“Stop Jeffry, jangan ke sana,” cegah Wina seraya meraih lengan Jeffry.
Jeffry menggeleng, “gak, gak bisa. Gak bisa gue diam gitu aja lihat."
“Diam. Lo diam di sini dan jangan ke mana-mana,” ujar Tirta tanpa mau diganggu gugat.
“Hahahaha. Jadi dia adik lo?”
Belum sempat Gilang melanjutkan ucapan nya. Ia terdiam saat merasa ada yang membacok nya dari belakang.
Itu Mahen, dengan kapak di tangannya.
Gilang kesakitan, tubuhnya keblingsatan, melepaskan Jefrano dari lilitan nya.
“Sakit, sakit.”
Mahen tertawa renyah, “hahahaha lemah lo."
"Enak gak gue kapak kayak gini?” tanya Mahen sambil terus berulang kali mengkapak ekor anak itu hingga nyaris putus mengepak-ngepak.
“Maaf ya, Gilang," ujar Elio.
Gilang mendongak, “keparat. Pantas saja kapak itu bisa melukai ku.”
Elio tersenyum, “Teo. Kau salah kaprah.”
"Apa maksud mu?"
“Sudah, nanti saja dulu hal itu dibahasnya. Sekarang kalian pergi, biar monster ini aku yang urus,” ujar Elio.
“Gak, enggak. Gue gak mau pergi kalau lo belum ambil bola mata dia buat gue," sungut Mahen.
“Baik.”
“Jangan, jangan ambil mata gue.”
Gilang memberontak saat tangan besar Elio berupaya mengambil bola matanya tanpa permisi. Ia kesakitan, tubuhnya kejang-kejang.
“Ini matanya. Sana, pergi.”
"Terimakasih, Elio," jawab Mahen seraya menadahkan tangannya agar Elio menaruh dua bola mata itu di sana.
"Te, titip dulu nih mata."
Meski masih linglung, Teo terima dua bola mata itu dari tangan Mahen dan membiarkan anak itu membopong Jefrano yang sudah lemas tak berdaya.
"Kenapa diam? Ayo pergi,” ajak Mahen.
Teo melangkah, mengikuti ke mana pun Mahen pergi meski kepalanya sangat ribut.
“Di mana Ace, kenapa dia gak kelihatan?” tanya Wina.
“Dia lagi di ruangan Pak Januar buat hafalin mantra yang seharusnya kita baca nanti," jawab Mahen.
“Sendiri? Lo ngebiarin dia pergi sendirian?” kaget Yera.
“Dia gak lemah, Yer,” jengah Mahen yang tanpa dia ketahui Ace sedang merasa kesulitan.
Tubuhnya terasa sangat panas dan kepalanya pun terasa sangat berat. Ace rasa, keberadaan nya sudah diketahui oleh Pak Januar
Tapi gimana ini? Ace belum afal. Meski dirinya sudah mengenakan kalung warisan keluarga Elio, ia masih kesulitan.
Pandangan nya terkadang kabur, sehingga sering kali dirinya salah baca dan harus mengulang bacaan nya berulang kali sampai dia merasa benar-benar yakin jika apa yang dibacanya sudah benar.
“Lanjut besok aja kali ya?”
Dirasa gak bisa lanjut lagi, Ace pun kembali ke kamar dan mendapati Elio yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya.
“Di mana teman-teman gue?”
Elio terkekeh, “manusia, manusia. Sama monster jadi-jadian saja takut.”
“Gue tanya, di mana teman-teman gue?”
“Kabur. Padahal tinggal lawan aja, apa susahnya sih? Gak bikin mati juga.”
“Aish banyak omong. Diam dulu.”
Ace mengernyit, berupaya bertelepati dengan teman-teman nya.
"Saya cuma mau kasih tahu. Gilang sudah saya singkirkan dari hadapan teman-temanmu, tapi anak itu tidak benar-benar mati."
"Maksud lo?"
"Gak usah berlagak kamu paling dekat dengan saya. Saya aslinya ogah banget bantu kamu. Tapi mau gimana lagi?"
"Jadi apa yang mau lo bicarain ke gue?"
"Gilang masih hidup dan dia ada di ruangan Cherry."
“Apa?!”
Mengetahui hal tersebut, Ace meminta Mahen untuk menemani nya pergi ke ruangan isolasi.
Dan betapa kacaunya ruangan isolasi saat keduanya sampai di sana.
Darah di mana-mana, kotoran berserakan di mana-mana bahkan jeroan manusia pun berceceran dilantai.
“Hueeeeek.”
Gilang tertawa, memamerkan giginya yang masih berlumuran darah.
“Mau makan?” tanya nya tanpa rasa bersalah.
Cherry cekikikan. Dia bahkan mengusap beberapa potongan daging ke hadapan perut buncitnya.
“Gila, kalian gila,” pekik Mahen sebelum menarik Ace keluar dari ruang isolasi.
“Gembok ruangan ini, kalau perlu bakar aja sekalian. Gue gak sanggup, gak tahu juga apa yang bakal mereka perbuat kalau mereka berhasil keluar dari ruangan ini.”
“Gue bukan malaikat pencabut nyawa. Gak bisa gue. Lo aja, gue pergi."
“Wah beneran nih anak.”
Dengan penuh emosi, Mahen tonjok wajah Ace hingga penuh luka lebam.
"Lo pikir, lo satu-satunya manusia suci yang ada di muka bumi ini hah?"
"Sekarang gue tanya. Pilih mereka berdua mati atau semua yang ada di sini ikutan mati karena kegilaan mereka? Pilih mana Ace? Jawab!”
Di sisi lain, Jefrano, Teo, Jeffry, Sobri, Jafa dan kedelapan anggota crush you lainnya sedang bersembunyi di area yang sekiranya berjarak sepuluh meter dari tempat Ace dan Mahen berdiri.
“Cari minyak, kita bakar mereka,” ucap Teo menggebu-gebu saat Johan memberitahu mereka soal apa yang sedang Ace dan Mahen perdebatkan.
“Ngapain cari minyak?”
Semua menoleh menatap Jefrano yang sedang memejamkan mata.
“Gue lupa, gue punya dia.”
“Ada apa Jefrano? Kenapa memanggil ku?” tanya iblis yang berhasil Jefrano dapatkan dari pick me, fight me.
“Bakar ruangan itu beserta isi-isinya," perintah Jefrano dengan wujud setengah iblisnya.
“Sure."
Tanpa adanya pencegahan lagi, Jefrano berlari menuju ruang isolasi dan membakar ruangan itu dalam sekejap mata.
Ace ternganga syok sedangkan Mahen berdecak kesal karena ia harus menerima fakta jika hari ini Jefrano telah membantu nya untuk mencapai apa yang dia inginkan.
“Lenyap, lebur, indah.”
Jefrano tertawa puas, kobaran di tubuhnya semakin menyala-nyala sampai Teo takut sendiri.
“Dia gak akan kenapa-kenapa kan?” cemas Teo.
“Jadi benar ya dia adik lo?” tanya Yera.
“Harus banget gue jawab?” ketus Teo.
“Pantes agak mirip,” balas Yera.
“Gak ada mirip-miripnya tuh,” kesal Jeffry.
“Selalu aja lo bilang gitu. Udah ah, gue mau samperin adek gue dulu.”
“Sinting tuh anak,” cecar Rara saat melihat Teo yang gak ada takut-takutnya menghampiri Jefrano yang masih dalam wujud setengah iblis.
“Eh, bos kita sudah datang,” goda Bagas saat Mahen dan Ace datang ke hadapan mereka.
“Kenapa, Ace?” tanya Yera
“Biasa, naif,” jawab Mahen.
“Bukan naif, dia emang anaknya terlalu baik. Bener kan, Yesh?” tanya Yera.
“Um, fifty fifty lah.”
Di sisi lain.
Gilang sedang berusaha membawa Cherry menuju pintu utama setelah merasa hawa panas yang begitu luar biasa.
“Tahan sebentar sayangku, tahan sebentar.”
“Aku masih mau makan. Biarin aja api nya mendekat.”
Gilang menggeleng panik, Cherry sudah gila. Bukannya takut dilahap api, perempuan manisnya ini malah ingin menghabiskan makanan yang ada.
“Kita bisa cari mangsa baru nanti.”
"Bohong, kamu aja buta."
"Gak bohong sayangku. Trust me."
“Hiks, gak mau. Mau makan mereka dulu sampai habis baru keluar.”
“Apinya…apinya, Cherry," pekik Gilang saat merasa tubuhnya sudah terkena kobaran api.
Cherry menggeleng, mendorong tubuh Gilang tanpa pikir panjang.
Cherry masih ngidam. Dia mau makan ditengah-tengah kobaran api. Persetan dengan Gilang. Cherry gak peduli.
“Arrrrrgh. Padamkan apinya, padamkan apinya.”
Teriakan Gilang terdengar sampai ke telinga Mahen dan kawan-kawan.
Mendengar teriakan itu, membuat Jefrano yang awalnya sudah ingin kembali ke wujud aslinya kembali menjadi membara dan berdiri di hadapan pintu ruang isolasi.
Jefrano tertawa, menunjuk-nunjuk Gilang yang perlahan-lahan dilahap oleh api.
“Makan, makan saja api," tekan Jefrano.
Gilang tidak lagi berguling-guling. Kepalanya mendongak meski ia tidak melihat apa-apa.
"Lihat nanti, lihat. Aku akan menggentayangi kalian.”
Jefrano gak peduli tapi Teo cukup kepikiran sehingga dibujuknya Jefrano agar segera menjauh dari sana.
“Ngomong-ngomong, kok alarm kebakaran nya gak bunyi ya? Air-air nya juga gak turun,” bingung Rara.
“Kalian lupa siapa saya? Itu perbuatan saya agar kegiatan indah ini tidak diganggu oleh siapa-siapa termasuk mereka, iblis yang sebentar lagi akan datang kemari,” Jawab Iblis yang berada di tubuh Jefrano.
“Gawat, ayo ke kamar. Jangan sampai mereka datang dan menyakiti kita,” ajak Bagas.