Evanescent

By hanyaabualan

24.5K 2.8K 1.2K

Setelah 10 kali pertemuan, Jordan bersedia menemani Serenade tanpa paksaan orang tua yang sudah beberapa kali... More

Prolog: Kembang Api
1. Pertemuan Pertama, Pertemuan Kelima
2. Kesiapan
3. Feel Special
4. Kedekatan yang Pasti
5. Meyakinkan yang Ragu
6. Pertimbangan Lain
7. Imaji dan Realitas
8. Lamaran?
9. Tujuan yang Dinanti
10. Hari-H
11. Setelah menikah harus apa?
12. Dua Minggu dan Berlanjut
13. Sentuhan Tak Terduga
14. Sinyal Bahaya
15. Prasangka Baru
16. Naif
17. Telanjur Mencinta
18. Perang Dingin
19. Menantang Maut
20. Unforgiven
21. Intuisi
23. Tidak Gentar untuk Mundur
24. Menepi Sejenak
25. Manis yang Singkat
26. Pola yang Terulang
27. Solusi Terbaik
28. Roller Coaster
29. Garis Awal yang Berbeda
30. Seandainya
31. Cinta yang Menyiksa
32. Membebaskan
33. Babak Akhir
34. Jabatan Terakhir
35. Roda Kehidupan
Epilog: Lembar Baru
Cerita Tambahan

22. Menyadari Keadaan

537 75 49
By hanyaabualan

Jangan lupa vote dan komentarnya 💚

Biar aku makin semangat 💚

"Aku udah minta Disty buat nggak telepon lagi, Seren."

Informasi itu berhasil menarik atensi Serenade hingga berhenti mengunyah dan mau menatap Jordan yang duduk di hadapannya.

"Tapi nggak gampang karena Disty ngerasa tiba-tiba. Makanya dia masih suka telepon dan nggak pernah aku jawab. Terus kemarin dia ngajak ketemu buat ngobrol, katanya minta penjelasan supaya Disty nggak ngerasa digantung."

Serenade mendengkus dan memutar bola matanya malas, lalu kembali menikmati makan malam dengan nafsu yang sudah setengah. Jordan tidak lagi bicara dan hanya menunggu respons sang istri. Serenade pun tahu apa yang ingin Jordan minta, hanya saja terlalu takut untuk disuarakan dan membiarkan sang puan memutuskan sendiri tanpa merasa dipaksa.

Meja makan kembali dimeriahkan oleh denting alat makan yang bergesekan dengan piring, sedangkan lisan pasangan itu tetap membisu setelah Jordan selesai bicara beberapa menit lalu.

"Silakan ketemu sama Disty, Jo."

Jordan menaikkan pandang mendengar ucapan Serenade yang sungguh tidak diduga. Jordan tidak berharap Serenade akan mengizinkan, malah dia pun sudah memberi tahu Disty bahwa kemungkinan tidak akan menerima ajakan bertemu itu. Sekarang sesuatu di luar dugaan justru diberi meski akhirnya Jordan jadi dilema harus menetap atau pergi.

"Aku ke sana beneran cuma ngobrol dan bakal udahin semuanya sama Disty. Aku nggak akan biarin Disty masuk ke kehidupan kita lagi, Seren. Biar dia ngerti juga situasinya udah beda."

Alih-alih senang mendengar penjelasan Jordan tentang agenda bertemunya, Serenade malah makin miris karena ternyata sang suami tidak sepintar itu sebagai kepala keluarga. Serenade letakkan sendok di atas piring yang telah bersih dari makanan, lalu membalas tatapan Jordan yang tampak tak ingin membuat istrinya salah paham meski akhirnya malah menjadi celah untuk disanggah.

"Kamu ngomong kayak gitu seakan-akan Disty yang sepenuhnya salah di sini." Serenade meneguk segelas air di samping kanan piring hingga habis, barulah melanjutkan, "Padahal Disty nggak akan ada di antara kita kalau dari awal kamu nggak ngizinin dia masuk, Jo. Aku boleh aja marah sama Disty, tapi aku jauh lebih marah sama kamu. Disty bisa pergi setelah kalian ngobrol, tapi apa kamu juga bisa pergi dari hidup aku, Jo?"

Jordan membeliak dan tenggorokannya mendadak kering, bahkan suara yang ada di ujung lidah ikut surut dan gagal mengalir. Dadanya ngilu mendengar Serenade yang penuh ancaman, paham maksud pergi yang jelas itu bukan emosi sesaat, melainkan keinginan terdalam setelah berkali-kali dikecewakan. Jordan lantas berdiri sambil menahan ngilu di dadanya yang kian menusuk, kemudian duduk di samping Serenade yang langsung menggeser kursi sebagai pembatas agar Jordan tidak terlalu dekat.

"Kita bisa mulai dari awal lagi, Seren," pinta Jordan seraya meraih tangan sang istri dan meremasnya lembut. "Ini beneran yang terakhir. Disty bakalan lepas dari aku setelah ketemu."

"Tapi apa kamu bakal lepas dari dia, Jo?" Serenade menyela dengan mata nyalang yang berapi-api. "Dari awal itu kamu masalahnya, Jo. Jadi akarnya itu bukan cuma Disty, tapi hati kamu juga. Apa kamu bisa hapus juga semua perasaan buat Disty dan kasih sedikit ke aku? Atau ... kamu bakal stuck aja karena sedikit nggak rela Disty bener-bener pergi? Lagian dari awal kamu nggak suka sama aku, jadi buat apa mati-matian pertahanin aku?"

Jordan mengerti sekarang. Secara tersirat, Serenade bukan saja ingin suaminya berpisah dari masa lalu, tapi juga memutus tali pernikahan mereka yang dirasa percuma untuk bertahan. Serenade tengah memprovokasi Jordan agar berpikir ulang untuk melepaskannya juga dengan menarik kesimpulan sendiri soal perasaan yang pria itu miliki.

Serenade berdiri sambil membawa piringnya, mengitari meja untuk mengambil piring Jordan yang juga sudah kosong dan membawanya ke bak cuci. Saat tungkainya hampir tiba di tujuan, Serenade harus berhenti ketika Jordan memanggilnya. Hening sesaat di antara mereka, sampai Jordan berdiri menghadap Serenade dan meraih dua piring di tangannya yang langsung disimpan di bak cuci, lalu kembali berhadapan untuk meluruskan kesimpulan istrinya yang salah.

"Aku nggak akan nikahin kamu kalau nggak suka, Seren," ungkap Jordan tegas tapi tetap tenang selama menghadapi Serenade yang emosinya bisa meledak kapan saja. "Perasaan kita sekarang boleh beda besarnya, tapi bukan berarti aku nggak seneng setiap sama kamu, bukan berarti aku nggak semangat tiap pulang ke rumah buat ketemu kamu. Aku juga takut sama keadaan kita yang kayak gini, makanya aku nggak mau diam aja. Aku mau bikin kamu seneng dan hidup kita damai aja tanpa masalah. Kalau ada yang kamu mau, bilang aja. Aku bakal ngasih semuanya, Seren. Asalkan kita bisa balik lagi kayak dulu."

Tak ada celah kebohongan di mata Jordan saat kata-kata itu terlontar dari belah bibirnya. Semua tulus, termasuk keputusasaan yang menimpanya karena Serenade tidak kunjung luluh. Namun, itu tidak cukup untuk membalikkan rasa kecewa yang kepalang mengakar di hati. Sebaik apa pun suaminya, sebesar apa pun usahanya, Serenade tidak akan bisa memandang Jordan dengan cara yang sama.

"Aku bisa aja percaya sama omongan kamu, Jordan. Tapi maaf, aku nggak akan bisa nerima orang yang udah bikin hancur hanya karena masa lalunya belum selesai."

Jordan dan Disty memiliki satu kesamaan paling menonjol dalam hal fashion, yaitu sama-sama gemar mengenakan leather jacket setiap bertemu. Saking sukanya, mereka akan mengenakannya tanpa janjian lebih dulu dan kompak seakan direstui Semesta yang senang melihat mereka bersama-sama. Siapa sangka kebiasaan itu berlanjut hingga pertemuan hari ini, sampai Disty dengan percaya dirinya menganggap takdir baik masih berpihak pada mereka karena kesamaan jaket yang dikenakan.

Sayangnya tidak bagi Jordan yang ingin segera melepaskan diri dari rasa bersalahnya. Baginya kesamaan hari ini hanya kebetulan terakhir yang tidak akan pernah terjadi lagi.

Duduk di restoran yang menyajikan masakan nusantara di jam makan siang, Jordan dan Disty saling menghadap ketika sama-sama menikmati makanan sebelum memulai bincang-bincang mereka. Disty yang paling semangat karena ajakannya diterima, sedangkan Jordan tengah menyiapkan nyali untuk menyudahi segala drama yang dia ciptakan sendiri dan menjadi masalah untuk rumah tangganya hingga kini berada di ujung tanduk.

Disty terus mengoceh sepanjang makan, khususnya tentang makanan yang tengah dia nikmati setelah seringnya hanya makan salad dan makanan tinggi serat lain agar menjaga bentuk tubuhnya.

"Jadi kita bakal mulai makan siang bareng lagi, nih?" tanya Disty antusias. "Aku nggak bisa sering-sering makan ginian, jadi ... boleh 'kan kalau aku ke studio aja dan bawa makanan sendiri? Kamu tinggal bilang kalau lagi di studio, ya. Nanti aku ke sana."

Jordan menelan salivanya susah payah saat Disty menganggap tujuan bertemu hari ini adalah untuk memperbaiki hubungan yang sedikit renggang. Yah, wajar. Saat Disty mengajak bertemu dan Jordan setuju setelah diberi izin oleh Serenade, pria itu hanya bilang ingin mengobrol serius tanpa memberi tahu topik apa yang akan dibawa.

Sebenarnya Disty sudah menebak ke mana arah pertemuan ini karena Jordan tidak kunjung memberi reaksi positif setiap dia bicara, tetapi dia ingin menghibur dengan mengoceh tentang berbagai hal, termasuk percaya diri soal agenda makan siang bersama.

"Kita makan siangnya cuma hari ini aja, Disty," ucap Jordan yang mulai mengumbar isi kepalanya.

"Oh, maksudnya sesekali kali, ya?" Disty tersenyum lebar dan meletakkan sendoknya di atas piring. "Enggak apa-apa. Seluangnya kamu aja."

Sebelum Jordan bicara, ada pramusaji yang datang dan menawarkan piring kosong di atas meja untuk dibawa. Setelah piring kosong di atas meja disingkirkan, hanya ada dua minuman sebagai teman mereka; es teh manis untuk Jordan dan air mineral untuk Disty. Yakin tidak ada lagi interupsi dari siapa-siapa, Jordan pun mulai meluapkan isi pikirannya agar berhenti membanjiri kepalanya.

"Disty, aku udah minta kamu buat berhenti telepon aku. Artinya kita juga nggak bisa ketemu lagi. Bukan sengaja kayak gini apalagi sering, termasuk buat makan bareng. Kita tetep temenan, tapi sewajarnya aja. Terus yang terpenting aku juga mau ngasih batas karena sekarang udah punya istri."

Sudut bibir Disty bergetar dan telinganya panas mendengar penolakan Jordan atas presensinya. Sesuatu yang seharusnya Jordan lakukan sejak lama agar Disty bisa tahu batas tanpa perlu diperintah seperti sekarang. Jordan telanjur membawa Disty masuk ke dunianya lagi, membuat wanita itu berat untuk menghadapi realitas bahwa hubungan mereka tidak lagi sama.

Ah, tidak. Andai Jordan sudah memberi batas sejak awal, Disty tetap akan berusaha mendekati temannya itu tanpa mengingat status mereka yang telah berbeda. Disty akan memikirkan berbagai cara agar bisa bergabung lagi dalam hidup Jordan, meskipun orang-orang mengartikannya sebagai pengganggu hubungan.

Ya, itu yang Disty pikirkan sejak tahu Jordan memiliki wanita lain dari Dewa. Lantas ketika Jordan tetap membukakan pintu untuknya dan terpaksa menutupnya lagi, Disty tidak mau mundur begitu saja.

"Disty?" panggil Jordan mendapati wanita di hadapannya hanya duduk sambil menunduk. "Kamu nggak apa-apa?"

"Apanya yang nggak apa-apa?" Suara Disty bergetar, begitu juga bibirnya yang sedikit kaku ketika harus bicara.

"Distyㅡ"

"Kamu yang dari awal undang aku, Jo. Sekarang kamu mau usir aku?" sela Disty seraya mengangkat wajahnya dan menatap Jordan nyalang.

Alih-alih gentar, Jordan justru mengangguk dan mengakui kelakuannya itu. "Iya, karena aku udah salah dan harus milih Seren."

"Berarti aku ini kesalahan, ya?"

"Kedatangan kamu itu nggak salah, tapi nerima kamu itu yang salah. Aku yang udah nggak tahu batas, karena itu aku minta maaf udah bikin keadaan jadi gini."

Dengan bibirnya yang masih bergetar, Disty menyeringai dan menengadah sejenak untuk menyurutkan genangan air di pelupuk matanya yang ingin tumpah tanpa izin. "Lagian kenapa kamu harus nikah sih, Jo? Kamu yang bilang mau nunggu aku, tapi pas aku pulang malah udah jadi suami orang. Aku aja selama jauh nggak kepikiran lho buat nikah sama cowok lain walaupun beberapa kali pacaran. Aku masih mau sama kamu, Jo."

Disty setengah menjerit membuat beberapa pengunjung menaruh atensi pada mereka. Jordan dengan sigap berpindah ke sisi Disty dan mengusap punggungnya, berharap bisa meredakan pilu yang tengah menguasai wanita itu. Jordan juga ingin menghindari keributan dengan reaksi histeris Disty yang bisa dia maklumi, tetapi dia tidak bisa diam saja dan membiarkan temannya larut akibat tidak rela di tempat umum.

"Maafin aku, Disty. Tapi emang jalannya udah beda."

"Kamu masih cinta sama aku 'kan, Jo? Kamu bisa ceraiin Seren aja dan sama aku. Sekarang aku udah siap nikah. Aku nggak akan nolak buat nikah sama kamu. Lagian kamu juga nggak cinta sama Seren, 'kan? Pasti lebih gampang buat milih aku."

Pernyataan bahwa Jordan masih mencintai Disty adalah kenyataan, tetapi kini dia sadar keberadaan perasaan itu salah. Jordan tidak seharusnya mencintai Disty lagi saat dia sadar Serenade pun sudah menguasai hatinya sejak lama. Maka dengan pertemuan akhir inilah dia harap perasaannya pun ikut usai. Namun, mengakhiri ini semua tidaklah mudah, sebab keinginan Disty membuatnya rumit dan Jordan pun sulit untuk meninggalkan saat mereka belum sepaham.

"Kamu masih cinta sama aku, 'kan?" Disty sedikit menuntut saat Jordan hanya diam.

"Itu biar jadi urusan aku," jawab Jordan akhirnya. "Tapi satu yang kamu tahu, aku nggak akan bisa ninggalin Seren karena orang lain. Aku sayang Seren, Disty. Aku nggak mungkin ninggalin orang yang aku sayang."

Disty menggigit bibirnya yang kian bergetar, lidahnya pun kelu saat ingin bersuara untuk menyangkal perasaan Jordan pada istrinya. Genangan yang ditahan itu pun akhirnya tumpah dan Disty buru-buru sembunyikan wajah dengan telapak tangannya. Kini seluruh tubuh wanita itu bergetar dan Jordan tak mampu membiarkannya begitu saja. Lengannya terbuka untuk menarik Disty hingga terkurung dalam pelukannya, berusaha meredakan tangis memilukan setelah hatinya patah.

Namun, bukankah harus begitu? Jordan tidak bisa mempertahankan dua perempuan dan salah satunya harus patah hati. Jelas, yang Jordan pilih hanya Serenade. Mau Disty tidak memercayai perasaan yang Jordan miliki untuk Serenade, bahkan meskipun cinta itu tidak ada, sang pria akan tetap memilih istrinya sebab telah berjanji untuk bersama dalam hidup dan mati.

Jordan mengusap punggung Disty yang kian membungkuk karena tenaga wanita itu terus luruh, bersamaan dengan kata maaf yang terus mengalir karena pilihannya tidak akan berubah sampai kapan pun.

"Maafin aku, Disty. Tolong terima, ya."

Akhirnya Serenade mendapatkan job merias pengantin lagi setelah Greya meliburkannya cukup lama. Job yang kadang membuat Serenade jengkel dan lelah ketika harus berangkat pagi-pagi buta, kini justru terasa menguntungkan karena dia tidak perlu berlama-lama bersama Jordan saat dini hari hingga menjelang pagi. Walaupun tetap membuat dongkol, Serenade tidak mengeluh karena untuk seharian iniㅡdalam waktu yang lebih lamaㅡdia tidak akan bertemu Jordan.

Bukannya Serenade menghindar, buktinya dia santai saja saat Jordan di rumah. Hanya saja ada beberapa waktu tertentu yang membuat Serenade lebih suka sendiri dan melupakan statusnya sebagai istri. Kejam, ya? Ya, memang begitu yang Serenade rasakan. Mungkin itu juga yang memperkuat tekad Serenade untuk berpisah. Namun, itu tetap tidak mudah, bahkan saat ingin disuarakan di hadapan Jordan yang seharusnya bisa melepas Serenade.

Mengenyahkan soal perpisahan, Serenade kini berada di studio bersama Zaenal setelah pulang dari lokasi merias. Ini hari Minggu, jadi Zaenal mau berkunjung ke studio yang lokasinya masih dekat dengan rumahnya.

Zaenal jarang berkunjung ke tempat bekerja Serenade, tetapi kunjungan kali ini harus beliau lakukan karena ada sesuatu yang mengusik benaknya setelah melihat Jordan bersama perempuan tidak dikenal. Zaenal juga ingin tahu kabar putrinya yang mungkin tengah menutupi sesuatu. Jika iya, Zaenal tidak ingin membiarkan itu, tetapi di sisi lain beliau pun tidak mau ikut campur terlalu banyak selagi Serenade bisa mengatasi sendirian. Zaenal cukup siap menjadi sandaran saat Serenade mulai lelah.

Kendati begitu, Zaenal tetap berdoa segala dugaan buruknya pada Jordan tidaklah benar. Jordan tidak bermain di belakang dan yang waktu itu beliau lihat bukan hal besar untuk dipikirkan. Serenade tampak baik-baik saja tanpa menunjukkan geliat ganjil sejauh yang Zaenal amati selama menemaninya di studio.

Seharusnya Zaenal lega, tapi sayangnya ingatan tentang Jordan terlalu menguasai pikiran hingga beliau tidak mau tertipu dengan gerak-gerik putrinya. Bisa saja itu hanya tameng, 'kan?

"Nak, gimana selama nikah sama Jordan?"

Serenade yang baru saja masuk setelah mengambil pesanan dari driver online mengernyit heran karena Zaenal tiba-tiba bertanya demikian. "Tumben banget Ayah nanya. Sebelumnya cuek aja," ucap Serenade seraya duduk di samping Zaenal dan mulai mengeluarkan satu per satu makanan dari kantung plastik.

