.
.
"Sebentar lagi hujannya berhenti, insyaallah."
.
.
***
"Tuan Adli, ada tamu dari Padang."
Adli yang sedang menyuapi Dana, terdiam mendengarnya. Tamu dari Padang?
"Siapa?" tanya Adli.
"Ustaz Umar."
Adli selama ini mendengar tentang Ustaz Umar dari Ayahnya. Saat ke tempat suluk, Ustaz Umar tidak ada di sana, karena dalam kesehariannya, Ustaz Umar tinggal di Padang. Tepatnya di rumah mungil dekat pesantren di Padang yang diwariskan pada beliau dari almarhum Syeikh Abdullah.
"Oh. Oke. Sebentar lagi saya ke ruang tamu. Suguhi beliau dengan minuman hangat dan kue. Tawari makan siang sekalian. Siapkan kamar untuk Ustaz Umar menginap." Ustaz Umar pasti lelah, jauh-jauh takziyah dari Padang.
"Baik, Tuan," sahut pelayan laki-laki itu, seraya membungkuk sopan sebelum pamit pergi.
Adli buru-buru menyelesaikan tugasnya menyuapi Dana, sebelum ia menyambut kedatangan Ustaz Umar.
Umar berdiri saat melihat Adli datang. Tuan rumah baru di kediaman keluarga Danadyaksa.
Adli terkesan melihat Ustaz Umar masih bertubuh bugar dan tegap, meski usianya sudah kepala enam, dan rambutnya sebagian sudah beruban.
"Turut berduka, Adli," ucap Umar sambil memeluk Adli erat. Pelukan yang nyaris membuat air mata Adli keluar.
"Terima kasih, Ustaz," sahut Adli tersenyum hangat. Adli mencium tangan Umar.
Yunan, Zhafran dan Mahzar ada di sana juga. Lebih dulu menyambut kedatangan Umar.
"Afwan, saya datang terlambat. Sudah berangkat di penerbangan pagi, tapi di jalan tadi sempat macet karena genangan air," kata Umar dengan raut wajah penyesalan.
"Tidak apa-apa, Ustaz. Kami maklum. Kami merasa terharu, Ustaz datang jauh-jauh dari Padang."
"Sudah sepantasnya saya datang. Bagi saya, Yoga bukan jama'ah biasa. Dia ... kesayangannya Syeikh Abdullah." Umar menitikkan air mata, saat mengucapkannya. Terbayang masa suluk Yoga Pratama. Banyak sekali kenangan bersama Yoga. Tak disangka, Yoga wafat lebih dulu darinya.
Adli mengangguk tersenyum. Matanya masih bengap. "Ustaz sudah ke kuburan?" tanya Adli.
Umar menggeleng. "Belum. Katanya, lokasinya dekat dari sini?"
"Dekat sekali, Ustaz. Jalan kaki juga bisa. Mau saya antar?" jawab Adli menawarkan bantuan.
"Biar nanti saya yang akan antar Ustaz Umar," kata Zhafran.
"Tapi masih hujan. Nanti saja kalau hujannya berhenti," respon Adli sembari melongok ke luar jendela.
"Sebentar lagi hujannya berhenti, insyaallah," kata Zhafran sambil menyesap teh hangat.
Hoo ... peramal cuaca juga, batin Mahzar seraya menaikkan sebelah alisnya. Tak sampai semenit kemudian, hujan benar-benar berhenti.
.
.
Umar menyentuh batu nisan bertuliskan nama Yoga Pratama Danadyaksa di sana. Yoga sudah sejak lama menyiapkan tanah kuburan ini untuk dirinya dan keluarganya, katanya. Bahkan kain kafannya sendiri, Yoga sudah siapkan. Meremang bulu kuduk Umar mendengarnya. Yoga memang bukan ustaz, bukan ulama, tapi pada kedalaman spiritual tertentu, Umar merasa Yoga punya hubungan batin yang kuat dengan Syeikh Abdullah. Tentu Syeikh Abdullah punya alasan, mengapa Yoga jadi anak kesayangannya.
Bayangan akan dirinya yang dulu sering memarahi Yoga, membuat Umar tak mampu menahan tangis.
Umar mengirimkan do'a, lalu permintaan maaf yang tulus, serta membacakan surat Yasiin.
"Dia ketemu lebih dulu sama Syeikh Abdullah. Bikin iri saja," gumam Umar.
Zhafran tersenyum. "Ya. Bikin iri saja," sahutnya.
Yunan terdiam menatap batu nisan Yoga, lalu batu nisan Ilyasa. Memejamkan mata sambil mendongak ke langit. Angin memainkan rambut poninya. Mencoba membayangkan Syeikh Abdullah sedang bercengkerama dengan Yoga dan Ilyasa. Ya. Memang, ia pun iri melihatnya.
Satu-satunya alasan mengapa bukan dirinya yang pergi lebih dulu, alih-alih Yoga dan Ilyasa, adalah, dia masih punya tugas yang belum tuntas di dunia. Dia akan mengusahakan yang terbaik, selama kesempatan hidup ini masih diberikan padanya. Hanya yang terbaik.
.
.
Suasana makan malam di kediaman keluarga Danadyaksa, masih suram seperti suasana siang tadi.
"Rae-sha gak ma-kan?" tanya Yunan pada Erika.
"Tadi siang sih sudah disuapin Ismail. Tapi barusan Ibu ajakin makan, dia gak mau," jawab Erika.
Yunan tertunduk sedih.
"Is-ma-il," panggil Yunan sambil menoleh ke samping. Kedua putranya Ilyasa, masih menempel dengan Yunan.
"Iya, Om. Nanti biar aku yang suapin Ibu lagi," kata Ismail yang langsung paham bahkan tanpa Yunan harus meminta.
Yunan tersenyum dan mengusap kepala Ismail.
"Eyang masih gak mau makan?" tanya Erika pada Adli.
"Tadi siang aku suapin mau, kok. Tapi barusan kuajakin makan malam, masih belum mau makan katanya. Habis ini aku suapin Eyang," jawab Adli. Situasi ini membuat Adli cemas. Sebab besok dia tetap harus ke kantor, dan akan super sibuk untuk persiapan pengangkatan resmi dirinya sebagai C.E.O baru. Ini akan ada dampaknya, pasti. Jalan membentang di hadapannya, akan berbatu dan bergelombang. Namun Adli harus siap menghadapinya. Siap ataupun tidak siap, Adli sekarang adalah kepala keluarga Danadyaksa. Adli berharap, Dana lekas bangkit dan tidak terus-terusan mogok makan seperti ini.
"Silakan dimakan, Ustaz. Maaf saya tadi siang belum bisa menyambut kedatangan Ustaz," kata Erika pada Umar di ujung meja makan.
"Terima kasih, Bu Erika. Maaf merepotkan," ucap Umar dengan ekspresi sungkan. Dia tak menyangka akan disediakan tempat menginap segala, dengan pelayanan yang seperti hotel bintang lima. Padahal Umar sudah siap biaya untuk menginap di hotel.
"Ah gak merepotkan sama sekali. Ada banyak kamar kosong di rumah ini. Kalau ada kerabat atau saudara yang datang ke Jakarta, kami memang selalu menawarkan untuk menginap di sini. Dari pada di hotel, ya 'kan? Lagipula, Ustaz Umar sudah kami anggap saudara kami sendiri. Yoga sangat sayang pada Ustaz." Erika mengusap ujung matanya yang tiba-tiba basah. Begini selalu, tiap menyebut nama Yoga.
Umar tersenyum. Yoga si anak badung yang baik hati itu, punya istri dan anak-anak yang baik hati juga.
"Is-ma-il sa-ma Is-haq nan-ti ti-dur di-ma-na?" tanya Yunan.
"Di kamar Ibu aja. Nanti digelarin kasur tambahan," Erika yang menjawab.
"Emangnya, Om Yunan tidur di mana?" Ismail balik bertanya.
"Di ka-mar, sa-ma Tan-te A-ri-sa," jawab Yunan. Tadinya berpikir mau tidur bareng di kamar Elaine, tapi sepertinya terlalu penuh kalau seranjang bertiga. Akhirnya Yunan tidur di kamar lain saja dengan Arisa.
Makan malam usai. Ismail kembali dititipi sepiring makanan oleh Yunan, untuk menyuapi Raesha.
Sementara di kamar Dana, Adli menyuapi Dana.
"Eyang, mulai besok aku ngantor lagi. Aku bakal sering lembur. Banyak yang harus kupelajari di kantor. Akan ada banyak rapat menjelang pengangkatanku. Aku mungkin baru tiba di rumah larut malam. Eyang mungkin sudah tidur."
Dana mengangguk pelan. "Andaikan Eyang bisa membantumu," ucap Dana dengan suara lemah.
Adli tersenyum. "Bukan itu maksudku, Eyang. Aku berharap, mulai besok Eyang makan siang dan makan malam tanpaku, ya. Jangan mogok makan lagi, dong," rayu Adli sambil menaruh kepalanya di bahu Dana.
"Ya. Kalo napsu makan," jawab Dana ogah-ogahan.
"Yaa kok gitu sih, jawabnya," ujar Adli kecewa.
.
.
Malam makin larut. Raesha terbangun pukul dua. Tiba-tiba saja, merasa rindu dengan tempat dirinya dan Ilyasa dulu biasa mengaji, tepatnya di meja dan kursi taman. Mumpung ia masih di rumah ini, Raesha memutuskan ingin duduk di sana. Sendirian tak apa. Mengenang masa-masa indah itu.
Sementara di kamar Yunan dan Arisa, Yunan terbangun lalu membangunkan Arisa. Minta dibantu berwudu'. Arisa memapah suaminya hingga ke kamar mandi, lalu saat keluar dari kamar mandi, anggota tubuh Yunan sudah basah dengan air wudu'. Yunan mengenakan baju koko lengan panjang, sarung dan peci putih, mengusap parfum gaharu di tangan dan lehernya, lalu salat sambil duduk di kursi roda.
Arisa memutuskan tidur lagi. Nanti saja salat tahajudnya, pikirnya.
Selepas salat, Yunan bertafakur. Mencoba memaknai hidupnya. Nyawanya yang masih ada hingga detik ini, yang seolah kematiannya ditukar dengan kematian Ilyasa. Seolah-olah saja. Karena semuanya sebenarnya telah tertulis di lauh mahfudz. Tak ada takdir yang luput.
Ilyasa bahkan adalah yang menyambung tali jodoh antara dirinya dengan Arisa. Jika bukan karena Ilyasa nekat menelepon Arisa hari itu, melalui ponsel Yunan, maka dia dan Arisa mungkin tidak menikah sekarang.
Air mata Yunan menetes dan membasahi sarungnya. Yunan berutang banyak pada Ilyasa. Banyak sekali.
Tiba-tiba saja, Yunan ingin melihat tempat yang dulu sering jadi tempat mengaji Ilyasa dan Raesha. Meja taman itu. Meski Yunan tak akan bisa duduk di sana dalam kondisi ini, setidaknya dia ingin melihatnya dari jauh.
Arisa dilihatnya sedang tidur pulas. Biarlah. Dia masih bisa mendorong kursinya dengan tangan. Mungkin agak melelahkan karena koridor di rumah ini cukup panjang. Tapi tak apa. Kalau lelah, dia tinggal istirahat saja.
.
.
Raesha duduk terdiam di kursi taman. Menatap kursi kosong di seberangnya.
"Heh!! Dari tadi kamu dengerin aku ngomong gak, sih??" omel Ilyasa saat itu, sambil memukul Raesha dengan palu berbulu. Ah, Raesha jadi kangen ingin melihat palu itu di rumahnya. Dia harus kembali pulang. Di sanalah rumahnya sekarang.
Pipi Raesha kembali basah. Ia bahkan tidak ingat, kemarin dia sudah mandi atau belum? Ya ampun. Rasanya hidupnya berantakan, selepas kepergian Ilyasa.
Raesha merasa mendengar suara roda. Ia menoleh dan terkejut melihat Yunan di koridor. Untung saja, Raesha memakai jilbabnya. Yunan nampak terengah-engah saat mendorong kursi rodanya sendiri.
Raesha spontan berdiri dan menghampiri Yunan.
"Kak? Kenapa keluar sendiri? Kakak mau ke mana?" tanya Raesha terdengar cemas.
"Rae?? Nga-pa-in ka-mu di-si-ni?" tanya Yunan heran. Yunan tak menyangka akan ada Raesha di sini. Waduh, ini bisa bahaya. Kenapa mereka jadi berduaan di sini?
"Aku ... tiba-tiba mau lihat tempat ini. Meja taman itu, tempat Ilyasa dulu mengajariku mengaji," jawab Raesha malu-malu.
"Oh ... ," gumam Yunan.
"Kakak ngapain di sini?" tanya Raesha lagi.
"K-Ka-kak ma-u li-hat me-ja i-tu ju-ga. I-ngat Il-ya-sa," jawab Yunan.
Mereka berdua menatap meja taman.
"Makasih sudah meminta Ismail menyuapiku, Kak. Kakak mestinya tidak perlu mencemaskanku," kata Raesha tiba-tiba.
Yunan membuang muka, merasakan wajahnya memanas. Ah tidak. Mestinya dia tidak begini. "Ma-na mung-kin Ka-kak di-am sa-ja me-li-hat-mu mo-gok ma-kan?"
Raesha tersenyum. Keheningan menyelimuti keduanya. Angin malam membelai rambut Yunan. Raesha melihat poni Yunan yang sudah panjang. Model rambut Yunan kembali seperti dulu saat Raesha masih serumah dengan Yunan.
Ujung jilbab Raesha melambai tertiup angin.
"Ka-mu ke-di-ngi-nan? Ka-lau di-ngin, kem-ba-li-lah ke ka-mar," ucap Yunan. Ia berharap, kalimat itu tidak terdengar mengusir di telinga Raesha.
"Aku malah khawatir Kakak kedinginan. Kakak masih mau di sini? 'Kan sudah lihat meja taman itu. Kalau mau ke kamar, biar aku dorong kursinya."
Sempat ragu, tapi akhirnya Yunan memutuskan ingin kembali ke kamar saja.
Raesha mendorong kursi roda Yunan. Yunan merasakan jantungnya berdebar keras. Selain karena Raesha berada tepat di belakangnya, Yunan khawatir gangguan-gangguan itu akan datang, tapi herannya gangguan itu tak ada sama sekali. Sama sekali! Kenapa? Apa yang --
Pupil mata Yunan mengecil saat menyadari sesuatu. Mungkinkah, jin-jin itu takut pada Zhafran yang membawa cincin mata sembilan bersamanya? Hanya karena ada Zhafran di rumah ini?
Kursi roda Yunan terhenti tepat di depan pintu kamar Yunan.
"Syu-kran," ucap Yunan pelan.
"Afwan," kata Raesha tersenyum manis, meski matanya masih bengkak.
Di dalam kamar, Arisa sempat heran tak menemukan suaminya. Namun ia kemudian mendengar suara Yunan sedang bercakap-cakap dengan seseorang di luar pintu kamar. Arisa berdiri di depan pintu kamar dan mendengarkan.
"Ka-mu a-kan ting-gal di si-ni te-rus, a-tau --?" tanya Yunan.
"Enggak, Kak. Besok insyaallah aku pulang ke rumah."
Arisa terkesiap. Dia mengenali suara Raesha. Sedang apa suaminya dan Raesha di luar kamar semalam ini?
"Aku gak mungkin di sini terus. Di madrasah juga sebenarnya banyak yang harus diurus, tapi aku gak yakin sanggup mengerjakan apapun. Tidak sekarang, mungkin. Tapi sebaiknya aku tetap pulang ke rumahku. Anak-anak juga mestinya di sana, karena lebih dekat dengan madrasah."
Yunan mengangguk. "A-ri-sa dan Rai-han a-kan me-ne-ma-ni-mu di ru-mah," kata Yunan.
Raesha nampak terkejut. "Kenapa gitu? E-Enggak perlu repot-repot, Kak! Kasihan Kak Arisa jadi repot gara-gara aku!"
"Eng-gak. Ka-kak su-dah min-ta to-long A-ri-sa. Di-a a-kan mem-ban-tu-mu, sam-pai ka-mu pu-lih dan bi-sa me-ne-ri-ma ke-nya-ta-an pa-hit i-ni."
Mata Yunan berkaca-kaca saat mengatakannya. Raesha menangis.
"K-Kakak mestinya tidak perlu --," Raesha tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
"Ber-sa-bar-lah, Rae. Al-lah a-kan me-gu-at-kan-mu in-sya-al-lah. Se-ga-la ke-ku-a-tan, a-sal-nya da-ri Al-lah."
Raesha menutup mukanya dan menangis hingga pundaknya gemetar.
Di balik pintu, Arisa meneteskan air mata. Merasakan kasih sayang tulus dari kedua orang di balik sana. Kakak dan adik tak sedarah itu.
"Selamat tidur, Kak," ucap Raesha. Pertanda keduanya akan berpisah.
Arisa buru-buru kembali ke kasurnya dan berbaring menutup mata. Bertingkah seolah tak mendengar percakapan barusan.
Yunan dan Raesha sangat dekat, Arisa tahu itu. Tapi ia baru kali ini mendengar langsung percakapan keduanya, yang membuatnya emosional. Tanpa kata-kata cinta dan sayang, perhatian Yunan sudah cukup menjelaskan semua itu.
.
.
***