Win-Ka-Win

By diaparamita

1.1M 150K 15.1K

Win, kawin! Winka Winata terjebak dalam dilema ketika harus memilih antara kawin dengan pria pilihan bapaknya... More

1. Masih Harus Sepupuan
2. Misteri Mahasiswi Yang Bikin Gagal Move On
3. Spesies Manusia Kelainan
4. Sesuatu Yang Nggak Pernah Terduga Sebelumnya
5. Gadis Eksentrik Berambut Aneh
6. Pemikiran-Pemikiran Yang Tiba-Tiba Datang
7. Dia Nyeleneh, Tapi Baik
8.1 Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?
8.2. Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?
9. Pembicaraan Dua Orang Dewasa
10. Modus Pria Matang
11. Bagi Denganku, Jangan Dengan Orang Lain
PO Pesona Rasa Toko Buku Online, Shopee, dan Tokopedia
12. Seseorang Yang Saya Usahakan Sebagai Saya
13. Perasaan Manusia, Memangnya Bisa Ditebak?
14. Diputuskan
15. Kalau Minta Restu Itu Mudah
16. Lamaran
17. Seni Menahan Diri
18. Saya Berhak
19. Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 1
19. 2 Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 2
POV GALIH 1 - Satu Tahun Sebelum Hari Ini: Risau
Pesona Rasa After Marriage
20. Winkanya
POV Galih 2 - Mulai Bisa Menebak
Bab 21 dan Baca Duluan
21. Tujuan Hidup: Berada di Sisinya
22. Hari Ketika Aku Mengecewakanmu Kembali
23. Win, Please!
24. Win Ka Win
25. Sibling
26. Tanpa Terkecuali
Menjemput Pesona Rasa
27. Malapetaka (Part 1)
27. Malapetaka (Part 2)
29. Kenapa Nggak Coba Kenalan Dulu?
30. Gemes Banget Calon Bapak-Bapak
31. Timbal Balik
Wedding Invitation
32. Cara Laki-Laki Bertransaksi
33. Adalah Takdir (Part 1)
34. Kontroversial
35. Menemukan Kedamaian
36. Cinta Pertama dan Patah Hati Pertama
37. Renata Dwita (1)

28. Tidak Sadar

10.3K 1.5K 117
By diaparamita


Gimana nih, berhasil war tiked Coldplay? Tim yang cuman hafal fix you nggak berani maju berperang karena sudah sadar bakal kepental duluan (maksudnya duitnya kgk ada) :V


28. Tidak Sadar

"Bang Sat!" Winka memukul punggung Satriya sepenuh hati. Pria itu mengaduh kemudian melototi gadis itu.

"Lo makin hari, makin-makin, ya!" Satriya berkata ketus.

"Ya Allah, Bang Sat, kangen banget gue sama lo."

"Makanya jangan pacaran terus!"

Winka mendudukkan tubuhnya di sebelah Satriya. "Orang sirik mukanya burik."

"Yeee!!!" Satriya menyenggol lengan Winka sedikit kuat hingga gadis itu terhuyung ke depan.

"Duh." Winka mengeluh kepada pria itu. "Nggak sadar kalau badannya kayak babon."

"Nggak ngaca pacarnya siapa?"

Winka tersenyum malu-malu. Badan Galih memang sama besarnya dengan Satriya, meskipun pria itu mengaku kalau tidak terlalu sering latihan di gym.

"Kata Tante Lita, Adrian masuk rumah sakit?"

"Iya." Winka menyilangkan kedua kakinya ke atas kursi. "Gelut sama Juna."

"Juna siapa?" tanya Satrinya.

"Anak tiri Bram Winata." Winka menjangkau botol air mineral di atas meja. "Bapak gue ada-ada aja kalau punya anak."

"Mereka gelut gara-gara rebutan warisan?" Satriya penasaran.

"Bapak gue belum mati, ngapain rebutan warisan?" sinis Winka.

"Tapi, bapak lo masuk penjara. Terus usahanya siapa yang mau nerusin?"

"Nggak tahu deh. Baru gue pikirin."

"Bukannya kakak tiri lo yang selama ini bantu-bantu Om Bram?" Mbak Dea yang sedari tadi menyimak buka suara.

"Keluarga bokap gue kayak sinetron deh, Mbak. Bikin mumet." Winka menenggak habis air mineral kemasan 330 mili tersebut.

"Beneran rebutan warisan?" Satriya berseru heboh. "Terus lo dapat apaan dong?"

"Dapat hikmahnya," dengkus Winka.

"Win, lo benar-benar tajir melintir, ya?"

"Kenapa lo? Mendadak naksir?" seloroh Mbak Dea.

Satriya mengangguk dengan polosnya. "Kalau lo udah nggak betah sama Galih, gue siap menampung."

"Dih, kayak lo bakal betah aja sama gue." Winka sangsi.

"Win," Satriya berkata dengan sungguh-sungguh. "Asal lo kaya raya gue bakal betah."

"Matre."

"Harus. Gue memikirkan masa depan dan masa tua."

"Sayangnya gue nggak doyan bekasan orang, Bang Sat."

"Yang bersegel kalah pengalaman."

"Yang suka nyicip sana-sini nggak ada tantangannya. Lagian lo udah kebanyakan penyakit."

"Gue aman kok."

"Aduh! Brengsek banget emang fuck boy ini." Mbak Dea menonyor kepala Satriya kuat-kuat. Satriya manyun, tetapi tidak bisa membalas kekerasan yang dilakukan saudaranya. "Pacar saudara sendiri mau diembat," kata Mbak Dea pedas.

"Pak Gal lama amat." Winka mengecek jam dari ponselnya.

"Macet 'kan, jam segini." Mbak Dea kemudian bertanya. "Sebenarnya bokap sama saudara tiri lo itu kenapa?"

"Miskom." Pukul enam kurang lima belas menit. Winka akhirnya mengirim pesan kepada Galih untuk menanyakan keberadaan pria itu.

Winka Winata: Udah sampai mana?

"Bapak gue 'kan agak-agak, sedangkan si Juna ini mikirnya kalau bapak gue bakal ngeh sama kerja kerasnya selama ini."

"Tapi, zonk?"

Winka mengangguk. "Bapak gue keras kepala bener."

Galih Mahendra: Antasari. Macet.

Winka Winata: Ya udah. Hati-hati.

"Bapak lo dari wajahnya aja udah serem parah," komentar Satriya.

"Bapak gue ganteng," bela Winka.

"Ganteng sih ganteng, Win. Tapi, kalau lihat di tv mukanya datar bener."

"Kicep 'kan lo kalau mau nikahin gue." Wajah Satriya kecut, Winka terbahak-bahak. "Mental lo nggak ada sepersepuluhnya Pak Gal," kata Winka bangga.

"Adik gue emang tahan banting." Mbak Dea setuju. "Jadinya lo sama Galih mau nikah kapan?"

"Gue maunya segera, sih, Mbak. Nggak tahan gue, suka gemes sama Pak Gal." Winka terbahak-bahak.

"Kampret banget nih orang!" Satriya mencibir.

"Lo nggak nunggu bapak lo keluar dari penajara 'kan?"

"Ya, nggak dong. Bisa gagal kawin gue kalau nunggu masalah bapak gue kelar. Yang terpenting bapak gue kasih restu aja. Udah. Besoknya gue langsung nikah deh."

"Pelik amat kisah cinta orang bener."

"Kayak kisah cinta lo lurus-lurus aja, Bang Sat."

"Seenggak gue nggak pernah mikir."

"Soalnya nggak ada yang mau diseriusin."

Satriya tertawa. "Nantilah, masih muda juga."

"Lo udah mau empat puluh, Ogeb." Mbak Dea menonyor kepala Satriya lagi.

"George Clooney nikah umur lima puluh dua dan dapatnya speck Amal Clooney."

"Maksudnya lo mau cari yang kayak Amal Clooney?" Satriya mengangguk semangat. Winka menghela nafas. "Sayangnya lo nggak ada potongan kayak George Clooney."

"Wah, mulut lo emang nggak berpendidikan."

"Makanya gue nikahin calon profesor." Winka ngakak melihat Satriya kehilangan kata-kata.

Mbak Dea geli. "Sat, Sat, kelakuan kok nggak ada dewasa-dewasanya."

"Gue punya inner child, ya," kata Satriya membela diri.

"Inner child apaan elah? Toxic, toxic aja." Winka mendorong bahu Satriya kuat-kuat.

"Dih, dasar yang mau dapat warisan gede."

"Emang bapak gue sekaya itu, ya?" Winka menggelengkan kepalanya bingung.

Satriya dan Mbak Dea terheran-heran. "Lo goblok atau benar-benar nggak tahu?" tanya Satriya. Winka menggeleng dengan ringan. "Ya Allah, Winka Winata!!! Emang rada-rada lo, ya!" Satriya gemas.

"Kalau semisal gue saudara tiri lo dan dengar lo ngomong kayak barusan, gue pasti sakit hati, sih." Mbak Dea menambai.

"Lo tahu? Selama lima tahun ini bokap lo rajin banget jadi sponsor film-film gue."

Winka mengernyit. "Juna kali. Bokap gue mana tertarik sama film."

"Intinya Winka Winata, entah bokap lo atau sadara tiri lo, mereka pastinya pakai duit perusahaan. Dan duit sponsorin film itu nggak kayak duit yang biasa lo pakai buat beli gorengan."

"Win, jangan-jangan lo nggak tahu perusahaan bokap lo bergerak di bidang mana saja?"

"Properti, jalan tol, makanan dan minuman kemasan, dan sekarang merambah ke beberapa bisnis digital."

"Belum bisnis ekspor impornya, investasi sana-sini, akuisisi perusahaan-perusahaan kecil. Win, level lo bukan lagi Rich Auntie, tapi old money."

"Gue benar-benar nggak tahu karena selama ini gue nggak hidup dengan semua itu."

Galih Mahendra: Bentar lagi sampai.

Winka Winata: Oke.

"Lo benar-benar hasil didikannya Tante Lita." Mbak Dea mengemil keripik singkong yang ia ambil dari dalam toples.

"Yang gue tahu bapak gue kaya karena dia bisa biayain sekolah gue berikut dengan kursus-kursus singkat yang gue ambil dulu."

"Lo pernah kursus desain di Milan, ya?" Mbak Dea mencoba mengingat-ingat.

"Iya. Selama periode gue nganggur setelah kuliah, gue sempat ambil short course desain furnitur di Milan. Dan yang gue tahu biayanya emang nggak murah."

"Nak, mau sekarang lo minta nikah di Rich Carlton, bapak lo juga masih bisa biayain." Satriya seolah-olah berbicara kepada anak umur lima tahun.

"Gue, sih, no. Sayang duitnya." Winka mengedipkan sebelah matanya pada Satriya.

"Kaya kaya, medit lo!"

"Kalau gue jadi Juna, sirik nggak, sih, Win, lihat apa yang dimiliki bokap lo?"

"Kalau gue jadi dia, sih, mending kabur. Ngurusin bisnis sebanyak itu bikin mumet. Ruwet."

"Lo kok kayaknya nggak ada jiwa-jiwa bisnisnya. Lo beneran anaknya Bram Winata, 'kan?" tanya Satriya sangsi.

"Wah, gue bilangin Mama, lo. Nggak sopan, nih." Ancam Winka pura-pura marah.

"Setelah ini lo sama Galih mau ke mana?"

Winka ikut mengambil cemilan Mbak Dea. "Kantornya Surya."

"Ngapain lo nyamperin mantan gebetan?" Satriya ikut-ikutan memakan cemilan Mbak Dea.

"Ngomongin kasus Pak Bram Winata."

Pintu ruangan Mbak Dea terbuka. Galih muncul dengan setelah kerja—kemeja biru langit yang lengannya telah digulung hingga siku dan celana kain berwarna abu-abu tua.

"Halo, Pak Gal?" Winka menyapa dengan ceria. Pria itu tersenyum kemudian berjalan mendekati gadis tersebut. Winka mengangsurkan botol mineral yang belum dibuka. "Thanks."

"Gal!" Satriya mendekati Galih. "Gue denger calon istri lo kaya raya," katanya dengan provokatif.

