378 - Salon

192 59 4
                                    

.

.

"Ada orang-orang tertentu yang hanya bisa menghargai orang lain berdasarkan materi. Mereka adalah orang-orang sudah dibutakan oleh harta. 

Maka itu, sombong di depan orang yang sombong, kadang-kadang perlu."

.

.

***

Begitu melihat Adli turun dari mobil rolls royce, dua orang staf salon bergegas membukakan pintu.

"Selamat datang, Tuan Adli," ucap keduanya serempak.

Elaine yang berjalan di samping Adli, memberi tatapan heran ke arah Adli. Nama Adli dikenal dan bahkan dihormati di salon ini?

"Ini salon langganan keluarga. Khusus untuk acara spesial aja. Kayak pas pelantikan CEO, tukang salonnya dari sini," jelas Adli yang menangkap keheranan Elaine.

Elaine manggut-manggut sambil mengedarkan pandangan ke interior salon yang sangat aduhai. Cermin-cermin bergaya klasik, berderet di kedua sisi ruangan yang memanjang. Kursi-kursinya pun sangat mewah, berwarna putih gading, dengan dudukan ampuk berwarna senada, dengan rangka dan sandaran melengkung berukiran khas klasik. Lampu-lampu gantung chandelier, bergantungan di beberapa titik pada langit-langit. Jelas ini adalah salon termewah yang pernah dilihat Elaine.

"Yaampuuunnn Tuan Adlii dataang gak bilang-bilang! Datang tak diundang, pulang tak diantar! Kek jaelangkung aja! Ahahahaha!" muncul pria kemayu yang lengan kemeja putihnya menjuntai a la pangeran dari putri dongeng, menghampiri mereka dengan tawa berderai yang mengingatkan Elaine dengan film horor mbak Kun di televisi.

"Jangan banyak cincong, Ben. Ada situasi darurat. Aku dan keponakanku Elaine, perlu terlihat keren maksimal sebelum meeting penting malam ini," ucap Adli tanpa berbasa-basi.

"Ouww. Ocee beres, bos Adli. Masih judes aja. Eike paling suka yang judes-judes!"

Kedipan mata Ben diabaikan oleh Adli.

"Galak banget, Om," bisik Elaine pada Adli.

"Biarin. Nama aslinya Benny. Nama lainnya Bennita. Dia makhluk yang cuek. Diomel-omelin kayak gimana pun, gak akan ada efeknya," jelas Adli tanpa merasa bersalah.

"Siapkan ruangan khusus. Dikasih sekat pembatas. Khusus Elaine, ruangannya harus tertutup. Saya gak mau dia dilayani sama laki-laki. Cuma staf perempuan yang boleh menata rambut dia. All body treatment. Rambutnya paling di-creambath aja, lalu dicepol. Toh dia pakai jilbab. Yang lebih penting buat dia, adalah make up-nya. Meeting-nya di restoran mewah. Kamu aturin lah, konsep riasnya," request Adli dengen tempo bicara yang cepat, sepintas mirip rapper saja.

"Kalo Nona Elaine dilayaninnya sama bencong, boleh?" tanya Benny pada Adli.

"Gak boleh. Cuma perempuan seratus persen yang boleh. Yang lima puluh persen, gak boleh sentuh dia. Paham?"

"Ocee siap Tuan Adli Yang Terhormat!" Benny memberi hormat bendera, sebelum membagi tugas pada para karyawannya.

Adli dan Elaine dipersilakan masuk ke ruangan belakang, dilirik oleh beberapa pengunjung salon yang sedang di-treatment rambutnya di area depan.

"Siapa sih?"

"Tau. Pelanggan spesial kayaknya. Di-treatment-nya di ruangan khusus."

"Yang jelas, sih. Bukan orang kaya biasa. Liat gak tadi mobilnya? Beuhh! Minimal dua puluh M itu!"

Elaine berada di ruangan yang dikelilingi tirai putih. Tepat di sampingnya, ada Adli yang nampaknya sedang dipijat oleh staf laki-laki.

"Nona Elaine, di-massage dulu, ya. Sekalian pakai minyak essential aromaterapi, biar semerbak mewangi!" kata seorang wanita muda yang nantinya akan mendandani Elaine.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang