Evanescent

By hanyaabualan

24.5K 2.8K 1.2K

Setelah 10 kali pertemuan, Jordan bersedia menemani Serenade tanpa paksaan orang tua yang sudah beberapa kali... More

Prolog: Kembang Api
1. Pertemuan Pertama, Pertemuan Kelima
2. Kesiapan
3. Feel Special
4. Kedekatan yang Pasti
5. Meyakinkan yang Ragu
6. Pertimbangan Lain
7. Imaji dan Realitas
8. Lamaran?
9. Tujuan yang Dinanti
10. Hari-H
11. Setelah menikah harus apa?
12. Dua Minggu dan Berlanjut
13. Sentuhan Tak Terduga
14. Sinyal Bahaya
15. Prasangka Baru
16. Naif
17. Telanjur Mencinta
18. Perang Dingin
19. Menantang Maut
20. Unforgiven
22. Menyadari Keadaan
23. Tidak Gentar untuk Mundur
24. Menepi Sejenak
25. Manis yang Singkat
26. Pola yang Terulang
27. Solusi Terbaik
28. Roller Coaster
29. Garis Awal yang Berbeda
30. Seandainya
31. Cinta yang Menyiksa
32. Membebaskan
33. Babak Akhir
34. Jabatan Terakhir
35. Roda Kehidupan
Epilog: Lembar Baru
Cerita Tambahan

21. Intuisi

548 74 47
By hanyaabualan

Jangan lupa vote dan komentarnya 💚

Biar aku makin semangat 💚

Tanggal satu di tahun baru kemarin kediaman Adnan masih ramai oleh sanak saudara, jadi Jordan dan Serenade bisa mengalihkan situasi mereka yang sedang tegang dengan berinteraksi bersama keluarga lain. Mereka tidak perlu repot-repot bersandiwara layaknya pasangan berbahagia, ditambah yang lain pun tidak menyinggung status keduanya sebab sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Di tanggal dua ini, tantangan sebenarnya baru dimulai. Satu per satu keluarga pulang, membuat kediaman Adnan jadi sepi dan hanya menyisakan Brian, Satwika, Jordan, dan Serenade. ART baru mulai bekerja besok setelah diberi jatah libur, jadi Jordan dan Serenade perlu perisai kuat agar gerak-gerik mereka tidak mencurigakan.

"Seren, lusa aku masih libur. Kita jalan, yuk?" ajak Jordan ketika istrinya tengah merapikan pakaian di lemari yang baru saja disetrika. "Kita belum pernah jalan berdua. Ke mananya terserah kamu. Aku ikut aja."

Serenade melirik Jordan sekilas yang duduk di tepi kasur, lalu kembali merapikan lemari yang sebenarnya hanya dalih agar dia bisa menghindari sang suami. "Aku mulai sibuk," jawab Serenade singkat.

Jordan mengangguk lesu, paham betul penolakan itu akan terjadi sesering mungkin tiap kali dia mengajak Serenade bersama. Kendati begitu Jordan tidak langsung menyerah, dia mencoba mencari cara lain untuk menarik perhatian sang istri yang tidak kunjung luluh olehnya.

"Gimana kalau dinner? Jadi nanti aku jemput di studio. Sesekali gitu makan di luar kayak pas pendekatan dulu. Tempatnya kamu aja yang nentuin biar nggak pusing."

Serenade hampir bersuara ketika dering ponsel Jordan menginterupsinya. Jordan lantas berdiri dan meraih ponsel yang ada di atas nakas, lalu melihat nama Disty di layar yang membuat suaranya tercekat di tenggorokan.

Ah, sial. Sudah bagus wanita itu tidak menghubungi sejak kemarin, tetapi hari ini saat matahari sedang terik, Disty kembali menghantui suami orang yang sedang berusaha mendapatkan hati istrinya kembali.

"Angkat aja. Kasihan Disty nungguin," ucap Serenade seraya menutup lemari begitu yakin bahwa yang menghubungi adalah Disty.

Begitu Serenade mengambil langkah keluar, dering itu mati dan dia kira Jordan benar-benar menjawab panggilannya. Namun, dugaan Serenade salah kala merasakan pundaknya dicengkeram dan tubuhnya ditarik hingga terperangkap dalam pelukan seseorang. Pundaknya jadi sedikit berat ketika Jordan menyandarkan dagu di sana, membuat napas pria itu menerpa di sekitar leher Serenade yang bebas dari helaian rambut karena tengah dikuncir.

"Mau 'kan dinner? Agak fancy juga nggak masalah, pokoknya aku terima diajak ke mana aja sama kamu."

Seharusnya Serenade takjub saat Jordan lebih memilihnya dibanding Disty. Namun, rasa takjub itu tidak hinggap di dada sebab mengira kebaikan Jordan ini hanya sesaat dan selebihnya hanya akan memberi derita hingga Serenade menyiapkan nyali untuk menghadapinya. Jordan yang manis penuh tipu daya dan Serenade tidak mau terperangkap lagi di dalamnya.

"Bisa tolong lepas? Aku mau bantu Mama masak."

Alih-alih menurut, Jordan makin eratkan pelukannya sambil berharap itu akan meluluhkan Serenade yang masih keras hati.

"Kamu mau apa, Seren? Aku bakal kasih," bisik Jordan.

Serenade membisu sebab dia pun tidak tahu apa yang diinginkan dari Jordan sebagai hukuman atas ulah suaminya. Untuk saat ini Serenade hanya ingin sejauh mungkin dari Jordan, bisa bernapas bebas setelah hatinya patah. Serenade tidak bisa lagi menaruh rasa percaya pada Jordan setelah tempo hari kepercayaannya dihancurkan dalam satu malam.

Maka dari itu kata jauh yang Serenade maksud adalah menyudahi semua hubungan ini, menghapus nama Jordan dari hidupnya, dan menjadikan pria itu sebagai kenangan pahit yang tidak ingin diulang.

Namun, berpisah tidak semudah itu, 'kan?

Rupanya kebahagiaan yang sirna di tahun baru tidak hanya terjadi pada Serenade seorang, tapi juga pada Greya yang harus menelan pil pahit ketika proses bayi tabungnya harus gagal karena embrio tidak dapat menempel pada dinding rahim. Otomatis Juno dan Greya perlu mengulang prosesnya, memakan waktu lagi untuk menunggu sampai anak yang mereka idam-idamkan bisa diberikan oleh Tuhan.

Kegagalan itu sudah bisa Greya prediksi karena sadar setiap usaha tidak akan berhasil dalam satu kali coba. Namun, ketika lagi-lagi reproduksi Greya disinggung saat acara keluarga di tahun baru, wanita itu tak bisa menganggap kegagalan bayi tabung jadi hal kecil. Greya dicap mandul di depan muka banyak orang oleh mamanya sendiri, disetujui oleh para tantenya yang kala itu ikut memeriahkan malam pergantian tahun. Meski ada nada bergurau karena dibarengi tawa, justru itu yang paling menghancurkan hati Greya karena kekurangannya sekarang bagaikan aib sekaligus lelucon di mata keluarga.

Tahun baru yang meriah malah menjadi petaka bagi Greya, sebab bertambah usia juga pernikahannya tanpa kehadiran anak yang disinggung banyak orang.

"Sayang, lagi sibuk?"

Greya yang tengah melamun di balkon kamar sontak menoleh mendengar ketukan pintu dari belakang. Ia mendapati Juno yang tengah tersenyum lebar, berharap itu bisa menghibur Greya yang sejak kemarin berduka. Greya menggeleng dan menepuk sisi kursi kayu yang kosong. Merasa diundang, Juno pun mendekat dan duduk di samping sang istri, lalu merangkul pinggangnya yang ditutup kaus tipis agar tidak kepanasan di tengah teriknya Ibu Kota.

Juno jelas tahu penyebab istrinya jadi pendiam dan tidak bersemangat, terlebih Greya tidak menutupinya lagi sekarang. Perlawanan yang sering dia berikan pun lenyap ditelan ketakutan, seolah menyerah dengan keadaan yang tidak pernah berpihak padanya. Pembelaan Juno juga tidak membuat Greya senang, malah makin mengacaukan suasana hati istrinya yang kini melamun sambil memandang kosong ke pagar hitam sebagai batas antara kamar dan halaman belakang.

"Sayang, mau liburan ke Jepang, nggak? Kita pernah ada rencana travelling ke luar, tapi belum kecapai karena sibuk."

Rencana yang selalu jadi wacana dan sayangnya tidak menggugah Greya untuk bergerak.

"Aku lumayan sibuk mulai minggu depan, Jun. Maaf, ya."

"It's okay. Aku juga nggak ngajak dalam waktu dekat. Sebisanya kamu aja."

Greya meliriknya sekilas seraya tersenyum, lalu senyum itu lenyap dalam hitungan detik karena kepalanya kembali diisi oleh kata-kata buruk dari para manusia sok tahu. Ada banyak kata yang bisa Juno tumpahkan sebagai pengganti derita, tetapi dia tahu itu tidak akan membangkit semangat Greya yang sedang sirna. Jadi Juno memilih bertindak lain dengan selalu berada di sisi Greya, membelai rambut istrinya dengan sayang, sambil berdoa agar Tuhan merenggut kesusahan hati yang tengah sang istri alami.

"Kamu bisa nangis kalau mau. Enggak perlu ditahan."

Menangis, ya ....

Sesuatu yang tidak pernah Greya lakukan seburuk apa pun dia di mata keluarga lantaran tidak kunjung diberi anak. Greya anggap menangis hanya menimbulkan kesulitan lain dan membuatnya makin lemah. Lantas ketika Juno memberinya ruang untuk menangis, air mata yang Greya tahan bertahun-tahun pecah.

Greya memeluk lututnya dan menunduk, hingga air mata itu menetes membasahi kakinya yang hanya mengenakan celana pendek. Dadanya terasa nyeri seperti ada yang memukul, hingga napas Greya putus-putus setiap kali dia menahan tangis yang inginnya hanya berlangsung sejenak. Lisannya pun meraung, menumpahkan beban yang menumpuk di telinga karena sudah lelah dengan cemoohan orang.

Juno menarik tubuh Greya hingga wanita itu berada di pelukannya, tangannya mengusap punggung sang istri yang bergetar hebat seolah bicara bahwa dia pun lelah berdiri tegak di tengah serangan tanpa henti. Juno tidak berkata apa-apa sebagai penenang tambahan, justru ikut menitikkan air mata sambil mengunci rapat bibirnya agar Greya tak tahu dia ikut menangis.

Juno kira dengan dia yang tidak menuntut apa pun dan fokus pada kebahagiaan mereka, itu sudah cukup untuk Greya kuat dari hantaman kata-kata buruk. Rupanya dugaan Juno salah. Greya tetap manusia biasa yang memiliki batas sabar dan sekarang batas itu sudah dicapai. Juno tidak bersalah, tapi bukan berarti dia merasa jauh dari cap tersangka.

Selama ini tiap kali mereka konsultasi soal kehamilan, hasilnya sama-sama sehat dan artinya tinggal menunggu waktu datang. Namun, bagaimana jika masalahnya tetap ada pada Juno dan membuat Greya yang harus menelan pil pahit itu sendirian? Pasalnya selama ini hanya Greya yang dituntut dan dipandang bersalah, sedangkan nama Juno tidak pernah disinggung di saat dia ikut berkontribusi dalam kehamilan.

Yah, begitulah orang-orang dengan pandangan kolot. Sekeras apa pun Juno membungkam, sekuat apa pun Greya menulikan telinga, orang yang teguh seperti itu tidak akan pernah mengubah pendiriannya.

Ada hampir sepuluh menit menangis, Greya mulai tenang dan memilih berbaring dengan menjadikan paha Juno sebagai bantalan. Napasnya masih putus-putus, tetapi air matanya sudah reda dan suaranya telah terkumpul untuk bicara.

"Kalau berserah aja tanpa usaha, kita bakal makin diomongin jelek nggak, ya?" ucap Greya seraya menikmati belaian tangan Juno pada pelipisnya. "Maksudnya ... yaudah gitu, nggak pake program apa-apa. Aku tahu kita nggak seharusnya usaha sekali aja, tapi daripada gagal terus, mending nikmatin rumah tangga berdua dan mikirin gimana caranya supaya kita nggak pernah berantem."

Juno tergelak mendengar kalimat terakhir Greya. "Kita nggak pernah berantem, Grey. Debat kecil gitu doang bukan apa-apa."

"Ya, makanya itu harus dipikirin supaya nggak berantem. Kita 'kan nggak pernah tahu ke depannya gimana. Siapa tahu tiba-tiba berantem gede, terus kita nggak nemu solusi buat memperbaiki. Seenggaknya itu lebih gampang dipikirin daripada anak. Iya nggak, sih?"

Juno bergumam saja sebagai respons, mengiakan apa pun yang sedang memenuhi kepala Greya demi mengenyahkan ucapan buruk keluarganya. Ocehan random Greya lebih baik daripada diam seribu bahasa, jadi Juno bersyukur istrinya tidak tiba-tiba membisu dan hanya melamun.

"Kamu nggak akan ninggalin aku karena belum bisa ngasih anak 'kan, Jun? Kalau iya, mending dari sekarang biar aku sedihnya nggak banyak."

Juno menggeleng cepat dan meraih tangan Greya sebagai jaminan kehadirannya. Lagi pula, bagaimana mungkin Juno meninggalkan wanita yang sudah menemani masa mudanya? Putus nyambung dulu sudah biasa, tetapi berpisah hanya karena masalah anak jadi hal haram untuk dibayangkan. Jangankan pergi lama, pergi seharian karena bekerja saja sudah membuat Juno rindu berat.

"Aku nikahin kamu karena kamu, bukan pengin punya anak. Itu urusan lain, yang penting 'kan sama kamunya. Jadi aku nggak akan ke mana-mana."

Ada nama Disty di layar ponsel yang tidak henti memanggil Jordan sepanjang perjalanan pulang dari lokasi foto menuju studio. Panggilan yang terus Jordan abaikan karena merasa tidak memiliki kepentingan untuk dijawab, lama-lama membuat Dewa yang sedang menyetir di sampingnya gerah juga. Dewa gemar mengobrol saat menyetir, tapi tidak ketika ada dering ponsel yang berkali-kali mengganggu konsentrasinya.

"Bisa angkat dulu nggak, sih?" seru Dewa ketika ada panggilan baru di ponsel yang terus Jordan genggam. "Dari siapa, sih? Penipuan? Gue sampai mual dengernya."

"Dari Disty."

Saat nama itu disebut, Dewa langsung tertarik dengan reaksi Jordan yang ganjil ketika menerima panggilan dari Disty. Ini bukan Jordan yang biasa karena sebelumnya pria itu tidak akan pernah mengabaikan satu pun panggilan dari Disty. Kalau panggilan itu tidak bisa dijawab karena terhalang pekerjaan, Jordan akan menghubungi balik agar Disty tidak merasa diabaikan. Lantas kenapa sekarang Jordan malah berbeda?

"Kenapa nggak lo angkat?" tanya Dewa menumpahkan rasa penasarannya.

"Jadi masalah."

"Hah?" Dewa mengernyit mendengar jawaban Jordan yang ambigu. "Jadi masalah gimana?"

"Pokoknya jadi ada sesuatu pas gue jawab telepon Disty."

Dewa tidak mau menebak macam-macam maksud temannya, tetapi yakin ada sesuatu yang salah dan bukan teritorinya untuk tahu segala hal kalau Jordan tidak mau secara sukarela menceritakan. "Lo kali masalahnya. Bukan Disty doang."

"Kok gue?" balas Jordan yang tidak terima dituduh demikian.

"Gue nggak tahu ada apa sampai lo sebut Disty sumber masalah, tapi pastinya itu bukan salah dia doang. Lo ikut jadi masalah juga."

Jordan tertawa sumbang dan mengalihkan pandangan ke jendela, melihat deretan gedung pencakar langit yang terlewat begitu saja setelah ditangkap oleh mata selama beberapa detik. "Ngaco lo, Wa."

"Gue cuma asal nebak, sih," balas Dewa santai. "Selama ini 'kan sikap lo selalu berlebihan tiap nyangkut Disty. Denger namanya aja suka bikin mata lo melotot sama senyum sendiri, kayak nggak inget istri. Makanya gue tebak sumbernya kalian berdua yang berulah, walaupun gue nggak tahu ya masalahnya jadi gimana."

Jordan mengetatkan rahangnya ketika dia tidak bisa menyangkal dugaan Dewa yang sialnya tepat sasaran. Ya, ini bukan ulah Disty seorang, ini juga ulah Jordan yang tidak memberi batas sejak awal dan membiarkan dirinya mendekat pada cinta lama. Intuisinya bekerja terlalu kuat soal Disty, hingga Jordan lupa bahwa ada orang lain yang menjadi korban kegilaannya.

"Gue udah minta Disty buat nggak telepon lagi. Tapi susah banget buat dia."

Mobil berhenti di lampu merah saat Jordan berkata demikian, membuat Dewa bisa bicara banyak hal selama satu menit ke depan untuk mengomentari temannya yang belum memberi banyak petunjuk soal maksudnya.

"Jelas susah, Jo. Lo yang ngasih dia ruang buat deket, jelas aja dia nggak akan terima kalau tiba-tiba lo minta buat berhenti telepon. Udah gue bilang masalahnya lo juga. Ngeyel, sih," tutur Dewa yang gemas sendiri mengingat tingkah temannya beberapa waktu terakhir. "Lo kasih tahu juga nggak kenapa dia harus berhenti telepon? Kalau nggak, mending kasih tahu biar Disty ngerti."

"Masa gue harus jawab karena Seren? Enggak mau lah Disty jadi mikir jelek soal istri gue," sela Jordan yang jadi kepanasan mendengar saran temannya.

Dewa tersenyum samar, rupanya Serenade yang membuat Jordan mendadak menutup ruang untuk Disty. Dewa turut senang meski belum tahu apa sebabnya, tetapi cara Jordan yang terlalu tiba-tiba tetap salah di matanya.

"Makanya, Jo. Jangan macem-macem. Udah tahu punya istri malah masih mikirin masa lalu. Sekarang lo ribet sendiri mau pilih mana," seloroh Dewa seraya kembali melajukan mobil ketika lampu lalu lintas sudah berubah jadi hijau.

"Jelas gue pilih Seren, Wa. Dia istri gue."

"Sekarang iya, sebelumnya lo ke mana? Kalau dari awal milih Seren, nggak seharusnya lo ngasih tempat buat Disty. Mau cuma telepon atau ketemu, kalau sesering itu udah nggak normal, Jo."

Seperti ditampar hingga pipi lebam, Jordan bungkam seribu bahasa dan menyelami kesalahannya yang fatal. Sungguh, Jordan hanya ingin berteman, tetapi sekarang matanya terbuka bahwa dia terlalu membawa perasaan di dalam pertemanan. Jordan tidak bermaksud buruk, tetapi sayangnya dampak yang ditimbulkan sebesar ini hingga Serenade jadi jarang bicara bahkan sulit didekati saat mereka berdua di rumah. Dinding yang Serenade bangun sangat tinggi dan tiap kali Jordan memanjatnya, benteng itu akan dibangun hingga tidak ada celah untuk ditembus.

"Gimana ya supaya Seren bisa luluh lagi?"

Dewa melirik sekilas. "Jadinya nih berantem karena Disty?"

Jordan tidak menjawab, tetapi embusan napasnya yang berat jadi jawaban jelas. Dewa juga sudah cukup membuat asumsi dari reaksi itu dan jika dugaannya benar, maka masalah tidak akan selesai jika sumbernya masih bertahan.

"Perjelas dulu hubungan lo sama Disty, berhenti semuanya, kalau bisa di depan Seren biar dia yakin. Pokoknya jangan sampai Disty deketin lo atau Seren lagi, fokus sama istri aja, jangan kegoda sama orang lain pake alasan perasaan masih ada. Jangan jadi orang tolol setelah nikah, Jo. Tolol terus yang ada ditinggal. Mau lo ditinggal?"

Jordan dengan cepat menggeleng dan bergidik membayangkan Serenade pergi dari hidupnya. Dijauhkan saat di rumah saja sudah membuat Jordan frustrasi, apalagi jikaㅡamit-amitㅡditinggalkan, pria itu mungkin akan merana seumur hidup dalam sesal.

"Nah, berarti lo harus bertindak tegas. Berhenti jadi bucin tolol, kecuali bucin tolol ke istri lo. Ngerti?"

Ada satu kebiasaan kecil yang tidak pernah ditinggalkan Zaenal setiap mendekati hari peringatan kematian mendiang istrinya. Zaenal sering menapak tilas ke tempat kenangan mereka sendirian, mengobati rindu setelah lama ditinggalkan, dan berdoa di tiap tempat yang beliau jajal agar mendiang diberi tempat terbaik di Akhirat.

Ini hari Sabtu dan Zaenal memutuskan untuk ke restoran langganannya bersama sang istri sebagai tempat pertama yang dikunjungi. Restoran yang menyajikan masakan nusantara itu sudah berdiri selama 20 tahun dan memiliki beberapa cabang, tetapi hanya satu tempat yang jadi langganan sampai pramusaji di sana mengenal Zaenal. Meskipun bukan datang sekali dalam setahun, presensinya hari ini akan berbeda karena Zaenal membawa album foto dari rumah untuk mengenang masa-masa indah bersama wanita tercinta.

Menempuh 30 menit perjalanan, Zaenal akhirnya tiba di restoran yang terletak di bilangan Selatan. Bangunannya masih kokoh karena sudah direnovasi dua tahun lalu, dicat putih dan abu-abu di bagian depan, sedangkan di dalamnya dipenuhi ornamen kayu dengan iringan musik tradisional sebagai pengisi sunyi. Bangunan boleh baru, suasananya tetap sama sampai Zaenal betah berjam-jam di sana meski hanya memesan satu atau dua makanan.

Sambil menenteng album di tangan kirinya, Zaenal melangkah menuju restoran dengan wajah cerah yang diterangi teriknya siang. Pintu dibukakan oleh penjaga depan ketika Zaenal datang, lalu ditanya di mana beliau akan duduk untuk makan. Baru Zaenal akan menjawab, suaranya tertahan ketika netranya menemukan hal lain yang menahan seluruh indranya agar diam.

Jauh dari pintu depan, di ujung dekat area menuju toilet, Zaenal melihat seseorang familier yang sedang berbincang serius. Laki-laki dan perempuan, terlihat dekat dan sepertinya bukan obrolan biasa. Zaenal akan biasa saja jika itu orang lain, tetapi masalahnya yang beliau lihat adalah Jordan, menantunya sendiri. Duduk di samping sosok asing di mata Zaenal, tengah menenangkan perempuan yang menangis entah karena apa.

Awalnya hanya melalui kata, sampai Jordan tak segan memeluknya mesra seolah itu jadi obat paling ampuh untuk meredakan air mata. Zaenal yakin perempuan itu bukan saudara Jordan, sebab beliau hafal siapa saja saudara menantunya meski baru beberapa kali tatap muka. Kalau bukan saudara, apa mungkin teman? Kalau benar teman, tidak seharusnya semesra itu, 'kan? Jika semesra itu ... astaga!

Apa sebenarnya yang sedang Jordan lakukan? Zaenal berusaha berpikir positif, tapi gagal ketika mengingat putrinya. Apa Serenade tahu? Apa Jordan memberi tahu? Apa Serenade juga mengenal perempuan itu? Apa mungkin perempuan itu juga teman putrinya yang belum Zaenal tahu? Apa pun itu, gestur mereka tidak lazim, apalagi untuk Jordan yang notabenenya seorang suami. Tindakan keji yang dilakukan seseorang setelah memiliki pasangan dan jelas Zaenal mengecam itu.

Zaenal pegang erat album foto di tangannya, mengetatkan rahang agar tidak menumpahkan sumpah serapah agar kepalanya tidak bertindak dalam keadaan panas. Mau dalam keadaan apa pun, Zaenal jelas tidak bisa memandang Jordan dengan cara yang sama sampai beliau tahu kebenaran di dalamnya. Zaenal masih berharap dia hanya salah paham. Namun, jika ternyata ada permainan gila di sana, maka Zaenal bersumpah tidak akan bisa diam.

Jordan, kamu nggak main di belakang anak saya, 'kan?

Waduh! Ini sih perjuangan Jordan bakal susah gak, sih? xD

Halo, apa kabar kalian di hari Minggu ini? Di tempat aku hujan, jadi agak adem haha. Semoga di tempat kalian juga adem, apalagi hati kalian setelah baca cerita ini xD

Aku mau ucapin makasih banyak buat 1k vote-nya! Gak nyangka nyampe juga huhu, seneng banget. Kalian keren karena udah baca sampai sini! Semoga gak capek, ya. Khususnya karena harus nunggu seminggu sekali :")

Kalau kayak gini harusnya udah bisa kebaca gak sih ending-nya gimana? Hahaha xD

Apa pun itu nikmatin aja, ya. Makasih banyak udah baca. Sampai jumpa di chapter berikutnya ^^

Bonus 💚

Dewa dan Juno 💚

Dipublikasikan pada tanggal
28 Mei 2023
Pukul 17.30 WIB

Continue Reading

You'll Also Like

Gisei By RIKU NANASE

General Fiction

5.1K 420 28
di sini aku hanya memakai nama dari idolish7 , dan mungkin untuk penyebutan nama atau panggilan sedikit berbeda dari anime nya .
216K 13.6K 20
"Nggak mungkin setiap orang meluangkan waktunya 24/7 untuk seseorang, Andira. Kamu jangan mimpi." Kata-kata itulah yang justru membuat seorang Andira...
97.8K 8.2K 43
Emeraldi sangat mencintai Medianna, si istri. Medianna juga, sedikit. Wanita itu penuntut, agak manipulatif, sering membuat Emeraldi meragukan diri s...
44.7K 7.7K 48
[SEGERA TERBIT] ACT 1 - BE YOUR ENEMY โSampai kapan permusuhan ini akan berakhir?โž Anora bukan berasal dari golongan atas, ia hanya memiliki keluarga...