Zaenal kembali amati ekspresi Serenade kala merespons pertanyaannya, masih tidak ada yang mencurigakan dari senyum tipis di bibir putrinya. Namun, Zaenal tetap tidak mau terbuai dan masih mencari tahu yang sebenarnya.

"Justru karena Ayah nggak pernah nanya, makanya sekarang Ayah pengin tahu."

"Kami baik banget, Ayah." Tak butuh waktu lama untuk Serenade menjawab sambil tersenyum lebar. "Malah kemarin Jordan ngirim ini. Gemes banget, 'kan?" tambah Serenade seraya menunjuk bunga mawar merah di vas yang dipajang di atas meja.

Well, Serenade tidak bohong soal bunganya. Kemarin Jordan mengirim langsung bunga itu saat studio sedikit ramai, tanpa memberi kabar hingga Serenade menganga lebar ketika pria itu datang. Satu studio langsung heboh saat Jordan memberikan kejutan romantis, termasuk Greya yang iri mengingat Juno kurang suka mengumbar kemesraan di depan publik. Lain dengan Serenade yang hampir mual melihatnya, tapi mati-matian harus terlihat senang agar yang lain tidak curiga dan menghargai kedatangan Jordan.

Beruntung Jordan hanya datang sebentar karena masih ada kesibukan, jadi Serenade tidak perlu lama-lama akting sebagai wanita paling bahagia karena itu sangat melelahkan. Bunga itu sebenarnya dipajang oleh Greya saat Serenade berniat menyimpannya di lantai dua untuk dibawa ke rumah. Serenade yang mulanya sebal malah bersyukur sekarang, sebab berkat bunga itu dia bisa berbohong pada Zaenal.

"Sweet juga ya Jordan," ucap Zaenal seraya meraih makanan yang dipesan Serenade beserta sendoknya.

"Iya, 'kan? Baru pertama sih ngirim bunga, tapi setiap hari juga sweet."

"Kalian pernah berantem, nggak?" tanya Zaenal lagi yang kali ini ingin tahu lebih jauh.

"Kalau debat gitu sih pernah beberapa kali ya, Ayah. Namanya juga rumah tangga," jawab Serenade tanpa ada beban di lidahnya. "Tapi selebihnya kami baik banget."

Zaenal manggut-manggut, ikut bersyukur dengan jawaban Serenade meski masih merasa ganjil. "Pernah ngomongin soal anak, nggak? Atau tetep pengin nunda beberapa tahun?"

Serenade yang tengah mengunyah udang asam manisnya berhenti sejenak karena pertanyaan tidak terduga itu belum memiliki jawaban pasti seperti apa. Pasalnya selama menikahㅡbaik sebelum dan selagi ada masalah seperti sekarangㅡSerenade dan Jordan tidak pernah membicarakan anak. Hubungan mereka mengalir seperti biasa, seakan anak bukanlah prioritas dalam berumah tangga. Ditambah lagi di masa sulit sekarang. Jangankan memiliki anak, membuatnya saja belum pernah.

Setelah menelan makanan di mulutnya, Serenade pun menjawab, "Belum, Ayah. Pengin nikmatin masa-masa berdua dulu. Ayah nggak masalah 'kan belum nambah cucu?"

Zaenal tergelak seraya menggeleng sampai harus menunda makan agar tidak tersedak. "Enggak masalah, Anjani sekarang juga cukup. Yang penting 'kan kamu sama Jordan baik-baik aja, Nak. Nanti jangan lupa juga lho ajak dia ke rumah buat peringatan kematian Mama."

"Iya, Ayah."

Percakapan itu menemui final dengan Zaenal yang masih belum menemukan hal mencurigakan dari Serenade. Putrinya terlalu pandai bersembunyi atau memang tidak ada hal yang terjadi? Entahlah, Zaenal sedikit buntu dan tidak memiliki petunjuk, selain bertanya pada pelaku langsung yang akan beliau tanyakan ketika datang ke rumahnya.

