The Badboy Next Door

By scftgrunge

279K 19K 677

Cerita klise antara perempuan jutek dan lelaki pembuat onar. More

0.0
0.1
1.0
1.1
2.0
2.1
3.0
3.1
4.0
4.1
5.0
5.1
6.0
6.1
7.0
7.1
8.0
8.1
9.0
9.1
10.0
11.0
11.1
12.0

10.1

9.2K 642 44
By scftgrunge

Aku menghembuskan nafas kesal juga perasaan cemas saat sudah berada di dalam mobil Zach.

"Kenapa?" tanyanya.

"Gak apa-apa." jawabku.

Zach mengangguk lalu mulai menjalankan mobilnya, "ini mobil kok udah sampe Jakarta aja?"

"Iya baru nyampe tadi, gak lama lo berangkat sekolah." jawabnya.

"Bagus lah," kataku seraya mengangguk.

"Ben kayaknya punya ketertarikan gitu ke lo, ya, Sky." perkataannya membuatku ingin menyembunyikan wajahku.

Kok dia bisa ngomong gitu ...

"Eh nanti temenin gue beli greentea ya, sekalian jalan juga pake mobil baru." aku mengetukan jariku pada dashbord mobil.

Zach tersenyum tipis, "gak usah panik gitu dong, gue kan cuma nanya."

Aku berdecak. "Siapa yang panik coba ... "

"Aneh lo, ya lo lah. Pura-pura ngalihin topik."

"Ah! Berisik lo lama-lama," aku langsung menyalakan radio untuk menghindari rasa canggung.

"Oke gue dapet pertanyaan dari twitter yang bilang, reaksi yang harus kita lakukan pas nembak temen sendiri, tapi nyatanya di tolak gimana sih?"

"Nah itu dia, kalo misalkan lo nyatain perasaan ke temen lo tapi sayangnya di tolak, reaksi yang harus lo lakuin adalah ... tetep tunjukin kalo kita itu baik-baik aja walaupun ya, keliatan sakit--"

Aku mematikan radio tersebut lalu menggaruk kepalaku yang tidak gatal sama sekali. Kenapa malah bahas masalah itu, sih?

"Kayaknya yang nanya pertanyaan itu Ben, deh." Zach tertawa setelah mengucapkan kalimat tersebut.

Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala.

"Jangan ngaco."

Setelah memarkirkan mobil di tempat yang disediakan, aku turun dan memasuki cofee shop terlebih dulu. Lalu aku langsung mengantri di barisan.

"Mas, espressonya satu sama dark mocha nya satu." pinta perempuan di depanku.

Si barista mengangguk mendengar permintaannya seraya bertanya ukuran yang diminta. Setelah selesai, perempuan di depanku menoleh sekeliling dan berjalan meninggalkan kafe.

Emma? Itu Emma! Dia potong rambut? Pantes beda, tapi--

"Mba," panggil sang barista, lantas aku melangkah maju dan memesan greentea cream.

"Grande, Mas." ucapku saat dia bertanya ukuran yang ku pesan.

"Totalnya 50.000, Mba."

"Silahkan Mba pesanannya." aku mengambil pesananku dan berjalan mendekat ke arah Zach.

"Zach." panggilku lalu duduk.

Zach yang sedang bermain hp langsung menatapku dengan pandangan bertanya. "Lo gak pesen?"

Ia menggeleng, "males."

Aku mengangkat sebelah alisku, tumben banget Zach gak mau pesen apa-apa. Sekalipun moodnya bener-bener gak bagus, dia tetep pesen espresso.

"Ada apa sih?" tanyaku.

"Gak kenapa-napa-- Sky" ia memanggilku.

"Tadi katanya gak kenapa-napa, sekarang manggil." sindirku.

"Sejak kapan lo kenal Emma?" tanyanya tiba-tiba.

"Pas masuk kelas 11, soalnya dia murid pindahan dari mana gitu-- gue lupa." jawabku, Zach menutup wajahnya.

"Dari Ausie, Sky. Dia murid pindahan dari sana." jawab Zach.

"Emma Sandwers. Nama belakangnya Sandwers, kan?" aku mengangguk mendengarnya.

"Ada apa sih?"

"Gue gak tau apa yang salah sama keluarga itu. Semuanya aneh, gak ada yang bener. Mulai dari kakaknya, bokapnya bahkan nyokapnya." aku terdiam lalu mengangkat sebelah alisku.

"Kok lo ... "

Zach langsung menarik tanganku. "Pulang yuk, udah sore."

••

Aku hanya berbaring dan tak henti-hentinya menggigiti pulpen sejak masuk dari kamar. Aku masih bingung dengan pernyataan Zach tadi. Maksudnya apa? Apa dia udah kenal sama keluarga Emma? Atau Emma sebelumnya punya hubungan baik sama keluarga Zach?

"Sky," pintu kamarku terbuka, mendapati wajah Zach disana.

"Hah?"

"Lo di ajakin sama om Thomas ke restoran." katanya.

Aku bangkit dari kursi dan mendekat ke arah Zach. "Sama siapa lagi?"

"Ya sama mama tiri lo, lah. Kan semacam pengenalan gitu."
pasti nanti Ben juga bakal disana, duh.

"Lo ikut aja deh, Zach!" aku mendorongnya keluar dari kamar. "Sekarang ganti baju, sana sana."

"Ih! Ogah, gak mau gua. Yang di ajak lo,"

"Kan kita jarang jalan sekarang, itung-itung malem ini gantinya, deh." bujukku. "Gue kangen jalan berdua sama lo tau!"

Sebenarnya itu hanya alasanku agar nanti disana tidak terlalu canggung. Seenggaknya ada Zach ini. Batinku berucap.

"Zach, please ... " aku menunjukkan wajah memelasku sebisa mungkin.

Ia mendesah kesal. "Iya iya! Gue ikut." setelahnya ia berjalan ke kamar tamu.

••

"Iya ... iya Pah. Aku udah di jalan sama Zach."

"Kok Zach ikut?"

"Aku yang ngajak, sampe ketemu disana ya."

"Kenapa? Gue gak boleh ikut kan sebenernya?" Zach menatapku serius.

Aku menggeleng. "Boleh,"

"Halah! Alesan aja lo kayak bajaj."

"Yeh! Di bilang bener malah ngatain." ucapku.

••

Saat ingin memasuki restauran, Zach menyenggol lenganku. "Apasih?"

Ia memberiku isyarat agar memperhatikan apa yang dilihatnya, lalu dengan cepat aku mendapati motor ninja berwarna hitam yang terpakir rapih di tempat khusus VIP. Kayak motor Aiden, sih. Tapi dia kesini sama siapa?

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Kayak motor Aiden, kayaknya sih. Tadi pagi sih itu motor masih ada di halamannya, tapi pas tadi gue pengen jemput lo, udah ilang motornya." Zach mendekati motor tersebut.

Paling ke rumah Emma, batinku mengatakan.

Aku dengan segera menariknya, "ayo udah ditungguin Papah, gak enak sama Caroline."

Ia memukul kepalaku keras. "Maen panggil Caroline Caroline aja lu bocah, dosa tau!"

Aku mengusap kepalaku, "iya iya, maaf."

Aku memegang telapak tangan Zach erat, jujur aku masih canggung kalau berhadapan langsung sama Ben kayak gini. "Santai." gumam Zach.

"Hai om, eh tan." sapa Zach pertama.

"Woy bro!" ia melepaskan genggamannya lalu mulai melakukan aksi high-five-nya dengan Ben.

Aku yang menyaksikan lantas tersenyum kikuk. "Loh kok kamu diem aja? Sini salim sama Papah."

Setelah menuruti apa yang Papah bilang, giliran aku yang menyapa tante Caroline. "Selamat malam, tan." sapaku.

Ia tersenyum, "selamat malam juga sayang." lalu ia memelukku.

Setelah melepaskan pelukan tante Caroline, aku bergeser untuk menyapa Ben, dia menatapku sambil mengangkat kedua alisnya. Aku menggigit bibir bawahku gugup, "hai?" sapaku lebih terdengar seperti pertanyaan.

Ben tertawa. "Gak usah sok-sok gugup gitu deh lo!" ia menjewer telingaku kencang.

"Aduh sakit! Apaan sih!" omelku seraya menabok lengannya.

Aku menghembuskan nafas lega setelah mendengar suara tertawa Ben dan perkataannya tadi, benar-benar membuat bebanku sejak pagi bebas.

"Cie," Zach menyenggol bahuku yang kubalas dengan putaran mata.

"Skylin," panggil Papah.

"Ya?" jawabku.

"Mamahmu, dia baru aja keluar dari rumah sakit--

"Kok ... kok bisa, gimana keadaannya?"

"Sehat sehat aja, nenek kamu baru aja nelfon Papah tadi bilang semuanya baik-baik aja dan gak ada yang perlu di khawatirin." penjelasannya membuatku mendesah lega.

"Besok aku ke rumah nenek, ya." ucapku.

Papah menggeleng, "gak perlu, kamu harus sekolah."

Aku melihatnya aneh. "Aku cuma mau jenguk Mamah, salah?"

"Sky ... kita gak seharusnya bahas ini di sini." aku menggeleng tidak mengerti mendengar perkatannya.

"Aku ke toilet dulu." pamitku.

Selesai keluar dari bilik toilet aku kembali memeriksa tampilanku. Aku mendecak saat rambutku tidak tertara rapih, lalu aku menggunakan kedua tanganku untuk merapihkannya.

"Emma," gumamku saat melihatnya keluar dari bilik toilet dan langsung berdiri tepat di sebelahku. Aku menatapnya tajam saat ia menyeringai.

"Udah ketemu Aiden?" tanyanya.

Aku memutar mataku mendengar pertanyaannya lalu dengan cepat aku mengambil langkah keluar dari tempat itu. "Tunggu dulu," ia menarik lenganku.

"Apapun yang Zach bilang sama lo, jangan percaya sama dia. Jangan pernah." dengan itu ia meninggalkanku yang terdiam karena perkataannya.

Aku menggelengkan kepalaku lalu kembali kepada yang lain. "Lo gapapa?" tanya Zach saat aku sudah menempatkan diriku di tempat semula.

"Gak, gak papa."

"Sky, kamu pesen apa?" tanya Papah.

"Aku kayak biasa--"

"Sky pesen chicken mozarella, om." potong Ben cepat.

"Ditambah--"

"Ditambah keju mozarellanya, om. Ekstra cheese." aku membulatkan mata mendengar perkataan yang kedua kalinya.

"Cie," Zach kembali bersuara.

"Zach kamu pesen apa?" tanya Papah.

Aku menatap Ben, "gak mau potong ucapan dia juga?"

Ben tertawa lalu menggeleng, "mana afal gue apa yang mau dia pesen."

"Lo tuh nyeremin, tau gak?!"

"Loh! Bukannya itu tanda perhatian?" balasan dari Ben membuat wajahku merah.

Zach tertawa lalu memukul bahuku. "Kocak banget muka lo sumpah!"

"Berisik!"

Papah berdeham yang membuat kami bertiga terdiam. "Papah ngajak ketemuan lagi sama kalian semua ... karena saya mau ngumumin kalau,"

"Saya dan Thomas sudah memesan gedung untuk acara pernikahan nanti. Lalu, buku untuk tamu undangan juga udah disiapin. Tinggal surat undangan dan souvenir." sambung Caroline seraya tersenyum.

"Loh, bukannya masih dua bulan lagi? Kok udah siap semuanya aja?" tanyaku.

"Prepare lebih awal gak ada salahnya, kan?" tanya Caroline.

Aku menanggapinya dengan mengangkat kedua bahuku.

"Saya minta, apa kalian punya pendapat souvenir apa yang akan kami berikan untuk tamu undangan nanti?"

Aku memikirkan apa yang cocok untuk menjadi souvenir di acara pernikahan Papah nanti.

Pemikiranku terhenti saat aku melihat Aiden bangkit dari tempat duduknya bersama Emma. Kenapa gue baru nyadar kalo tempat duduk Aiden gak jauh dari sini?! Dasar bego lo, Sky! Aku yakin Emma telah melihatku yang menatap Aiden secara terang-terangan, ia menyeringai seraya mengandeng Aiden erat. Mereka berdua belum beranjak dari mejanya, tetapi posisi mereka yang berdiri memudahkanku memperhatikan apa yang Aiden dan Emma lakukan.

Aiden menggaruk dahinya seraya memperhatikan sekeliling restauran sampai pandangannya terhenti padaku. Ingin sekali mengatakan 'hai' padanya, walaupun aku tau itu tidak akan terdengar. Namun sifatnya yang abu-abu membuatku ragu. Pertanyaanku adalah, apa arti aku di kehidupannya kalau dia sendiri masih jalan sama perempuan lain. Setelah bertatapan cukup lama, namun di antara kami tidak ada yang ingin untuk memutuskan pandangan ini. Aku mendecak kesal karena Emma menyentuh rahang Aiden untuk menatapnya.

Emma menatapku dengan padangan meremahkan, lalu ia mengeluarkan parfum dari tasnya dan menyemprotkan benda itu di sekitar lehernya. Setelah itu ia mengatakan sesuatu pada Aiden yang membuat pria itu mendekat ke leher Emma. Aku melebarkan mulutku saat melihat perbuatan sengaja perempuan itu.

Aku mengalihkan pandanganku sesegera mungkin pada saat itu dan langsung mendapati Ben yang menatapku dengan wajah bingungnya.

"Apa pendapat lo?" tanyanya.

"Pendapat apa?"

"Souvenir pernikahan, sayang." ucap tante Caroline halus.

"Parfum, tan!" ceplosku langsung.

Tanye Caroline mengangguk, "boleh, boleh. Bagus juga ide kamu, Sky."

Aku memutar mataku mendengar pujiannya. Masalahnya, telingaku menafsirkan bahwa perkataan tante Caroline adalah ejekan melainkan pujian.

==========

hi, aku minta maaf karna upadate-nya super lama. dan aku yakin, kalian pasti lupa jalan ceritanya saking lamanya aku update

ok, part ini sebenernya agak gimana gitu ... ya coba nilai sendiri deh.

Continue Reading

You'll Also Like

886K 6.3K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
824K 23.3K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
497K 37.4K 44
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
334K 9.5K 40
Alskara Sky Elgailel. Orang-orang tahunya lelaki itu sama sekali tak berminat berurusan dengan makhluk berjenis kelamin perempuan. Nyatanya, bahkan...