363 - Jalan-jalan

262 65 6
                                    

.

.

"Diajak jalan-jalan kok gak tanya mau diajak ke mana. Wong edyan."

.

.

***

Keluarga Danadyaksa sudah berkumpul di dekat mobil sewaan mereka. Bercengkerama. Sesekali terdengar suara tawa. Suasana tempat suluk mendadak sore ini jadi lebih semarak, alih-alih kontemplatif, tersebab ada keluarga ajaib itu di sana. 

Sementara Raihan memilih duduk di mobilnya yang mesinnya sedang dinyalakan Mahzar. Raihan malah kemudian tertidur nyaman di bangku belakang, dengan AC menyala. Yang baru tunangan, ternyata sebenarnya kelelahan, tapi tetap tak mau ketinggalan jalan-jalan.

"Yang lama dandannya siapa sih? Ibu atau Haya?" tanya Adli bersungut-sungut sembari melipat tangan.

"Heh bocah! Kamu gak pernah ngerasain jadi nenek-nenek muda, sih. Ngedempul satu garis keriput aja, perlu effort yang gak sebentar! Lagian, perempuan beda sama laki-laki. Kalo laki-laki mah, keluar rumah pake singlet sama celana pendek aja, bisa bodo' amat. Lha kalo perempuan, apalagi seumur Ibu, mana bisa make up-an sebentar? Dasar laki-laki gak peka! Ibu kasihan sama yang jadi istrimu nanti. Pasti kamu gak mau sabar nungguin istrimu make up-an!" tuduh Erika tanpa dasar.

"Enak aja. Yang jadi istriku nanti, insya Allah gak perlu dandan heboh, udah cantik,"  kata Adli sambil menyugar rambut, bergaya sok model.

"Jadi maksud kamu, Ibu kalo gak dandan heboh, gak cantik? Gitu? Kamu mau ngajak gelut?" tantang Erika yang seketika menggulung lengan gamisnya, gaya a la preman.

"Aku 'kan gak bilang gitu. Ibu udah cantik. Makanya gak usah dandan heboh segala. Kalo udah ada keriput, ya udah biarin aja keriputnya. Gak perlu didempul," sahut Adli membela diri.

"Udah, udah. Jangan berantem. Duh. Gimana kalo nanti Husein tahu bahwa keluarga kita aneh?" rintih Haya saat berusaha melerai ibunda dan adiknya dari perkelahian yang tidak perlu. Seandainya Husein tahu kenyataan pahit bahwa Haya lahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang tidak begitu wajar, Husein mungkin akan meninjau ulang niat lamarannya.

Elaine cekikikan melihat drama opera sabun yang antik di hadapannya. 

"Eh aku baru nyadar. Elaine sama Adli bajunya sama-sama abu-abu. Kalian janjian, ya?" Haya berusaha mengalihkan perhatian ibunya dan Adli, agar cekcok mereka tak berlanjut.

"E-Enggak! Aku sama Om Adli enggak --," Elaine berkilah meski sambil malu-malu.

"Siapa yang janjian??" Adli protes dengan lantang. Haya terkikik melihat pipi kakaknya merona. Duh duh. Imut banget Kakaknya. Dulu sama mantan-mantan pacarnya waktu SMA, Kak Adli gak pernah bertingkah seperti ini.

"Wah. Kalo kembaran padahal gak janjian, itu namanya sehati sepenanggungan!" Erika menimpali dengan komentar ngasalnya.

"Itu kurang tepat pemilihan istilahnya, Bu. Bukannya mestinya senasib sepenanggungan? Kalau Ibu mau bilang sehati, pasangannya 'sejiwa'. Jadi 'sehati sejiwa' gitu lebih nyambung, Bu," kritik Haya yang terdengar seperti guru bahasa Indonesia.

"Ya mirip-mirip, lah," celetuk Erika enteng.

"Tuan, apa mesin mobilnya perlu saya panaskan mulai dari sekarang?" tanya supir Adli setelah turun dari kursi kemudi. Dia agaknya tidak tahan diam saja di dalam mobil dan tak mengerjakan apapun.

"Ya boleh. Sambil nunggu Kak Yunan muncul," jawab Adli. "Abimu kok lama di toilet, Elaine?" tanya Adli sambil melipat tangan.

"Em ... gak tahu, Om. Apa perlu aku cek?" tanya Elaine ragu.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang