The Sacred Witcher Act I: The...

By _ROGUE__

33K 2.4K 116

Di suatu era yang masih berada jauh dari modern, seorang gadis muda, Lilith Brooker, tiba di sebuah kota terk... More

Runaway
Nirva
Ruin City
Unusual Encounter
Awake (Part 1)
Awake (Part 2)
The Cursed One (Part 1)
The Cursed One (Part 2)
The Cursed One (Part 3)
The Cursed One (Last Part)
Pesan dari Penulis
Seal the Hellgate!
Disintegrated
Clearance
Special Guest
Dream (Part 1)
Dream (Part 2)
Dream (Last Part)
Pesan dari Penulis
Vannya
Inside Her
Contract
Resus (Part 1)
Resus (Part 2)
Resus (Part 3)
Pesan dari penulis
Resus (Part 5)
Resus (Part 6)
Scorch
Pesan dari Penulis

Resus (Part 4)

473 44 8
By _ROGUE__

Lemas hampir tak bersuara, Lilith dengan susah payah membuka kelopak matanya yang dibebani kantuk yang hebat. Pelan-pelan pupilnya terbuka, namun buru-buru kembali menutup ketika mentari tak sengaja menyilaukan matanya yang menghadap jendela di sisi timur. Sekejap, dirinya pun berkedip silau, lalu menolehkan kepala ke atas, menghadap langit-langit berbahan kayu yang menaungi tempatnya berbaring sunyi.

Sedikit risih menyelubungi hatinya, sadar akan otaknya yang tak bisa mengingat apa yang terjadi di masa lampau. Buru-buru ia mencari memori akan apa yang terjadi pada detik-detik terakhir dirinya membuka mata. Samar-samar ingatannya, satu-satunya hal yang terlintas dalam benaknya hanyalah rasa sakit yang sempat mencekam perutnya, rasa yang kini telah hilang entah bagaimana.

Pelan-pelan, Lilith meraih perutnya yang datar, merabanya dan mengusapnya halus-halus hingga dirinya sadar akan apa yang menyelimuti separuh tubuhnya. Tekstur yang agak kasar dan tebal, kain yang dijahit hingga berlapis-lapis tebalnya, helaian flanel putih nan hangat menyelimuti separuh tubuhnya yang terkulai di atas ranjang kelabu.

Buram di mata perlahan menghilang, Lilith memutar lehernya ke sisi kiri ranjangnya, lalu mendapati sekuntum bunga berduri dalam sebuah vas di samping kepalanya berbaring. Mahkotanya separuh menguncup, layu dan berwarna keruh, terlihat mati walau mentari telah menyorotnya tajam-tajam.

Tak jauh di sampingnya, seorang wanita terduduk santai di atas kursi kayu yang kusam. Rambut hitamnya melambai sunyi ketika angin kecil menyerobot masuk melalui jendela. Di pangkuannya, sebuah buku yang terbuka dalam posisi terbalik, tebal dan kecil, sampulnya terlihat tua dan mengabur.

"Eterna," panggil Lilith dalam keadaan separuh sadar, suaranya tak cukup keras untuk membuat Eterna menoleh.

Eterna, di sanalah ia bernapas, duduk dengan kaki yang melipat di samping tempat Lilith berbaring. Tak lama, Eterna menjulurkan tangannya ke arah bunga di atas meja, lalu membisikkan suatu frasa berbahasa asing, layaknya satu lantunan mantra. Gumpalan asap-bukan! Gumpalan aura hitam-berbentuk layaknya asap cerutu-muncul secara misterius, lalu menyelubungi jemarinya yang membentang ke depan. Auranya pelan-pelan bergerak layaknya awan yang tertiup angin, menyelubungi bunga yang layu tak bernyawa sebelum akhirnya terhisap oleh mahkota bunga yang menguncup.

Sesaat kemudian, Eterna pelan-pelan menolehkan kepala menghadap Lilith yang tampak kesulitan membuka kelopak matanya. Eterna pun tak sengaja mendelikkan mata ke arahnya dengan mulut yang separuh terbuka.

"Oh! Kau sudah bangun?" Eterna yang tampak sedikit terkejut, segera menarik tangannya ke dekat perut, menutup buku di pangkuannya, lalu meletakannya di dekat vas bunga di atas meja.

"Di mana ini?" Lilith meletakkan tangannya di atas dahinya sendiri.

"Ruang rawat," jawab Eterna singkat. "Kemarin, kau pingsan lagi."

"Lagi?" Lilith mendorong dadanya ke atas, lalu menempatkan tubuhnya pada posisi duduk.

"Bagaimana bisa?" tanya Lilith penasaran.

