Win-Ka-Win

By diaparamita

1M 148K 15.1K

Win, kawin! Winka Winata terjebak dalam dilema ketika harus memilih antara kawin dengan pria pilihan bapaknya... More

1. Masih Harus Sepupuan
2. Misteri Mahasiswi Yang Bikin Gagal Move On
3. Spesies Manusia Kelainan
4. Sesuatu Yang Nggak Pernah Terduga Sebelumnya
5. Gadis Eksentrik Berambut Aneh
6. Pemikiran-Pemikiran Yang Tiba-Tiba Datang
7. Dia Nyeleneh, Tapi Baik
8.1 Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?
8.2. Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?
9. Pembicaraan Dua Orang Dewasa
10. Modus Pria Matang
11. Bagi Denganku, Jangan Dengan Orang Lain
PO Pesona Rasa Toko Buku Online, Shopee, dan Tokopedia
12. Seseorang Yang Saya Usahakan Sebagai Saya
13. Perasaan Manusia, Memangnya Bisa Ditebak?
14. Diputuskan
15. Kalau Minta Restu Itu Mudah
16. Lamaran
17. Seni Menahan Diri
18. Saya Berhak
19. Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 1
19. 2 Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 2
POV GALIH 1 - Satu Tahun Sebelum Hari Ini: Risau
Pesona Rasa After Marriage
20. Winkanya
POV Galih 2 - Mulai Bisa Menebak
Bab 21 dan Baca Duluan
21. Tujuan Hidup: Berada di Sisinya
22. Hari Ketika Aku Mengecewakanmu Kembali
23. Win, Please!
24. Win Ka Win
25. Sibling
26. Tanpa Terkecuali
Menjemput Pesona Rasa
27. Malapetaka (Part 1)
27. Malapetaka (Part 2)
28. Tidak Sadar
30. Gemes Banget Calon Bapak-Bapak
31. Timbal Balik
Wedding Invitation
32. Cara Laki-Laki Bertransaksi
33. Adalah Takdir (Part 1)
34. Kontroversial
35. Menemukan Kedamaian
36. Cinta Pertama dan Patah Hati Pertama
37. Renata Dwita (1)

29. Kenapa Nggak Coba Kenalan Dulu?

9.2K 1.6K 128
By diaparamita


29. Kenapa Nggak Coba Kenalan Dulu?

"Papa, nggak keliahatan kayak tahanan KPK." Gadis itu bertopang dagu sambil memperhatikan ayahnya yang sedang menyantap hasil masakannya dengan lahap.

"Tempat ini nggak buruk-buruk amat."

"Bohong." Winka menatap sinis.

Bram tersenyum simpul. Gadis kecilnya tidak akan pernah mempan dengan kebohongan putih. "Memangnya Papa bisa apa?"

"Tobat. Merefleksi diri," kata gadis itu sedikit kurang ajar—yang justru ditanggapi Bram dengan tertawa.

"Papa sudah berusaha untuk merenungi berbagai hal selama di sini." Winka menghela nafas. Gadis itu membuka botol minum dan menyerahkannya pada Bram. "Thanks."

"Kemarin aku ketemu Surya."

"Good." Bram melanjutkan makannya.

"Bukan karena aku berubah pikiran," koreksi gadis tersebut.

"Oh." Pria itu memisahkan daging ikan dari tulangnya. "Papa pikir kamu sudah mulai berdamai."

Winka memperhatikan aktivitas Bram dengan gemas kemudian memutuskan untuk mengambil alih pekerjaan pria tersebut. "Aku sudah berdamai dan menerima kenyataan kalau aku ngggak bisa lepas dari Pak Gal."

"He's not bad, tapi nggak terlalu bagus juga." Winka menaruh daging yang sudah bersih dari tulang itu ke atas piring Bram. Bram nyaris menatap putrinya tanpa berkedip. Di kehidupan sebelumnya dia pasti bercita-cita sebagai budha—alih-alih pria brengsek—sehingga bisa mendapatkan putri semanis Winka.

"Aku juga nggak keren-keren amat."

"Kamu yang paling keren," sangkal Bram cepat. "Buat Papa, kamu selalu jadi yang paling keren." Pria itu mentap putrinya dengan sayang. Bram tidak mempunya jalan keluar untuk menyisihkan Winka dari hidupnya. Setelah dia kehilangan Lita, Bram selalu menempatkan Winka pada prioritas pertama.

"Buat aku, Pak Gal satu-satunya cowok yang cocok dengan kepribadianku. Dia nggak rewel, nggak patriarki juga, cerdas dan punya gelar doktor. Gosipnya bahkan Pak Gal sedang dipromosikan supaya dapat gelar profesor. Dia nggak terjun ke dunia bisnis profesional kayak Papa, tapi Pak Gal tahu caranya untuk menggunakan uang dengan baik. Managemen keuangannya bagus banget lho, Pa. Dia punya investasi di tempat-tempat yang bagus."

"Uangnya lebih banyak mana dari kamu?"

"Kalau aku nggak ada Papa, duitku juga biasa aja buat hidup di Jakrta. Nggak melarat-melarat amat, tapi juga nggak bisa dibilang kaya." Winka kembali menaruh potongan daging untuk ayahnya.

"Papa nggak yakin."

"Dia nggak ninggalin aku dan tetap milih bertahan padahal tahu keadaan Papa yang kayak gini."

"Surya pun sama."

"Pa, aku tahu kalau Surya orang baik." Winka mendorong piring berisi daging ikan yang semuanya telah terpisah dari durinya kepada Bram. "Tapi, Pak Gal juga. Dia melakukan apa pun untuk buat aku nyaman. Selama kami pacaran, Pak Gal sopan banget. Dia nggak pernah sentuh-sentuh aku tanpa izin. Dia juga nggak pernah curi-curi kesempatan. Dia menghormati aku dan menjaga aku banget. Pak Gal juga nggak pernah protes dengan kelakuanku yang aneh-aneh. Dia selalu bisa mengendalikan diri, bahkan saat dia lihat sisi terburukku. Selelah-lelahnya Pak Gal, dia nggak pernah emosi kalau aku ngajak debat sampai nyaris nggak ada ujung pangkalnya."

Bram meletakkan sendoknya. Pria itu tampak berpikir. "Kamu hal paling berharga dalam hidup Papa. Papa nggak mungkin melepaskan kamu ke sembarang orang."

"Kalau gitu, coba kenal Pak Gal dulu, Pa. Seenggaknya Papa harus tahu bagaimana pria yang berhasil membuat putrimu yang keras kepala ini jatuh cinta," tawar Winka santai.

Bram menghela nafas dengan berat sembari menatap Winka lamat-lamat.

#

Galih Mahendra adalah sebuah anomali untuk Bram Winata. Galih merupakan sisi yang berlawanan dengan Bram. Meskipun berpenampilan pantas, pria itu terlampau sederhana untuknya. Galih tidak mengenakan apa pun yang terlihat mencolok, justru satu-satunya hal yang mencolok darinya adalah wajah setengah kaukasianya. Wajah itu terlampau tampan, tetapi manusiawi pada saat yang bersamaan. Bram tahu kalau Winka selalu menyukai pria pintar. Dan Galih adalah sebuah jawaban. Wajah itu tidak hanya tampan, tetapi juga terlihat cerdas. Terlebih sepasang mata beriris hitam pekat yang selalu menatap tajam dari balik bingkai kaca matanya.

"Apa kabar, Om?" tanya Galih sopan.

"Baik."

Winka membereskan alat makan Bram. Galih baru saja datang. Untung saja pria itu tidak terjebak macet yang terlalu panjang sehingga tidak terlalu terlambat untuk menemani Winka menemui Bram.

"Sini, aku saja." Bram memperhatikan ketika Galih mengmabil alih pekerjaan Winka, pria itu dengan tekun menyusun kembali rantang dan memasukkannya ke dalam tas.

"Makasih, Pak Gal." Galih tersenyum sebagai balasan. "Aku pikir kamu nggak bisa datang." Winka menngsurkan botor air mineral pada Galih.

"Thanks." Galih menerima botol tersebut lalu membuka segelnya. "Aku tukar jam dengan Prof. Handi, jadi nggak perlu terburu-buru ke kampus." Galih meminum air tersebut. "Lagipula, besok aku punya jadwal untuk ambil data penelitian ke Bandung."

"Wah, seru." Winka mupeng. "Nggak mau ajak-ajak?"

"Aku berangkat habis subuh, pulang malam. Kalau ajak kamu, bisa-bisa kamu nggak keurus karena aku bakal sibuk banget ambil data."

"Jadi, no?"

"No."

"Yaaah." Seru Winka kecewa.

Galih menatap gadis itu penuh sayang. "Lain kali, ya, aku ajak kamu jalan-jalan ke Bandung," bujuk pria tersebut.

"Oke." Winka mengiyakan dengan mudah. Gadis itu duduk memepet Galih kemudian melingkari lengan Galih kuat-kuat. "Dia baik 'kan, Pa?"

"Bandung cuma dua jam dari Jakarta." Bram mendelik dan buru-buru menyuruh Winka untuk melepaskan diri. "Tangannya lepas!"

"Bukan gitu konsepnya." Winka keras kepala. Gadis itu enggan menjauh dari Galih.

"Winka Winata!" Bram memperingatkan.

Winka sengaja menggoda Bram. "Pak Gal juga nggak mungkin ngapa-ngapaian. Tuh lihat! Tangannya aja anteng banget dari tadi."

Galih bukannya tidak bereaksi, pria itu hanya sedang mengendalikan diri.

"Papa tahu isi kepala laki-laki." Pria itu menatap Galih tidak kalah tajam. Diam-diam Galih membenarkan perkataan Bram dalam hati. Dia tidak menyangkal kalau isi kepalanya jika menyangkut Winka memang sama sekali tidak bersih. Galih hanya mengandalkan pengendalian diri dan harga dirinya sebagai laki-laki.

"Saya sangat menghormati Winka, Om. Saya akan menjaga dia."

"Kamu bisa ngomong gitu karena belum kepepet." Kepala Bram penuh dengan prasangka buruk.

"Kepepet pun saya juga nggak bisa ngapa-ngapain karena Winka bisa menjaga harga dirinya dengan baik. Maka dari itu, Om, kenapa nggak izinkan saja kami untuk segera menikah?" Tembak Galih langsung.

"Kamu mau menikahi anak saya hanya karena nafsu?"

"Kami dua orang yang sudah sama-sama dewasa dan dalam usia produktif. Saya nggak mungkin menyangkal hormon saya seperti kata, Om, tadi. Tapi, menikahi Winka hanya karena nafsu itu picik sekali, meskipun dia gadis yang luar biasa cantik," Galih menatap Winka dengan sepenuh hati, "yang pernah saya temui." Seolah-olah Galih ingin menunjukkan pada Bram kalau Winka telah menyedot kehidupannya hingga sedemikan rupa. Pria itu bahkan secara terang-terangan menunjukkan kasih sayangnya kepada Winka. Galih tidak peduli atau bahkan merasa canggung. Ketika bersama gadis itu, satu-satunya yang menjadi fokus pria tersebut hanya Winka Winata.

Winka tersipu-sipu, tetapi gadis itu merasa senang luar biasa. Bram menyadari kalau putrinya benar-benar jatuh cinta. Dan dalam hati kecilnya dia percaya bahwa Winka tidak pernah salah memilih orang. Gadis itu mampu mengenali pria yang ingin ia jadikan sebagai pasangan. Dan nggak seharusnya juga Bram meragukan pilihan Winka. Hanya saja ini Winka Winata, miliknya yang paling berharga. Separuh jiwanya. Satu-satu hal yang bisa membuat Bram rela melakukan apa pun. Dia tidak mungkin bisa melepaskan Winka dengan mudah.