Galih membuka segel tutup botol tersebut lalu meminum isinya. "Kayaknya." Pria itu menjawab dengan santai.

"Kalau lepas rugi bandar, sih." Satriya mengompori.

"Makannya mau cepat-cepat dinikahin." Pria itu meletakkan botol ke atas meja.

"Awas lho, Pak Gal, maharnya mahal."

Galih mengangguk mantap. "Oke." Pria itu memandang Winka sayang.

Satriya berlagak muntah, sedangkan Mbak Dea tertawa melihat cara adiknya jatuh cinta.

"Parah si Galih. Bucin banget. Lo kasih sajen apaan, sih, Win?" tanya Mbak Dea terheran-heran.

"Cintaaaa," jawab Winka dengan jenaka.

"Makan tuh cinta." Satriya mengunyah kripik setelah mencibir.

"Yang suka hts-an sirik banget," goda Winka.

Satriya menelan tiga keping keripik sekaligus. Pria itu kesal bukan main karena Winka menembak tepat sasaran.

#

"Sidang perdananya besok lusa." Surya menyerahkan berkas pembelaan yang telah ia susun kepada ayahnya.

"Kamu sudah mendapatkan bukti soal keterlibatan Juna?" Yanuar Wibisana membuka berkas tersebut dan membacanya dengan seksama.

"Sedikit lagi."

"Ada aliran dana sebesar lima belas miliyar yang ditransfer dari rekening milik skretaris pribadi Bram Winata ke tersangka MA. Selang dua hari ada transferan dana kembali ke rekening MA dari DA yang ternyata adalah supir pribadi Juna. Sangat mencurigakan."

"Ada dua temuan aliran dana atas nama DA ke pejabat pembuat akta tanah dan seorang kapolsek."

"Berarti secara tidak langsung Juna juga ikut terlibat dalam kasus ini. Hanya saja Bram apes karena terciduk operasi tangkap tangan."

"Aku akan bicarakan solusinya dengan Winka."

"Dia mau ke sini?" Yanuar tersenyum lebar. Surya mengangguk. "Papa bakal seneng banget kalau dia yang jadi menantu di keluarga kita."

Surya mendengkus. "Aku juga bakal seneng banget kalau dia mau jadi istriku. Sayangnya dia sudah punya pilihan lain."

"Kamu nggak mau berusaha?"

Surya berpikir sejenak. Sungguh tawaran yang menggiurkan. Hanya saja dia tahu di mana seharusnya tempatnya berada.

"Aku sudah berusaha dan gadis itu ternyata lebih keras kepala dari yang dibayangkan."

"Kamu kalah dari dosen itu, ya?" Yanuar tertawa mengejek.

Surya berdecak. "Selera gadis itu saja yang agak lain."

"Oh, tapi Galih Mahendra memang ganteng." Yanuar mangut-mangut. "Wajar kalau Winka jatuh cinta." Pria itu seperti menabur garam di atas luka anaknya.

Surya menggelengkan kepalanya tidak percaya. Pria itu keluar dari ruangan Yanuar.

#

Galih membelokkan setir ke sebelah kanan, memasuki kawasan tempat kantor Surya berada. Pria itu mengedarkan pandangan untuk mencari parkiran kosong.

"Rencananya besok aku mau masak ikan kuah asam buat Papa."

"Mau jenguk jam berapa?" Galih membenarkan letak kaca matanya sembari masih fokus untuk mencari tempat parkir yang hari ini lumayan padat.

"Sekitar jam sepuluh."

Galih mengingat jadwal mengajarnya besok. "Nanti aku nyusul. Mungkin nggak bisa sampai tepat waktu," katanya setelah memastikan kalau dia tidak mempunyai kelas sebelum pukul dua belas siang.

Galih menemukan tempat parkir tiga blok dari kantor Surya. Pria itu mematikan mesin lalu melepaskan sabuk pengaman. Winka melakukan hal yang sama. Gadis itu meraih ponsel dari dalam tas untuk mengabari Surya.

"Kantornya Surya ada di lantai tiga."

Wibisana dan Patner menempati sebuah gedung lima lantai di kawasan pusat Jakarta. Gedung bergaya campuran mediterania dan modern dengan cat putih tersebut terlihat mengintimidasi daripada gedung-gedung yang berada di sebelahnya. Tidak heran kalau selama ini Surya bisa hidup dengan baik dan menyelesaikan sekolah hukumnya tanpa hambatan berarti.

Mereka harus melewati teras dengan empat pilar tinggi berbentuk balok dengan aksen garis yang terbagi ke dalam empat sisi. Meskipun keseluruhan dinding berwarna putih, tetapi aksen batu alam dan warna warm toon dari cokelat kayu masih terasa begitu kental. Setelah beberapa kali mengunjungi kantor pengacar ini, Winka bisa menarik kesimpulan kalau Yanuar Wibisana memiliki cita rasa yang unik dalam hal arsitektur.

"Kata Papa, Surya bakal ambil S3 di Belanda full beasiswa bapaknya."

"Mereka pengacara kelas A. Tarif perjamnya mahal."

Pintu utama terbuat dari kayu jati dengan tinggi dua meter. Puncaknya berbentuk melengkung dan gagang pintunya adalah kayu bulat yang sekaligus dapat digunakan sebagai bel manual. Galih membuka pintu dan mempersilakan Winka untuk masuk terlebih dahulu. Seorang perempuan cantik, tinggi semampai, dengan blazer hitam dan rok span selutut, serta rambut yang digelung model bun menyambut mereka di meja penerimaan tamu. Wajahnya terlihat manis dengan riasan tipis.

Perempuan itu tersenyum sopan sambil memberikan salam. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya Winka Winata." Winka memperkenalkan diri. "Saya sudah membuat janji dengan Pak Surya."

"Mbak Winka, Pak Surya sudah menunggu di ruangannya. Ruangan Pak Surya ada di lantai tiga, Anda bisa menggunakan lift." Perempuan itu menunjuk lift yang berada di sebelah kanan ruangan.

Winka tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Ada tiga ruangan di lantai tiga. Dua diantaranya Winka tebak sebagai ruang pengacara, sedangkan satu ruangan besar tanpa sekat digunakan untuk meja-meja pengacara junior atau anak magang. Semua staf di situ rata-rata pria dan mereka langsung menoleh ketika melihat Winka datang.

Galih bersikap dingin, tahu sekali kalau pria-pria itu pasti akan menoleh dua kali saat melihat Winka. Rambut kuning sewarna bunga matahari itu tentu bukan menjadi satu-satunya daya tarik gadis tersebut. Wajah percampuran manado dan kaukasia itu tentu saja akan mengundang banyak perhatian. Belum lagi iris matanya yang berwarna kuning keemasan. Penampilan Winka yang nyentrik—hari ini gadis itu memakai kemeja berwarna kuning terang dan celana blue jeans model pensil yang semakin menonjolkan bentuk pinggangnya yang ramping juga bokongnya yang bervolume dan kakinya yang jenjang—semakin memperkuat aura unik gadis itu.

Galih tidak bisa marah karena bukan keinginan Winka untuk menjadi pusat perhatian. Gadis itu memang dilahirkan demikian, baik secara fisik maupun kepribadian. Bukannya Galih sendiri juga tidak imun dan berakhir jatuh mengenaskan dalam pelukan gadis tersebut? Yang bisa Galih lakukan sekarang adalah mencoba menerima dan menekan egonya agar tidak bersikap posesif yang membuat gadis itu tidak nyaman. Jadi, untuk memberi tahu mereka, Galih cukup berdiri di samping Winka, memasang wajah dingin, serta menunjukkan aura kepemilikan. Cara itu cukup berhasil, termasuk kali ini saat pria-pria tadi secara perlahan memilih untuk mundur teratur.

"Mbak Winka Winata?"

Seorang perempuan setinggi Winka keluar dari salah satu ruangan sambil menyapa Winka dengan ramah. Perempuan berpenampilan rapi tersebut menghampiri Winka dalam tiga langkah lebar dan cepat.

"Saya Nindi, sekretaris Pak Surya." Mereka berjabat tangan. "Pak Surya sudah menunggu, Mbak, di dalam. Mari saya antar."

Mereka mengikuti Nindi untuk masuk kembali ke dalam ruangan tempatnya keluar tadi. Ruangan itu cukup besar. Ketika masuk ada satu meja di sisi sebelah kanan dengan tumpukan dokumen yang disusun dalam tiga tingkat dengan ketinggian yang Winka duga tidak bisa diukur menggunakan penggaris besi yang sering ia pakai ketika sekolah dulu. Dua sofa berlengan dan sebuah sofa panjang berwarna abu-abu mengelilingi meja kopi berkaki empat. Tidak ada aksen mencolok pada dinding kecuali sebuah figura bertuliskan "Kamu dapat hidup tanpa kebaikan, tetapi kamu tidak dapat hidup tanpa keadilan". Tulisan yang terkesan dingin dan menyentuh pada saat yang bersamaan.

Pintu-pintu di ruangan itu terbuat dari kaca buram, walau begitu Winka dapat melihat dengan cukup jelas Surya yang sedang fokus meneliti dokumen. "Dia kayak anak OCD yang fokus sama satu objek," bisik Winka pada Galih.

Nindi mengetuk pintu dan membuat perhatian Surya teralih. Pria itu berdiri dari duduknya dan berjalan dalam lima langkah pendek untuk membukakan pintu. "Ada beberapa hal yang harus aku bicarakan dengan kamu," katanya langsung.

Winka cukup terkejut dengan sikap blak-blakan Surya. Namun, gadis itu segera mengendalikan diri. "Saya bisa ajak Pak Gal?" tanyanya.

"Bisa. Masuk saja." Surya mempersilakan mereka untuk duduk. "Nindi, tolong tolak semua orang yang ingin menemui saya dalam tiga puluh menit," perintahnya pada sang sekretaris.

"Baik, Pak." Nindi kemudian pamit undur diri.

"Om Bram barusan telpon aku." Surya langsung masuk ke dalam pokok bahasan. "Ada beberapa hal yang dia katakan, termasuk mengenai Juna." Winka dan Galih menyimak. "Om Bram bilang kalau dia nggak akan melibatkan Juna dalam kasus ini."

"Kenapa?" Winka terkejut bukan main. "Bukannya Papa punya kesempatan untuk membela diri kalau Juna berhasil diseret?"

Galih pun berpikir demikian. Tidak ada untungnya bagi Bram untuk menyelematkan Juna, kecuali satu hal.

"RUPS sebentar lagi akan digelar. Juna hampir seratus persen bisa menempati kursi direktur utama setelah kasus yang menimpa Om Bram. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi jika Om Bram memilih untuk menggagalkan pencalonan Juna." Jika dugaan Galih benar, maka, "Pertama, kamu mau nggak mau harus terlibat dalam perusahaan dan kalau kamu menolak, maka kemungkinan kedua yang bakal terjadi." Surya benci memberi tekanan pada gadis itu, tetapi yang akan dia ungkapkan setelah ini memang harus dipikirkan matang-matang oleh Winka. "Akan terjadi krisis kepercayaan di perusahaan Winata. Satu-satunya yang bisa diandalkan untuk menjalankan perusahaan selagi Om Bram ditahan adalah Juna. Berdasarkan prestasi kerjanya, dewan direksi pasti akan menaruh suara penuh apda Juna."

Winka tersenyum miris. Begitu prihatin dengan nasib Juna. "Pada akhirnya Juna cuma dimanfaatin Papa." Gadis itu ingin mengumpati ayahnya, tetapi dia juga sadar kalau Bram Winata tidak mungkin mengambil langkah yang gegabah.

"Kamu sudah pegang alat buktinya?" Galih bertanya.

Surya mengangguk. "Ada salinan rekening milik sekretis pribadi dan supir Juna, serta beberapa transaksi janggal di dalam rekening tersebut. Selain itu, Juna juga membeli tiga properti di luar negeri dalam waktu hampir bersamaan. Nilainya bahkan mencapai dua puluh miliyar."

"Sialan, Juna kaya banget," umpat Winka. "Sayangnya duitnya dapat dari nyolong." Gadis itu benar-benar bingung antara prihatin atau marah dengan Juna. "Coba otaknya dipakai kayak Pak Gal, pinter pasti tuh orang. Jadi cunguk Papa aja berprestasi banget. Duit emang suka ngalah-ngalahin segalanya." Winka menggerutu. "Jadinya kamu mau kayak gimana?"

"Sebagai pengacara aku harus membela hak klien, tetapi kalau Om Bram punya mau lain, maka yang bisa dilakukan sekarang cuma cari cara supaya hukumannya bisa diringankan."

"Aku benci bilang ini, tapi hukuman yang bakal Papa dapat nggak akan lebih dari dua tahun. Dia bakal keluar penjara kurang dari setahun karena dapat remisi hari besar keagamaan dan nasional, apalagi Papa pumya bekingan orang dalam perintahan. Hukum selalu berjalan kayak gitu di negara ini."

"Aku nggak akan meminta maaf soal itu." Surya tersenyum kecil.

Galih tampak berpikir. "Bagaimana dangan Adrian?"

"Kalau Adrian mau terlibat ke dalam perusahaan, maka kita bisa mengeliminasi Juna sebagai kandidat."

"Adrian nggak tertarik." Winka dilema.

"Kita bisa tanyakan dulu, apalagi sejak kejadian kemarin." Galih mengambil tangan Winka diam-diam dan menaruh di atas pahanya. Pria itu genggam tangan gadis tersebut dengan nyaman tanpa mengalihkan perhatiannya dari Surya. Winka tersenyum tipis, kemudian fokus kembali pada pembiacaraan mereka hingga Surya tidak sadar apa yang dilakukan pasangan tersebut di belakangnya.

"Apa yang terjadi?" tanya Surya tidak mengerti.

"Oh, Adrian gelut sama Juna," jelas Winka. "Adrian jengkel karena Juna nggak mau ngaku salah," tambahnya.

"Wah, mereka terlalu jauh," tanggap Surya. "Mau otot-ototan sekalipun, Juna tetap nggak bakalan dapat apa-apa. Semua uang dan aset Om Bram akan jatuh lebih banyak ke kamu, baru Adrian."

"Makanya hidup Juna ngenes banget." Winka menghela nafas. "Aku belum bisa memutuskan apa pun sebelum ketemu Papa. Aku harus tahu perspektif Papa tentang masalah ini."

"Win, jangan terlalu baik," peringat Surya. "Atau kamu juga akan kena gigit."

"Aku sudah jadi jahat sejak kemarin." Winka berdecak. "Ternyata jadi orang jahat capek juga. Aku jelas nggak punya bakat." Winka menyandarkan tubuhnya dengan santai.

"Saranku, kamu coba bujuk Adrian dulu atau kamu pikirkan tawaran Om Bram untuk masuk ke dalam perusahaan."

"Kenapa nggak dikasih ke profesional saja yang jelas track dan recordnya?" Winka menambahkan. "Kalau Juna memang nggak keren-keren amat setelah ini. Lagian, tuh orang cuma dijadikan bidak aja nggak ngerti-ngerti. Kalau mau lomba licik-licikan dia masih kalah jauh sama Bram Winata. Levelnya Papa itu udah profesor, paling ahli."

Surya tertawa. "Sayangnya anaknya lurus semua."

Winka mencebik. Dia beralih pada Galih. "Kamu nggak tertarik kerja jadi profesional managemen?"

"Nggak. Aku lebih tertarik sosiologi."

"Nggak mau coba, Pak Gal? Kamu kan pembelajar yang cepat."

"Makasih. Tapi, nggak. Managemen perusahaan itu rumit sekali. Seperti katamu tadi, mending bayar orang saja."

Winka mengangguk. "Calon suamiku sama sekali nggak mata duitan. Kayaknya kalau nggak berhasil bujuk Adrian, ya, cari profesional saja. Nanti aku omongin sama Papa."

#

Ketika keluar dari kantor itu, langit sudah berubah gelap dan area parkir terlihat mulai kosong. Winka berjalan bersisian dengan Galih.

"Besok pokoknya kita harus dapat acc dari Papa."

"Buat nikah?"

Winka mengangguk. "Kalau kesel gini bawaannya ingin nguyel-nguyel kamu, tapi karena kita belum sah, aku jadi harus menahan diri." Winka menatap Galih dengan nelangsa.

Galih memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Pria itu sedang berusaha mencegah diri untuk memeluk gadis tersebut kuat-kuat.

"Makanya agama larang orang pacaran karena hormon orang pacaran emang suka gila-gilaan." Apalagi untuk Galih yang harus berpuasa hingga umur menjelang kepala empat. "Kalau pacarku bukan kamu, habis aku." Winka tertawa.

"Makanya jangan suka mancing-mancing. Hari ini aku masih waras, tetapi kalau kamu mancing terus nggak tahu deh." Galih ingin sekali mengibarkan bendera putih.

"Makanya, besok kita harus dapat acc-nya. Nggak enak banget punya hubungan yang digantung sama orang tua. Nikah pakai wali hakim aja bisa nggak, sih?" tanya gadis itu nyeleneh.

"Bisa. Sayangnya, ayahmu masih hidup dan dia nggak pergi ke mana-mana."

"Cuma keras kepala aja."

"Nah."

Winka tiba-tiba merangkul lengan Galih dan menempelkan tubuhnya pada pria tersebut. Gadis itu nyaris menempel seperti lem dan mengabaikan bagaimana Galih yang sedang mati-matian menahan umpatan di ujung lidahnya.

"Pulang agak malam, yuk, Pak Gal!"

"Nakal."

Winka cengengesan. "Sekali-kali kita terjang lampu merah."

"Tetap aja yang kita terjang cuma lampu kuning."

"Duh, mupeng." Winka menggoda Galih.

"Dasar nggak punya hati," Kata Galih dengan suara berat.

"Sabar-sabar!" Winka mengusap-usap lengan Galih.

"Parah banget kamu." Galih membukakan pintu untuk Winka.

"Ya, namanya juga ujian."

"Cobaan."

Gadis itu tertawa sambil masuk ke dalam mobil. Dia menunggu Galih melakukan hal yang sama. "Ada warung pecel lele enak." Winka memperlihatkan sebuah video singkat yang ia dapat dari sosial media.

"Kasih tahu Tante Lita dulu, gih!" Galih akhirnya menyerah juga.

"Oh, yeah." Gadis itu begitu senang hingga refleks mencium pipi Galih dengan cepat. Kemudian Winka dengan cueknya mengirim pesan kepada sang ibu. Galih menyandarkan kepalanya dan menutup mata. Pria itu mendadak menjadi sakit kepala.

Sialan! Sepertinya besok dia harus benar-benar mendapatkan acc untuk menikahi gadis tersebut.

#

WINKAWIN Bab 34 35 udah publis di Karyakarsa. Yang mau baca duluan monggo mampir ke sana....

PS: Bab 35 ini manis banget. Nih, aku kasih spoiler

"Aku harus menunggu hingga usia tiga puluh enam tahun untuk 'ketemu' kamu. Dan semuanya kini sepadan." Galih selesai mengompres pipi Winka dan meletakkan benda tersebut ke atas meja.

"Karena esnya, nyerinya jadi mendingan."

"Masih butuh paracetamol?"

"Nggak. Aku butuhnya kamu." Winka menggoda. Gadis itu menyangga kepalanya. "Kamu kerjanya lebih cepat dari pereda rasa nyeri." Winka menyentuh pipi Galih. "Kamu kayak serotonin. Melimpah ruah di sini." Winka beralih menyentuh dada Galih. "Mengaktifkan reseptor untuk membuat suasana hatiku jadi lebih baik."

-Winkawin Bab 35- 

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 159K 36
"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama...
776K 34.3K 39
Bekerja selama tujuh tahun sebagai seorang sekretaris dengan model bos seperti Zhafran Afandi, benar-benar membuat Rachel harus memupuk kesabaran sel...
3.1M 163K 61
Takdir itu emang kocak. Perasaan cerita tentang perjodohan itu hanya ada di film atau novel, tapi sekarang apa? Cecilia Janelle terjebak dalam sebuah...
78.2K 8.1K 29
Bengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebaga...