382 - Mogok

167 55 7
                                    

.

.

Pada dasarnya memang, tak ada hidup yang sempurna.

Termasuk para ulama, juga punya masalah dengan rumah tangganya.

.

.

***

Haya berjalan di luar gerbang madrasah, dengan jinjingan mungil bermerek toko gift dan aksesoris. Para murid madrasah sudah tak nampak, lantaran jam pulang telah lama berlalu. Hanya nampak satpam madrasah yang bercengkrama dengan petugas kebersihan, di pos jaga.

Alis Haya berkerut saat menatap layar ponselnya yang mati. Ia lupa membawa power bank maupun charger. Gawat ini. Pasti sudah ramai orang mencarinya. Masalahnya, dia sudah janjian mau ke rumah Kak Raesha untuk membahas laporan keuangan madrasah. Sesuai wasiat dari almarhum Yoga, Haya mengambil kursus keuangan dan didaulat untuk mengawasi alur kas madrasah, sebagai perwakilan keluarga, pasca wafatnya Ilyasa. Raesha sekarang disibukkan dengan dakwah di televisi. Mengajar di madrasah pun, terkadang Raesha tidak sempat dan akhirnya digantikan oleh guru lain. Apalagi mengawasi keuangan madrasah, Raesha sama sekali tidak ada waktu untuk itu. 

"Dek Haya belum pulang? Tadi Dek Elaine sudah dijemput kayaknya," tanya pak satpam madrasah.

"Belum, Pak. Ini saya mau ke rumah Ustadzah Raesha dulu," jawab Haya sambil membungkuk sopan.

Haya berbelok ke kanan di pertigaan jalan. Tak lama, Haya sudah berdiri di depan pagar rumah Raesha yang berwarna hitam. Ia menekan bel. Baru dua kali, terdengar suara pintu depan dibuka. 

"Ya Allah, Haya!" seru Raesha yang keluar mengenakan baju kaftan dan kerudung.

"Maaf, Kak. Hapeku mati. He he," Haya cengengesan.

Raesha membukakan selot pagar sambil geleng-geleng kepala. "Benar-benar kamu ini -- Kakak mau berangkat ke studio, ada meeting!"

"Oh? Terus gimana, Kak? Apa ditunda aja bahas laporan keuangannya?"

"Gak apa-apa. Masuklah. Kita bahas secara umum aja dulu. Nanti kita cari waktu lain untuk ketemuan."

"Ooh oke," gumam Haya menundukkan kepala. Merasa bersalah. Dari tadi dia sudah ditunggu kah ternyata? Dia malah santai memilih kado di toko.

Haya masuk ke ruang tengah dan duduk berdampingan dengan Raesha di sofa.

"Ibu mana?" tanya Haya celingukan. Semenjak Erika pindah ke rumah Raesha, tiba-tiba Haya merasa kesepian. Mana Adli sering pulang malam pula. Dia lebih sering hanya berdua dengan Elaine di rumah sebesar itu, ditemani para pelayan.

"Di dapur kayaknya. Ibu di dapur mulu. Kakak jadi gak enak. Tiap mau dibantuin, Kakak malah diusir," jawab Raesha meringis.

Haya tertawa. "Wajar, Kak. Perut Kakak 'kan sudah mulai besar sekarang. Kakak istirahat aja."

"Iya, nih. Mulai terasa gerakannya," kata Raesha sambil mengelus-elus perutnya sendiri.

"Aku boleh pegang, gak?" tanya Haya dengan sorot mata mengarah ke perut Raesha.

"Boleh," jawab Raesha senyum mesem.

Haya mengelus perut Raesha. "Gimana rasanya hamil, Kak? Aku juga pengin lah."

Raesha tertawa. "Rasanya ya ... gimana ya? Susah jelasinnya. Nanti kamu rasain aja sendiri. Nikah dulu tapi!"

Mereka tertawa. Erika muncul dari dapur.

"Haduuuhhh!! Ada anak bandel yang datengnya telat, yaaa??" Erika menjitak kepala Haya, membuat Haya mengaduh sambil tertawa.

"Hapemu kok gak bisa ditelpon??" omel Erika yang duduk di samping Haya.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang