Evanescent

By hanyaabualan

24.5K 2.8K 1.2K

Setelah 10 kali pertemuan, Jordan bersedia menemani Serenade tanpa paksaan orang tua yang sudah beberapa kali... More

Prolog: Kembang Api
1. Pertemuan Pertama, Pertemuan Kelima
2. Kesiapan
3. Feel Special
4. Kedekatan yang Pasti
5. Meyakinkan yang Ragu
6. Pertimbangan Lain
7. Imaji dan Realitas
8. Lamaran?
9. Tujuan yang Dinanti
10. Hari-H
11. Setelah menikah harus apa?
12. Dua Minggu dan Berlanjut
13. Sentuhan Tak Terduga
14. Sinyal Bahaya
15. Prasangka Baru
16. Naif
17. Telanjur Mencinta
18. Perang Dingin
19. Menantang Maut
20. Unforgiven
21. Intuisi
22. Menyadari Keadaan
23. Tidak Gentar untuk Mundur
24. Menepi Sejenak
25. Manis yang Singkat
26. Pola yang Terulang
27. Solusi Terbaik
29. Garis Awal yang Berbeda
30. Seandainya
31. Cinta yang Menyiksa
32. Membebaskan
33. Babak Akhir
34. Jabatan Terakhir
35. Roda Kehidupan
Epilog: Lembar Baru
Cerita Tambahan

28. Roller Coaster

548 73 28
By hanyaabualan

Jangan lupa vote dan komentarnya 💚

Biar aku makin semangat 💚

"Jordan! Emang bener kamu sama Seren mau pisah?!"

Napas Jordan tersekat ketika suara nyaring Satwika terdengar dari ponselnya yang menempel di telinga. Jordan yang baru saja duduk di pantry setelah pulang dari lokasi pemotretan langsung memijat pangkal hidungnya.

"Mama tahu dari mana?"

"Jadi bener?" desak Satwika karena Jordan malah balik bertanya. "Mama tahu dari mertua kamu waktu ketemu kemarin dan nggak mungkin dia bercanda. Makanya sekarang Mama tanya dulu. Bener atau nggak?"

Jordan mendesah lesu karena kabar yang berusaha ditutup sampai juga ke telinga Satwika—dan pasti papa Jordan pun tahu kabar itu. Masalah belum selesai dan ada satu lagi yang perlu Jordan hadapi dengan tubuh tegak; ceramah Satwika yang tidak akan selesai dalam waktu singkat.

"Seren yang mau cerai, Ma. Akunya nggak mau."

"Berarti bener ya gara-gara Disty?" Jordan membeliak ketika Satwika membawa nama seseorang yang sudah lama tidak beliau temui. "Mama tahu dari Pak Zaenal. Dia beberin semua dan katanya itu cerita juga dari kamu."

Jordan angkat tangan, tidak sanggup lagi membisu jika Satwika sudah tahu sebanyak itu. Jordan ingin menyalahkan Zaenal karena sudah mengumbar sembarangan tanpa meminta izinnya. Bagaimanapun masalah rumah tangganya dengan Serenade adalah privasi yang tidak boleh diumbar sembarangan. Namun, Jordan tidak berani menegur karena tahu itu akan membuat masalah kian rumit.

"Jo, Jo. Kamu ini udah ada istri kenapa nggak dipake otaknya, sih? Bodo amat ya soal masih punya perasaan, tapi masa iya lupa sama istri?" Satwika di seberang sana makin memanas dan rasanya ingin mengeluarkan semua kebun binatang dari belah bibirnya.

"Kamu tuh udah salah besar lho, Jo. Mama bukannya nggak mau belain, tapi sekarang lebih mikirin perasaan Seren. Mama aja yang denger bisa sakit hati, apalagi dia yang ngalamin. Seren itu anak kesayangan ayahnya lho, Jo. Kamu ambil dia lewat pernikahan, tapi hasilnya malah gini. Nurani kamu ini di mana?"

Jordan mengusap wajahnya kasar sambil terus mendengar luapan amarah Satwika yang makin menggebu-gebu akibat pernikahan sang putra sudah tercoreng. Jordan tidak mau membela diri karena yakin Satwika akan terus menyudutkannya. Jadi dia biarkan sang mama terus mengoceh hingga lelah, selama itu bisa membuat Satwika lega.

"Sekarang gimana kabar kamu sama Seren?" tanya Satwika yang masih nyaring.

"Jo udah coba bujuk dan perbaiki masalah yang ada, Ma. Tapi Seren ... tetep nggak mau lanjut."

"Mama udah nebak itu, makanya—eh, kamu nangis?"

Jordan buru-buru menggeleng meski Satwika tidak bisa melihat. Mamanya pasti merasakan suara Jordan yang sedikit bergetar karena tidak dapat meluapkan berbagai emosi seperti Satwika. "Enggak, Ma. Cuma pegel aja nih kaki, makanya suara agak berat."

Satwika tiba-tiba membisu dan ada jeda cukup lama di antara percakapan mereka. Jordan pun enggan tiba-tiba menyanggah karena yakin Satwika hanya akan makin histeris jika dia berani bicara sebelum sang mama selesai.

Ada dua menit terjebak dalam keheningan, Satwika akhirnya berkata, "Kamu baik-baik aja, Jo? Seren gimana?"

Suara Satwika lebih lembut yang artinya beliau jadi melunak dan tidak lagi meninggikan ego. Andai saja Dewa tidak tiba-tiba muncul membawa kopi, Jordan sudah siap menangis untuk menumpahkan perasaan yang tidak pernah dia sampaikan pada siapa-siapa.

"Kami baik-baik aja, Ma. Jordan bakal terus usaha buat beresin masalah ini. Jangan khawatir."

"Mama nggak bisa tenang, Jo. Mama jadi ngerasa gagal nikahin kamu di waktu yang ternyata belum tepat. Kamu udah nggak pernah ngomongin Disty, jadi Mama kira kamu udah move on dan siap buat hubungan baru. Ternyata malah—"

Kalimat Satwika menggantung, diganti isak tangis yang membuat Jordan menegakkan badan. Dewa yang melihat posisi temannya berubah ikut penasaran dan mengernyitkan dahi, berusaha menahan diri agar tetap menyimak alih-alih langsung menanyakan ini dan itu sebelum Jordan selesai bercakap-cakap dengan Satwika.

"Mama tenang aja. Pernikahan kami pasti membaik lagi, Ma. Jo janji nggak akan berulah dan nyakitin Seren lagi."

"Sebelumnya tolong jujur sama Mama." Satwika memaksakan bicara dengan suaranya yang bergetar dan Jordan yakin beliau sudah menangis di seberang sana. "Kamu masih sayang sama Disty?"

Kerutan di dahi Dewa makin dalam ketika melihat temannya membeku sambil menekuri meja, rasa penasarannya kian meninggi karena Jordan tidak kunjung bicara seakan pikirannya kosong dari berbagai jawaban. Dewa tidak tahu apa yang dikatakan mama temannya, tapi dia menebak Jordan sedang diberi ceramah panjang hingga tidak berani menyela.

"Oke, Ma. See you."

Dewa menyeruput kopinya ketika konversasi ibu-anak itu selesai dengan rasa yang menggantung. Kendati begitu Dewa tidak ingin mengulik lebih jauh selain menanyakan hal-hal yang dia dengar saja tadi. Apalagi Jordan tampak tidak bertenaga untuk diajak bicara banyak, jadi Dewa menahan segala makian agar temannya bisa rehat sejenak.

"Tante Satwika tahu keadaan lo sama Seren?" tanya Dewa hati-hati.

Jordan mengangguk pelan. "Iya. Dari mertua gue. Beliau cerita banyak, termasuk soal Disty."

Astaga! Dewa sekarang paham kenapa suasana pantry jadi tegang ketika dia baru datang. Pantas saja Jordan tidak berani membela diri karena dia sudah disudutkan sejak awal. "Emang keadaan rumah tangga lo sekarang gimana, Jo?"

Jordan meraih kopinya yang dibelikan Dewa, menyeruput sedikit sampai akhirnya berkata, "Biasa aja, Wa. Seren makin pengin pisah dan mertua gue juga udah nggak mau kenal menantunya. Udah hancur banget."

"Pasti tadi mama lo syok."

Jordan tersenyum miring mengingat kata-kata Satwika di awal. "Itu juga belum beres, Wa. Pasti kena ceramah lagi pas ketemu."

Dewa mengangkat bahunya, tidak terkejut jika situasinya seperti itu. "Secara kalian nikahnya termasuk masih baru, tiba-tiba udah pisah aja karena ada Disty. Paling salah sih lo, ya. Seandainya ngendaliin diri di depan orang lama, gue yakin nggak akan sampai kayak gini. Mau ada Disty atau nggak, pernikahan kalian nggak akan keganggu dan aman aja sekarang."

Jordan lagi-lagi hanya mampu tersenyum dan menerima segala kata yang makin memojokkannya hingga tidak dapat membuat pembelaan. Mau membela diri bagaimana? Jordan memang sudah salah sejak awal, jadi semua pembelaannya pun akan percuma untuk didengar.

"Udah sebesar apa usaha lo dapetin Seren lagi?" tanya Dewa setelah menghabiskan setengah gelas kopinya.

"Gue bangun lebih pagi buat bikin sarapan, masak kalau pulang lebih awal, dateng ke studio buat jemput dia, ngirim bunga yang kayaknya sih dibuang." Jordan tertawa hambar mengingat rangkaian usahanya yang terlalu klise, tetapi masih cukup yakin itu ampuh meluluhkan Serenade. "Mulai dari hal kecil aja, Wa. Supaya dia percaya gue nggak pernah nyari orang lain."

"Sering bilang sayang, nggak? Cewek suka juga kata-kata manis daripada dijanjiin macem-macem. Tapi harus tulus, ya. Jangan bohongan."

Kata sayang itu beberapa kali Jordan lontarkan, tetapi hanya di situasi genting agar Serenade bisa luluh seketika. Yah, sepertinya Jordan harus sering memberi afirmasi selain beraksi, sebab janjinya sudah tidak lagi berlaku untuk diterima, jadi mungkin ... rasa sayangnya dapat membuka hati yang sampai saat ini masih terkunci rapat.

"Ayah kenapa cerita ke Mama-Papa soal aku sama Jordan mau pisah?"

Serenade yang sendirian di lantai satu studio duduk dengan punggung membungkuk, menunggu jawaban Zaenal melalui panggilan yang sedang dilaksanakan sambil mengusap lututnya karena gugup. Tadi siang saat istirahat, Satwika tiba-tiba menghubungi Serenade dan menanyakan isu keretakan rumah tangganya yang dibeberkan Zaenal. Satwika bicara dengan tenang untuk tahu apa masalahnya dari sisi Serenade, berharap apa yang dikatakan Zaenal itu hanya kesalahpahaman. N

amun, Serenade yang diam karena tidak mampu menjelaskan banyak hal terkait perpisahannya membuat Satwika menarik kesimpulan bahwa semua yang dijelaskan Zaenal adalah benar. Satwika sampai menjadwalkan pertemuan, katanya ingin bicara banyak dan Serenade yakin beliau akan membujuknya mati-matian agar membatalkan perpisahan.

"Ayah nggak tahan waktu ketemu orang tuanya Jordan," ungkap Zaenal lugas. "Lagi pula udah waktunya kok mereka tahu. Lebih cepat lebih baik."

"Iya, tapi ... bisa Seren atau Jordan yang ngomong, Ayah. Kalau kayak gini kesannya Ayah mau adu domba. Cukup aku sama Jordan aja yang berantem, para orang tua nggak usah. Seren juga udah bilang bakal atasin semuanya sendiri, jadi nggak perlu libatin orang tua Jordan kayak gini. Seren jadi nggak enak."

Inilah alasan kenapa Serenade merahasiakan situasinya pada Zaenal karena sang ayah sering bertindak impulsif dan mengira gerakannya sekarang adalah hal tepat. Jika terlalu banyak orang tahu, situasinya pasti akan sangat ricuh. Serenade tidak tahu harus bagaimana ketika menghadapi Satwika nanti yang terang-terangan tidak mau anak dan menantunya berpisah. Kepala Serenade makin pusing saja seperti habis naik roller coaster yang memutarnya berkali-kali. Yah, hidupnya juga sama seperti roller coaster sekarang, naik turun tanpa jeda untuk sekadar bernapas lega.

"Maafin Ayah, ya." Suara Zaenal melembut setelah tadi egonya dipakai. "Ayah cuma nggak mau masalah ini makin panjang kalau terus dirahasiain. Ayah nggak hitung-hitung dulu gimana dampaknya."

Serenade tersenyum samar seraya mengangguk. "Enggak apa-apa, Ayah. Udah telanjur. Selebihnya biar Seren aja yang ngomong sama Mama, hari Minggu mau ketemuan. Ayah masih di kantor, ya? Rumah sepi banget."

"Masih harus ketemu klien. Kamu langsung masuk aja pake kunci cadangan," titah Zaenal.

"Enggak usah, Ayah. Aku pulang ke rumah Jordan." "

Sebenernya kamu nggak usah pulang ke sana lagi kalau mau pisah."

Serenade menyugar rambut panjangnya dan mengangguk setuju. "Tapi belum ada gugatan, jadi Seren masih harus lakuin tugas sebagai istri di sana. Nanti kalau udah proses, Seren bakal pindah lagi ke rumah Ayah."

"Oke, Ayah tunggu dan jagain kamu kayak pas masih bayi lagi."

Serenade hanya tertawa singkat membayangkan dijaga layaknya bayi yang tidak bisa melakukan apa-apa. Ditambah Zaenal sering serius dengan ucapannya, jadi Serenade sepertinya harus siap diperlakukan seperti bayi yang butuh perhatian ekstra.

Beberapa menit setelah percakapan berlangsung, panggilan diputus dan Serenade bersiap untuk pulang karena piketnya hari ini sudah selesai. Hari sudah mulai gelap ketika Serenade keluar dari studio, siap menyambut malam yang seiring bertambahnya hari malah kian kelabu. Baru selesai mengunci studio, Serenade dikejutkan dengan kehadiran Jordan yang baru saja memarkirkan motornya di pelataran dan membuka helm sambil turun.

Serenade berdeham, berusaha biasa saja ketika Jordan sudah berdiri di hadapannya. "Aku nggak nyangka kamu tahu aku masih di sini," ucap Serenade ketika Jordan tersenyum dan menghampirinya.

"Aku sempet fotoin jadwal piket kamu waktu terakhir ke sini. Makanya tahu kamu pulang lebih sore," balas Jordan dengan bangga. "Mau makan dulu?"

Serenade ingin sekali meninggikan gengsi, tetapi perutnya lebih penting untuk diisi hingga dia setuju dengan ajakan Jordan yang sulit ditolak jika sudah urusan perut. Begitu sudah berdiri di dekat motor dan helm lain diserahkan pada Serenade, Jordan menahan tangan istrinya sebelum mengenakan helm tersebut.

Serenade kernyitkan dahi ketika Jordan tersenyum, merasa ganjil dengan sikap manis yang tiba-tiba muncul tanpa merasa perlu. "Mama udah tahu kita mau pisah. Tadi telepon aku," kata Serenade untuk membuyarkan mata Jordan yang tidak berhenti menatapnya.

Alih-alih buyar, pandangan itu tidak lepas dari Serenade, justru makin dalam dan dibarengi tangan yang mengusap lembut pipinya. "Aku tahu. Mama juga telepon," ujar Jordan santai. "Tapi Mama kasih aku semangat buat dapetin kamu lagi, Seren. Jadi aku nggak akan nyerah gitu aja."

Serenade ingin membawa kakinya kabur sejauh mungkin kala wajah Jordan kian mendekat, mengundang animonya untuk tetap bergeming dan menyambut sesuatu yang akan pria itu lakukan. Tubuh Serenade memaku seakan tersihir oleh mata cokelat yang berbinar kala memandangnya. Wajah Jordan baru berhenti mendekat ketika perutnya tertabrak helm yang Serenade letakkan di antara mereka, menjadi jarak yang menyelamatkan keduanya dari kedekatan terlarang. Kendati begitu tidak membuat Jordan kehilangan semangat, senyumnya tetap tersungging dengan menawan.

"Aku sayang kamu, Seren."

Hanya itu. Hanya kalimat itu tanpa tambahan lain demi mendapat kepercayaan penuh. Sangat manis dan penuh rayu, tanpa suara bergetar atau rasa takut. Terdengar tulus, tetapi anehnya tidak membuat Serenade luluh. Hatinya masih sekeras batu, hingga kalimat itu tidak menyentuh kalbu. Andai saja Jordan mengatakannya lebih cepat tanpa menunggu masalah datang, mungkin Serenade akan langsung menghamburkan diri ke pelukan. Sayangnya kalimat itu malah menariknya makin jauh, sebab kalimat dari hati itu datang akibat sebuah kebohongan.

"Apa kamu bener-bener tulus, Jo? Apa kalimat itu nggak dituju buat orang lain juga?"

Kalimat Serenade mengulang memori Jordan pada siang tadi ketika Satwika menghubunginya. Di akhir panggilan, Satwika berkata, "Kalau sayangnya kamu itu masih ke dua orang, mending lepas salah satunya yang emang pengin dilepas. Artinya perasaan kamu nggak bener-bener tulus, Jo. Pastiin orangnya cuma satu. Kalau masih dua, kamu sama aja selingkuh perasaan."

Bak ditampar dua kali, Serenade menanyakan hal tersebut dan giliran Jordan yang memaku hingga tidak sanggup bertutur. Rasanya seperti ada yang terbagi dua, padahal mati-matian Jordan meyakinkan diri bahwa semuanya sudah utuh untuk Serenade seorang. Masih ada urusan yang belum selesai dan Serenade sadar betul itu tidak pernah menghilang dalam diri Jordan. Serenade mendesah pelan sambil menurunkan tangan Jordan dari pipinya.

"Enggak usah dipaksa, ya, Jo. Dipaksa supaya jadi satu-satunya nggak akan pernah baik. Artinya kita emang harus pisah."

Disty turun dari taksi dan merapikan rambutnya lagi agar penampilannya hari ini tetap prima sebelum bertemu Jordan. Sesuai janji di pesan singkat, hari Minggu ini mereka akan bertemu di Nusa Rasa untuk makan siang bersama. Tempat terakhir Disty dan Jordan bercakap cukup panjang dengan akhir yang tidak terlalu baik. Disty sengaja memilih Nusa Rasa sebagai tempat bertemu, sebab dia pun ingin memperbaiki konversasi beberapa waktu lalu yang dipenuhi air mata. Disty ingin memulainya lagi di tempat yang sama sebelum nantinya menciptakan kenangan baru.

Sekali lagi Disty rapikan leather jacket yang menyembunyikan crop top-nya, kemudian melangkah ringan untuk masuk setelah tadi Jordan memberi kabar bahwa dia sudah tiba. Tinggal beberapa langkah mencapai pintu, Disty mendadak berhenti melihat Jordan keluar dengan tergesa sambil berbicara serius bersama seseorang di teleponnya. Disty buru-buru mencegat Jordan yang akan mendekati motornya, mencekal tangan pria itu sebelum meraih helm untuk dia kenakan.

"Jo, kamu mau ke—kamu kenapa?"

Disty mendadak panik ketika mata Jordan merah dan pipinya basah oleh air mata. Disty merangkum wajah Jordan yang bibirnya bergetar dan napasnya terengah, sekujur tubuhnya pun tiba-tiba saja dingin akibat kabar yang baru didapat.

"Kamu kenapa?" tanya Disty sekali lagi saat mata Jordan tidak fokus memandangnya.

"Seren ...," ucap Jordan lirih. "Aku ... harus nyamperin Seren."

Waduh! Seren kenapa, tuh?

Jawaban ada di chapter selanjutnya, ya!

Makasih sudah baca, sampai jumpa di chapter selanjutnya ^^

Bonus 💚

SIAPA YANG SENENG LIHAT JOHNNY HARI INI? 😭

Dipublikasikan pada tanggal
16 Juli 2023
Pukul 17.30 WIB

Continue Reading

You'll Also Like

11.6K 1.8K 19
Arion Dia dipaksa untuk menikah. Menghasilkan sebuah keturunan, agar warisan dari mendiang Papa tidak diambil alih oleh keluarga lainnya. Sayangnya...
78.3K 8.6K 39
[COMPLETED]-What if you meet the right person, but at the wrong time? Daftar Pendek The Wattys 2021
98.1K 8.2K 43
Emeraldi sangat mencintai Medianna, si istri. Medianna juga, sedikit. Wanita itu penuntut, agak manipulatif, sering membuat Emeraldi meragukan diri s...
216K 13.6K 20
"Nggak mungkin setiap orang meluangkan waktunya 24/7 untuk seseorang, Andira. Kamu jangan mimpi." Kata-kata itulah yang justru membuat seorang Andira...