Win-Ka-Win

By diaparamita

1M 148K 15.1K

Win, kawin! Winka Winata terjebak dalam dilema ketika harus memilih antara kawin dengan pria pilihan bapaknya... More

1. Masih Harus Sepupuan
2. Misteri Mahasiswi Yang Bikin Gagal Move On
3. Spesies Manusia Kelainan
4. Sesuatu Yang Nggak Pernah Terduga Sebelumnya
5. Gadis Eksentrik Berambut Aneh
6. Pemikiran-Pemikiran Yang Tiba-Tiba Datang
7. Dia Nyeleneh, Tapi Baik
8.1 Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?
8.2. Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?
9. Pembicaraan Dua Orang Dewasa
10. Modus Pria Matang
11. Bagi Denganku, Jangan Dengan Orang Lain
PO Pesona Rasa Toko Buku Online, Shopee, dan Tokopedia
12. Seseorang Yang Saya Usahakan Sebagai Saya
13. Perasaan Manusia, Memangnya Bisa Ditebak?
14. Diputuskan
15. Kalau Minta Restu Itu Mudah
16. Lamaran
17. Seni Menahan Diri
18. Saya Berhak
19. Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 1
19. 2 Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 2
POV GALIH 1 - Satu Tahun Sebelum Hari Ini: Risau
Pesona Rasa After Marriage
20. Winkanya
POV Galih 2 - Mulai Bisa Menebak
Bab 21 dan Baca Duluan
21. Tujuan Hidup: Berada di Sisinya
22. Hari Ketika Aku Mengecewakanmu Kembali
23. Win, Please!
24. Win Ka Win
25. Sibling
26. Tanpa Terkecuali
Menjemput Pesona Rasa
27. Malapetaka (Part 1)
27. Malapetaka (Part 2)
28. Tidak Sadar
29. Kenapa Nggak Coba Kenalan Dulu?
30. Gemes Banget Calon Bapak-Bapak
31. Timbal Balik
Wedding Invitation
32. Cara Laki-Laki Bertransaksi
33. Adalah Takdir (Part 1)
34. Kontroversial
35. Menemukan Kedamaian
36. Cinta Pertama dan Patah Hati Pertama

37. Renata Dwita (1)

8.8K 1.1K 83
By diaparamita


37. Renata Dwita (1)

Galih menutup pintu kamarnya sambil mengendurkan ikatan dasi. Pria itu menyalakan lampu kemudian duduk di kursi kerja sembari mengatur nafas untuk mengurai lelah. Seharian ini dia disibukkan dengan banyak hal. Jam mengajar penuh dari pagi hingga sore hari. Disela-sela itu, dia harus menerima beberapa mahasiswa untuk bimbingan skripsi, lalu mengurus berkas-berkas proposal untuk penelitian yang akan ia ajukan.

Pria itu nyaris berlari di seputaran kampus, dicengkeram pekerjaan hingga tidak bisa melarikan diri untuk berkencan. Bahkan seharian ini dia hanya mengirim satu pesan singkat kepada Winka ketika jam makan siang. Ketika sekarang dia berkesempatan untuk mengecek ponselnya kembali, Galih tidak menemukan satu pesan pun dari Winka Winata, kecuali chat terakhir mereka saat Winka mengirimkan emotikon tiga jempol untuk menyemangatinya.

Galih akhirnya memutuskan untuk mengetikkan sebuah pesan saat melihat status gadis itu yang masih online.

Galih Mahendra: Winka?

Tidak membutuhkan waktu lama, gadis itu membalas.

Winka Winata: Kangen?

Galih tersenyum.

Galih Mahendra: Belum ngantuk? Mau video call?

Galih menggeser ikon video begitu Winka memanggilnya.

"Hallo? Kucel-kucel kok ganteng? Padahal belum mandi," goda Winka. Galih mengedipkan sebelah matanya sebagai respon. Winka terbahak-bahak. "Genit begitu, siapa yang ngajarin?"

"Kamu." Sebenarnya itu adalah reaksi alamiah setiap Galih berhadapan dengan Winka.

"Wah, artinya aku bawa pengaruh buruk buat kamu. Jangan kentara-kentara, deh! Nanti habis dijewer Budhe Dewi."

"Mana ada kamu takut sama Mama?"

"Ya, takutlah. Calon mertua ini!" Winka setengah serius ketika mengatakannya—yang hanya membuat Galih semakin tidak percaya. "Gimana kampus?"

"Sibuk." Galih bercerita. "Proposalku harus segera diajukan, tapi itu bukan masalah besar. Yang paling menyita perhatianku hari ini, dua mahasiswa bimbinganku terancam DO." Winka mendengarkan dengan hikmat. "Masalahnya mereka bukan mahasiswa biasa. Otak mereka benar-benar encer dan mereka juga aktif dalam pergerakan aktivis. Persoalannya, mereka hampir nggak ada kabar setahun belakangan. Aku nggak yakin mereka masih aktif di kampus karena beberapa orang organisasi yang aku tanyai juga lost contact sama mereka."

"Kamu nggak curiga mereka melipir jadi stand up comedian?"

"Kalau iya, harusnya mereka udah masuk tv."

"Kalau belum laku?"

Galih berpikir sejenak. "Stand up comedy itu hidup dalam komunitas. Mereka nggak akan bisa berkembang kalau nggak bergabung dengan komunitasnya. Kampus punya komunitas stand up yang lumayan besar, tapi nama mereka pun nggak pernah disebut di sana."

"Kamu sudah coba tracking ke keluarganya?"

"Sudah." Galih menghela nafas. "Nihil. Mereka kayak ditelan bumi." Winka tahu kalau Galih benar-benar khawatir. "Sebelum menghilang mereka sempat vokal mengkritik salah satu kebijakan pemerintah yang melibatkan partai besar. Kalau nggak salah, Adrian juga terlibat di sana. Cuma, Adrian nggak sedalam dua orang ini, dan beckingan Adrian juga nggak main-main."

"Mafia aja kalah sadis dari Papa."

"Pihak kampus curiga mereka sedang melarikan diri atau bagian paling buruk, mereka hilang."

"Kok serem banget? Kayak zaman Orba."

"Di negara berkembang, politik masih belum stabil. Lagipula, bisnis di negeri ini dikendalikan oleh satu persen yang menguasai pemerintahan. Dan politik dijadikan ajang untuk memuluskan ekspansi bisnis mereka yang kita tahu juga cuma menguntungkan si satu persen ini."

"Ada kemungkinan bisa lapor polisi?"

"Belum." Galih menjelaskan. "Cuma pihak keluarga yang bisa melaporkan kehilangan. Kampus masih mencoba untuk cari mereka. Kalau sudah mentok, mungkin keluarga akan diberi saran untuk lapor masalah ini ke polisi."

"Mereka benar-benar nggak menghubungi keluarganya?" Galih menggeleng. Winka ikut prihatin. "Di manapun berada, aku harap mereka baik-baik aja."

"Semoga." Galih mengalihkan pembicaraan. "Kamu hari ini ngapain aja?"

"Kerja di bengkel kayak orang orang gila." Winka tertawa. "Kamu tahu nggak hari ini aku buat apa?"

"No."

Winka tertawa lagi, kali ini wajahnya sedikit tersipu. "Ranjang bayi."

"Oh, ya?"

"Tanganku kayak gerak gitu aja. Ngebayangin ranjang kecil warna cokelat muda pakai kelambu biru. Lalu diisi kasur empuk dan boneka kelinci. Kayak lucu banget. Terus tiba-tiba di sana ada bayi mungil yang gembul, pipinya merah, matanya cerah, bibir mungil, dan dagu yang berlipat-lipat. Tangannya menjulur ke atas dengan tawa riang saat kelambunya dibuka, atau dia bakal menangis keras karena keusik sama keberisikan dunia. Meskipun aku belum siap punya anak, tapi bayanginnya kok tetap senang, ya, Pak Gal?" Galih melihat sepasang mata penuh binar dan pendar-pendar harapan. "Mungkin ini yang dinamain insting wanita?"

"Anak kita pasti lucu banget."

"Apalagi bapaknya kamu." Winka menggoda. Galih tersenyum. "One day, kalau kita sudah siap, aku nggak keberatan buat hamil anak kamu. Lalu kita besarkan mereka dengan tanggung jawab. Mereka bakal dapat kasih sayangku dan kamu secara utuh. Mereka bakal tumbuh sehat, bahagia, dan punya mimpi-mimpi yang menajukbkan karena dibesarkan oleh orang tua yang sudah sama-sama siap."

Galih menyadari kalau Winka tidak ingin mengulangi kesalahan orang tuanya. Gadis yang terlihat semaunya sendiri itu ternyata punya komitmen yang baik dalam sebuah hubungan. Gadis itu ternyata lebih senang mempersiapkan diri dengan penuh tanggung jawab. Galih paham sebab Winka ingin memberikan versi terbaik dirinya.

"Sebelum punya anak, kita memang harus siap secara mental dan finansial."

"No debat, sih, Pak Gal. Gimanapun, selain mental, finansial emang penting banget. Mau punya anak dengan pertumbuhan maksimal, kita butuh makanan bergizi yang harus dibeli pakai duit. Belum lagi vitamin, obat-obatan, kebutuhan bayi lain, sampai sekolah pun kalau mau ditempat terbaik, ya, harus mau keluar duit. Semua akses itu emang perlu ekonomi yang baik. Kamu harus kerja lebih keras lagi kalau kita mau punya anak."

Galih tersenyum sayang. "Pasti. Aku juga mau kasih yang terbaik, nggak cuma buat anak kita, tapi juga buat kamu."

Winka tertawa. "Beres. Nanti pasti aku bantu."

"Uangmu tetap bakal jadi uangmu."

"Dan uangmu buat aku semua?"

Galih mengangguk dengan polosnya. "Sisain dikit buat uang bensin dan jajan."

Winka terbahak-bahak. "Bakal gini, nih, mekanisme rumah tangga kita. Sudah siap masuk ke dunia bapak-bapak, Pak Gal?"

"Nggak bakalan lebih seram dari nggak sama kamu." Pria itu menggombal.

"Klise, tapi gue tetap kemakan. Gimana, nih? Cinta kok begini banget?" Gadis itu tentu tidak mengeluh. "Eh, omong-omong," Winka teringat sesuatu, "Adrian aneh banget akhir-akhir ini. Kamu kan tahu, ya, dia paling susah bangun pagi dan pakai baju rapi, tapi dua hari ini dia mendadak bangun pagi terus, pakai setelah rapi, dan wanginya, masyaallaaah, kecium sampai kompleks sebelah. Dia kayak anjing di musim kawin tahu."

Galih tidak mau berkomentar karena Adrian masih menyimpan rahasianya dari Winka. "Mungkin dia punya kegiatan baru. Kenapa nggak ambil positifnya aja?"

"Soalnya dia nggak cerita, Pak Gal. Aneh banget. Adrian tipe yang apa-apa cerita dulu ke aku, bahkan sekedar rencana pun dia pasti cerita. Takutnya itu anak malah aneh-aneh di luar."

"Win, kamu nggak boleh lupa kalau sekarang dia umur dua puluh lebih. Dia punya kehidupan sendiri, privasi, dan hak-hak yang nggak boleh kita ganggu gugat. Selagi itu nggak membahayakan dan merugikan dirinya serta orang lain, nggak masalah kalau dia mau simpan sendiri," nasihat Galih. "Kita juga pernah ada di fase itu." Galih mencoba memberi pengertian.

Winka menghela nafas. "Aku terlalu berlebihan." Dia mencoba berdamai.

"Nanti, kalau waktunya pas, kamu bisa ajak ngomong dia dengan santai. Atau mungkin Adrian bakal cerita sendiri ke kamu."

"Ya."

"Nggak usah terlalu dipikirkan. Adrian bakal baik-baik aja."

"Oke."

"Besok mau ketemu?"

"Kamu pulang jam berapa?" Winka langsung sumringah.

"Lima. Kalau molor, mungkin baru keluar kampus jam enam."

"Duh, macet."

"Aku usahain pulang cepet."

"Kafenya Mbak Dea?"

"Boleh."

"Aku bakal nongkrong di sana sepulang ngantor."

"Hubungi aku kalau kamu bosen nunggu."

"Paling aku telfon Bang Sat buat nemenin."

Galih mengangguk. "Istirahat!"

"Oke. Malam, Pak Gal."

Galih mengangguk sambil tersenyum, kemudian Winka mematikan sambungan video call mereka. Pria itu lantas berdiri menuju lemari kaca tempatnya menyimpan beberapa buku langka koleksinya. Galih mengambil sebuah map cokelat lantas membuka isinya—sebuah sertifikat tanah. Namun ternyata Bram tidak hanya memberikan sertifikat, namun juga sebuah akses lemari penyimpanan di bank. Dan Galih enggan sekali menebak isi dari lemari penyimpanan tersebut.

#

"Ngapain lo nongkrong dari tadi? Pacar lo minggat ke mana?" Satria melemparkan kunci mobil dan bungkus rokok ke atas meja.

"Masih otw." Winka menyeruput minumannya sambil menatap layar laptop. "Syuting film apaan lo hari ini?"

"Film porno."

"Ya Allah, berkah banget hidup lo." Winka menutup jendela kerjanya. "Mana level lo expert banget."

"Ahli tersertifikasi, sih, gue."

Winka menutup laptopnya. "Herannya kenapa nggak pernah ada yang jadi, ya?"

"Soalnya gue sekolah, makanya pinter."

"Waduh, mulutnya haram banget."

Satria membuka buku menu. "Lo yang traktir?"

"Jahat! Film lo masuk box office, tuh!"

"Honornya belum cair, Sayaaaang."

"Huuu, tetap aja lo nggak miskin."

"Situ butuh kaca?" Satria memanggil pelayan untuk memesan. "Hazelnute Latte dan kroisan. Trims."

"Gue mah goblok soal duit."

"Naif lebih tepatnya." Satria menyamankan duduk. "Bokap lo apa kabar? Kayaknya udah nggak terlalu heboh di tv gara-gara ketutup berita artis yang ketangkep pakai narkoba."

"Bokap gue amanlah. Sehat sentausa dia."

"Mana duitnya masih beranak pinak lagi. Suruh dia spill cara jadi orang kayak, dong!"

"Nenek moyang lo harus kaya dulu."

"Asem! Bener lagi."

"Bokap gue punya banyak jatah gagal di hidupnya, makanya dia sukses jadi pengusaha."

"Orang yang duitnya berseri mutlak makmur sampai anak cucu. Rakyat jelata cuma bisa menangis gara-gara nggak bisa naik tangga ke tingkat yang lebih tinggi. Mlarat sistematis itu memang benar adanya."

"No debat." Winka mengunyah makanannya.

"Makanya bersyukur, Non! Belum direncanain aja lo udah ditakdirin kaya."

"Hmm... hmm..." Winka menatap garpunya penuh minat. "Gue bersyukur kok, cuma jalan hidup gue aja yang beda," elaknya. "Kalau bokap gue nggak bikin ulah, gue oke-oke aja sama duit dia. Masalahnya gue dibesakan oleh ibu yang sangat menghargai duit dan menuntut gue untuk mencari dan menghargai duit juga. Gue harus hidup secukupnya dan semampunya. Nggak perlu berlebihan. Toh, gue juga terbiasa idup biasa-biasa aja. Malah katrok gue kalau tiba-tiba ngikut gaya hidup bokap gue."

"Gagu karena terbiasa miskin, ya?"

"Dasar manusia ujub!"

"Anak gue belum sampai sini, ya?" Mbak Dea meletakkan pesanan Satria dan sepiring kentang goreng, kemudian duduk di sebelah Winka.

"Tumben." Winka mengecek jam dari ponselnya. "Udah lewat jam enam, biasanya malam Sabtu begini dia ada acara sendiri, 'kan?"

"Nggak tahu deh." Mbak Dea mengedikkan bahu.

"Restoran lo ramai banget begini sampai jam berapa?"

"Malam Minggu agak over time, sih. Kayaknya bakal buka sampai jam sepuluh."

"Mana di bawah isinya pasangan karyawan yang baru gajian."

"Panen banget gue."

"Ma!" Mario yang sudah tumbuh hampir setinggi Satria muncul dengan wajah bertanya-tanya. "Caca udah sampai sini?"

"Belum." Mbak Dea menjawab polos. "Kamu janjian sama Caca?"

"Nggak." Dia menyeret kursi disebelah Satria setelah menyalami om dan tantenya. "Tapi, katanya tadi mau mampir ke sini setelah jemput papinya." Dia kemudian berbicara pada Winka. "Aku papasan sama Om Galih di parkiran, Tante Win."

"Oh, ya?" Winka memeriksa ponselnya dan tidak menemukan pesan apa pun dari Galih. "Tumben lumayan tepat waktu." Setelah mengatakannya, orang yang mereka bicarakan muncul.

"Lo tuh kalau ngajak Winka kencan jangan kemarilah. Yang ada kalian bakal kencan rame-rame," tegur Mbak Dea.

"Lo kok polos banget? Ya, pasti ada ronde kedualah," seloroh Satria.

Galih mengambil tempat di sisi Winka. "Nggak macet?" tanya Winka.

"Macet, cuma tadi keluar agak sorean."

"Makanya cepat." Dia menyodorkan minumannya pada Galih.

"Thanks." Galih meneguknya dengan suka rela.

"Oh, itu Caca."

Perhatian mereka teralih pada seorang anak perempuan berambut panjang yang sednag menggendong bayi montok berpipi merah. Anak itu terlihat luar biasa cantik dengan setelan one set berwarna hitam dan sebuah bando silver yang menghiasi kepalanya. Dia terlihat kesulitan menggendong bayi tersebut yang memang berukuran besar.

"Ca! Ya Allah, gemes bener si Sibda." Mbak Dea segera berjalan menyongsong Caca dan mengambil alih bayi menggemaskan tersebut dari gendongan kakaknya. "Mukanya emang Prof. Dharma banget ini." Lalu menciumi pipi Sabda sepenuh hati. Bayi berusia sembilan bulan tersebut tampak menikmati perlakuan yang ia terima. Terlihat sangat menggemaskan ketika dia tertawa hingga sepasang matanya tenggelam dibalik pipinya yang begitu tembam. "Mami Papimu di mana?"

"Di bawah. Masih ngobrol sama temannya Papi." Caca meambaikan tangan pada Mario yang menghampirinya. "Aku udah reservasi tadi, Tante. Tapi, di bawah penuh banget, makanya suruh naik ke atas. Ternyata di atas sama aja."

"Satu meja aja sama Tante nggak apa-apa, ya?" Mbak Dea menawarkan. "Masih kosong kok." Meja yang dimaksud mampu menampung delapan orang dewasa. "Nanti biar Tante yang ngomong sama Mami."

"Makasih, Tante Dea."

"Sama-sama."

Winka melongo melihat betapa manis dan cantiknya Caca. Gadis itu menyenggol lengan Galih untuk mengutarakan kekagumannya. "Kalau hamil kayaknya aku harus ngidam wajahnya Caca. Gemes banget calon mantunya Mbak Dea."

"Tante Win." Caca menghampiri Winka dengan semangat. "Rambutnya cantik banget, buat fomo, deh."

Winka tertawa. "Nanti dong kalau udah lulus SMA." Gadis itu memegang kedua tangan Caca dan menggoyang-goyangkannya. Padahal ketika mereka berdiri berdampingan, Caca jauh lebih tinggi dari Winka, tetapi gadis itu selalu merasa perlu untuk memperlakukan Caca seperti anak-anak.

"Lama, ya, Om Gal?" Galih menyeretkan kursi di sebelahnya untuk Caca duduk.

"Makasih." Dia kembali memperhatikan Winka. "Tante Win cantik banget. Mami pasti seneng banget lihat rambut Tante Win. Tahu, nggak? Mami tuh sebenarnya ingin cat rambut dari kapan tahun, tapi suka nggak tega sama Papi."

"Kenapa?" tanya Winka.

"Takut jomplang." Caca tertawa.

Mbak Dea ikut tertawa. "Jahat banget sama Papinya, Ca."

"Ya, gimana, dong?"

"Papimu ganteng tahu," bela Mbak Dea.

"Banget, Tante Dea. Masalahnya, Mami itu kelihatan muda banget. Tapi, mereka cocok kok." Caca terlihat bangga dengan orang tuanya. "Adek anteng banget. Dipangku siapa coba?" Sabda tertawa girang. "Tan-te-De-a." Gadis itu mengeja untuk mengajari adiknya, meskipun bayi sembilan bulan tersebut belum bisa mengeluarkan kata dengan jelas.

"Yaaa," tanggap Sabda.

"Ya Allah, gemes banget ini anak bayi." Mbak Dea tidak bisa menahan diri untuk tidak mengecup pipi Sabda.

"Ca!" Semua orang yang ada di meja itu menoleh ketika seorang wanita memanggil Caca.

Winka hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat wanita itu, sedangkan Satria kehilangan kata-kata dengan telak. Secara bersamaan mereka mengucapkan kalimat serupa yang muncul di kepala.

"Bidadari."

"Bidadari."

Sekaligus mengkonfirmasi pertanyaan Winka kenapa Galih Mahendra, si manusia paling aneh dalam semesta Winka Winata bisa jatuh cinta kepada wanita tersebut.

#

Kadang kita luput untuk mengapresiasi diri sendiri karena sibuk untuk memenuhi tanggung jawab, berkompetisi, atau bahkan ditenggelamkan dg pencapaian orang lain. Tapi dengan kamu yang hingga saat ini masih di sini dan berhasil melewati semua hal buruk yang telah terjadi, kamu harus memberi dirimu apresiasi yang terbaik dengan berbangga diri. Bangga karena telah menjalani semua ini, meskipun harus terseok-seok.  

Continue Reading

You'll Also Like

695K 1.9K 22
WARNING!!! IAM COMEBACK AWASSS BASAHH!! Jangan Dibaca semuanya sesat Sudah ada peringatan!!! kalau bermaksud me-REPORT cerita gw mending skip
625K 50.3K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...
1.1M 55.4K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
1.6M 175K 66
TAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes "Kita kapan akan bercerai?" - Aliyah, istri. "Kamu ajakin saya kumpul kebo?" - Jesse...