Marry Me or Be My Wife (End)

By AllyParker8

4.5M 214K 6.1K

Evelyn terpaksa harus menjalani pernikahan bisnis dengan pria cuek yang sombong, Armando Alfian Brawijaya, de... More

Bab 1 - Perjodohan
Bab 2 - No Love
Bab 3 - The Broken Heart Bride
Bab 4 - Married Couple
Bab 5 - Dinner
Bab 6 - Hate, Hate, Hate
Bab 7 - Lovely Gift
Bab 8 - Party
Bab 9 - Jealousy?
Bab 10 - Mad at You
Bab 11 - Flower
Bab 12 - Sweet Time
Bab 13 - Tersesat
Bab 14 - Won't Let You Go
Bab 15 - Stuck in the Moment With You
Bab 16 - Smile For Me
Bab 17 - Problem
Bab 18 - It's Gonna be Okay
Bab 19 - Close to You
Bab 20 - Surprise Hug
Bab 21 - What is Love?
Bab 22 - Look at Only Me
Bab 23 - Cute Jealousy
Bab 24 - Unseen Storm
Bab 25 - I'll Protect You
Bab 26 - Guilty
Bab 27 - Don't Hate Me
Bab 28 - Lyra
Bab 30 - Realize (End)

Bab 29 - Hold Me

141K 6.1K 291
By AllyParker8

Hold Me

Evelyn masih memikirkan kata-kata Arman di ruang keluarga tadi. Benarkah itu? Tapi Arman tidak pernah ....

"Evelyn," panggil Arman pelan dari belakangnya.

Evelyn seketika membeku di tempatnya.

"Ini udah jam satu pagi. Kamu harus tidur," ucap pria itu.

Evelyn mengerutkan kening. Ia memanggil Evelyn hanya untuk mengingatkan jam? Bukankah seharusnya dia menjelaskan pada Evelyn lebih dulu?

Evelyn lantas memutar tubuh untuk menghadap Arman, tapi ia terkejut juga mendapati Arman sudah menghadap ke arahnya. Pria itu tampak sama terkejutnya.

"Apa ..."

"Ada yang mau aku tanyain," tuntut Evelyn.

Arman tersenyum. "Tanya aja," ia membalas santai.

"Apa yang kamu bilang di ruang keluarga tadi ... itu beneran?" tanya Evelyn dengan mata menyipit.

Arman mengangguk tanpa ragu.

"Terus, apa kamu tau kalau aku juga merhatiin kamu?" selidik Evelyn.

Arman mengangguk. "Padahal waktu itu kamu udah punya kekasih."

Evelyn berdehem.

"Karena sekarang udah ada aku, kamu jangan pernah merhatiin cowok lain, hm?" tuntut Arman tiba-tiba.

Terlalu terkejut, Evelyn tak bisa langsung menanggapi.

"Bahkan sejak pertama kali aku liat kamu, menurutku, kamu adalah cewek paling cantik yang pernah aku temui," ungkap Arman kemudian.

Jantung Evelyn seketika berdegup kencang karenanya.

"Kalau kamu udah dapatin jawaban yang kamu mau, sekarang kamu tidur, ya? Tubuhmu butuh banyak istirahat," ucap Arman seraya menaikkan selimut ke tubuh Evelyn.

"Satu lagi," Evelyn berkata. "Kenapa kamu nggak ngasih tau aku kalau aku hamil?"

Arman mematung di tempatnya, sebelum ia menghindari tatapan Evelyn.

"Sejak kapan kamu tau kalau aku hamil?" Evelyn tak menyerah.

Arman lalu mendesah berat dan akhirnya menatap Evelyn.

"Waktu kita ke villa di puncak," sebut Arman. "Aku ... takut kamu nggak menginginkan bayi kita. Karena itu, aku takut kalau kamu tau kamu hamil, kamu bakal panik, bahkan terpukul. Karena itu juga, aku nggak ngasih tau tentang masalah Ryan ke kamu. Aku ..." Arman menahan napas, ekspresinya tampak terluka, sementara sorot bersalah tampak jelas di matanya. "Maafin aku, Evelyn. Aku bener-bener nyesel, dan aku minta maaf, karena nggak bisa ngelindungin kamu sama bayi kita. Maafin aku, Evelyn."

Hati Evelyn seolah diremas saat melihat air mata Arman. Pria ini ... dia juga merasakan kehilangan yang sama dengan Evelyn. Dia juga terluka, sama seperti Evelyn.

Evelyn mengulurkan tangan, mengusap air mata di sudut mata pria itu. Arman memejamkan mata saat tangannya menggenggam tangan Evelyn, seolah itu pegangan terakhirnya.

Selama ini, Armanlah yang selalu memegangi Evelyn. Namun saat ini, di depan Evelyn, Arman tampak begitu rapuh, begitu terluka. Evelyn bergerak mendekat, menarik kepala Arman mendekat dan memeluk pria itu. Dirasakannya Arman balik memeluknya, begitu erat.

"Kita sama-sama ngelewatin masa-masa yang berat," ucap Evelyn. "Maaf, karena aku bahkan nggak ngeliat betapa terlukanya kamu karena semua ini."

Arman perlahan menarik diri dari pelukan Evelyn. Pria itu menatap tepat ke mata Evelyn saat berkata,

"Aku cinta kamu, Evelyn."

Jantung Evelyn seolah berhenti selama sedetik, sebelum berpacu tak terkendali. Apa kata Arman tadi?

Dia ... mencintai Evelyn?

"Kamu ... apa?" tanya Evelyn bingung.

Arman tersenyum. "Aku cinta sama kamu, Evelyn."

Evelyn menahan napas. "Sejak ... kapan?"

Alih-alih menjawab, Arman malah menunduk dan mencium lembut bibir Evelyn. Membuat Evelyn bertanya-tanya, kapan dan bagaimana pria ini mulai mencintainya? Apakah setelah mereka jalan-jalan ke pantai? Atau, ketika terakhir kali mereka pergi ke puncak?

Seingat Evelyn, ia lebih sering membuat masalah daripada menjadi istri yang baik untuk Arman. Jadi bagaimana ... Arman bisa mencintainya?

***

Arman tidak segera turun dari tempat tidur meski ia sudah bangun sejak tadi. Ditatapnya wajah lelap Evelyn. Ia pun teringat pertanyaan Evelyn semalam. Sejak kapan?

Arman mendengus pelan. Sejak pertama kali ia melihat Evelyn, mungkin. Arman bahkan tak ingat lagi. Yang ia tahu, setiap saat, ia jatuh cinta pada Evelyn. Bahkan ketika Evelyn membuatnya marah, ia masih bisa membuat Arman jatuh cinta juga. Separah itu, memang.

Ketika Evelyn akhirnya membuka mata, Arman menunduk dan mencium bibirnya.

"Pagi, Evelyn," sapa Arman.

Evelyn tersenyum. Alih-alih menjawab Arman, ia malah mengalungkan lengan di tengkuk Arman dan menarik Arman ke arahnya. Ciuman lembut Evelyn itu membuat Arman mati-matian harus menahan diri. Ia yang lebih dulu melepaskan Evelyn, tersengal kehabisan napas.

"Evelyn Sayang, buat beberapa minggu ke depan, tolong jangan godain aku, hm? Kita belum bisa ngelakuin lebih dari ciuman sampai beberapa minggu ke depan,"Arman mengingatkan Evelyn.

"Ah." Evelyn tampaknya baru teringat tentang itu. "Tapi barusan aku cuma nyium kamu."

Arman meringis. "Ciuman yang menggoda," tuduhnya.

Evelyn tersenyum geli.

"Aku mandi dulu, ya? Abis itu, biar aku yang siapin sarapannya," ucap Arman seraya beranjak duduk.

Evelyn menahan lengannya. "Aku aja yang masak. Aku udah lama nggak masakin kamu."

Arman tersenyum. "Aku emang kangen masakanmu, tapi buat pagi ini, biar aku yang buat sarapan. Nanti siang kita makan di luar, dan nanti malem kita masak bareng. Terakhir kali, kita belum jadi masak makan malam bareng, kan?"

Mata Evelyn berkaca-kaca, tapi ia tersenyum dan mengangguk.

