Marry Me or Be My Wife (End)

By AllyParker8

4.5M 213K 6.1K

Evelyn terpaksa harus menjalani pernikahan bisnis dengan pria cuek yang sombong, Armando Alfian Brawijaya, de... More

Bab 1 - Perjodohan
Bab 2 - No Love
Bab 3 - The Broken Heart Bride
Bab 4 - Married Couple
Bab 5 - Dinner
Bab 6 - Hate, Hate, Hate
Bab 7 - Lovely Gift
Bab 8 - Party
Bab 9 - Jealousy?
Bab 10 - Mad at You
Bab 11 - Flower
Bab 12 - Sweet Time
Bab 14 - Won't Let You Go
Bab 15 - Stuck in the Moment With You
Bab 16 - Smile For Me
Bab 17 - Problem
Bab 18 - It's Gonna be Okay
Bab 19 - Close to You
Bab 20 - Surprise Hug
Bab 21 - What is Love?
Bab 22 - Look at Only Me
Bab 23 - Cute Jealousy
Bab 24 - Unseen Storm
Bab 25 - I'll Protect You
Bab 26 - Guilty
Bab 27 - Don't Hate Me
Bab 28 - Lyra
Bab 29 - Hold Me
Bab 30 - Realize (End)

Bab 13 - Tersesat

133K 6.8K 229
By AllyParker8

Tersesat


Arman menemani Evelyn berkeliling villa lebih dulu sebelum pergi. Gadis itu bergumam kagum saat Arman membawanya ke beranda lantai dua villa. Ketika Arman membawanya ke kamar Arman, ke berandanya yang menghadap ke belakang villa, gadis itu mendadak menyebutkan tentang betapa beruntungnya Arman.

"Kamu bisa make kamar ini. Aku bakal tidur di kamarnya Lyra," Arman berkata.

Evelyn menoleh kaget padanya.

"Kita nggak sama-sama tidur di kamar ini?" tanyanya.

Arman mengangkat alis. "Kamu pengen tidur sama aku?"

"Apa aku gila?" sambar Evelyn. "Aku mau tidur di kamarmu di rumah juga kan karena orang-orang rumah."

Arman tersenyum geli, mengangguk. "Di sini cuma ada penjaga villa. Dia biasanya pulang ke rumahnya kalau aku, Lyra atau Papa ke sini. Dan nggak ada orang lain lagi di sini. Papa cuma manggil orang buat bersihin rumah pas kita nggak ada aja. Tapi kalau kita di sini, Papa ngasih kita jadwal buat gantian masak, bersihin rumah. Dengan gitu, kita jadi ngabisin lebih banyak waktu bareng-bareng."

Evelyn mengangguk-angguk. "Kita juga harus ngelanjutin tradisi itu, kan?"

Arman tersenyum geli. "Kamu nggak perlu ngelakuin apa pun. Riani bisa masak. Biar dia yang beresin semuanya."

Evelyn menggeleng. "Nanti kita bisa bagi tugas. Nggak perlu khawatir," ucapnya. "Aku kan juga udah belajar masak."

Arman mengangkat alis. "Sejauh ini, apa aja yang udah kamu pelajari?"

"Nasi goreng," jawab Evelyn penuh percaya diri.

Arman tak dapat menahan senyumnya.

"Kita mau makan nasi goreng tiap hari selama di sini? Tiga kali sehari?" tanya Arman.

Evelyn mendesis kesal. "Jangan ngeledek. Resep makanan lainnya nanti aku pelajari sendiri pas masak."

Arman segera menggeleng. "Nanti malem aku yang masak, jadi kamu cuma perlu nyiapin makan siang buat kamu sama Riani. Jangan masak macem-macem, kasihan Riani."

Evelyn kembali mendesis kesal. "Emangnya kamu bisa masak?" Ia menatap Arman tak percaya.

"Lyra nggak bisa masak, soalnya. Bisanya cuma ngeributin aku mulu tiap kali aku masak," balas Arman.

Evelyn mengangkat alis. "Oke, kalau gitu, nanti malem kamu yang masak."

Arman tersenyum dan mengangguk. "Jadi, selama aku pergi, jangan buat masalah dan bikin Riani repot, oke?"

"Berhenti nganggep aku pembuat masalah," protes Evelyn.

"Nanti, begitu kamu nggak lagi buat masalah," janji Arman, membuat Evelyn menatapnya sebal.

Arman lantas keluar dari kamarnya lebih dulu dan ia merasakan Evelyn mengikutinya. Di teras, Arman berbalik untuk berpamitan pada Evelyn.

"Aku bakal balik sebelum makan malam," Arman berkata.

Evelyn mengangguk. "Semoga acaramu lancar," balasnya.

Arman tersenyum. Ia sudah berbalik dan berjalan menuruni undakan teras ketika Evelyn memanggilnya. Arman berbalik dan menatap gadis itu berdiri di undakan teratas teras.

"Kamu langsung pergi?" tanya Evelyn.

Arman mengerutkan kening, lalu dilihatnya Evelyn melirik ke arah penjaga villa yang masih ada di halaman depan. Tadinya ia sedang membersihkan daun-daun di halaman depan, tapi kini ia mengamati Arman dan Evelyn.

Arman mendengus pelan dan menghampiri Evelyn. Berdiri satu anak tangga di bawah Evelyn, Arman mendekatkan wajahnya ke wajah Evelyn dan mengecup bibir gadis itu singkat. Evelyn melotot kaget ke arahnya.

"Sampai nanti," pamit Arman, sebelum berbalik dan masuk ke mobil. Saat Luki membawa mobilnya keluar dari halaman villa, Arman melihat dari kaca spion, Evelyn masih menatapnya, satu tangannya terangkat menyentuh bibirnya. Gadis itu benar-benar menggemaskan.

Arman mendapati dirinya terus tersenyum dalam perjalanan menuju tempat pertemuan. Luki kemudian berkomentar,

"Untung Pak Arman kemaren bawain bunga buat Bu Evelyn."

Arman tersenyum mendengarnya.

"Bu Evelyn nggak mungkin nggak maafin Pak Arman abis nerima tulip putihnya," lanjut Luki.

Arman mengangguk. "Karena dia suka bunga, dia juga tau artinya bunga-bunga itu."

Karena itulah Arman membeli tulip putih juga untuk Evelyn kemarin. Namun, ketika teringat alasan Evelyn menyukai lilac ungu, Arman tersenyum geli. Cinta pertama? Apa hebatnya menjadi cinta pertama seseorang? Evelyn bahkan tak menyadarinya.

"Hari Minggu nanti, apa Pak Arman yakin, Pak Arman hanya akan pergi berdua dengan Bu Evelyn?" tanya Luki kemudian.

"Iya. Aku nanti bakal pergi sama Evelyn. Kamu sama Riani bisa istirahat, atau jalan-jalan. Terserah kalian," Arman menjawab.

"Tapi, Pak ..."

"Aku sama Evelyn bakal baik-baik aja," Arman menenangkan Luki.

"Tapi Bu Evelyn ..."

"Selama aku di sampingnya, aku bakal mastiin dia nggak buat masalah," Arman kembali menyela. "Justru pas dia jauh dari aku gini aku khawatir."

"Bu Evelyn emang sulit ditebak, Pak," celetuk Luki.

"Nanti aku sampaiin ke Evelyn," Arman menanggapi.

Luki berdehem. "Maaf, Pak. Saya nggak bermaksud ..."

"Nggak usah ngelak," sela Arman geli. "Aku tau kamu juga dibuat frustasi ama tingkahnya. Dia bahkan maksa Riani make gaun kayak gitu. Aku berutang maaf sama Riani buat itu, tapi aku juga berutang terima kasih sama Evelyn buat itu."

Luki meringis. "Untung Riani nggak denger itu."

"Anggap kita impas, oke?" sahut Arman santai. "Dan besok Minggu, jangan lupa ajak Riani jalan-jalan. Aku bakal minta Evelyn dandanin dia."

"Ap ... apa, Pak?" Luki terdengar kaget, sekaligus panik.

"Salah satu alasan kenapa aku manggil Riani, bukan cuma Evelyn. Jadi kamu juga, manfaatin kesempatan yang aku kasih ini," Arman berkata. "Dan jangan ikut-ikutan jadi pemuja gengsi kayak Evelyn."

Luki berdehem, tapi tak mendebat. Arman mendengus geli. Sampai kapan Luki akan menutupi perasaannya pada Riani dengan bersikap menyebalkan di depan Riani? Dasar bodoh.

***

"Kamu mau masak?" Evelyn menatap Riani ragu.

Riani mengangguk. "Bu Evelyn istirahat aja. Saya akan belanja dulu dan masak buat makan siang."

Evelyn berpikir sejenak. "Oke, aku bakal bersih-bersih rumah," ucapnya.

Riani menatap sekeliling villa itu. "Ini udah cukup bersih, Bu. Tadi pagi kayaknya udah dibersihin. Jadi, Bu Evelyn istirahat aja."

Evelyn mendecak pelan. "Iya, iya, aku tau. Udah, kamu pergi sana," usirnya.

Riani tersenyum dan mengangguk. Gadis itu lantas pamit untuk keluar sebentar.

Sepeninggal Riani, Evelyn duduk di teras. Ketika dilihatnya serombongan anak kecil lewat di depan sana, Evelyn teringat saat ia dan Ryan berlibur ke villa dulu. Mereka biasanya bermain dengan anak-anak yang tinggal di perkampungan dekat villa.

Merasa tertarik dengan anak-anak tadi, Evelyn lantas mengejar anak-anak itu. Ia mengikuti mereka beberapa meter di belakang sembari mendengarkan cerita mereka.

"Udah aku bilang, ada hantunya di rumah itu," salah seorang anak laki-laki berkata.

"Aku nggak percaya sama begituan," jawab si anak perempuan dengan rambut dikucir kuda.

"Liat aja, nanti kalau kamu liat, pasti kamu bakal pingsan," anak laki-laki lainnya berkata.

"Nanti kalau beneran ada hantunya gimana, Ra? Aku takut," anak perempuan lain yang berambut pendek sebahu berkata.

"Nggak usah takut, Rin. Hantu itu nggak ada," si anak perempuan pertama berkata.

Evelyn terus mendengarkan perdebatan mereka sembari mengikuti. Mereka masuk ke arah hutan tak jauh dari villa tadi. Evelyn bergumam kagum mendapati dirinya berada di hutan itu. Udaranya sangat segar di sini. Sejuk pula. Meski agak dingin juga. Evelyn menyesal tadi tidak memakai jaket ataupun cardigan-nya.

Anak-anak itu berjalan cukup jauh, sampai mereka tiba di sebuah rumah kayu yang cukup besar. Evelyn tersenyum geli ketika anak-anak itu heboh dengan hantunya. Mendadak, ide usil berkelebat di kepala Evelyn. Ia menarik rambutnya ke depan, mengacaukannya, lalu mengendap-endap ke belakang anak-anak itu.

Evelyn menepuk pundak salah satu anak itu. Ketika anak itu berbalik dan melihat Evelyn ia menjerit ngeri. Anak-anak lain ikut menoleh dan menjerit keras. Anak-anak itu lantas berlari ke arah mereka datang tadi. Evelyn tergelak puas seraya menyibakkan rambutnya, tapi anak-anak itu sudah tidak tampak.

"Hei!" Evelyn berseru. "Aku bukan hantu! Aku cuma bercanda!"

Namun tak ada jawaban. Evelyn mendengus tak percaya. Apa ia ditinggal sendirian di sini? Well, memang tadi dia tidak meminta izin untuk ikut juga, tapi mereka tidak bisa meninggalkan Evelyn sendirian di tengah hutan begini, kan? Evelyn bahkan tidak tahu jalan.

"Anak-anak! Jangan pergi!" Evelyn kembali berteriak, tapi masih tak ada jawaban.

Evelyn mendesis kesal. Dasar anak-anak penakut.

Evelyn menoleh ke arah rumah kayu tadi. Apa seramnya rumah itu? Evelyn sudah akan berjalan ke rumah itu, ketika seseorang menepuk bahunya, dan saat Evelyn berbalik, dilihatnya seorang nenek-nenek bertubuh pendek, rambutnya putih, berdiri di sana.

Evelyn lantas teringat cerita hantu anak-anak tadi. Jangan-jangan ....

Tanpa mengatakan apa pun pada nenek itu, Evelyn memutar tubuh dan berlari menjauh dari hantu itu. Ia bahkan tak peduli meski ia masuk semakin jauh ke dalam hutan. Pikirnya, ia harus lebih dulu menjauh dari rumah hantu itu.

Evelyn baru berhenti berlari ketika merasa ia sudah berada cukup jauh dari rumah itu. Namun kini ia benar-benar tak tahu di mana ia berada. Yang jelas, ia berada di tengah hutan. Ke mana pun ia melihat, ia hanya bisa melihat pepohonan tanpa akhir.

Evelyn terengah kehabisan napas, kelelahan, dan akhirnya memerosotkan tubuh ke tanah, duduk bersandar di salah satu pohon. Selama beberapa saat, Evelyn hanya mendongak, menatap langit dari sela-sela ranting dan dedaunan di atasnya.

Begitu ia sudah merasa lebih tenang, barulah Evelyn kembali mengamati sekitarnya. Ia berusaha mengingat-ingat, dari mana arah dia datang tadi. Menetapkan hati, Evelyn kembali berdiri dan berjalan ke arah datangnya tadi, tapi ke jalan lain yang tidak menuju ke rumah hantu tadi.

Evelyn tak tahu berapa lama, berapa jauh ia berjalan, tapi ia masih belum melihat akhir dari hutan itu. Udara semakin terasa dingin ketika langit semakin gelap. Sepertinya hari sudah sore. Evelyn benar-benar lelah, sungguh. Ingin rasanya ia berhenti di sini, menunggu ada orang menemukannya. Arman pasti akan mencarinya jika tahu dia tidak ada di villa.

Evelyn benar-benar berharap Arman akan menemukannya. Ia sudah putus asa mencari jalan keluar. Ia kedinginan, kelelahan, dan ... lapar. Evelyn menunduk menatap perutnya yang berbunyi. Ia belum makan siang.

Benar-benar putus asa, akhirnya Evelyn menghentikan langkah. Kembali ia duduk di tanah, bersandar ke salah satu pohon. Namun kini, ia memanggil satu nama dengan keras, berharap pemilik nama itu akan mendengarnya.

"Arman!"

*** 

Continue Reading

You'll Also Like

161K 13.4K 21
[COMPLETEDβœ”] "Oh di jo- HAH?! APA?!" πŸ”₯Park Jihoon// λ°• μ§€ν›ˆ πŸ”₯Park Jura// λ°• 주라 Highest rank: #18 in short story #18 in Wannable #2 in Jihoon
2.5M 50.4K 31
Terdesak oleh keadaan membuat Arya memutuskan untuk menikahi perempuan yang menaruh hati padanya, Kayla. Hingga suatu ketika, tiba-tiba saja Arya te...
1.8M 87K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
6.3M 327K 59
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...