Zaenal boleh saja melepas putrinya sekarang dari berbagai pertanyaan penuh selidik. Nanti setelah Jordan hadir, Zaenal akan mengulik lebih dalam sampai yakin rumah tangga putrinya memang dalam keadaan baik.

Hari ini Dewa mendapat panggilan dari nomor yang tidak dikenal dan lebih mencengangkan lagi ketika tahu siapa pemiliknya. Dewa yang merasa tidak sedekat itu dengan orangnya jelas terkejut, terlebih ketika yang menelepon memintanya datang. Ya, dia adalah Disty. Wanita yang belakangan ini membuat Dewa dongkol karena tingkahnya di dekat Jordan tanpa ingat bahwa temannya itu sudah menjadi suami orang. Dewa sebenarnya enggan untuk menanggapi, tetapi jiwa penasarannya terlalu berkuasa sebab aneh saja Disty tiba-tiba mencarinya dan berakhir datang ke lokasi yang dikirim melalui pesan singkat.

Tepatnya di pukul sembilan malam saat Ibu Kota sedang bersinar terang menerangi langit kelabu. Di sebuah bar yang baru buka secara umum satu jam lalu, Dewa mendatangi Disty yang sudah menunggu. Bar masih cukup sepi karena orang-orang baru datang pukul sepuluh ke atas dan Disty memilih ruang private agar jauh dari pengunjung lain yang memenuhi area depan.

Selain itu Disty juga sedang menghindari alkohol, jadi dia harus jauh dari segala godaan di depan dan bisa nyaman menikmati air mineralnya yang hambarㅡsehambar hidupnya.

Dewa mengetuk pintu ruangan nomor satu sebelum memasukinya, lalu tak lama pintu dibuka menampilkan Disty yang dalam keadaan kacau. Dewa sampai pangling, terlebih ketika melihat mata Disty yang sembap dan rambutnya sedikit berantakan akibat dikuncir asal.

Tanpa mengatakan apa-apa, Disty mengajak Dewa masuk dan duduk menghadapnya. Sudah ada segelas mojito di sana yang dipesankan Disty untuk jadi penyegar mulut Dewa, tetapi malah dianggurkan karena pria itu makin tertarik untuk tahu apa yang terjadi pada wanita di hadapannya. "Makasih ya udah dateng," ucap Disty seraya tersenyum tipis.

"Besok aku harus pemotretan, jadi nggak bisa minum yang lain selain ini," tambahnya seraya menunjukkan botol air mineral yang tersisa setengah.

"Kenapa lo tiba-tiba nelepon gue? Buat apa juga ngehubungin gue? Terus tahu nomor gue dari mana?" cecar Dewa yang tidak mau basa-basi.

"Aku butuh temen gara-gara Jordan nggak mau jadi temen aku lagi. Terus aku tahu nomor kamu dari Jordan. Dia yang ngasih pas aku minta."

Ck. Seharusnya Dewa sudah menebak kalau nomornya diberikan oleh Jordan tanpa meminta izin. Sekarang Dewa tidak bisa sembarangan pergi karena rupanya Disty dibuat kacau oleh Jordan yang masih belum dia mengerti apa sebabnya.

Dewa kembali membisu karena tidak mau dikuasai rasa ingin tahu, membiarkan Disty untuk terbuka secara sukarela dan ternyata itu cukup lama. Ada mungkin lima menit membisu di dalam ruangan serba merah dan hitam, Disty akhirnya mau menatap Dewa lagi setelah siap meluapkan beban yang ada.

"Jordan minta berhenti buat ditelepon sama diajak ketemu. Gila nggak, sih? Padahal yang namanya temen nggak perlu membatasi gitu walapun udah punya istri. Kecuali kalau sama-sama pake perasaan."

Oh, akhirnya. Dewa ingin menjerit lega karena dia jadi tahu masalah yang terjadi antara Disty dan Jordan. "Emang sama-sama pake perasaan kali. Lo juga gitu."

Disty yang tidak siap dengan serangan balik malah mengernyit. "Kok aku?"

"Saking cintanya sama Jordan, lo nggak inget batasan antara temen dan suami orang. Jordan juga sama bulolnya dan sempet lupa sama istri sendiri. Nah, sekarang dia udah sadar, makanya milih udahin. Lo juga harusnya sadar kalau dia itu suami orang, Disty. Bukannya galau kayak habis ditinggalin pacar."

Disty meringis miris, sebab dia berharap bisa ditenangkan oleh Dewa setelah menceritakan secara singkat bagaimana situasinya bersama Jordan, malah mendapat tamparan keras akan kesadaran dirinya yang hilang akibat tergoda oleh cinta lama. Disty mengembuskan napas berat sambil berusaha mengenyahkan berbagai memori manisnya bersama Jordan yang berakhir gagal, malah makin muncul keinginan untuk mewujudkannya kembali dengan kenangan baru.

"Jordan janji mau nunggu aku, Wa. Kenapa dia nggak tetapin janji itu?" lirih Disty yang makin lesu.

"Gue nggak tahu banget soal janji itu, tapi namanya ditinggal bertahun-tahun, perasaan dan hidup orang bakal berubah. Jordan udah sadar dia nggak bisa nunggu lo lagi dan belum tentu juga dikasih kepastian. Makanya dia milih Seren dan harus gue tegasin sama lo, dia orang yang baik banget. Makanya gue nggak mau dia sakit hati gara-gara kelakuan kalian berdua yang lupa daratan. Jordan udah sadar, jadi mending lo juga, deh. Fokus karier sambil nyari cowok lain," jelas Dewa panjang lebar sekaligus gemas karena Disty tidak kunjung terketuk hatinya.

Wanita itu kian lesu karena merasa tidak ada yang di pihaknya. Amarahnya pun makin di ubun-ubun, tetapi berusaha ditahan karena Disty harus memikirkan image-nya yang bisa rusak jika dia bertindak gegabah. Sayang otaknya sering berpikir beda jika sudah soal Jordan, sebab Disty masih tidak peduli jika kenyataannya pria itu sudah jadi suami orang.

"Jordan sama Seren nggak bakal langgeng 'kan, ya?"

"Heh, ngomongnya dijaga ya lo!"

Tuh, ditanya. Jordan sama Seren bakal langgeng gak? Jawabannya kita lihat nanti

Kalian kalau mau ngasih feedback selain tulis di kolom komentar, bisa juga lho isi tello aku. Bisa kalian ketik aja tellonym.me/hanyabualan ya. Kalau mau dapet spoiler tipis-tipis juga boleh. Aku bakal jawab setipis mungkin xD

Oh, iya. Aku minta tolong doanya ya dari kalian buat tes kerja hari Senin. Tempat dan posisinya impian aku banget, jadi berharap banget bisa keterima di sana :"

Hari ini aku gak akan ngomong banyak. Pokoknya mau makasih banget deh buat kalian yang masih bersedia baca cerita di sini. Jadi sampai jumpa di chapter berikutnya. Sehat terus, ya ^^

Bonus 💚

Dipublikasikan pada tanggal
4 Juni 2023
Pukul 17.30 WIB

Continue Reading

You'll Also Like

37.6K 3.2K 6
Spin-off Still into You. Mereka menikah. Bukan karena saling mencintai. Tapi karena keadaan yang mengharuskan pernikahan itu terjadi. Nathan harus me...
926K 76.4K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
216K 13.6K 20
"Nggak mungkin setiap orang meluangkan waktunya 24/7 untuk seseorang, Andira. Kamu jangan mimpi." Kata-kata itulah yang justru membuat seorang Andira...
97.9K 8.2K 43
Emeraldi sangat mencintai Medianna, si istri. Medianna juga, sedikit. Wanita itu penuntut, agak manipulatif, sering membuat Emeraldi meragukan diri s...