Arman sudah akan turun, tapi ia kembali menoleh pada Evelyn, membungkuk dan mencium bibir Evelyn singkat.

"Aku cinta kamu, Evelyn," ucapnya.

Arman tersenyum mendapati keterkejutan Evelyn. Sepertinya, istrinya ini akan terus terkejut setiap kali Arman menyatakan perasaannya. Namun setelah ini, Arman akan mengatakan perasaannya pada Evelyn kapan pun dia ingin, setiap waktu, tanpa menutupi atau menahan diri lagi.

Setelah mandi, Arman menyempatkan mampir ke tempat tidur untuk mencium singkat bibir Evelyn, lagi, sebelum pergi ke ruang ganti. Sementara Evelyn mandi, Arman turun lebih dulu untuk menyiapkan sarapan. Di tangga, Arman melihat papanya baru keluar dari kamarnya.

"Papa kapan pulang?" tanya Arman seraya menghampiri papanya.

"Tadi subuh," jawab papanya. "Evelyn masih tidur?"

Arman menggeleng. "Mandi. Arman mau nyiapin sarapan dulu, Pa."

"Mau Papa bantuin?" papanya menawarkan.

"Mungkin Papa bisa bantu ngupasin buah," sahut Arman.

Papanya tersenyum. Arman sudah biasa memasak dengan papanya saat di villa. Jika mereka di luar kantor, papanya tidak sekejam di kantor. Sebenarnya, Arman juga cukup dekat dengan papanya. Sepertinya karena itu jugalah Lyra sampai salah paham. Gadis itu selalu berpikir jika papanya lebih menyukai dan mendukung Arman karena ia pria. Namun, papanya juga toh tak pernah berusaha mengoreksi pendapat Lyra tentang itu. Dengan harapan, itu bisa membuat Lyra lebih kuat. Cukup kuat untuk melindungi dirinya sendiri.

"Kemaren Papa ketemu Lyra?" tanya Arman.

"Nggak sempet," jawab papanya. "Tapi adikmu itu, kok dia bisa nemuin Ryan secepet itu?"

Arman tersenyum. "Sesuai harapan Papa, dia jadi cewek yang kuat, cukup buat ngelindungin dirinya sendiri. Bahkan, keluarganya."

Papanya tersenyum. "Syukurlah, kalau gitu."

"Papa tuh, sekali-sekali muji Lyra kenapa, sih? Arman nggak keberatan kalau Papa nggak pernah muji Arman. Tapi Lyra ..."

"Dia bukan anak kecil yang butuh pujian kayak gitu lagi, Arman," tepis papanya.

"Dia juga nggak pernah denger Papa muji dia sejak kecil, Pa," balas Arman. "Dan lagi, Lyra sekarang sama dulu nggak banyak berubah, kok. Betapa pun kuatnya dia sekarang, dia tetep Lyra kecil yang berusaha ngelakuin yang terbaik buat dapat perhatian Papa."

Papanya mendesah. "Kapan Papa nggak merhatiin dia?"

"Merhatiin dia diam-diam, maksud Papa? Stalking?" sindir Arman.

Papanya berdehem. "Kayaknya kamu sama Evelyn udah baikan," papanya mengganti topik.

"Arman bisa urus masalah Arman sama Evelyn," tukas Arman. "Nanti kalau Papa ketemu sama Ayah sama Ibu, bilang kalau Evelyn udah baikan. Ibu cemas banget waktu liat keadaan Evelyn di rumah sakit itu."

Papanya mengangguk. "Apa ini kamu ngusir Papa?"

"Semacam itu. Lagian, Papa kan udah lama nggak main catur sama Ayah. Mumpung lagi libur, kan?" Arman tersenyum lebar. "Besok pagi Arman sama Evelyn main ke rumah Ayah."

"Besok kamu juga mau ngusir ayah sama ibu mertuamu?" sindir papanya.

Arman mendesis kesal. "Papa tuh kadang dendaman banget emang, ya."

"Kamu sama Lyra sama aja," balas papanya.

