333 - Video Call

255 77 7
                                    

.

.

"Insyaallah, Allah akan sembuhkan luka hati kita semua."

.

.

***

Suara tumisan terdengar mendominasi area dapur. Arisa sedang memasak bihun goreng ayam. Rambutnya dicepol. Wanita itu masih mengenakan daster polosnya. 

Raesha masih tidur. Semalaman dia terjaga. Sulit untuk tidur nyenyak, setelah mendengar apa yang disampaikan kedua polisi kemarin sore. Walhasil, jangankan bangun malam, bahkan untuk salat Subuh, Arisa yang tidur bersama Raesha, harus membangunkan Raesha lebih dulu. Raesha merasa malu pada Arisa sebenarnya. Tapi beginilah kondisi dirinya saat ini. Berantakan. Cuti mengajar, adalah keputusan yang sangat tepat. Raesha merasa perlu menata hatinya saat ini.

Tadi pun, setelah membangunkan Raesha salat Subuh, Arisa bersiap ke dapur.

"Kak, gak usah masak. Beli aja nasi kuning atau nasi uduk. Ada tetangga yang jual. Bawa aja dompetku," kata Raesha sambil mengucek matanya yang masih bengkak.

"Coba Kakak lihat dulu. Di dapur ada apa. Kalau ada yang bisa dimasak, Kakak masak aja. Kamu gak usah sungkan. Salat aja dulu. Habis salat, kalau masih ngantuk, kamu tidur lagi aja. Semalam kamu kurang tidur, 'kan?" kata Arisa tersenyum.

Ya Allah. Wanita ini bidadari dari langit atau gimana? batin Raesha. Dia makin malu pada dirinya sendiri. Bukannya menservis tamu, ini malah terbalik.

Di kamar Ismail dan Ishaq, Raihan tidur sendirian, menggunakan kasur tambahan di lantai. Sementara Ismail dan Ishaq, sedang tak ada di kamar.

Raihan tidur sampai mangap mulutnya. Ia bermimpi Rayya.

"Aku bosan. Dari dulu sama kamu, kerjaanku disuruh nungguin kamu melulu."

Perkataan Rayya itu dilontarkan pada Raihan, dengan bibir Rayya yang maju tiga senti. Gadis itu melipat tangan.

"Jangan gitu dong, Rayya. Bukannya aku gak mau kita buru-buru tunangan, tapi kondisinya lagi kayak gini sekarang," Raihan berusaha membujuk Rayya.

"Tau ah. Aku kesel sama kamu. Asal kamu tau aja. Yang mau ngelamar aku, ada banyak. Kalau bukan karena kamu minta aku nunggu, aku udah terima khitbah salah satu dari mereka!"

Hati Raihan kebat-kebit mendengarnya.

"Yah. Jangan dong, Rayya. Kita 'kan udah lama sama-sama nunggu. Tunggu sebentar lagi, ya. Bentaaar lagi. Pliisss!"

"Berapa lamaaa, tapi??" tanya Rayya dengan suara melengking. Biasanya Rayya gak judes begini. Mungkin memang kesabaran Rayya sudah di ujung tanduk.

"E-Em ... berapa lama, ya? Tiga atau empat bulan?" jawaban Raihan malah terdengar seperti pertanyaan.

"Ah lama banget. Hubungan kita keburu basi! Aku mau sama yang lain aja lah," tukas Rayya enteng. Rayya memunggungi Raihan dan pergi menjauh.

"Rayyaaa!! Kamu mau ke manaa?? Jangan pergii, Rayyaaa!! Jangaaaaannnn!!!" Tangan Raihan menggapai-gapai, tapi entah mengapa, kakinya berlari sangat lamban. Tangannya pun tak sanggup menggapai Rayya yang makin menjauh. Kenapa Rayya cepat sekali? Berjalan bagai terbang saja.

"Rayyaaa!!" seru Raihan saat terbangun dalam keadaan tangan kanannya terangkat. Matanya basah. Ya ampun. Dia mimpi ditinggal Rayya sampai nangis segala. Memalukan. Untung kedua bocil itu sedang tak ada di kamar, jadi mereka tidak melihat dirinya yang mengigau memanggil Rayya sambil meneteskan air mata.

Hah? Sebentar. Ismail dan Ishaq ke mana? pikir Raihan.

Suara televisi yang menyala dari ruang duduk, samar terdengar di telinga Raihan.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang