.
.
"Tanah itu pantas dihargai empat puluh juta per meter persegi.
Tapi karena saya kasihan pada anda, jadi --"
.
.
***
Sepatu boots beludru dengan hak tujuh senti yang dikenakan Elaine, beradu di lantai marmer. Tiap langkahnya membuat Elaine makin gelisah. Gerbang restoran Palm Court, terbuka lebar seolah menyambut kedatangan mereka. Elaine, Adli dan kedua staf Adli yang berjalan di belakang mereka berdua.
Begitu memasuki gerbang besi bergaris-garis menyilang dengan dekorasi bunga matahari yang dicat keemasan, interior restoran bergaya eklektik modern membuat Elaine tercengang. Sulit untuk tidak terlihat syok ketika berada di dalamnya. Langit-langit menjulang tinggi, dengan tiang-tiang melengkung menjadi rangka ruangan, bertepian warna emas, menopang ruang terpusat bersegi banyak. Kursi-kursi berlengan a la Eropa, mempermewah suasana. Dan yang paling cantik dari ruangan itu, adalah lampu kristal yang sepintas mirip kupu-kupu transparan yang terbang berkelompok, namun ketika dilihat lagi, bentuknya mirip dedaunan pohon palem. Bias cahaya lampu kekuningan, memberi kesan hangat, namun tidak bagi Elaine yang tetap merasa tegang dan berdebar-debar jantungnya.
Kedua staf Adli, juga terlihat kagum dengan interior restoran, mengedarkan pandangan mereka. Satu-satunya yang sorot matanya tetap datar, hanya Adli.
Mata Adli segera menangkap kerumunan di tengah ruangan. Setidak-tidaknya, ada sepuluh orang di sana. Meja-meja yang telah di-booking itu, ada sekitar tujuh atau delapan. Ruangan itu tidak terlalu luas memang, tapi luar biasa mewahnya. Berhubung ini restoran milik hotel, Dalton -- CEO PT Inti Properti Tbk -- pasti tidak bisa mem-booking seluruh ruangan, karena restoran itu tetap harus bisa digunakan oleh para tamu yang menginap. Tapi usaha Dalton untuk mem-booking separuh dari kapasitas meja di ruangan, pastinya memerlukan uang yang tidak sedikit.
Dalam sekali lirik, Adli bisa mengenali siapa bos mereka. Dalton Ryan Tedja. Bertubuh altetis, berkulit putih, memiliki rahang tegas dan kumis tipis. Tampangnya lumayan, mesti tidak seganteng Adli. Campuran suku Jawa dan Cina, nampak kentara di wajah Dalton. Pria yang lebih tua mungkin lima tahun dari Adli itu, mengenakan jas dolce gabbana abu bermotif floral dan kerah hitam bold, serta bros di saku kirinya. Baru ketika makin dekat, Adli bisa melihat bahwa bros itu sebenarnya adalah pelat keemasan berbentuk lebah bermahkota. Entah mengapa, lebah itu terlihat mengganggu di mata Adli.
Seorang pria yang diyakini adalah staf Dalton, berbisik di belakang telinga Dalton. Dalton seolah sedang men-scanning Adli dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meski tampak enggan, Dalton akhirnya memutuskan berdiri, menyambut kedatangan Adli. The power of baju bermerek dan dandan habis-habisan. Coba kalau Adli dan Elaine datang dengan baju seadanya, bisa dipastikan Dalton akan tetap duduk dan tidak sudi menyambut kedatangan mereka.
"Pak Adli?" tanya Dalton seolah berbasa-basi. Adli yakin, pria ini pasti sudah mencari tahu tentang dirinya, saat mendengar bahwa Elaine sang putri pemilik tanah tidak akan datang sendirian.
"Ya. Benar. Nama anda --," kata Adli, pura-pura tidak pernah mencari tahu tentang Dalton.
"Kenalkan. Saya Dalton Ryan Tedja. CEO PT Inti Property Tbk," ucap Dalton menyodorkan tangan meski dengan tampang kecut. Baru kali ini ada orang yang tidak kenal siapa dirinya, sampai dia harus memperkenalkan diri.
"Oh. Adli Pratama Danadyaksa. CEO Danadyaksa Corp," sahut Adli enteng, sambil menjabat tangan Dalton erat.
Satu kata 'oh' dari Adli, terdengar menyebalkan. Bahkan Elaine bisa melihat pria bernama Dalton itu tidak suka mendengarnya. Adli memang jagonya membuat orang kesal.
"Ah. Anda putra Pak Yoga Pratama, ternyata. Baru kali ini saya bertemu langsung. Mari, silakan duduk. Kalau gadis cantik ini, pasti Dek Elaine, ya?"
Elaine tertegun melihat Dalton menyodorkan tangannya. Sekilas Elaine terlihat ragu. Haruskah ia menjabat tangan pria ini yang bukan mahramnya? Bahkan terhadap Adli yang om angkatnya sendiri, dia tidak pernah berjabat tangan.
Adli menatap Elaine tajam. Jangan salaman dengannya! Jangan kalahkan syari'at agamamu, hanya demi jual beli! Jelas itu pesan Adli meski hanya melalui sorot mata. Meski Adli sendiri masih belum bisa tegas menolak bersalaman untuk urusan bisnis dengan rekan wanita yang bukan mahramnya, biarlah itu jadi pertanda bahwa dirinya memang belum jadi muslim yang taat. Tapi tidak dengan Elaine! Jangan Elaine!
"M-Maaf. Iya, saya Elaine," jawab Elaine sambil mengatupkan tangan di dada. Teringat pesan Adli untuk tidak membungkukkan kepala di depan pria ini, maka Elaine menurut.
Tampang Dalton kembali kecut. Ia menarik kembali tangannya yang kini menganggur di udara.
"Elaine memang masih remaja, tapi dia bukan anak-anak. Dan dia memang tidak bersalaman dengan yang bukan mahramnya. Semoga dimaklumi," jelas Adli.
"Oh. I see. Salamnya orang Arab, ya," komentar Dalton sinis.
Wajah Adli dan Elaine berubah. Jika bukan karena membawa nama Syeikh Yunan Lham, mungkin Adli sudah marah atau setidaknya pergi dari tempat ini sekarang juga.
"Bukan, Pak Dalton. Itu salamnya orang muslim. Bukan orang Arab," tegas Adli.
Adli dan Dalton saling tatap tanpa senyuman. Suasana terasa tegang. Bahkan kedua staf Adli turut berkeringat dingin. Ditambah lagi, ada sembilan orang bersama Dalton. Mereka seperti akan dikeroyok saja.
"Baiklah. Sepertinya kalian tidak datang berdua saja," ucap Dalton sambil mengamati kedua pria muda di belakang Adli.
"Kenalkan. Danny, akuntan saya, dan Ronny, insinyur di perusahaan saya," Adli memperkenalkan kedua stafnya. Yang bernama Danny sudah menyodorkan tangan, hendak bersalaman dengan Dalton, tapi Dalton terlihat enggan.
"Oke. Silakan duduk. Mari kita mulai meeting ini," kata Dalton yang langsung duduk, membiarkan Danny mengambang tangannya tanpa dijabat.
Danny terlihat menahan malu. Dalton membalas kejadian dengan Elaine dan melampiaskannya pada Danny. Elaine jadi merasa bersalah dengan Danny. Adli memberi tatapan yang dipahami Danny untuk menghibur dan agar mereka bersabar dengan meeting yang sepertinya akan berlangsung menyebalkan ini.
Dalton duduk di samping seorang stafnya, lalu Adli dan Elaine duduk di seberangnya. Sementara staf Adli duduk di meja sebelah Adli. Tersebar mengelilingi mereka, duduk para staf Dalton.
"Panggilkan pelayan, minta mereka membawakan menu," titah Dalton.
Pria yang duduk di samping Dalton, memberi isyarat jentikan jari, lalu tak lama seorang pelayan datang.
"Silakan pesan apa saja yang kalian mau. Jangan khawatir, saya yang tanggung semuanya," ucap Dalton jumawa.
Adli, Elaine dan kedua staf Adli, membuka buku menu.
"Coffee latte," kata Adli.
"Vanilla and coconut yoghurt smoothie," kata Elaine sambil menelan saliva saat melihat harga-harga di dalam menu.
Sementara kedua staf Adli kompak memesan melon juice.
"Kok tidak pesan menu makanan? Jangan malu-malu. Bukankah kita di sini untuk makan malam?" Dalton menawari dengan nada setengah memaksa.
"Terima kasih Pak Dalton. Tapi kami sudah telanjur booking tempat di Pasola, Ritz Carlton. Nanti setelah dari meeting ini, kami akan ke sana. Jadi di sini kami hanya pesan minuman saja," Adli tersenyum berwibawa saat mengatakannya.
Dalton saling lirik dengan staf yang duduk di sampingnya. Sudah booking meja banyak begini, eh tamu mereka malah cuma mau pesan minuman. Pakai pamer segala mau makan malam di restoran mewah lainnya, Pasola di hotel Ritz Carlton.
"Baiklah. Kalau begitu, apa sebaiknya kita mulai saja meeting-nya?" tanya Dalton yang agaknya mulai tidak betah berlama-lama dengan Adli. Ide untuk hanya memesan minuman saja, bisa dipastikan adalah idenya Adli.
"Boleh," kata Adli santai. Seperti ogah-ogahan berada seruangan dengan Dalton.
Urat nadi muncul di kening Dalton. Dia pernah mendengar dari ayahnya, bahwa Yoga Pratama adalah pengusaha yang songong. Ternyata kesongongan itu menurun ke putranya.
"Setahu saya, tanah ini atas nama Bapak Yunan Lham. Lalu, Elaine ini adalah --"
"Putri Syeikh Yunan Lham. Beliau ulama yang tinggal di Sumatera Barat. Saya diminta beliau untuk menemani Elaine ke pertemuan ini," jelas Adli.
"Oh," gumam Dalton. Sayang sekali. Padahal, kalau saja urusannya langsung dengan Elaine, Dalton yakin bisa membujuk Elaine dalam negosiasi harga, dalam waktu yang singkat saja. Dari pada harus berurusan dengan bocah songong bernama Adli ini.
"Baiklah. Saya akan langsung saja kalau begitu. Mengingat anda dan rekan-rekan anda ada rencana makan malam di tempat lain," sindir Dalton.
"Langsung saja, juga bagus," ucap Adli manggut-manggut, menguji kesabaran Dalton.
"Saya sudah sempat melihat lokasi tanahnya. Jadi, rencananya kami akan membangun kompleks town house di sana, kalau negosiasi kita deal. Town house ini, bukan sembarang town house, tapi town house super mewah untuk orang-orang yang super ... kaya," Dalton tersenyum setelah memaparkannya.
"Tidak sembarang orang yang bisa jadi penghuni town house itu. Hanya orang-orang kelas atas, yang punya kedudukan tinggi di perusahaannya. Maka itu, kami berniat akan mengolah landscape-nya menjadi sangat istimewa, agar mereka merasakan kemewahan seperti di villa, saat pulang ke rumah mereka. Untuk itu, walau jumlah unitnya tidak terlalu banyak, kami perlu luas tanah yang tidak sedikit. Dan luas tanah yang dimiliki Bapak Yunan Lham, memenuhi kriteri kami."
Adli manggut-manggut. Ya. Ya. Berarti wajar dong kalau kalian beli dengan harga tinggi, kira-kira demikian makna dari ekspresi muka Adli.
"Tapi, yah anda tahu tentunya. Anda 'kan juga seorang pebisnis. Dalam bisnis, tawar menawar itu hal biasa. Tentunya, kami juga perlu menghemat pengeluaran untuk biaya tanah. Tapi jangan khawatir. Kami akan memberikan penawaran terbaik! Saya yakin, anda tidak akan mendapat penawaran yang lebih baik dari kami."
Adli melipat tangan, terlihat seperti tidak sabar mendengar basa-basi ini. "Berapa?" tanya Adli.
Dalton memberi isyarat lirikan mata pada staf yang duduk di sampingnya.
"Tiga puluh tiga juta per meter persegi," kata staf Dalton.
"Cukup adil, 'kan? Maksud saya, ayolah. Selama ini saya yakin calon-calon pembeli yang anda hadapi, adalah orang-orang miskin yang sok kaya, yang budget-nya terbatas dan menawar dengan harga -- berapa? Dua puluh lima? Tiga puluh paling maksimal," ucap Dalton dengan lagak sombong.
"Tiga puluh sembilan," potong Adli dengan suara datar.
Dalton tersentak dan ternganga mulutnya. "A-Anda bercanda, 'kan? Ini bukan transaksi tanah sempit yang sedang kita bahas sekarang, tapi dua belas ribu meter persegi, for God's sake!!"
Elaine menoleh ke arah Adli yang nampak sangat yakin. Benarkah mereka akan melewatkan penawaran bagus ini? Sebenarnya, Dalton tidak salah tebak. Selama ini calon pembeli menawar di harga rendah. Dua puluh lima sampai tiga puluh.
"Saya sudah berbaik hati menurunkan satu juta dari harga sepantasnya. Tanah itu pantas dihargai empat puluh juta per meter persegi. Tapi karena saya kasihan pada anda, jadi --," kata Adli mengendikkan bahu.
Urat nadi Dalton kembali nampak. Dia bisa darah tinggi kalau terlalu lama berurusan dengan bocah tengil ini.
"Anda tidak konsultasi dulu pada Elaine sebagai putri dari Bapak Yunan Lham??" seru Dalton yang agaknya menangkap reaksi polos Elaine yang terkesan tertarik dengan penawaran Dalton.
"Tidak perlu. Saya yang diberi mandat untuk negosiasi, langsung oleh Syeikh Yunan Lham," tegas Adli.
Elaine tersenyum kaku. Begitulah. Dia pikir mereka akan makan malam dengan damai di sini. Sekarang, bahkan untuk meneguk minuman pesanannya saja, dia merasa sungkan.
Om Adli benar-benar --
.
.
***