"Saya nggak bisa menjanjikan kalau semuanya akan baik-baik saja. Terlalu banyak hal di depan sana yang tidak bisa saya prediksi. Tapi, saya bisa memastikan kalau Winka adalah satu-satunya dan saya akan menjaga dia sepenuh hati. Menjadikan Winka sebagai prioritas utama dan nggak akan meninggalkan dia dalam keadaan apa pun." Galih menatap Bram sungguh-sungguh.

"Pak Gal, bahkan nggak minta aku buat cepat-cepat punya anak."

"Punya anak berat," gumam Bram.

"Nah, karena berat makanya Pak Gal menyerahkan semua keputusan mengenai anak ke aku. Dia benar-benar cinta aku, Pa. Pria ini bucin dan sudha nggak terselamatkan lagi. Kalau nggak sama aku, aku khawatir kalau jiwanya bisa terganggu," kata gadis itu melebih-lebihkan. Namun, Galih sama sekali tidak punya penyangkalan. Dia bahkan cenderung mengiyakan perkataan Winka.

"Finansial saya juga stabil untuk menghidupi kami." Bram mengernyit. Galih tahu kalau ini adalah isu yang sensitif. "Saya telah mengenal Winka sejak ia kecil. Saya tahu gaya hidupnya dan bagaimana dia menghabiskan uang. Saya nggak akan mengejar Winka seandainya saya tahu kalau dia tidak akan cukup dengan saya. Setelah saya yakin kalau kami akan cocok secara ekonomi dan saya tidak akan membuat dia sengsara, saya tidak bisa lagi menahan perasaan saya. Setelah kami menikah pun dia tetap boleh melakukan hal yang ia sukai, termasuk bekerja, dan penghasilannya akan sepenuhnya menjadi milik Winka. Kami akan hidup dengan penghasilan saya."

"Kamu tahu kalau saya jauh lebih kaya dari kamu?"

"Saya tahu. Om, saya mungkin nggak sekaya, Om Bram. Tapi, saya juga nggak akan membiarkan Winka merasa kekurangan. Selain sebagai dosen, saya juga mempunyai pekerjaan sampingan lain. Saya seorang konsultan dan berinvestasi di beberapa saham yang menguntungkan. Nilainya mungkin nggak sefantastis itu, tapi cukup untuk mebiayai kami, bahkan jika Winka menginginkan anak. Saya laki-laki dan saya juga mengakui kalau harga diri laki-laki dilihat dari mampu atau tidak mampunya ia membiayai keluarganya."

"Dan harga dirinya Pak Gal tinggi," sambung Winka. "Dia juga pekerja keras." Mereka berpegangan tangan dengan erat. "Dia akan mengusahakan segalanya buat aku, kayak Papa." Bram bergeming. "Bukannya yang terpenting adalah pria yang mengerti dan bisa jagain aku? Pria yang bisa menerima aku apa adanya dan mau bersama-sama untuk berjalan bersisian? Trust me, Pa. Ini akan berhasil. Aku yakin dan aku nggak akan pernah menyesali pilihanku."

Sekalipun Bram masih keras kepala, dengan Winka di sisinya Galih tidak akan pernah menyerah. Dia akan terus menggenggam tangan gadis itu dan mayakinkan Bram tanpa lelah. Karena seperti kata Winka, dia juga tidak pernah menyesali pilihannya.

#

"Saya sudah nggak terkejut saat diberi tahu kalau kamu terlibat pertengkaran." Robby Damari—orang kepercayaan Bram—enggan menatap Adrian dengan prihatin. "Yang lebih mengejutkan, kenapa Lita bisa ada di sini?" Mereka sama-sama memperhatikan Lita yang tengah tertidur di sofa.

"Jaga saya."

"Ternyata Bram benar-benar bodoh. Dia menukar berlian dengan batu biasa." Robby kembali menatap Adrian. "Jangan tersinggung!" tambahnya.

"Nggak. Papa memang bodoh dan Tante Lita memang sebaik itu." Adrian tidak menyangkal. "Omong-omong, kenapa Pak Robby ke sini?"

"Saya harus jenguk kamu untuk mewakili Bram."

"Pak Robby nggak perlu repot-repot. Saya dijaga dengan baik."

"Oleh keluarga mantan istri ayahmu?" kata pria akhir lima puluhan itu dengan sarkas. "Saya suka Winka dan Bram nggak salah kalau sangat menyayangi gadis itu sepenuh hati. Kalau saya seusianya, saya juga akan menyayangi gadis itu sepenuh hati." Tentu dalam artian yang berbeda.

"Kalau dia bukan kakak saya, saya juga akan melakukan hal yang sama. Tapi, kita berdua tentu bukan orang gila."

"Ya ampun, tentu saja." Robby memperhatikan luka-luka di sekujur wajah Adrian. "Siapa yang menang?"

"Saya."

"Wah, gen itu memang kuat. Bram juga nggak pernah kalah kalau dulu diajak duel."

Adrian tidak tertarik mendengar cerita tenatang masa lalu ayahnya. "Jadi?"

"Anak muda, kamu sungguh nggak sabaran." Robby berdecak. Pria itu kini menatapnya serius.

"Pak Robby jarang bahkan nggak pernah mau berurusan dengan saya. Selama kita kenal, interaksi kita bisa dihitung dengan jari, dan semuanya dalam suasan formal menyangkut urusan perusahaan."

"Wah, kamu benar-benar anak Bram Winata." Robby mendekati Adrian. "Penuh dengan perhitungan." Pria itu bersidekap. "Dalam hal ini saya bukan hanya bertindak sebagai orang kepercayaan ayahmu, tetapi juga sebagai teman Bram. Kamu harus tahu, kalau ayahmu sungguh-sungguh mencintai perusahaannya. Kalau kamu mau melihat ketulusannya selain kepada kakakmu, maka kamu harus melihat saat ayahmu sedang bekerja. Dia melakukan segalanya dan mengorbankan semuanya untuk perusahaan itu." Adrian menyimak.

"Dan saya juga paham kenapa dia tidak pernah mau mempertimbangkan Juna dalam hal ini."

"Karena Juna bukan Winata," tebak Adrian.

"Tentu itu benar. Selain itu, karena Juna tidak mewarisi hal-hal penting untuk menjalankan perusahaan itu." Adrian tidak paham. "Seperti katamu tadi, Juna bukan Winata. Winata sejati adalah ayahmu dan dia mewariskan darah Winata itu dengan kental ke putrinya."

"Mbak Winka."

"Juga putranya."

"Saya nggak punya ketertarikan apa pun dengan perusahaan Papa."

"Tapi, kamu mewarisi semangatnya, sikapnya yang keras kepala dan pentang menyerah, cara berpikirnya yang logis dan kritis, dan ketulusannya dalam mengerjakan hal-hal yang ia sukai. Meskipun kamu juga mewarisi emosinya yang meledak-ledak dan kemampuannya untuk beradu fisik."

"Yang saya lakukan selama ini cuma menentang Papa dan melakukan hal-hal yang saya sukai. Saya hanya ingin jadi pengacara, Om."

"Oh, tentu kamu nggak sadar. Tapi, itulah Winata yang sesungguhnya. Sama halnya dengan Winka yang menekuni pekerjaannya sekarang dan menolak apa pun pilihan ayahmu. Bahkan dia juga menolak pria pilihan ayahmu dan memilih untuk memacari keponakan ayah tirinya. Meski setelah saya lihat pria itu sangat berpendidikan dan ganteng juga."

"Dari mana, Om, tahu?"

"Nggak ada rahasia Bram yang nggak saya tahu, kecuali soal kamu dan ibumu." Namun, Robby menolak untuk menerangkan lebih jauh. "Intinya, sekarang semuanya tergantung kamu." Dia menurunkan tangannya. "Kamu harus memikirkan segala kemungkinan dengan baik sebelum mengambil keputusan." Adrian masih belum mengerti. "Karena apa pun keputusan yang kamu ambil itu nggak hanya berpengaruh untuk kamu, tapi juga untuk Winka." Adrian menatap Robby dengan terkejut. "Kamu tahu seperti apa karakter ayahmu."

"Apakah ini juga ada hubungannya dengan keinginan Mbak Winka untuk menikahi Pak Galih?"

"Tentu." Robby mengangguk hikmat. "Kamu bisa menyelamatkan kakakmu, atau membuatnya harus menunggu sampai Bram meninggal untuk menikahi pria yang dia inginkan."

Adrian mengernyit. "Papa nggak mungkin seekstrim itu."

"Dia jelas begitu," sangkal Robby. Pria itu melihat arlojinya. "Saya harus menghadiri rapat yang seharusnya menjadi tugas ayahmu," keluhnya. "Bram jelas-jelas melaksanakan rencananya untuk menghambat saya menikah lagi."

"Pak Robby, sudah menikah empat kali."

"Lalu kenapa tidak bisa menjadi yang kelima kali? Lagipula, saya sudah bercerai sejak dua tahun lalu. Hidup ini jadi sepi sekali." Pria itu mengerling dengan jenaka. "Kamu akan tahu rasanya nanti, Anak Muda." Pria itu kemudian berlalu pergi.

Adrian menatap pintu yang telah tertutup, lalu kepada Lita yang terlihat begitu nyenyak di dalam tidurnya. Sekarang adalah pukul sebelas malam, dan dia tidak berniat untuk bertanya-tanya dari mana Robby mendapatkan akses untuk menjenguk pasien rumah sakit selarut ini.

Yang menjadi fokusnya sekarang adalah apa yang harus ia lakukan setelah ini? Terlebih setelah segala hal yang dilakukan Winka untuk dirinya, tegakah Adrian untuk membiarkan kakaknya itu tidak berhasil mendapatkan satu-satunya hal yang dia inginkan di dalam hidupnya?

Adrian tersenyum miris. Hidupnya tidak benar-benar berharga jika Winka tidak berada di sisinya. Kakaknya itu adalah satu-satunya hal yang membuat Adrian tetap waras menghadapi keadaan keluarganya yang kacau balau. Winka rela menekan egoisme dan sakit hati terhadap ibunya demi bisa membuat Adrian tetap menjalani hidup dengan 'layak'. Lalu pantaskan ia membiarkan kakaknya diperlakukan demikian oleh sang ayah?

Tentu tidak.

Menyandarkan kepalanya dengan cukup keras di atas bantal, pria itu akhirnya telah mengambil keputusan. Tidak. Dia tidak mengambil keputusan, melainkan melakukan hal yang seharusnya dia lakukan untuk kakaknya.

#

Meskipun Senin riweh banget entah karena ngurus anak sekolah atau males masuk kerja, ditambah gosip orang selingkuh yang melimpah ruah di sela2 makan siang kantor, tapi kamu nggak boleh nyerah. Masih banyak orang ganteng yang greenflag ijo neon, terutama Mas2 drama korea... 

Kalau mau ninggalin jejak boleh banget... 

Ps: 

1. Rekomendasi drakor minggu ini Dr. Cha dan The Bad Good Mother

2. Winkawin Bab 36 udah bisa dibaca duluan di Karyakarsa... 

Salam cinta 1000 rupiah dari pacar barunya Lee Dong Hyun (doi udah nggak jomlo)...

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 12.8K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
123K 10K 83
Complete Story ada di Karya Karsa Buku cetaknya, bisa dicari di tokopedia dan shopee (@bebekz_hijau) Hai, Kenalan dulu... namaku Sandra Bayu Hutama...
1.6M 175K 66
TAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes "Kita kapan akan bercerai?" - Aliyah, istri. "Kamu ajakin saya kumpul kebo?" - Jesse...
194K 12.3K 57
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...