Eterna menebar senyum yang canggung seraya menggaruk pelipisnya dengan ujung telunjuk, lalu mengacungkan telunjuknya yang lain ke bawah, ke dekat perutnya sendiri, ke arah sesuatu yang berada di antara kedua pangkal pahanya yang merapat, lalu berkata, "Kemarin, kau mengalami pendarahan di... bawah... sini. Kau... mengerti maksudku?"

"Err...." Lilith perlahan mengangkat tepian selimutnya, lalu mengintip bagian bawah tubuhnya yang rupanya dibalut perban berlapis tebal. Di saat yang sama, angin kecil datang menyela di tengah obrolan, bersama bayang-bayang yang perlahan menyelimuti seisi ruangan, mengusir cahaya yang seharusnya membuat pagi terlihat cerah. Awan hitam nan tebal rupanya datang tak diundang, menghalangi mentari yang cerah bersinar di antara awan-awan yang serupa. Lilith menolehkan kepala menghadap jendela yang sama, memandang awan hitam yang bergulir di atas sana, awan gelap yang tampak siap menitihkan air hujan.

"Omong-omong, di mana Claude?" tanya Lilith sambil menutup selimutnya kembali.

"Sedang mengurus sesuatu." Eterna meraih bukunya kembali di samping vas bunga, lalu membuka lembar halaman yang pojoknya terlipat.

"Apakah ia sibuk... karenaku?"

"Tidak, ia sibuk karena hal lain." Eterna mengangkat bukunya sejajar dengan dada. "Ada sebuah kontrak yang harus ia selesaikan."

"Kontrak? Dengan siapa?"

"Err... bagaimana aku menjelaskannya ya?" Eterna menggaruk-garuk pelipisnya. "Jadi begini, kau tahu akan kutukan yang berpindah padaku ini, bukan?"

Lilith menjawab dengan mengangguk polos.

"Singkat cerita, aku dan Claude bertemu dengan Mykie kemarin," jelas Eterna, "dan wanita ini dipercaya mampu mengangkat kutukan ini dari kakiku."

"Lalu?" Lilith memiringkan kepala.

"Ia membuat sebuah kontrak dengan Claude. Perjanjiannya adalah Claude harus membunuh seekor Nirva di Danau Qimasha dan Mykie akan menyembuhkanku."

"Apa Claude sudah membunuh Nirva itu?"

"Err..., dia dan AKU sudah mencobanya, tapi-" Eterna menggaruk-garuk leher belakangnya sambil tersenyum kecut, "-semuanya berakhir tak sesuai harapan, hehehe...."

Tetesan air terdengar berdetik pelan di luar jendela, beriringan dengan terdengarnya gema dari guntur yang menggelegar jauh di ufuk timur. Tak lama, jutaan titik air pun jatuh bergemuruh, keras dan semakin keras, hujan deras dengan cepat mengguyur seisi desa. Air pun menggenang pada permukaan kosen kayu ruangan, tirai jendela yang tergulung di dinding melambai-lambai tertiup angin.

"Hujan?" bisik Lilith.

Sadar akan hujan yang mendadak turun beramai-ramai, buru-buru Eterna membangkitkan diri dari kursinya, berlari mengitari ranjang ke dekat jendela, lalu menutup kacanya dengan segera. Suara hujan pun meredam seketika, terdengar titik-titik air yang dengan beruntun membentur kaca jendela. Ruangan pun dipenuhi bayangan, gulita membuat semuanya berwarnakan hitam yang pekat, hampir tak terlihat dalam pandangan yang telanjang, hanya remang cahaya yang berhasil menerobos masuk melalui kaca jendela yang tertutup.

"Sebentar," ujar Eterna dalam gelap, "aku akan menyalakan lilinnya."

Eterna melangkahkan kakinya mendekati dinding di samping Lilith, menanam jejak di samping ranjang, lalu berjinjit tinggi meraih sesuatu yang menempel di dinding. Terdengar suara jemari yang beradu, berkali-kali dan berkali-kali, hingga akhirnya terlihat cahaya misterius yang muncul berkilat. Terlihat Eterna yang menjentikkan jarinya beberapa kali pada permukaan dinding yang gelap, menciptakan percikan api yang berkilap pada jemarinya yang terus beradu. Beberapa saat kemudian, terlihat setitik api kecil yang tersulut, bersinar terang dengan warna yang aneh, bukan merah, namun hitam, hitam berkobar di ujung ibu jari Eterna. Api itu membawa benderang layaknya purnama, menyapu gulita di setiap sudut ruangan. Buru-buru, Eterna menyulut lilin di dinding dengan api di jarinya, lalu mengibas-ngibaskan tangannya di udara sampai api di jarinya padam.

Eterna meniup-niup tangannya dengan seluruh napasnya di dada sebelum akhirnya berucap, "Selesai."

Usai menyalakan lilin dengan caranya yang ajaib, Eterna kembali melangkahkan kaki mengitari tempat Lilith bersandar, meraih kursi yang sama, lalu duduk manis dengan kedua kaki yang merapat di samping ranjang. Eterna lalu meraih bukunya kembali di atas meja, membuka halaman yang sama, lalu meneruskan bacaannya dalam hati yang bergeming.

Diam menyelimuti, suara titik hujan pun mengisi kosongnya suasana. Lilith mengalihkan matanya ke samping, ke arah lilin yang baru saja menyala di dinding, memerhatikan api kecil yang menari pada sumbunya, lalu tak sengaja membuat pikirannya melayang di sana. Hitam pekat layaknya malam tanpa rembulan, itulah warna api yang menyala benderang di dinding.

Hitam membuatnya teringat akan kegelapan, dan kegelapan mengingatkan dirinya akan-tidak, tunggu dulu! Ada suatu hal penting yang terlupakan dalam benaknya, suatu hal terpendam yang tak diketahui siapapun. Dirinya mendadak teringat akan sesuatu, sesuatu yang berdetak dalam tubuhnya rapuh. Bukan jantung di dadanya dan bukan pula nadi di pergelangan tangannya, namun detak jantung dari seseorang bertubuh mungil, seseorang yang bersemayam dalam air ketuban. Seseorang yang kelak akan la-

"Lilith," panggil pelan Eterna, sontak membangunkan Lilith dari pikirannya yang jauh-jauh melayang.

"Hah!?" Lilith spontan menoleh. "A-ada apa?"

"Apa perutmu masih terasa sakit?" tanya Eterna dengan mata yang tetap tertuju pada buku di tangannya.

"Oh, te-tenang saja, aku sudah merasa baikan sekarang." Lilith meraih perutnya sekali lagi.

Sejenak, Eterna menurunkan bukunya, memandang Lilith dengan tatapan skeptis, lalu menghela napasnya panjang-panjang sebelum akhirnya mengingatkan, "Jika perutmu terasa sakit lagi, tolong katakan padaku."

"Te-tentu." Lilith menundukkan kepala. "Sebelumnya, ma-maaf merepotkanmu untuk yang kesekian kalinya."

Eterna sejenak menebar senyum hangat kepada Lilith, lalu kembali mengalihkan pandangannya menghadap lembaran buku di tangannya.

Bunga yang sebelumnya layu dalam vasnya di atas meja diam-diam menegapkan batangnya yang penuh duri. Mahkotanya yang menguncup pelan-pelan memekarkan diri, warna keruhnya perlahan berubah menjadi putih terang, sehelai daun tipis pun tumbuh pada batang kecilnya yang bercabang. Di saat yang sama, Lilith memanggil Eterna dengan nada yang pelan, diiringi napas yang terdengar tak beraturan dan lidah yang terasa pilu untuk berucap.

"Eterna," panggil Lilith.

"Ada apa?"

"Sebenarnya-" Lilith mendekap tangannya sendiri erat-erat, "-aku... memiliki satu rahasia yang... aku sembunyikan darimu."

"Rahasia?" Eterna mengernyitkan alisnya, lalu meletakkan bukunya di atas pangkuannya.

Sejenak, Lilith membekukan lidahnya, membuang pandangan ke sudut ruangan, lalu menghela napas sedalam-dalam hidungnya menghirup, sampai akhirnya ia berucap, "Maaf, aku seharusnya memberitahumu sejak awal."

"Apa yang kau bicarakan?" tanya Eterna serius.

Lilith meraih perutnya yang datar, lalu mengusapnya dan menepuknya halus-halus. "Apa kau tahu apa yang membuat perutku terasa sakit kemarin?"

"Err...?" Eterna tampak kebingungan memilih kosakatanya.

Lilith mendongakkan kepala, memandang Eterna dengan tatapan wajah yang lesu. "Alasan mengapa aku melarikan diri dari rumahku adalah karena aku... aku sudah muak dengan semuanya."

Sejenak, Lilith menghentikan lidahnya membesit, lalu memalingkan matanya ke arah selimut yang menghangatkan kakinya. Sekali lagi, ia menghela napasnya panjang-panjang dan meremas selimutnya, mengumpulkan nyalinya di hati untuk bisa melanjutkan.

"Ditendang, dipukul, dipaksa ini itu, dan yang paling parah, aku dicambuk hampir setiap pagi untuk alasan yang sama sekali tak kumengerti," sambung Lilith panjang lebar.

"Kupikir, kau sudah menceritakan hal itu," sanggah Eterna.

"Tidak, bukan itu." Lilith memeluk dadanya sendiri dengan tangan yang gemetar. "Semalam sebelum aku tiba di Ruin City, ayah tiriku melakukan sesuatu yang benar-benar membuatku muak dengan semuanya."

Eterna menatap serius, menumpuk kedua tangannya sendiri di atas buku yang dipangkunya. Pelan-pelan, ia membuka mulutnya yang hendak berucap, namun Lilith membuatnya berhenti ketika dirinya melanjutkan.

"Di malam terburuk itu-" Lilith tak sengaja membuat matanya menggenang, "-ayah tiriku memerkosaku sampai aku hampir tak bisa lagi menangis, dan... dan aku... aku...."

Lilith tersedu, jemarinya bergerak ke dekat mata, menyapu air yang hampir mengalir turun melalui pipinya. Di saat yang sama, Eterna meraih tangannya di atas selimut, lalu mendekapnya dalam hangat seraya berucap, "Kau tak perlu melanjutkannya, aku suda-"

"Aku hamil," ujar Lilith terus terang.

"Lith, kau tak perl-"

"Aku bilang, aku hamil!" ulang Lilith tegas. "Aku sudah bukan lagi perawan! Aku... aku...."

Terisak menahan tangisnya, Lilith pun tak sengaja menggantungkan kalimatnya di tengah-tengah. Tak lama, dirinya tak sengaja membuat pipinya basah. Tetes air matanya lalu bergantung di dagu, kemudian satu persatu jatuh dan mendarat di atas selimut berbahan flanel.

"Aku... hamil," ulang Lilith dengan napas yang terisak. "Aku... aku...."

"Aku sudah tahu itu," balas Eterna tenang sambil mendekap tangannya lebih erat.

Pelan-pelan, Lilith mendongakkan kepala, menatap Eterna dengan mata yang penuh haru sambil mendengarkan ucapannya yang masih bersambung.

"Aku melihat janinmu melalui indera keenam yang kumiliki," jelas Eterna. "Sejak mengenalmu selama beberapa hari, aku merasakan adanya sepasang jantung yang melekat dalam tubuhmu, satu ada di dadamu dan yang satunya lagi ada di dalam rahimmu. Awalnya aku ragu karena Claude tak bisa merasakan hal yang sama, namun dari hal itu, kupikir sudah cukup jelas bahwa kau... mungkin sedang-" Eterna berdeham ringan sebelum akhirnya berucap, "-hamil."

"Eterna...," panggil Lilith, menyebut namanya dengan napas yang terisak.

"Aku mohon, jangan menangis." Eterna membelai pipi sang gadis malang sembari menebar senyum hangat. "Bukan salahmu jika kau mengandung seorang anak."

Lilith menundukkan kepala hingga dagunya hampir menyentuh dada, sedangkan tangannya meraih jemari Eterna yang terus mengusap pipinya halus-halus. Hangat tangannya mendorong Lilith untuk menguatkan batinnya agar tidak lagi menangis. Eterna lalu meraih dagunya dengan tangan yang lain, mengangkat kepalanya dengan perlahan seraya berujar, "Kau tak perlu khawatir, aku akan membantumu sebisa mungkin, dan aku yakin Claude juga akan melakukan hal yang sama."

"Benarkah?" Lilith mengusap pipinya dengan pinggiran telapak tangannya.

Eterna mengangguk manis.

"Maaf," ucap Lilith masih terisak, "aku tak tah-"

Eterna menekan bibir Lilith dengan telunjuknya yang mengacung ke atas, halus-halus memotong ucapan Lilith di tengah kalimat lalu berucap, "Jangan lagi meminta maaf, kau seharusnya berterimakasih, bukan menyesal."

Eterna lalu menarik tangannya dari bibir Lilith, membiarkannya membenarkan ucapannya yang terdengar salah di telinga.

"Terima kasih." Lilith memaksa bibirnya untuk tersenyum.

Puas dengan ucapannya, Eterna melingkarkan lengannya sendiri di belakang lehernya, merangkulnya dengan kedua tangan, lalu memeluknya dengan erat dalam dekapan yang hangat.

***



Hai readers!
Jumpa lagi setelah sekian lama....

Mau sekedar ngasih tahu aja, part selanjutnya bakal lebih cepet dipublish berhubung mimin lagi libur kuliah, hehehe....

Oh ya! BTW, ada satu hal yang bikin gue penasaran loh.... Sebenernya gue udah lama pengen nanya ini, cuma gak kepikiran wkwkwk.... Bagaimana kalian bisa nemuin cerita gue? Apa kalian search "The Sacred Witcher"? Atau mungkin cerita gue ini pernah masuk what's hot, what's new, atau, what's rising? Atau mungkin ada temen yang rekomen cerita gue? Atau mungkin takdir mempertemukan kamu dengan cerita ini? Wkwkwk... Tolong jawab di komen ya... Sumpah gue sebagai author penasaran banget...

See you next time, have a super duper awesome day...

Psst, jangan lupa juga votenya ;)

Continue Reading