#PacarAnakBand

By mockingjaybirdx

352K 38.1K 5.1K

Rintik Senja April (April) Suka Jeffri, namanya, dan ujan-ujanan di motor. Kinara Bintang Rahayu (Kinar) Satu... More

Alisha dan Dodi #1
April dan Jeff #1
Kinar dan Satria #1
Vidia dan Wira #1
Acknowledgement
HP April Ilang?!
Lisha Nonton Dodi Manggung
Fe Jadi Supporter
Foto Masa Kecil Satria
Kejutan Ulangtahun Wira
Author's Note: Ngobrol Bareng Janu
April Kecelakaan
Fe Kebingungan
Dodi Cemburu
Satria Menyerah
Dilema Vidia
Kencan Fe dan Bram
Hari Jadi Kinar dan Satria
Weekend Bersama April dan Jeff
Alisha dan Dodi Kondangan
Vidia dan Wira: Akhir
Bonus Chapter: Unseen Transcript #1
Bonus Chapter: Bram & Bram
Bonus Chapter: Selamat Ulang Tahun, Wira
Bonus Chapter - Dodi dan Alisha: An Origin Story
Bonus Chapter: Headache
Types of Kisses: Tender
Types of Kisses: Warm
Types of Kisses: Passionate
Types of Kisses: First-Time
Types of Kisses: Last Kiss

Fe dan Bram #1

37.4K 2.8K 304
By mockingjaybirdx

"Bucil teh tarik satu!"

Kantin sore ini ramai. Ya iya lah, sekarang jam orang-orang bubaran kelas jelas aja ramai. Lagipula, ini kantin juga nyaris nggak pernah sepi kecuali lagi libur. Kalian mau kesini malem-malem juga pasti masih ada orang, apalagi kalau Jumat. Ini kantin bisa berubah jadi lounge dadakan yang dipenuhi dengan live music, asap rokok, dan plastik-plastik berisi minuman yang aku gak perlu jelasin lah ya itu apa.

"Bram" aku memanggil cowok ber-flanel coklat di hadapanku. Matanya serius menatap layar laptop yang sisi belakangnya dilapisi stiker berbagai rupa; mulai dari stiker himpunan, BEM, kepanitiaan, sampai stiker band-band favoritnya dia yang aku gak hapal-hapal juga sampai sekarang.

Kenalin, Yudhistira Bramantyo, 21 tahun, jarang keramas, suka main bass. Status: partner-nya Fe. Pacar kalau kata orang-orang sih, tapi aku lebih suka menyebut dia partner. Lebih seru aja.

"Bram!"

Yang dipanggil baru nengok saat aku menaikkan nadaku satu oktaf. Dia mencopot headsetnya dan menatapku bingung. "Manggil, Fe?"

"Headset copot dulu makanya. Gue dateng tadi pasti lo juga gak nyadar kan" aku menatapnya sinis. Nyebelinnya nggak ilang-ilang emang ini anak.

Bram lalu nyengir lebar. "Deuilah ngambek" dia mengulurkan tangannya untuk mencolek daguku. "Udahan kelasnya? Tumben?"

Aku mengangguk. Ya, tumben. Karena sekarang hari Rabu, dan setiap hari Rabu aku harus ketemu Mbak Arni dalam kelas Kesehatan Jiwa Berbasis Komunitas. Mbak Arni ini sebenarnya dosen yang menyenangkan, lulusan Chicago School of Social Work, udah S3 di usia yang muda, dan asyik banget buat diajak diskusi di luar kelas. Tapi satu, dia terlalu hobi ngajar. Saking hobinya kelas yang harusnya cuma 3 sks kalau sama dia rasanya bisa kayak 6 sks langsung dalam satu hari.

Amsyong.

"Mbak Arni tadi bilang sih dia mau ada urusan abis kelas, jadi kelasnya Alhamdulillah selesai pada waktu yang semestinya" ujarku, "Lo ngapain daritadi di sini? Nugas? Yang lain mana?"

Nggak lama setelah berondongan pertanyaan itu keluar, Bucil, ibu kantin bertubuh kecil (hence the name, Bucil) datang mengantarkan segelas teh tarik dingin dengan es yang banyak. Pesananku.

"Bucil nih saya bayar teh tarik yang tadi" Bram mengeluarkan selembar 20 ribuan dari saku flanelnya dan menyerahkannya kepada Bucil. "Sekalian sama punya dia ya" lanjutnya sambil menggestur kearahku yang lagi menyedot satu-satunya minuman manis yang aku suka di dunia ini.

Yeah, aku gak suka minum minuman manis atau minuman ber-rasa secara umum. Papa ada diabetes, jadi dari kecil semua orang di rumah dibiasain mengkonsumsi segala hal yang bebas gula, termasuk minuman. Air putih biasanya jadi pilihan utama, makanya sampai sekarang kebawa aku jadi nggak bisa, dan nggak begitu menggemari minuman apapun itu yang ada rasanya. Kecuali teh tarik.

Dan tebak apa yang bikin aku suka dengan teh tarik?

Benar sekali saudara-saudara, tidak lain dan tidak bukan adalah Yudhistira Bramantyo. Bram suka banget teh tarik. Mau itu yang asli beneran ditarik atau yang bubuk sachetan, dia kalau kemana-mana minuman yang pertama dicari pasti teh tarik. Katanya teh tarik itu minuman para dewa (biarin aja dia emang suka gitu anaknya), dan aku yang udah kelamaan main sama dia ini pun akhirnya ketularan kesukaannya pada varian teh yang satu ini.

"Tadi lo nanya apa? Oh, gue ngapain ya di sini? Nungguin lo lah. Ngapain lagi?" ujarnya lalu menutup layar laptopnya setengah, sesaat setelah Bucil berlalu pergi. "Satria, Dodi, sama Wira udah jalan tadi. Jeff masih bimbingan" Bram meraih ponselnya yang lagi di-charge di colokan dekat meja kami untuk membaca pesan-pesan yang masuk ke sana.

Aku mengangkat alis. Bingung. "Hah jalan ke mana?"

"Hm kan. Biasaan." Ia meletakkan ponsel tersebut di atas meja dan tersenyum geli menatap gue. "Lupa kan lo pasti ada apaan hari ini"

Aku berkedip. Masih bingung. "Apaan?"

"Enam Hari ada gigs, Sayang. Di acaranya Vokasi" Bram menjelaskan dengan intonasi sok sabar, pakai manggil sayang segala pula. Dia kemudian menangkup wajahku dan meremas pipiku dengan gemas. "Muka lo gak usah pongo gitu bisa gak sih. Gemes banget anjir gue sama lo haaah"

"Hmpffft"

Bram tertawa puas melihatku yang tampak struggling untuk melepaskan kedua tangannya yang lebar dari wajahku. Untungnya gak lama Bucil datang membawakan kembalian dia, jadi aku terbebas dari resiko muka benyek akibat ulah tangan bassist satu ini.

"Iyaa maaf kan gue lupa gara-gara deadline makalahnya Keswa kemarin" aku menjelaskan. "Lagian udah tau ada gigs abis ini kok kita masih di sini? Nungguin Jeffri?"

Bram mengerutkan hidungnya lalu menggeleng. "Ngapain amat nungguin dia. Udah gede ini, bisa jalan sendiri" ujarnya kemudian mengangkat ponselnya lagi, kali ini jemarinya bergerak mengetikkan sesuatu di benda kecil itu. "Kan tadi gue bilang gue nungguin lo Febriani Rahmawati"

Kebiasaan unik (borderline menyebalkan) Bram #1, dia suka mengganti-ganti nama orang seenak jidatnya. Namaku termasuk salahsatu korban rutin; kalau hari ini Febriani Rahmawati besok bisa jadi Febriana Susanti atau Febrianto Rahmanudin bahkan.

"Terus Jeffri nanti kesana naik apa?" tanyaku lagi. Tanganku sibuk memancing es batu di gelas teh tarik yang tinggal setengah ini dengan sedotan. Sedikit lagi... sedikit lagi... hap. Es batu pun berhasil masuk mulut.

"Bawa mobil dia" ujar Bram. Ia kemudian mencabut charger ponselnya dari colokan dan menutup laptopnya, memasukkan benda itu ke dalam ransel Jansport hitam di sisinya. "Udah yuk cabut. Satria udah ribut nih di grup" lanjutnya sembari beranjak dari bangku kayu meja kantin.

"Hah sekarang? Bentar bentar, es batunya belom abis" aku buru-buru menyedot teh tarik di gelasku dan melahap sisa-sisa es batu di dalamnya, kemudian menyampirkan canvas tote di bahu dan menyusul Bram berdiri.

"Kunyahin aja terus, Fe, es batunya. Bolong itu gigi baru tau rasa"

Aku cuma bisa meringis, tapi nggak menghentikan kegiatan menggigiti es batu di mulutku. Habis enak sih, gimana dong?

***

"Kita gak naik bikun aja ke Vokasi?" aku bertanya saat Bram malah melangkahkan kakinya ke area parkir motor FISIP, bukannya ke halte.

"Ntar balik lagi kesininya mager, Fe. Biar sekalian kalo bawa motor kan" ujar Bram saat kami sudah sampai di depan R-25 miliknya yang terparkir (kalau mengutip istilahnya dia) dengan ganteng diantara motor-motor bebek lainnya di parkiran itu.

Aku cuma mengangguk, tapi lalu teringat sesuatu. Kurogoh saku jeans untuk mengambil selembar uang 5 ribuan, lalu aku menyodorkannya pada Bram. "Nih buat teh tarik tadi"

Bram menatap uang di tanganku sejenak kemudian menatap wajahku. Selanjutnya dia malah tertawa. Lah, padahal kan aku serius?

"Fe, lo sama gue udah berapa lama sih? Udah ah, simpen aja. Lumayan buat naik gojek" kekehya sembari mengenakan helm di kepalanya.

Ya... gimana ya. Emang sih aku dan Bram statusnya in a relationship, tapi kan bukan berarti aku bebas ngutang sama dia. Nggak enak lagi apa-apa dibayarin cowok, ntar kalau putus apa nggak ngerasa hutang budi tuh kita sama si cowok? Aku sih nggak mau kayak gitu.

"Ih tapi kan kemaren lo udah bayarin mie ayam" aku masih memaksa sambil terus menyodorkan selembar uang itu kepada Bram.

Si tersangka malah angkat tangan, seolah itu uang adalah barang bukti pembunuhan dan dia nggak mau meninggalkan sidik jarinya di sana. Kenapa aku kepikirannya pembunuhan ya, mentang-mentang Bram anak Kriminologi nih. Jadi kebawa stereotip kan.

"Nggak mau wleee" ujarnya dengan suara teredam di balik helm full face yang dia kenakan. "Udah ah, Fe. Naik sini cepet"

Aku memutar kedua bola mata dan melompat naik keatas motornya. Dengan satu gerakan cepat kuselipkan uang 5 ribuan tadi di saku jaketnya saat kami sudah keluar dari area parkir. Nggak lama, aku mendengar Bram mengeluh.

"Feeee... seriously?"

Aku terkekeh sembari melingkarkan lengan di pinggangnya. Kusandarkan daguku di bahunya sebelum menjawab dengan ringan,

"Biarin wleeeee!"

***

A/N: Just something I do on my spare time. This is Enam Hari in another universe. And this Enam Hari is not related to the one on Domestic 6, After Six, and Songfic.

Enjoy! And tell me what do you think about this one

With Love,
F.

Continue Reading

You'll Also Like

892K 7.2K 25
one-shot gay ⚠️⚠️⚠️ peringatan mungkin ada banyak adegan 🔞 anak anak d bawah umur harap jangan lihat penasaran sama cerita nya langsung saja d baca
398K 25.7K 31
"Ugh ini dimana?" Dirinya langsung saja terduduk dan meneliti sekitar. "Ini bukan lumah Oliv" "Ini kamal bukan milik Oliv bukan lumah Oliv sama mama...
1.2M 192K 42
This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. Please do not copy or use this stor...
57.5K 11.8K 41
Tidak ada yang istimewa tapi aku berharap pantengin storynya sampai End.