Secret Admirer

By beebaebees

269K 10.2K 296

Syahnarra hanyalah gadis lugu yang kerap kali terlibat ancaman dan suatu hal yang berbahaya. Dia mengagumi St... More

1. Pesona Stevano
2. Hari Ulang Tahun Narra
3. Kejutan Untuk Narra
4. I'am Jealous, Boy's - Part A
5. I'am Jealous, Boy's - Part B
6. Patah Hati
7. Menjelang Ujian Nasional
8. Setelah Ujian Nasional
9. Prom Night
10. Mama.. You Always In My Heart
11. Species (Special Part)
12. Venna or Joana? (Special Part)
13. Masihkah Kau Mencintaiku? (Special Part)
14. Hurt (Special Part)
15. Not a Bad Thing
16. Seriously?
17. Almost
18. Dangerous
For You Information!
19. Remember
20. Barbeque's Time
21. And I'm Very Love You
22. Matchmaking
23. Stevano or Rendy?
24. Pengakuan
25. Suasana Yang Mengharukan
27. Day With Vano's
28. A New Beginning
29. Ide Gila
30. Really Complicated
31. Kasus Baru
32. Hampir Selesai
33. Pengakhiran
Simplicity of Love Promotion
EPILOGUE SECRET ADMIRER

26. More Beautiful Than a Dream

6.8K 246 10
By beebaebees

Beberapa orang mengatakan tidak ada yang lebih indah daripada bermimpi. Tetapi untuk yang ku rasakan saat ini adalah lebih indah dari sekedar bermimpi. Hari bahagia yang aku dan Vano tunggu-tunggu akhirnya tiba, mulai detik ini aku resmi dan sah menjadi pasangan hidupnya baik dimata agama maupun negara. Siang tadi usai melaksanakan sholat jum'at, Vano mengucapkan janji suci pernikahan kami didepan penghulu, Papaku dan beberapa saksi.

Ini persis bagai cerita-cerita fairytale lainnya, tak pernah ku sangka aku akan menikah di usia muda. Ada sebagian tamu mengatakan pernikahan kami terjadi karena insiden hamil diluar nikah, ada lagi yang mencibir karena perjodohan untuk jabatan orang tua. Aku hanya tertawa kecil menanggapi semua berita miring itu, karena kenyataannya bukan seperti yang diberitakan. Kami saling mencintai, itu dasar pertama terjadinya pernikahan ini.

Diselenggarakan di sebuah ballroom hotel, hingga sampai acara resepsi semua mengusung tema Adat Istiadat. Aku dan Vano pun mengenakan pakaian pengantin adat Jawa Paes Ageng. Tangan Vano tak jua melepaskan rangkulannya dari pinggangku. Membuatku tersipu malu kadang kala ia selalu berbisik untuk mempersiapkan malam pertama kami.

Para tamu bergantian menaiki panggung pelaminan untuk memberi ucapan selamat yang disambut dengan hangat oleh keluarga kami. Kebanyakan tamu yang berdatangan sebagian besar dari kalangan bisnis Papa dan Ayah Mertuaku, teman-teman Oma dan Amanda, juga para fans Starlight.

"Weh asik, jadi nikah lo? Hah? Hahaha." Mario dan Istrinya memberi ucapan selamat sambil bersalaman, terlebih kini ia sedang meledek Vano.

Vano tertawa. "Jadilah, asem lo! Lo kira lo doang yang bisa nikah." Balasnya sambil meninju pelan perut Mario.

"Mana si kembar?" Tanyaku menghentikan aksi saling ledek mereka.

"Itu sama Kakek Neneknya. Biasa mainan baru." Ucap Venna membalas pertanyaanku yang ku respon dengan senyuman sambil sesekali melirik ke arah Tante Sofia dan Om Ray yang sedang bermain dengan cucunya di dalam stroller tandem. Cepat sekali kedua orang tua itu beradaptasi dengan makhluk mungil yang tadinya membuat beban keluarga.

"Narra." Aku terperangah ketika tangan Venna menyentuh bahuku. Wanita itu mengeluarkan suatu amplop dari dalam tasnya. "Mama lo kirim ini buat lo. Gue gak tau apa isinya dan gue pikir tadinya ini buat gue, karena dikirim ke alamat rumah Bunda." Jemari tanganku bergetar menerima amplop putih itu. Mama ingat padaku? Mulai menulis sebuah surat? Apa artinya Mama akan sembuh?

"Thank you." Balasku dengan perasaan bahagia. Venna tersenyum, ia mencondongkan tubuhnya kemudian mencium pipiku.

"Gue minta maaf soal..."

"Itu udah beberapa bulan yang lalu. Kita ambil hikmahnya aja ya. Sekarang yang paling penting, kita tau bahwa sebuah masalah gak akan selesai kalau gak ada yang mau mengalah. Tanpa ada kata maaf, gue gak akan pernah marah sama lo, Ven."

Venna mengangguk. "Semoga lo cepat nyusul gue." Aku tersenyum geli mendengar penuturan Ibu muda ini.

"Dan semoga si kembar cepat punya adik." Lalu kemudian kami tertawa.

Sepeninggal Venna dan Mario yang telah turun dari panggung pelaminan, kini pasangan yang beberapa saat lalu resmi bertunangan datang memberi ucapan selamat. Annisa terlihat sangat bahagia begitu juga Stevent. Tangan kokoh pemuda bule itu tak henti-hentinya menjadi sandaran Annisa untuk bergelayut manja.

"Selamat menempuh hidup baru, semoga lo selalu bahagia." Kepalaku mengangguk menanggapi ucapan Annisa. Ku lihat ke samping, Stevent dan Vano asik mengobrol. Membangun dunia mereka sendiri.

"Heni mana?" Aku mengedarkan pandangan mencari sosoknya. Sedari acara berlangsung gadis itu tak kelihatan. Aku ingat terakhir kali bertemu dengannya saat Venna melahirkan. Wajahnya muram dan terlihat tak bersemangat, itu untuk yang terakhir kali bertemu sampai saat ini belum pernah kami bertemu baik sengaja ataupun tidak disengaja.

"Dia gak bisa datang, tapi katanya nitip kado ke Oma." Ah, separuh kebahagiaanku hilang mengingat sahabatku yang satu itu tidak datang. Ditambah sosok Rendy yang juga tidak terlihat, apa aku tidak sebegitu pentingnyakah untuk mereka?

"Sayang?" Tegur Vano setelah panggung pelaminan belum dikunjungi tamu lagi.

"Hmm?"

"Mau aku ambilkan makanan?" Ku alihkan pandangan ke samping, memandang Vano, kemudian ke arah stand makanan. Disana rupanya ada Maliq yang baru tiba, hatiku tergerak untuk berbicara dengannya tanpa sepengetahuan Vano.

"Kalau aku yang ambil sendiri bagaimana?"

"Oke." Kata Vano mengizinkan. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan, dengan beberapa bantuan, aku kini telah berdiri di hadapan Maliq yang sedang menenggak minuman.

"Hei, selamat ya." Aku tak membalas perkataannya. Ku lemparkan tatapan marah agar ia mengerti tindakannya pada Heni sudah terlalu menyakitkan. Semua itu ku dengar dari Annisa, Maliq akan pergi meninggalkan Heni kemudian Starlight disini. Ide yang kurang bagus, Maliq!

"Narra?"

"Maliq? Apa malam ini malam terakhir lo ketemu kami semua?" Maliq membeku, bibirnya terkatup enggan terbuka.

"Bagaimana dengan Heni?" Ia masih seperti itu saat ku sindir mantan gadisnya.

"Hubungan kami sudah berakhir." Jawabnya dengan tenang, tak terpancing sedikitpun emosi atas perkataanku yang penuh penekanan.

"Hubungan berakhir bukan berarti semuanya juga berakhir. Lo pengecut, terlahir sebagai laki-laki egois. Suatu saat lo pasti menyesal, kita tunggu aja tanggal mainnya. Sekali lagi selamat untuk lo yang keterima di universitas luar negeri, selamat untuk keberhasilan lo yang telah membuat sahabat gue susah payah mengatur ulang hatinya." Ku tinggalkan dirinya yang tengah mematung, agar ia berpikir bahwa tindakannya salah.

Malam semakin larut, pesta telah usai. Aku bersiap menuju kamar hotel yang telah kami sewa untuk menginap malam ini. Baru hendak berjalan, tiba-tiba saja Vano lantas meraihku dalam gendongannya. Aku tersipu saat ia menatapku dengan tatapan memabukkan. Ah, aku ingat, ini akan menjadi malam yang panjang untuk kami.

"Mau mandi bersama?" Tawarnya kemudian mendudukiku diatas ranjang. Kepalaku langsung menggeleng, antara belum siap dan tentu saja malu.

"Oke." Vano menjajakkan kakinya lalu melenggang ke kamar mandi. Pandanganku beralih pada sebuah amplop diatas tumpukan kado yang terletak diatas sofa. Setelah ku raih, perlahan kubuka isi amplop itu.

To. Syahnarra.

17 tahun lalu Mama melahirkanmu, menghantarkan kehidupan baru dalam dunia ini. 17 tahun berlalu, Mama sadar tidak sepenuhnya ikut membesarkanmu. Sekarang kamu tumbuh menjadi gadis yang kini telah dimiliki seorang laki-laki yang sangat mencintaimu. Percaya atau tidak, kasih sayang dan cinta Mama selamanya hanya untukmu, gadis kecil. Selamat atas kebahagiaanmu, Mama selalu mendoakanmu meski lagi-lagi tidak ikut andil dalam lembaran hidupmu. Itu tidak masalah. Selama kamu bahagia, disini Mama juga ikut merasakannya. I miss you, my little daughter...

Loved. Tiara.

"Kamu sedang baca apa?" Aku tersentak begitu mendengar suara Vano berbisik di telingaku, tangannya kini melingkar di pinggangku. Wangi sabun dan shampoo tercium dari tubuhnya yang kini tanpa penutup dada, hanya menggunakan handuk yang melilit pinggangnya. Segera ku remas kertas tersebut dan menjauhkannya dari pandangan. Biarlah surat itu hanya aku yang tau dan juga Venna, mungkin.

"Bukan apa-apa." Jawabku gugup.

"Oke. Sekarang sudah waktunya, Sayang." Bisiknya lagi dengan sensual.

"Apa?"

Vano tertawa kemudian membopongku menuju ranjang kami. Tanpa membiarkanku untuk membersihkan diri terlebih dahulu, suamiku kini telah bersiap untuk memulainya. Itu hanya ada di kamus Vano, karena sebenarnya aku belum siap.

"Aku mau lampunya dimatikan." Pintaku gemetar, Vano kini tengah menindih tubuhku.

"Itu gak asik." Protesnya tak sependapat denganku.

"Oke kalau begitu aku berubah pikiran."

Akhirnya setelah beradu pendapat, Vano mengalah. Lampu padam dan hanya menyisakan lampu tidur yang menyala. Kami bergelut dalam balik selimut, saling menyentuh, menciptakan sensasi yang baru pertama kali dirasa. Pengalaman ini tidak akan pernah aku lupakan, meski kebanyakan orang mengatakan awalnya akan sangat sakit but for me it's no problem, karena aku senang bisa memberikan harta berharga yang selama ini aku banggakan sebagai seorang gadis hanya untuk Stevano, suamiku.

***

Venna's POV

Sebut aku sebagai Ibu baru saat ini, sebuah peran yang sangat menjanjikan. Rasa sakit saat melahirkan mereka terbayar sudah saat aku melihat mereka tumbuh dan berkembang dalam asuhanku yang masih belajar ini. Nia dan Nio, begitu kami memanggilnya, saat ini tengah lucu-lucunya. Setiap aksi mereka selalu mengundang tawa, saat ini pula bayi-bayiku mulai berceloteh mengeluarkan suara yang belum bisa kami mengerti, selalu menangis saat aku tak berada disampingnya. Mereka mulai mengenal aku sebagai Ibunya dan Mario sebagai Ayahnya. Bicara soal laki-laki itu, kini sosoknya mulai berubah menjadi seseorang yang penuh tanggung jawab dan lebih dewasa. Tak jarang selalu menghabiskan waktu bersama putra-putri kami, membuatku sedikit cemburu rasanya.

"Melamun? Hmm?" Suara itu menyadarkanku dari lamunan yang ku ciptakan sendiri. Usai pulang dari pesta pernikahan Narra, si kembar sudah tertidur setelah aku menyusuinya.

Aku diam tak membalas tegurannya, mengingat Mario kadang jarang memiliki waktu berdua denganku membuat hatiku dongkol setengah mati. Tubuhnya beringsut mendekatiku setelah meletakkan buku yang tengah dibacanya diatas meja kecil samping ranjang. Mario menarikku dalam dekapannya, merengkuh tubuhku hingga sedekat ini. Ku tenggelamkan wajahku pada dada bidangnya, membangun rasa nyaman sendiri ketika jemarinya membelai rambut panjangku. Ini kebiasaan rutin yang kami lakukan sebelum terlelap.

"Ada masalah, Sayang?" Kepalaku menggeleng, enggan menceritakan bahwa aku cemburu pada anak-anakku sendiri.

Bibir Mario mengecup lembut pelipisku, membuatku terbuai diperlakukannya seperti ini. "Tidurlah, aku mencintaimu."

Ku pejamkan mata dengan senyum yang masih mengembang, memeluknya erat seakan tak ingin terlepas. Kebahagiaan kami semakin bertambah ketika si kembar hadir ditengah-tengah hubunganku dengan Mario. Ketakutan di masa depan yang akan menjadi kelam kini berubah menjadi suatu kesempurnaan yang harus dijalani. 

***

Annisa's VOP

Mengulang sebuah hubungan yang pernah dijalani memang sebagian dikatakan seperti membaca buku untuk kedua kalinya tetapi endingnya selalu berakhir sama. Tetapi sampai saat ini hubunganku dengan Stevent baik-baik saja. Aku mulai belajar memperbaiki sikap agar terhindar dari sebuah pertengkaran untuk hubungan kami, begitu juga tunanganku. Sepasang cincin tanda pengikat sudah melingkar dengan indahnya dijari manisku, pertanda sebentar lagi aku akan dimiliki seseorang.

Stevent menggenggam tanganku, dalam keadaan sedang menyetir saja dirinya masih tak ingin melepaskan. "Rasanya aku mau ikut masuk ke dalam kamarmu."

"Mau apa?"

Satu alis Stevent terangkat, pemuda itu menyeringai. "Dasar mesum." Tebakku sebelum ia menjawab pertanyaanku.

Stevent mencium punggung tanganku, membuat aku salah tingkah. "Sampai jumpa besok."

"Besok adalah waktu yang lama."

"Kamu lebay." Aku menarik tanganku kemudian membuka pintu mobil pajero hitamnya dan langsung turun sebelum pemuda itu mencegah.

"Ciumnya mana?"

"Dalam mimpi. Good night." Wajah Stevent berubah merengut ketika aku menolaknya untuk memberikan ciuman selamat malam.

"Ya, good night baby." Jawabnya dingin kemudian langsung tancap gas. Aku terkekeh, selalu begitu ketika pemuda itu tidak mendapatkan keinginannya. Saat ini meledeknya seperti menjadi kebiasaan rutin, Stevent bertambah manja saat hubungan kami semakin melangkah jauh. Ku langkahkan kaki memasuki rumah, berjalan sambil mengingat masa-masa pacaran kami dalam beberapa bulan ini untuk kedua kalinya. Stevent benar-benar berubah, kadang sulit untuk menanggapi sikapnya yang sering membuat kesal sendiri.

Aku ingat terakhir kali ia marah besar padaku saat kami sedang daftar kuliah, sebenarnya bagiku itu hanya masalah kecil tetapi bagi Stevent ada saja yang selalu ia permasalahkan. Saat aku sedang menunggunya selesai mengurus pendaftaran, tiba-tiba saja ada seseorang mengantarkan hot chocolate kepadaku yang dikirim secara sengaja oleh seorang pemuda yang saat itu tengah memperhatikanku. Sebagai seorang wanita tentu saja aku tersanjung, tetapi untuk wanita yang sudah memiliki pendamping itu bisa jadi bumerang. Ada secarik kertas di atas mug hot chocolate tersebut yang mengatakan coklat awal yang manis untuk berkenalan. Aku tersipu malu, ku lihat nama si pengirim, dia bernama Alan Adrian. Saat aku sedang menyesapi aroma hot chocolate tersebut, tiba-tiba Stevent datang dan menyambar hot chocolate milikku. Ia membaca kertas dalam genggamanku yang sengaja aku sembunyikan kemudian dengan kesal kertas itu dirobek dan hot chocolatenya dibuang begitu saja. Benar-benar menjengkelkan, aku lantas marah padanya dan Stevent malah balik memarahiku, mengatakan bahwa aku berselingkuh dibelakangnya. Kejadian itu berefek kami kehilangan kontak selama beberapa minggu, ia marah begitu juga dengan aku. Saat Narra mengirimi undangan pernikahannya dengan Vano, berulah pemuda itu mulai menghubungiku, meminta maaf atas tindakannya yang terlalu kekanak-kanakan. Satu pelajaran yang dapat aku ambil dari perubahannya, Stevent sangat mencintaiku dan takut kehilanganku. Hmmm... Ya, aku pun juga begitu, tidak akan mengulangi kesalahanku untuk yang kedua kalinya. Aku janji.

~~~

Haiiiiii, readers apa kabarrrrrr? Huaaaa akhirnya jadi juga part ini, maaf kebanyakan VOP hehehe.. Banyak kendala pas bikin ini cerita gaje, maaf yaaaa.. Maaf juga aku tidak menghadirkan Heni dan Maliq, karena belum sesuai dengan judul, mungkin next part begitu juga yang kangen Dokter Rendy yaaa hehe.. Dan maaf scene malam pertama Vano dan Narra begituuuuu, gak jago bikin yang adult adult nanti malah kena kritik yang bikin down... Terima kasih untuk yang sudah memberikan vote atau meninggalkan komentarnya dengan sukarela. Aku tunggu vote kalian di next part dan ceritaku yang satu lagi, aku sangat menungguu hahaha saikkkk..

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 129K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 64.9K 29
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
986K 14.5K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+