.
.
"Aku berharap, dari tulang sulbi mereka, akan terlahir orang-orang beriman."
~ Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam
.
.
***
"Check out jam berapa?" tanya Ilyasa pada istrinya.
"Jam dua belas," jawab Raesha sambil merapikan pakaian. Memisahkan pakaian kotor ke dalam plastik, lalu menyimpannya di koper.
Tanpa Raesha menyadarinya, langkah suaminya mendekat ke arahnya.
Tangan Ilyasa melingkari tubuh Raesha yang sedang duduk di tepi ranjang.
"Kalau begitu, masih ada waktu sebentar lagi," bisik Ilyasa di telinga istrinya.
Raesha menghentikan aktivitas beberesnya. Paham apa yang diinginkan suaminya.
"Rapi-rapinya nanti aja, sayang," ucap Ilyasa dengan napas berat. Ia melepas ikat rambut istrinya. Membiarkan rambut hitam yang berkilau itu, jatuh ke dada Raesha.
Raesha berbalik, menerima ciuman paling lembut yang pernah diberikan Ilyasa padanya.
Pipi Raesha memerah. Napasnya tersengal, menginginkan ciuman seperti itu lagi.
"Kamu suka?" tanya Ilyasa, saat jemarinya merayap pelan ke tengkuk istrinya, memberi sensasi geli yang menyenangkan bagi Raesha. Wanita itu mendesah. Ilyasa melepas baju kokonya.
Raesha mengangguk malu, mengiyakan pertanyaan suaminya. Jantung Raesha berdebar keras, seolah akan mengalami percintaan mereka yang pertama.
"Aku akan mengganti kesalahanku tadi malam," bisik Ilyasa, membuat seluruh tubuh Raesha meremang.
Gamis Raesha terlepas ke lantai, lalu keduanya bercinta. Percintaan paling indah bagi Raesha. Lebur sudah segala ganjalannya dengan suaminya. Hilang tak bersisa, menguap bersama embusan napas keduanya.
"Aku cinta kamu, Oppa."
Pernyataan cinta dari bibir Raesha, menjadi energi yang membakar keintiman mereka.
Tak lama, keduanya berbaring lelah di ranjang. Saat akan beranjak duduk, Raesha tiba-tiba memegang kepalanya.
"Kenapa, sayang?" tanya Ilyasa.
"Kepalaku agak pusing," jawab Raesha. Padahal dia ingin segera merapikan barang-barang, sebelum mereka check out.
Ilyasa turun dari ranjang. "Sebentar. Kadang di hotel ada obat. Kalau sekadar obat sakit kepala sih, --," ucap Ilyasa sambil membuka-buka laci.
Raesha menggeleng. "Aku mau minum vitamin aja. Atau buah," kata Raesha.
"Biar aku beliin vitamin. Tunggu di sini," Ilyasa berpakaian, lalu memastikan kunci mobil, dompet dan ponsel dibawanya.
"Iya. Maaf ya, sayang. Hati-hati."
"Kalau ada apa-apa, telepon aku," balas Ilyasa melempar senyum.
Pintu ditutup, setelah Ilyasa keluar dari kamar. Di ranjang, Raesha menggigit bibir. Percintaan mereka barusan, masih terngiang-ngiang di benaknya. Ia menutup muka sambil menjerit tertahan.
I love u, Ilyasa! I LOVE you!!
Bisa jadi, sakit kepala pasca bercinta ini, adalah karena terlalu bahagia. Bisa jadi.
.
.
Ilyasa senyum-senyum sendiri sepanjang berjalan di koridor menuju lift. Bahagia dengan percintaannya barusan dengan istrinya. Setidaknya, dia meninggalkan kenangan bercinta yang indah untuk istrinya. Bukan yang menyakitkan seperti tadi malam.
Langkah Ilyasa terhenti saat melihat ramai orang menunggu di depan lift. Rupanya ada rombongan yang sedang liburan.
Malas menunggu, Ilyasa bertanya pada staf hotel yang melintas.
"Ada lift tambahan di sebelah sana, Pak. Bapak lurus saja, nanti di ujung koridor, belok kanan."
Ilyasa mengikuti petunjuk staf laki-laki itu. Dan ... kejutan, lagi. Ada Yunan di sana. Mereka kini berdiri bersebelahan, sama-sama menunggu pintu lift terbuka. Dilihat dari ukuran pintunya, sepertinya ini lift berukuran sempit. Lift yang sama ukurannya dengan yang ditumpangi Yunan dan Raesha di gedung pertemuan.
"Kakak senang kemarin, terjebak di lift bareng Raesha?" sindir Ilyasa.
"Apa maksudmu?" sahut Yunan dengan lirikan sekilas.
"Ngaku aja, Kak. Gak usah pura-pura," imbuh Ilyasa mendengkus.
Yunan melengos dan kembali menatap lurus ke arah pintu lift. "Aku memang ingin bicara berdua denganmu, Ilyasa. Tapi tidak sekarang. Sekarang aku sedang buru-buru."
Pintu lift berdenting saat terbuka. Yunan dan Ilyasa memasuki lift. Yunan menekan tombol lantai dasar. Pintu lift tertutup.
"Perlu aku tegaskan, kejadian kemarin murni kesalahanku. Raesha tidak bersalah sama sekali. Raesha sempat menolak untuk memasuki lift itu, saat melihat aku ada di dalamnya. Tapi aku malah menyuruhnya masuk."
Mata Ilyasa mendelik saat mendengar pengakuan Yunan. Itu artinya, Raesha telah berbohong padanya, demi menutupi kesalahan Yunan. Dan gara-gara itu, semalam dia berbuat kasar pada Raesha.
Yunan terkejut saat kedua bahunya didorong paksa hingga punggungnya menghantam dinding lift.
"Mari kita berhenti dengan basa-basi kita selama ini. Ngaku, Kak. Kakak masih cinta sama Raesha, ya 'kan?" tanya Ilyasa, lebih terdengar seperti menuduh.
Yunan terdiam sejenak. Dia tahu, Ilyasa hanya memerlukan pelampiasan kesalnya.
"Menurutmu gimana?" jawab Yunan dengan senyum seolah menantang.
Pukulan telak mendarat di pipi Yunan hingga membuatnya jatuh ke lantai lift. Percikan darah menjejaki lantai.
"Aku muak denganmu! Kamu selalu ada di antara kami, bahkan saat kamu tidak ada!" jerit Ilyasa yang bahkan sudah tidak menyebut Yunan dengan sebutan 'Kak'.
Yunan bangkit dan menyeka ujung bibirnya yang berdarah.
"Kamu sudah puas? Kalau kamu perlu pelampiasan amarahmu, silakan hajar aku sepuasmu, tapi jangan berani-beraninya kamu sakiti Raesha!" Air mata Yunan menetes saat menyebut nama Raesha.
"Sekarang kamu mau mencampuri urusan rumah tangga kami? Itu urusanku dan Raesha! Bukan urusanmu! Sudah cukup! Aku akan memutus komunikasi kalian berdua! Tidak akan kuizinkan Raesha bicara denganmu!" bentak Ilyasa.
Yunan terhenyak. Bibirnya hendak berucap, namun ia tak sanggup bicara.
Kamu mau memutus hubunganku dengan anak yang kuasuh sejak bayi?
Hanya air mata yang dapat keluar dari Yunan. Ia kehabisan kata.
"Kenapa? Mau protes? Aku suaminya! Aku berhak memutus hubungan kalian!" tegas Ilyasa bergeming.
Penunjuk level lantai, kini memperlihatkan tulisan Ground floor.
"Lebih baik benahi hatimu yang kusut itu. Sudah punya istri, masih cinta sama istri orang!" ucap Ilyasa ketus, sebelum pintu lift terbuka dan dia nyaris keluar dari pintu, namun Yunan mencegahnya.
Ilyasa terkejut saat tangannya ditarik Yunan paksa. Yunan juga menekan tombol naik, hendak mengambil waktu sejenak untuk menuntaskan perselisihan ini.
"Mau apa?? Aku sedang buru-buru!!" teriak Ilyasa.
Lutut Yunan menghantam lantai lift. Yunan berlutut di hadapan Ilyasa, membuat Ilyasa ternganga heran.
"K-Kamu memang suaminya, aku tahu. Baiklah. Aku terima, kalau kamu memutus komunikasi kami. Tapi tolong ... tolong jangan sakiti dia!"
Ilyasa terperanjat melihat Yunan berlutut memohon padanya dengan berlinangan air mata.
"Kalau kamu menyakitinya, kamu menyakiti aku. Aku dulu yang memandikan dia, menyisiri rambutnya, menyuapi dia. Aku mohon, jangan lukai dia. Sedikitpun jangan!"
Mata Ilyasa berkaca-kaca. Mestinya dia marah detik ini. Siapa kamu?? Kenapa kamu atur-atur aku sebagai suami Raesha? Tapi ketulusan dalam suara tangis Yunan, membuat semua amarah itu tertelan kembali. Yunan terdengar seperti ayah Raesha, atau ibu Raesha, atau keduanya.
"Raesha Akhtar adalah segala-galanya bagiku. Aku mencintai dia, dengan cara yang tidak bisa kamu bayangkan. Jadi aku mohon, bersikap lembutlah padanya. Aku tidak sanggup melihatnya dilukai!"
Air mata Ilyasa akhirnya jatuh. Cara Kak Yunan mengakui cintanya pada Raesha, membuat bulu kuduknya berdiri.
"Kita mungkin kadang berselisih, tapi aku tidak pernah membencimu, Ilyasa. Aku tidak sanggup membenci sesama muslim. Justru karena aku sayang padamu, maka aku menasehatimu. Seandainya aku tak perduli padamu, aku akan membiarkan kamu berbuat sesukamu."
Pipi Ilyasa mulai basah, seiring air matanya mengalir tanpa henti. Apa yang baru dia lakukan? Dia baru saja menghajar Kakaknya sendiri.
"Kakak," ucap Ilyasa. Penyesalan terasa pada sepatah panggilan yang diucapnya.
Keduanya terkejut saat merasakan guncangan pada lift, sebelum lift terhenti sempurna.
Oh tidak, batin Yunan. Terjadi lagi seperti kemarin kah?
Graakk!!
Suara sesuatu yang besar, patah, terdengar dari arah atas lift.
Yunan dan Ilyasa menoleh ke atas. Bayangan sesuatu yang melintang, terbang mendekat ke arah langit-langit lampu semi transparan yang menaungi mereka.
Dalam sepersekian detik, Yunan teringat pesan Zhafran padanya. Disangkanya, ruang sempit yang dimaksud Zhafran, adalah lift kemarin yang ditumpangi Yunan dan Raesha, tapi ternyata bukan. Ternyata ruang sempit itu adalah lift ini.
Ilyasa tak sempat berpikir, saat Yunan tiba-tiba merangkulnya.
Braakkk!!
Sesuatu seperti beton, menimpa langit-langit lift dan menciptakan retakan di sana. Lampu lift mati. Yang tersisa adalah lampu darurat yang redup.
"K-Kak, awas!" jerit Ilyasa menunjuk ke arah atas.
Kaca lampu langit-langit pecah berhamburan. Balok besar menimpa mereka. Teriakan mereka tertutupi oleh nyaringnya suara semen yang menghantam lantai dan dinding lift.
Debu mengepul di udara. Mata Ilyasa perlahan menutup, saat kesadarannya menghilang.
Saat tersadar, Ilyasa terbatuk. Tubuhnya serasa remuk. Ia menemukan Kak Yunan masih pingsan di atasnya. Bias cahaya Dhuha, menerangi mereka dari atap lift yang kini bolong.
Dari luar lift, terdengar suara orang-orang panik. Suara alat berat, juga terdengar berdesing. Sepertinya mereka sedang berusaha membuka pintu lift yang macet.
"Kak! Kak Yunan! Bangun, Kak!"
Ilyasa berusaha bangkit, tapi tak sanggup. Rupanya balok itu menimpa kepala Yunan.
Ilyasa terperanjat saat tangannya yang baru saja menyentuh kepala Yunan, kini berwarna merah darah. Darah dari kepala Yunan, tak henti mengalir.
Jari Ilyasa ditempelkan ke hidung Yunan. Jantung Ilyasa berdebar kencang, saat merasakan napas Yunan nyaris tak terasa.
"T-Tolooong!! Tolong cepat buka pintunya! Ada yang terluka parah di sini!!" jerit Ilyasa ketakutan.
"Ada yang selamat?? Mohon tunggu! Kami sedang usahakan membuka pintunya!"
"Atau kita angkut saja dari atas pakai tali, Pak?" sahut orang lainnya di luar lift.
"Gak bisa!! Jangan diangkat pakai tali! Sepertinya ada yang patah tulang!" teriak Ilyasa. Dia sendiri tidak tahu kondisi tubuhnya, tapi sepertinya tak ada tulangnya yang patah.
"Baik, Pak! Tolong tunggu! Kami akan coba buka pintunya!" sahut suara dari luar.
Ilyasa melirik wajah Yunan. Mata Yunan tertutup sempurna. Darah mengalir dari kening ke pipi Yunan. Sementara darah di ujung bibir Yunan, masih nampak. Darah Yunan yang ditumpahkan Ilyasa.
Tangis Ilyasa pecah. Padahal menumpahkan darah sesama muslim, haram hukumnya. Apalagi jika itu darah ulama. Bumi murka, jika darah ulama yang dicintai Allah, ditumpahkan.
Dulu saat Rasulullah ditimpuki oleh suatu kaum, Rasulullah sengaja menahan tetesan darahnya, mencegahnya menetes di bumi. Malaikat Jibril datang, menawarkan untuk menimpakan gunung pada kaum itu, tapi Rasulullah menolak, lalu mengatakan, "mereka hanya orang yang tidak mengerti. Aku berharap, dari tulang sulbi mereka, akan terlahir orang-orang beriman."
Shalallahu'alaihi wassalam.
.
.
***