Arman memutar mata. Yah, ia tak bisa mendebat itu. Untunglah tak lama kemudian, Evelyn muncul di dapur, menghentikan perdebatan-perdebatan tak penting lainnya antara Arman dan papanya.

"Papa ngapain ikutan masak?" tanya Evelyn sembari mengambil alih piring berisi potongan buah-buahan dari papanya.

"Kamu cemburu? Mau ikutan ngusir Papa juga?" papa Arman menyerang Evelyn juga.

"Pa, please, deh," geram Arman.

Papanya terkekeh seraya berjalan lebih dulu ke ruang makan.

"Kamu ngusir Papa?" Evelyn terpancing dengan mudah.

"Kayak aku bisa aja ngusir Papa dari rumahnya sendiri," balas Arman. "Kamu jangan terlalu percaya sama Papa."

Evelyn tersenyum geli. "Aku nggak tau, kamu bisa berantem juga sama Papa."

Arman mendecak pelan. "Nggak kamu juga," desisnya, sebelum mencondongkan tubuh dan mencium bibir Evelyn singkat.

Saat Arman dan Evelyn akhirnya duduk di ruang makan, papa Arman kembali menyerang,

"Kalian nggak ada rencana tinggal di rumah sendiri?"

"Papa ngusir Arman sama Evelyn?" Arman menuntaskan balas dendamnya.

"Daripada kamu terus ngusir Papa gini," sahut papanya enteng.

Arman mendesis kesal.

"Evelyn seneng tinggal di rumah ini. Kalau Lyra liburan kan, dia juga pulang ke sini. Kalau mau ke rumah Ayah atau Ibu juga deket," Evelyn berkata.

"Kalau gitu, Arman aja yang pindah ke rumah sendiri," ucap papanya dengan tidak masuk akalnya.

"Papa tuh ngajak ribut mulu dari tadi pagi," geram Arman. "Lagian, siapa suruh kemaren nggak nemuin Lyra? Giliran kangen sama Lyra gara-gara nggak sempet ketemu dia, Arman yang jadi sasaran. Papa tuh, selalu kayak gini, emang."

Papanya berdehem, akhirnya mengakui kekalahan.

"Kayaknya nanti kita semua perlu liburan bareng, deh," Evelyn mengusulkan.

"Nanti kita liburan berdua aja," Arman menjawab Evelyn, membuat istrinya itu mendesis pelan padanya.

Arman tersenyum geli.

"Tapi buat aku, ke mana aja, asal sama kamu, itu udah cukup," Arman berkata.

Terdengar desahan berat. Papanya.

"Iya, iya, abis sarapan nanti Papa pergi," kesal papanya.

Arman tersenyum puas sementara Evelyn melotot galak padanya. Arman bahkan masih sempat mengangkat tangan Evelyn dan mencium tangannya, membuat Evelyn memukul lengannya kesal.

Arman tergelak melihat wajah memerah Evelyn. Istrinya benar-benar manis.

***    

Note: 

Dear Beloved Readers, 

Buat yang mau baca full version Marry Me or Be My Wife (35 bab) bisa download ebook-nya di google play book (link di profil author).

Ada juga novel terbaru Author yang berjudul Dating Romance bisa dipesan di http://www.gramedia.com/dating-journey-362493.html.

Terima kasih. :) 

Continue Reading

You'll Also Like

9.8M 1.1M 60
🔥 belum sempat revisi dan cerita ini termasuk cerita pertama saya. Mohon dimaklumi kalau ada banyak kesalahan dalam penulisan. Air mata terus menga...
Abighea By cell.

Teen Fiction

32.6M 2.8M 56
Abi sayang ghea, abi juga sayang vanya. Walaupun sayang abi pada vanya hanya sebatas teman, terkadang ghea sering merasa tidak berarti karna perlakua...
232K 44K 24
TELAH HILANG SATU UNIT KAMERA DSLR Berawal dari hilangnya spaghetti bolognese dikulkas hingga kamera DSLR di sebuah rumah kontrakkan, seluruh penghun...
2.1M 194K 56
Bagi sebagian orang, mungkin proses interview melamar pekerjaan merupakan sesuatu yang menyenangkan. Tapi tidak bagiku, aku yang kadar paniknya suka...