304 - Terapi

221 80 27
                                    

.

.

"Tapi, aku tidak sendirian. Ada seseorang yang membantuku mengetuk pintu langit."

.

.

***

"Ustaz Ilyasa."

Ilyasa yang sedang menunggu istrinya membeli makanan di kantin rumah sakit untuk makan malam mereka , menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Zhafran tersenyum menghampiri.

Ilyasa membalas senyumnya. Dia memang mengenali suara itu sebagai suara Zhafran.

"Mau pulang, Ustaz?" tanya Zhafran berbasa-basi. Padahal sudah tahu kalau Ilyasa dan Raesha mau pulang ke rumah.

"Iya, Ustaz Zhafran. Beberapa hari ini, istri saya tidak sempat masak, jadi mau beli makanan dari sini saja, untuk makan malam."

"Oh. Oke. Fii amanillah, Ustaz."

"Syukran, Ustaz Zhafran. Beberapa hari ini di rumah sakit, saya merasa suasananya jadi menyenangkan karena ada Ustaz Zhafran," ucap Ilyasa tertawa.

Zhafran tersenyum, meski entah mengapa Ilyasa menemukan kesedihan di bola matanya.

"Ustaz Ilyasa masih mau tahu jawaban pertanyaan yang waktu itu?" tanya Zhafran.

"Pertanyaan yang mana?" sahut Ilyasa dengan alis berkerut, namun sedetik kemudian, matanya membelalak. "Ah pertanyaan yang itu," gumamnya sambil mengangguk paham. Yang dimaksud Zhafran adalah rasa de ja vu Ilyasa saat pertama bertemu Zhafran di rumah sakit.

"Akan saya jawab. Mungkin jawabannya agak aneh. Terserah Ustaz Ilyasa, mau percaya atau tidak."

Ilyasa tercenung. Jawaban macam apa yang membuat dirinya kemungkinan tidak mempercayai Zhafran? Selama ini dia tidak mendapat kesan bahwa Zhafran seorang pembohong. Sama sekali tidak. Sebaliknya, Zhafran terkesan amanah dan lurus agamanya.

"Dulu sekali, waktu manusia belum turun ke bumi, ruh-ruh dikumpulkan di padang mahsyar. Kita semua dikumpulkan di sana, lalu Allah bertanya, 'Bukankah Aku Tuhanmu?' Dan kita semua menjawab, 'benar, ya Allah. Engkau adalah Tuhan kami.'"

Kernyitan di dahi Ilyasa kini nampak. Ia makin tak mengerti ke mana arah pembicaraan Zhafran.

"Saat itu, ruh Syeikh Abdullah berada tepat di depan saya. Lalu, di samping kanan saya, ada ruh Syeikh Yunan. Di sebelah kiri saya, ... ada kamu, Ustaz Ilyasa."

Tenggorokan Ilyasa tercekat. Ia sempat membeku untuk sekian detik, sebelum air matanya lolos ke pipi.

Zhafran tersenyum. "Selamat jalan. Setelah ini, kita mungkin tak akan bertemu lagi. Aku do'akan, semoga Allah mudahkan segala urusan akhiratmu. Senang mengenalmu walau hanya sesaat."

Ilyasa masih mematung di tempatnya, saat tubuhnya dirangkul Zhafran. Mata Ilyasa sempat berkedip sekejap. Tak percaya kalau Zhafran akan merangkulnya. Dia tahu, Zhafran bukan tipikal yang mudah melakukan kontak fisik. Bahkan saat Yunan tersadar, Zhafran hanya mencium tangan Yunan dengan anggun.

Rangkulan itu berlangsung beberapa detik. Terasa lama bagi Ilyasa yang air matanya jatuh satu per satu, membasahi pundak Zhafran.

Raesha melihat momen langka itu dari kejauhan. Dia sengaja tidak mendekati mereka, khawatir mengganggu.

Zhafran melepaskan rangkulannya. Bibir Ilyasa gemetar. Dia tahu Zhafran berbeda, tapi tidak menyangka kalau -- 

"S-Syukran. Jazakallah khairan katsiran. Semoga Allah menjagamu," hanya itu yang mampu terucap dari bibir Ilyasa.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang