The Sacred Witcher Act I: The...

By _ROGUE__

33K 2.4K 116

Di suatu era yang masih berada jauh dari modern, seorang gadis muda, Lilith Brooker, tiba di sebuah kota terk... More

Runaway
Nirva
Ruin City
Unusual Encounter
Awake (Part 1)
Awake (Part 2)
The Cursed One (Part 1)
The Cursed One (Part 2)
The Cursed One (Part 3)
The Cursed One (Last Part)
Pesan dari Penulis
Seal the Hellgate!
Disintegrated
Clearance
Special Guest
Dream (Part 1)
Dream (Part 2)
Dream (Last Part)
Pesan dari Penulis
Vannya
Inside Her
Contract
Resus (Part 1)
Resus (Part 2)
Resus (Part 3)
Pesan dari penulis
Resus (Part 4)
Resus (Part 6)
Scorch
Pesan dari Penulis

Resus (Part 5)

485 39 5
By _ROGUE__

Titik hujan terdengar deras, mengetuk-ngetuk kaca jendela ruangan. Merah padam, itulah warna betis sang pendekar. Mengeras layaknya beton, keram mencekam kakinya yang kelelahan menyepak air. Di dalam ruangan kantor klinik, di atas bangku kayu nan panjang, Claude duduk menyamping dengan posisi kaki yang lurus, membiarkan Mykie mengolesi betisnya dengan serbuk rempah-rempah yang diramu.

"Kau beruntung sekali," ujar Mykie, "otot betismu hampir saja sobek, tapi jangan khawatir, dengan ramuan ini betismu akan sembuh dengan cepat."

Claude menahan pedih dalam seringainya di gigi, sakit bukan main ketika rempah-rempah menyentuh betisnya yang cedera. Begitu panas, terbakar layaknya bara, namun sang pendekar menahan rintihnya pada tangannya yang mengepal begitu erat.

"Bicara soal Resus," sambung Mykie, "menurutmu apakah kita harus membunuhnya?"

"Ssshhh, sama sekali tidak," balas Claude disertai desis. "Kuingatkan sekali lagi, Danau Qimasha terkontaminasi oleh zat kimia, bukan racun hewani."

Mykie meraih gulungan perban di atas meja tak jauh darinya, lalu membentangkannya lebar-lebar sebelum akhirnya membalut betis sang pendekar hingga berlapis-lapis tebalnya.

"Lagipula, mustahil seekor Nirva mampu mengeluarkan zat semacam itu," tambah Claude.

"Sekalipun jika racun itu berasal dari pabrik tekstil yang kau sebutkan itu, kau pikir bagaimana bisa mereka membuang limbahnya sejauh lebih dari 300 meter ke danau itu?"

"Sederhana saja, pipa pembuangan." Claude meletakkan kedua tangannya di atas pahanya sendiri. "Pipa itu pasti terletak di bawah permukaan air, itu sebabnya tak ada yang bisa melihatnya."

"Bagaimana denganmu? Kau sempat melihat pipa itu?"

Claude memalingkan wajah menghadap titik-titik air yang hinggap di jendela. "Tidak, itu hanyalah asumsi, tapi itulah satu-satunya kemungkinan logis yang dapat kupikirkan. Untuk itu, aku harus kembali ke Danau Qimasha untuk memastikan."

Sampai pada balutan terakhir, Mykie meraih gunting di meja yang sama, lalu memotong sisa perban yang tak lagi terpakai, kemudian menggulungnya dan meletakkannya kembali bersama dengan guntingnya di atas meja.

"Selesai," ujar Mykie.

Usai dengan perawatannya, Mykie beranjak merapikan bahan dan peralatannya di atas meja. Satu persatu, ia mengambil mortar, alu, gunting, dan sisa gulungan perban yang tak lagi diperlukan, mengumpulkan semuanya di atas tangannya yang berdekap di bawah dada, lalu membawanya mendekati rak kayu tak jauh dari pintu ruangan. Sampai di depan rak, Mykie mengambil posisi berlutut di atas lantai, lalu menarik gagang laci yang terletak pada ruas paling bawah, dan memasukkan semua peralatannya ke dalam laci.

Di sisi lain, Claude menurunkan kakinya dari bangku, menyetak jejak di atas lantai yang serupa, lalu mendorong tubuhnya ke atas untuk bisa berdiri. Susah payah, ia bangkit dengan kaki gemetar, dibantu dengan tangannya yang menopang separuh tubuhnya, bertumpu pada lengan bangku tak jauh dari tempatnya menapakkan kaki. Sadar akan hal itu, Mykie dengan tegas mengingatkannya untuk tidak berdiri.

"Hei!" sahut Mykie. "Kau tak seharusnya mencoba untuk berdiri."

"Tak apa." Claude melepaskan tangannya dari lengan bangku. "Aku hanya ingin membiasakan kakiku. Aku tak aka—"

Dentingan lonceng mendadak memotong, menggema dan menggelegar keras layaknya sebuah peringatan, terdengar beruntun tanpa henti dari luar sana, memaksa Claude untuk bungkam sampai lonceng berhenti berdentang. Tak lama, terlihat cahaya merah yang menerawang jendela, diikuti rentetan suara langkah kaki di atas jalan berlumpur, bersama dengan teriakan pedih dalam napas yang terisak di luar sana. Sang pendekar termenung dalam sunyi. Mykie perlahan membangkitkan tubuhnya dari lantai, menatap kaku ke luar sana melalui jendela yang diguyur hujan.

"Apa yang terjadi di luar sana?" tanya Claude siaga.

Buru-buru, Mykie melangkah cepat menghampiri jendela, mengintip ke luar sana, menerka seluk beluk pemukiman desa yang tak sengaja membuatnya membelalakkan mata. Dirinya pun mematung dengan tangan gemetar, napasnya memburu tanpa sebab berarti, jemarinya menutup bibirnya yang hendak terbuka, rasa takut terpampang jelas pada wajahnya yang mendadak menitihkan keringat.

"Oh Tuhan," ucap Mykie.

"Ada apa?" Penasaran, Claude pun melangkahkan kaki mendekati jendela yang sama, mengintip keluar di samping Mykie, menyaksikan cahaya merah yang menyala-nyala jauh di sana. Terlihat api raksasa yang ganas berkobar di penjuru desa, bersama asap hitam nan tebal yang mengepul di tengah derasnya badai. Mykie terperangah dalam gundah, dirinya membeku di dekat jendela, takjub akan apa yang terjadi di luar sana, bencana yang mendadak datang tanpa sedikitpun peringatan.

"Cla... Claude," panggil Mykie kaku. "Apa itu?"

Mykie dengan tangan gemetar mengacungkan telunjuknya ke depan sana, ke arah asap yan—tidak, bukan! Ia menunjuk sesuatu yang lain. Sesuatu yang hidup, makhluk raksasa yang tengah berlari menerobos gumpalan asap di sana. Ia melangkah cepat di atas atap bangunan dengan empat kakinya, melompat dari satu atap ke atap lainnya seraya meraung ganas hingga menciptakan gema. Matanya menyala terang layaknya purnama. Tubuhnya menjulang tinggi, berpostur kokoh layaknya serigala—dengan dua buah kepala yang menempel pada satu lehernya.

"Itu...," tanggap Claude.

Makhluk itu, Claude teringat akan dirinya yang pernah melihat makhluk sejenis itu, seekor Nirva yang pernah dibunuhnya, Nirva berkepala ganda yang hampir merenggut nyawa dua orang pemburu di perbatasan Ruin City.

"Nirva," jawab Claude.

"Nirva?" Mykie mengernyitkan dahi. "Maksudmu... makhluk seperti Resus?"

"Ya, hanya saja berbeda jenis. Aku pernah bertarung melawan jenis yang sama dengan yang itu."

Tak berselang lama, raungan yang sama terdengar menggelegar dari sisi yang berbeda, mengiringi rintih dan teriakan dari mereka yang berlari dalam keputusasaan. Jauh di penjuru desa yang lain, gerombolan Nirva yang serupa— berkepala ganda layaknya yang pertama—terlihat berlari-lari di atas atap bangunan. Sebagian di antaranya turun ke jalan, memburu, mencabik, dan mengunyah orang-orang yang berlarian tanpa tahu arah melangkah. Lumpur bercampur darah menodai jalanan, penuh jejak dari mereka yang terbirit-birit melindungi nyawanya.

"Mykie," panggil Claude tegas, "dengarkan aku baik-baik, aku ingin kau menjaga semua orang di sini."

"Apa yang kau bicaraka—"

"Dan pastikan tak ada seorang pun yang pergi dari sini." Claude melangkahkan kaki mengitari Mykie, mendekati pintu di dekat rak kayu tak jauh darinya.

"Kau mau ke mana?" Mykie buru-buru menarik lengan sang pendekar sebelum tangannya meraih gagang pintu.

"Orang-orang di luar sana membutuhkan seseorang sepertiku."

"Tapi—"

"Untuk itu aku harus menolong mereka." Claude dengan halus melepaskan lengannya dari tangan Mykie, lalu bergegas menarik gagang pintu dan berlari ke ujung lorong, di mana anak tangga yang hendak mengantarkannya ke bawah berada.

Sampai di lantai bawah, Claude melanjutkan larinya ke depan, menerobos lorong yang mendadak ramai, penuh akan orang-orang berbaju kuyup dan ketakutan, menahan gelisah dan bimbang yang menghantui batinnya masing-masing. Para wanita mendekap anaknya sambil menangis, sedangkan para pria hanya bisa berdiam menahan gelisah untuk sejuta alasan.

Tanpa menghiraukan duka di sekelilingnya, Claude pun terus melanjutkan langkahnya ke depan, menerobos orang-orang yang diam tak berbuat di sepanjang lorong, menuju pintu ruangan di ujung sana, tempat di mana Eterna menemani Lilith yang tengah berada dalam perawatan.

"Eterna!" Claude yang baru saja sampai, segera menerobos masuk ke dalam ruangan.

Eterna yang tengah berdiri di dekat kaca jendela tersentak kaget. Buru-buru ia memalingkan kepala, menatap risau majikannya yang baru saja menerobos masuk.

"Claude?" panggil Eterna dengan nada bertanya. "Apa yang terjadi?"

"Gerombolan Nirva menyerang desa ini," jawab Claude buru-buru, "kita harus bergegas sebelum mereka menghabisi semuanya."

"Tapi, bagaimana dengan Lilith?" Eterna menadahkan tangan ke arah Lilith yang tampak kebingungan di atas ranjangnya.

"Dengarkan aku—" Claude berjalan mendekati Eterna, "—ada banyak orang di luar sana yang jauh lebih membutuhkan kita."

"Tapi—"

"Eterna," panggil Lilith seraya meraih tangan kiri Eterna. "Pergilah, aku akan baik-baik saja di sini."

Ramainya kericuhan menggantikan obrolan, Eterna terdiam kaku dalam pikirannya yang tengah melayang. Sadar akam bimbang yang menghantui pikirannya, Lilith meraih dan mengusap tangan Eterna halus-halus dengan sepuluh jemari. Sadar akan waktu yang semakin banyak terbuang, Claude pun meraih tangan Eterna yang lain, lalu dengan kasar menariknya dan memaksanya untuk ikut melangkah keluar. Sesaat kemudian, Claude menghentikan langkahnya setelah dirinya sadar akan Eterna yang berusaha melawan.

"Ayo!" ajak Claude tegas. "Apa lagi yang kau tunggu?"

Eterna masih terdiam tanpa ucapan, raut wajahnya yang menjadi-jadi seakan berkata bahwa ia tak mau melangkah keluar. Sedalam mungkin ia menatap Claude dan Lilith bergantian, matanya menunjukkan pertimbangan kritis yang menyelubungi pikirannya. Lidahnya belum siap menjawab, namun Claude kembali menarik tangannya dengan paksa. Sekali lagi, Eterna melawan majikannya, melepaskan tangan dari genggamannya yang erat sebelum akhirnya menegaskan, "Kau tak perlu menarikku seperti itu!"

Eterna lekas meletakkan kedua tangannya di dada, menutup mata sebelum cahaya benderang menyelubungi sekujur tubuhnya dalam sekejap. Wujudnya pun berubah seketika, sosoknya yang manusiawi berganti menjadi sebilah pedang perkasa yang melayang di udara.

"Lilith, tunggu di sini!" Claude dengan sigap menggenggam Eterna dengan tangan kanannya, lalu mengibaskannya di udara dengan gerakan memecut. Api kecil berwarna kehitaman  menyelubungi bilahnya, sang pendekar bergegas membalikkan badan sebelum akhirnya menghilang dalam sekejap ketika sihirnya membawanya ke tempat lain.

***

Continue Reading

You'll Also Like

129K 14.2K 15
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 3) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ____...
339K 19.5K 21
Tak pernah terbayang olehku akan bertransmigrasi ke dalam novel yang baru aku baca apalagi aku menempati tubuh tokoh yang paling aku benci yang palin...
1.2M 88.2K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
3.7M 360K 95
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...