaaaaaah biyanget dipanggil" jawab Ibu sambil berdecak pelan.

"Main COC ya, Bu?" Aku terkekeh sementara Satria hanya bisa tertunduk malu sambil senyum-senyum. "Emang nih, kalo di kampus juga hobi banget nge-game dia"

"Mbuh lah Ibu nggak ngerti nama gim-nya" Ibu menggeleng. "Oh iya toh? Jadi kalo Satria pulang malem itu karena main gim ya?" tanyanya.

"Nggak, Bu" Satria buru-buru menyela sebelum terjadi kesalahpahaman lebih lanjut. "Kan aku selalu kabarin Ibu kalo pulang malem itu buat rapat"

"Lho yo bisa aja kan kamu bilangnya rapat Senat tapi nyatanya main gim di kampus. Bener toh, Ki?" Ibu menatapku meminta dukungan atas argumennya.

Aku tertawa geli melihat Satria yang nyaris mati kutu. Aku kasih tau ya, Satria itu cuma bisa tersudut begini kalau lagi ngomong sama dua orang: Ibu dan aku. Kalau sama Ibu, Satria udah nggak bisa deh berargumen panjang lebar sambil nge-gas kayak dia kalau sama anggota BEM-nya. Seringnya malah Satria yang harus rela diam mendengarkan repetan panjang sang Ibu sampai beliau puas dan menyudahi omelannya dengan sendirinya.

Nah, kalau sama aku sih senjatanya cuma satu. Tau kan apa? Hehe.

"Udah yuk, Bu. Satria laper, tadi Ibu masak rawon kan? Pasti enak deh. Kinar juga pasti laper kan? Udah jam berapa ini, hm jam 12" Satria bangkit, berusaha menyudahi percakapan ini sebelum ocehan Ibu semakin panjang.

Ibu kayaknya nggak rela sesi mengomelnya dipotong begitu saja. Untung aku langsung berinisiatif menengahi keadaan dengan bangkit dari sofa kemudian menggiring Ibu menuju ruang makan menggunakan jurus pamungkas:

"Oh iya, Bu. Kinar tuh baru inget mau nanya sesuatu. Kemarin kan Kinar coba bikin bolu pandan pakai resepnya ibu yang waktu itu, tapi kok bolu Kinar bantet ya? Padahal yang pas Kinar bikin disini sama Ibu itu sukses lho. Iya kan, Bu? Bingung aku, apa beda tangan beda hasil ya?"

"Ah mosok sih, Ki? Udah benar toh takarannya? Telurnya tiga..."

Aku tersenyum. Jurus pamungkas, selalu berhasil.

Kami mengobrol mengenai kue bolu dengan serius sampai-sampai lupa kalau Satria juga mengikuti di belakang. Sejenak, aku menoleh ke arahnya kemudian mengerling singkat. Satria cuma tersenyum sambil geleng-geleng.

"Sat, panggilin Bapak gih kayaknya tidur deh itu di atas. Suruh turun makan dulu gitu" ujar Ibu sambil menarik satu kursi di meja makan. Aku mengikuti dan duduk di sebelah beliau.

Satria mengangguk patuh. "Siap, Ibu Suri. Ada lagi pesanannya?"

Ibu dan aku berpandangan sejenak, kemudian kompak tertawa.

"Opo toh, Le..."

Continue Reading

You'll Also Like

4.6K 1.2K 58
Takasugi Shiroichi sudah tidak mau lagi menaruh harapan pada cinta. Ia menjadi seorang Casanova demi mempermainkan hal itu, mempermainkan kaum wanita...
223K 43.1K 24
TELAH HILANG SATU UNIT KAMERA DSLR Berawal dari hilangnya spaghetti bolognese dikulkas hingga kamera DSLR di sebuah rumah kontrakkan, seluruh penghun...
5.2M 114K 19
Selain mendesain bangunan, Farel Guntoro juga mempunyai cita-cita merancang masa depannya bersama perempuan yang telah diisinya selama empat tahun te...
1M 66.4K 39
SLOW UPDATE [END] Kisah tentang seorang bocah 4 tahun yang nampak seperti seorang bocah berumur 2 tahun dengan tubuh kecil, pipi chubby, bulu mata le...