.
.
Kelak jika jasad kita telah terkubur di bumi, cerita apa yang akan disambungkan orang-orang dari mulut ke mulut, tentang kita?
.
.
***
"Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh," sapa Yunan melalui mikrofon yang disematkan di kerah gamis terusannya.
"Wa'alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh," sahut semua yang hadir.
"Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih, syukran, jazakumullah kheir, pada semua yang menyempatkan hadir pada acara yang sangat penting bagi kami sekeluarga, khususnya untuk putra-putri kami, Raihan dan Rayya. Pada siang hari ini, saya, Yunan Lham, mewakili putra sulung saya, Raihan Lham, berniat untuk menjajaki ikatan yang lebih kuat yakni ikatan pertunangan dengan putri dari Bapak Zhafran yang bernama Nadira Tsurayya, atau yang biasa dipanggil dengan sebutan 'Rayya'. Besar harapan kami sekeluarga, agar itikad baik kami dapat diterima oleh Rayya sekeluarga."
Yunan bicara dengan mikrofon kecil tersemat di kerah gamis putihnya. Raihan ada di samping Abinya. Duduk bersila di hadapan Yunan, Zhafran sebagai wali dari Rayya. Para undangan semua duduk lesehan, menghadap ke area panggung dari kayu yang hanya lebih tinggi satu anak tangga dibanding area duduk tamu. Suasana terasa khidmat, dengan suara percikan dari air kolam, melatari tiap hening yang tercipta di antara jeda.
Sementara di area akhwat, Rayya nampak sangat cantik dengan gaun putih berlapis payet, dan jilbab syar'i sutera putih. Rayya diapit oleh Arisa, Elaine dan Maryam. Di belakangnya, ada Erika, Haya dan Raesha.
"Alhamdulillah. Jazakumullah khairan katsiran, untuk Syeikh Yunan Lham sekeluarga. Bagi kami, niat baik Syeikh merupakan sebuah kehormatan yang tak ternilai. Dengan mengucap bismillahirrahmaanirrahiim, saya Zhafran sebagai wali dari putri saya yang bernama Nadira Tsurayya, menerima dengan tangan terbuka, putra Syeikh yang bernama Raihan Lham, untuk ditunangkan dengan putri kami. Kami berharap pertunangan ini kelak akan berlanjut dengan pernikahan, ikatan yang diridai Allah subhana wa ta'ala."
Kalimat hamdallah dan amin, terdengar digumamkan banyak orang.
Zhafran memasangkan cincin tunangan ke jari manis kiri Raihan. Sementara di tempat akhwat, Arisa memasangkan cincin ke jari manis kiri Rayya. Cincin Raihan terbuat dari perak dengan ukiran berbentuk sulur dengan ujung sebuah permata. Desain yang sama dengan cincin yang dikenakan Rayya, bedanya, cincin Rayya terbuat dari emas putih. Mereka memesannya dari jauh-jauh hari. Raihan yang memilih modelnya. Jika kedua cincin itu disatukan, motif sulur itu akan membentuk hati.
Do'a-do'a terlantun oleh seorang santri yang menjadi pembawa acara. Harapan-harapan kebaikan, agar ikatan Raihan dan Rayya sampai ke pernikahan yang barokah. Orang-orang mengaminkan, lalu tak lama makanan dibagikan. Makan a la majelis. Nampan dijejerkan dan dimakan lesehan bersama-sama. Menu nasi kebuli dan daging kambing, lengkap dengan acar dan sambal bikinan ibu-ibu majelis, nampak menggiurkan. Menggugah selera sekaligus menyemarakkan suasana. Orang-orang menyantap makanan, lalu beberapa sempat berfoto dengan Raihan. Di tempat akhwat, ibu-ibu majelis dan putri-putri mereka juga berebut foto bareng dengan Rayya. Minta dido'akan segala, supaya putri mereka ketemu jodohnya yg saleh seperti Raihan, katanya.
"Dipikir-pikir, aku dulu juga sama Ilyasa, berarti tunangan juga ya, Bu?" tanya Raesha nampak sedang berpikir.
"Ya iya lah. Tapi gak dirayain kayak gini. Ilyasa dulu buru-buru banget khitbah kamu. Dia udah keburu ketakutan kamu dilamar jadi istri kedua Kak Yu--"
Mulut Erika segera ditutup oleh tangan Raesha.
"Ibu!!" jerit Raesha tertahan, dengan mata mendelik. Raesha mengecek keberadaan Kak Arisa. Untungnya Kak Arisa sedang sibuk mengobrol dengan saudaranya yang datang dari Jakarta dan Bandung.
"Maaf maaf. Soalnya nasi kebulinya enak banget. Filter omongan Ibu jadi jebol," jelas Erika ngasal.
"Hubungannya apa sama nasi kebuli??" seru Raesha emosi. Ngawur sangat ibunya. Makin tua makin ngasal omongannya. Makin mirip almarhum Eyang Dana.
Di sudut ruangan, Haya dan Elaine sedang duduk sambil makan buah jeruk siam, jeruk lokal setempat yang dibawakan oleh ibu-ibu majelis.
"Tante Haya, gimana perasaannya? Bentar lagi giliran Tante dong, yang tunangan. Mau tunangan dulu atau langsung nikah, Tante?" tanya Elaine dengan nada suara menggoda dan alis naik turun.
Haya tersipu malu. "Gak tau, deh. Husein sih bilang, nanti kalau aku udah kuliah setahun atau dua tahun, dia mau langsung lamaran untuk nikah aja."
Elaine menyentuh kedua pipinya yang memerah karena baper, menahan jeritan antusias.
"Aaaa!! Aku ikut senang, Tante. Tante sama Om Husein padahal beda usianya lumayan jauh, ya."
Haya memandangi Elaine dengan senyum penuh arti. "Lha kamu 'kan, beda usianya lebih jauh lagi sama --"
Elaine nampak panik dan menempelkan jari telunjuknya ke bibir, pertanda agar Haya tidak membahas hubungan antara dirinya dengan Adli. Haya malah tertawa.
"Ummiku udah tahu, Tante. Kalau aku --," Elaine menutup muka, tak sanggup meneruskan kalimat itu : 'kalau aku suka sama Om Adli.'
"Ummimu tahu kalau Adli suka kamu?" Haya bertanya balik.
Elaine terdiam membeku. Apa? batinnya.
"M-Maksud Tante apa? Om Adli? Suka sama --"
Haya tergelak. "Jangan bilang kamu gak tau kalau Adli suka kamu. Itu jelas banget. Jangankan aku, supir sama pelayan aja pada tahu."
Muka Elaine merah padam. Ia spontan memukul bahu Haya. "T-Tante bohong!!" jeritnya tertahan.
"Lhaa!! Kok aku dituduh bohong??" Haya tertawa melihat Elaine mukanya bagai buah matang di pohon.
.
.
Raihan akhirnya bisa kembali duduk menemani Abinya, Adli dan Ustaz Umar, setelah sedari tadi Raihan jadi bahan rebutan foto bareng oleh para jama'ah. Zhafran sedang sibuk mengobrol dengan jama'ah pengajiannya.
Seorang santri datang menghampiri sambil membawakan nampan dengan dua mangkuk dari batok kelapa yang berisi minuman entah apa, menguarkan asap pertanda minuman masih panas. "Tafadhol, Syeikh. Ini yang Syeikh pesan tadi," ucap santri itu sopan.
"Syukran," balas Yunan tersenyum.
"Afwan, Syeikh," jawab santri itu sebelum mendekap nampan dan pergi menjauh.
"Ini buat kamu, Adli," kata Yunan mengangkat semangkuk batok kelapa dan menyerahkannya pada Adli.
"Makasih, Kak. Ini ... teh? Tapi kok ... ," Adli menghidu aroma uap minuman yang sepintas mirip teh itu. "Ada aroma kopinya?" imbuh Adli dengan nada terkejut pada suaranya.
"Orang Jakarta sih gak tau itu apaan," canda Umar tertawa.
Yunan melempar senyum dibarengi sorot mata tajam pada Umar, membuat Umar terbatuk dan diam. Umar memahami pandangan Yunan itu sebagai teguran halus untuk tidak meledek tamunya yang jauh-jauh datang dari Jakarta.
"Ini kopi kawa daun. Kopi yang dibuat bukan dari biji kopi, melainkan dari daunnya. Kopi khas daerah ini. Tafadhol diminum, Adli," jelas Yunan ramah. Dia jadi seperti guide turis. Adli mengangguk dan menyesap kopinya perlahan. Yunan menyusul Adli.
Kedua maniak kopi itu, akhirnya ngopi bareng, batin Raihan.
"Gimana rasanya?" tanya Yunan.
"Kerasa kopinya, tapi kafeinnya lebih sedikit," hasil analisa Adli si tukang ngopi.
Yunan mengangguk. "Memang. Memang kafeinnya rendah. Unik 'kan rasanya?"
"Iya, Kak. Ustaz dan Raihan gak minum juga?" tawar Adli nyengir. Merasa tidak enak, hanya dirinya yang disuguhi kopi kawa.
"Udah terlalu sering, sampai bosan," jawab Umar, diiringi cekikikan Raihan.
"Dulu, almarhum Ayahmu pernah minum kopi kawa sekali. Dulu sekali, waktu dia suluk di sini," kata Umar dengan sorot mata mengenang.
Yunan dan Adli menoleh ke arah Umar.
"Oh ya?" gumam Adli.
"Ustaz yang nyuguhin kopi itu?" Yunan balik bertanya.
"Iya. Waktu itu, Yoga baru menyelesaikan suluk empat puluh harinya. Tepat di hari kepulangannya, pagi-pagi ba'da Subuh, saya mengajak Yoga ngopi bareng di puncak bukit. Bukit masih agak berkabut saat itu. Langit perlahan mulai terang, namun mentari belum muncul. Hawanya sangat dingin. Perkampungan di lembah, sebagian masih diselimuti kabut. Pengeras suara dari sebuah masjid di kampung itu, melantunkan qasidah Qad Kafani."
Adli terdiam. Deskripsi Ustaz Umar membuat Adli merasa seolah ia sedang menjadi Yoga, pada detik itu, di hari terakhir suluk.
"Qasidah Qad --," ulang Adli tidak yakin.
Umar tersenyum pada Adli. Maklum jika Adli tidak tahu. Dia sudah mendengar dari Yunan, bahwa Adli meskipun masa mudanya tidak lebih nakal dari Yoga, tapi juga tidak lebih rajin ke majelis dibanding Yoga.
"Ya. Qasidah Qad Kafani karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Itu adalah qasidah shalawat yang terkenal," jelas Umar.
Yunan tersenyum saat melihat Umar nyaris melagukan qasidah itu, namun batal lantaran tidak pede dengan suaranya. Yunan yang akhirnya menyanyikannya.
qod kafani i'lmu robbi
min su-aali wakhtiyaari
fadu'aii wabtihaali
syahidullil biftiqoori
falihaadzaassirri ad'uu
fi yasaari wa 'asaari
ana 'abduu shoro fakhri
dhimna faqri wadhthiroori
Adli mengecil pupil matanya. Ia ingat sekarang. Ia pernah mendengar sya'ir itu di majelis, dulu waktu Yoga masih rutin mengajaknya ke majelis. Yoga juga terkadang menyetel musik dari Hadramaut, di ruang kerjanya.
"Buat ngilangin stress," jelas Yoga kalau ditanya Adli kenapa yang disetel malah musik majelis.
"Ah aku ternyata tahu qasidah itu, tapi gak pernah tahu kalau judulnya Qad Kafani," kata Adli.
"Ya. Itu qasidah yang populer. Mau tau artinya?" tanya Yunan pada Adli.
Adli mengangguk.
Sungguh telah cukup bagiku kepuasan dan ketenanganku bahwa Penciptaku Maha Mengetahui Segala permintaanku dan usahaku.
Maka do'a-do'a dan jeritan hatiku sebagai saksiku atas kefakiranku (dihadapan kewibawaan-Mu)
Maka demi rahasia kefakiranku (dihadapan Kewibawaan-Mu) aku selalu mohon (pada-Mu) di saat kemudahan dan kesulitanku
Aku adalah hamba yang kebangganku adalah dalamnya kemiskinanku dan besarnya kebutuhanku (pada-Mu)
Tengkuk Adli meremang. Ia belum pernah mendengar sya'ir semacam itu sebelumnya. Bagaimana mungkin, kebanggaan seseorang ada dalam kemiskinannya? Pantas saja, Yoga dulu sering mengucapkan kalimat-kalimat hikmah dari lisannya. Jika Yoga menghabiskan banyak waktunya mendengarkan sya'ir-sya'ir semacam ini, wajar saja kalau Yoga jadi seperti itu.
"Indah sekali," komentar Adli setelah agak lama terpana tanpa bisa berkata-kata.
"Memang. Sangat indah. Waktu itu, Yoga sampai menangis," kata Umar.
Penjelasan Umar itu membuat Yunan dan Adli serempak menoleh ke arah Umar.
"Ayah menangis?" tanya Adli. Entah mengapa, mendengar Yoga menangis, membuat tenggorokan Adli terasa tercekat. Yoga dicintai oleh banyak orang. Dia selalu menebar keceriaan pada orang-orang yang dikenalnya. Jika Yoga sampai menangis, maka penyebabnya pasti hal besar.
"Ya. Dia menangis lama sekali, sampai kabut menghilang dan mentari terbit," kenang Umar. Rasanya seperti baru terjadi kemarin. Sekarang, orang yang mereka cintai itu sudah terbaring di bawah tanah.
"Ayah bilang sesuatu pada Ustaz? Apa yang membuat Ayah menangis sampai seperti itu? Apa karena qasidahnya?" tanya Yunan.
Bahu Umar terangkat. "Tidak. Saya tidak bertanya padanya. Saya hanya diam dan menemaninya menangis."
Yunan mengangguk pelan. "Semua orang punya perjalanan spiritualnya masing-masing," ucap Yunan dengan pandangan menerawang jauh.
Adli terdiam. Tanpa terasa, sebutir air matanya jatuh dan menetes ke dalam kopi miliknya. Yoga Pratama sudah terkubur di bumi, namun cerita-cerita indah tentangnya, masih terdengar, tersambung dari mulut ke mulut.
Kelak jika jasad kita telah terkubur di bumi, cerita apa yang akan disambungkan orang-orang dari mulut ke mulut, tentang kita?
Berapa lama nama kita masih akan diingat karena kenangan yang indah? Sebulan? Dua bulan? Setahun?
Namun seberapa pentingkah pandangan orang-orang tentang kita, setelah kita mati? Saat ada orang-orang khusus yang lebih memilih dirinya hilang dan dilupakan. Lebih mementingkan pandangan Allah tentangnya, ketimbang pandangan makhluk.
Apa yang Ayah rasakan saat itu, Yah?
Adli menyeka air matanya diam-diam dan kembali menyesap kopi kawanya, yang kini berubah rasa.
.
.
***