249 - Pecat

272 87 10
                                    

.

.

"Ustaz memang manusia biasa, tapi kita harus sangat berhati-hati dengan lisan dan perbuatan kita.

Salah sedikit saja, gelar 'ustaz' kita akan jadi cemoohan masyarakat,"

.

.

***

Dua pria itu tercengang saat duduk di seberang ruang kerja pimpinan madrasah.

Dua lembar surat pemutusan hubungan kerja, diletakkan di meja. Surat PHK untuk Sobri dan Hanif.

"A-Apa ini, Ustaz Ilyasa? Kenapa tiba-tiba kami dipecat begini?" seru Sobri. Pria bertubuh agak tambun itu, sampai berdiri dan menggebrak meja. Nampak tidak terima dengan keputusan Ilyasa selaku pemimpin madrasah.

"Iya, Ustaz! Saya juga tidak terima! Di mana-mana biasanya ada peringatan dulu! Bukan main pecat seperti ini!" timpal Hanif.

Ilyasa menatap keduanya tajam. "Kenapa, kata kalian? Kalian sudah berkali-kali kepergok mengintip istri saya yang sedang mengajar! Dan puncaknya, Ayah saya melihat kalian merekam istri saya diam-diam! Lalu semalam, saya baru tahu kalau video istri saya viral di medsos! Masih mau tanya kenapa??" bentak Ilyasa. Urat di keningnya nampak. Rasa-rasanya kalau tidak menahan diri, ingin rasanya dia mengamuk di tempat.

Sobri dan Hanif saling tatap sesaat, sebelum Sobri kembali marah.

"Saya tidak merekam istri Ustaz sama sekali! Jangan berlaku tidak adil dengan memecat saya!"

"B-Buktinya apa kalau kami yang menyebarkan rekaman itu?? Bisa saja 'kan orang lain yang melakukannya?" kata Hanif membela diri.

Mata Ilyasa menyipit. "Akun yang pertama kali menyebarkan video itu, adalah akun anonim. Tentu saja saya tidak bisa membuktikannya, tapi siapa lagi yang bisa merekam istri saya mengajar, kalau bukan orang dalam madrasah? Dan hanya kalian berdua yang selama ini tidak tahu malu, jelas-jelas menampakkan ketertarikan pada istri saya!!"

"Kalau tidak ada bukti, jangan main pecat, dong! Buktikan dulu!!" protes Hanif lagi.

"Tidak ada tawar menawar! Kalian berdua dipecat tanpa surat rekomendasi!" putus Ilyasa tak perduli.

Sobri mendadak gelap mata. Dia menghampiri Ilyasa dan menarik kerah baju Ilyasa.

"Kamu tidak bisa seenaknya begini pada saya, Ustaz Ilyasa! Mentang-mentang kamu anak angkat konglomerat!! Kamu pikir, anak bocah ingusan seperti kamu bisa punya madrasah sebesar ini, kalau bukan karena bantuan ayah angkatmu?? Sombong sekali kamu!!"

Hanif gugup ketakutan.

Ilyasa balas mencengkeram kerah baju Sobri. "Kamu pikir saya takut?" ancam Ilyasa. Darah muda Ilyasa merasa tertantang. Bagaimanapun, Ilyasa bukan Yunan yang bisa tetap tenang meski sedang kesal setengah mati.

Nyaris keduanya baku hantam. Untungnya seorang satpam yang mendengar kericuhan itu, melerai keduanya.

"Bawa mereka keluar! Mereka sudah dipecat! Jangan biarkan mereka masuk ke sini lagi!" titah Ilyasa.

"Baik, Ustaz!" sahut satpam itu yang kemudian memanggil temannya untuk membantunya.

Sobri masih mengamuk, berusaha lepas dari cekalan satpam.

"Awas kamu, Ilyasa!! Saya tidak akan lupa perlakuanmu ini! Akan saya balas kamu! Kamu dan keluargamu! Istrimu dan anak-anakmu!! Ingat itu!" jerit Sobri dengan wajah merah murka.

Ilyasa merapikan kerah bajunya. "Brengsek," gumamnya setelah kedua pria itu diseret keluar gerbang.

.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang