198 - Paket Untuk Ilyasa

333 93 27
                                    

.

.

Sebaik-baik makanan, adalah yang dibuat sambil mengingat Allah.

.

.

***

Oppa sayang,

Akhirnya aku belajar masak juga, sama ibuku. Tiap hari diomelin terus. Kemarin, lengkuas aku kira jahe. Untung belom keburu masuk ke panci.

Ibuku merasa bersalah, karena Ibuku memang sejak aku kecil sampai sekarang, gak pernah ngajarin aku masak.

Untunglah aku belum nikah sama Oppa. Kalau kita udah nikah, khawatirnya aku ngeracunin Oppa dengan masakanku. Aku jadi bayangin headline di artikel gosip, "Da'i Oppa Ilyasa Masuk Rumah Sakit Karena Keracunan Masakan Istrinya Yang Tidak Bisa Masak." Na'udzubillahi min dzalik. Serem sekali!

Setelah kupikirkan baik-baik, insyaallah aku akan masakin Oppa rendang. Oppa suka yang pedas atau sedang? Kuat makan pedas gak, Oppa? Takutnya kalau terlalu pedas, nanti Oppa sakit perut. Nanti rendangnya akan aku bungkus yang rapat biar kedap udara. Insyaallah tahan dua minggu. Kalau masuk freezer, bisa tahan sebulan. Sudah aku cek, pengiriman paket ke Kairo bisa sampai 3-5 hari. Do'ain semoga mak nyus rendangnya, dan cocok di lidah Oppa.

Aku sudah siapkan benang wol tebal, jarum sulam, benang jahit dan jarum rajut. Kemarin aku mulai belajar merajut syal.

Do'akan semoga aku bisa mengirim keduanya sekaligus. Rendang dan syal, sebelum musim dingin di sana tiba. 

Jaga kesehatannya, Oppa. Love u.

.

.

Raesha sayang,

Aku kehabisan kata-kata. Kuharap yang kamu lakukan ini, tidak membuatmu lupa mengulang hapalan Qur'an. Tetap kerjakan amalan harianmu, ya.

Mendengar skill memasakmu yang sangat payah, aku jadi bingung mesti bersyukur atau gimana dengan status kita yang belum menikah sampai sekarang. Karena tiap harinya aku menyesal tidak langsung menikahimu kemarin. Menyesal sekali. Jangan-jangan, keracunan rendang a la Raesha masih lebih baik, ketimbang menelan rindu ini bulat-bulat.

Anyway, aku suka pedas, kok. Ibuku sering masak masakan Korea, yang biasanya pedas, dan perutku bisa menerimanya. Tapi kalau kamu ragu-ragu seberapa kuat ketahanan perutku terhadap pedas, kamu bikin saja yang sedang.

Hati-hati dengan jarum-jarum itu. Aku kok jadi khawatir.

.

.

Raesha duduk di kursi taman yang biasa jadi spot mengajinya bersama Ilyasa. Al Qur'an di tangannya, bertumpu pada meja bundar.

Bibir Raesha bergerak-gerak, mengulang hapalan surat Al An'am. Matanya memejam. Sesekali alisnya berkerut saat mengingat beberapa ayat yang terasa agak samar. Tapi lalu bacaannya lancar kembali.

Sekiranya Ilyasa ada di hadapannya, dia tahu apa yang akan dikatakan guru ngajinya sekaligus calon suaminya itu.

"Masyaallah tabarakallah."

Rindu setengah mati, mendengar suara Ilyasa saat mengucapkannya. Kalau tahu bakal begini, mestinya Raesha merekam suara Ilyasa tiap sesi pengajian mereka.

Raesha mendongak ke langit petang. Di Kairo, sekarang pukul dua belas siang. Oppa mungkin sedang bersiap salat Zuhur jama'ah di masjid. Bibir Raesha tersenyum, membayangkan Ilyasa mengenakan baju koko dan celana panjang, membawa tas selempang berisi buku dan alat tulis. Menebar senyum ke manapun dia pergi. Semua orang menyukainya. Ilyasa Ahn. Ah ... rindu.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang