Secret Admirer

By beebaebees

269K 10.2K 296

Syahnarra hanyalah gadis lugu yang kerap kali terlibat ancaman dan suatu hal yang berbahaya. Dia mengagumi St... More

1. Pesona Stevano
2. Hari Ulang Tahun Narra
3. Kejutan Untuk Narra
4. I'am Jealous, Boy's - Part A
5. I'am Jealous, Boy's - Part B
6. Patah Hati
7. Menjelang Ujian Nasional
8. Setelah Ujian Nasional
9. Prom Night
10. Mama.. You Always In My Heart
11. Species (Special Part)
12. Venna or Joana? (Special Part)
13. Masihkah Kau Mencintaiku? (Special Part)
14. Hurt (Special Part)
15. Not a Bad Thing
16. Seriously?
17. Almost
18. Dangerous
For You Information!
19. Remember
20. Barbeque's Time
21. And I'm Very Love You
23. Stevano or Rendy?
24. Pengakuan
25. Suasana Yang Mengharukan
26. More Beautiful Than a Dream
27. Day With Vano's
28. A New Beginning
29. Ide Gila
30. Really Complicated
31. Kasus Baru
32. Hampir Selesai
33. Pengakhiran
Simplicity of Love Promotion
EPILOGUE SECRET ADMIRER

22. Matchmaking

6K 253 32
By beebaebees

Backsound: HURT by Christina Aguilera.

Sudah cukup rasa cemburu itu menggelayuti hatiku sore ini. Aku sudah lelah. Aku ingin pulang. Teriakku dalam hati.

"Kak Narra, ayo dong kita berenang lagi. Sudah lelah ya? Kak Narra payah sekali." Suara manja Acha memecah lamunanku yang sedang merutuki diri sendiri karena kebodohan sekaligus kecerobohan Vano.

"Berenang saja sendiri." Ketusku tanpa beralih pandang dari perosotan raksasa di dalam kolam renang yang sedang ku pandangi.

Aku dapat mendengar Acha sedang menggerutuh dibelakangku dengan sebalnya. Bocah itu benar-benar mengganggu acara liburan ku yang kata Vano hanya berdua ini. Ah, bullshit! Nyatanya Acha pun ikut.

Awalnya setelah mendaftar kuliah, aku dan Vano berniat akan liburan berdua di salah satu pusat perbelanjaan dan taman atau tempat rekreasi lainnya. Rencana itu kami rencanakan matang-matang setelah seminggu tidak bertemu usai acara Barbeque kala itu. Tetapi realitanya? Mengapa harus di ikut-sertakan bocah tengil tidak tau diri ini? Kalau saja keadaan tidak seramai sekarang. Aku akan menceburkan Acha atau bahkan menenggelamkannya sekalian! Ah, sebal!

"Tidak jadi masalahkan kalau Acha ikut?" Alisku langsung bertautan, bibirku mengerucut dan tatapan sebal tergurat jelas saat Vano berkata liburan kami harus rela terganggu karena Acha.

"Aku sudah tau kamu pasti akan mengajaknya." Tukasku menahan emosi.

Vano menggeleng lalu meraih jemariku kemudian di genggamnya. "Bukan soal itu. Maaf ya, ini salahku. Harusnya tidak aku sebarkan semalam di Path agar Acha tidak tau."

Aku memutar kedua bola mataku jengah. Aku ingat semalam Vano mempost moment di media sosial via Path tentang acara liburan kami lewat listening to lagu yang di dengarkannya. Tetapi aku tak menyangka bahwa Acha melihat dan langsung meminta ikut. Parahnya, kenapa Vano menyetujui? Apa alasannya?

"Kamu baik-baik saja kan?" Terpaksa aku menganggukan kepala. Memang kalau aku terlihat tidak baik, apa pedulinya bagi pemuda yang suka seenaknya seperti Vano. Paling-paling ia tidak peduli.

Kaca mobil porsche milik Vano yang terletak di samping kemudi terbuka, seseorang telah membukanya dan mengeluarkan sebuah kepala yang aku tau itu Acha. Oh rupanya bocah itu sudah ambil tempat duduk di samping kursi kemudi Vano.

"Kak.. Ayo cepat! Kalau kesiangan keburu panas nih." Perasaan dongkol semakin menyerang perasaanku. Ku lirik sekilas ke arah Vano, dirinya diam mematung sampai akhirnya menuruti keinginan Acha masuk ke dalam mobil. Aku bahkan sampai tak di ajaknya atau sekedar menyuruh Acha berpindah tempat. Tega-teganya dirimu, Stevano!

"Kak Narra, jadi ikut tidak? Lama banget sih."

Vano menatapku iba antara ingin menyuruh aku untuk tinggal dan membiarkannya hanya menikmati moment berdua Acha atau menghentikan ocehan tidak sopan gadis ini. "Bicara yang lebih sopan kedengarannya lebih baik. Kamu seperti bukan anak sekolah saja." Kata Vano membelaku.

"Habis Kak Narra sengaja berlama-lama. Kalau tidak mau ikut bilang saja." Sikap Acha benar-benar bak princess di negeri dongeng sekarang ini. Dan aku? Sudah jelas aku yang menjadi dayang-dayangnya.

Aku malas di bicarakan tidak enak seperti itu lama-lama. Ku buka kasar pintu belakang porsche abu-abu mobil ini. Aku menempati tempat duduk di bagian belakang sedangkan Vano dan Acha di bagian depan. Posisinya persis saat pertama kali aku menaiki mobil kesayangan Vano ini.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk membangun benteng pertahanan yang lebih kokoh agar air mataku tidak jatuh walaupun sebenarnya hatiku sudah berlubang-lubang bagai tertusuk berbagai macam benda tajam. Mataku panas melihat kejadian di depanku ini. Acha sedang menyuapi Vano dengan bekal makan yang dibawanya. Entah lapar atau memang ingin membuat Acha senang, Vano malah asyik menerima beberapa kali suapan yang Acha berikan.

"Mie goreng ini aku sendiri lho yang masak, Kak." Yahelah, baru mie goreng, gue bisa bikin yang lebih dari mie goreng. Batinku menyindir.

"Oya? Wah pantas enak. Kakak suka." Aku tersenyum jijik mendengar percakapan mereka. By the way, kapan Vano pernah memuji aku? Aku bahkan sampai lupa karena terlalu jarang pemuda itu mengatakan keistimewaan yang ku punya.

"Narra kamu mau?" Aku menghela nafas berat saat Vano menawariku makanan yang sedang dimakannya bersama Acha.

"Sepertinya tidak cukup untuk bertiga, Kak. Kita berdua saja." Kata Acha yang dengan angkuhnya menutup kotak makan yang ada dalam tangannya.

"Aku bawa cukup uang kok untuk beli makanan sendiri." Kataku tak kalah angkuh membalas perlakuan Acha yang ia tunjukkan.

"Mau aku parkirkan mobil di supermarket dulu untuk beli makanan?" Vano kembali menawarkan.

"Jangan, Kak! Nanti saja setelah tiba di tempat tujuan. Kalau matahari sudah tinggi, aku malas berenang." Protes Acha tak menyetujui tawaran Vano padaku.

"Oh yasudah." Ucap Vano pasrah dan kembali melajukan mobil.

Aku mengeluarkan novel yang belum selesai ku baca dari dalam tas. Lumayan untuk mengalihkan pandangan dari si bocah resek dan pemuda seenaknya ini. Novel yang ku baca berjudul JEALOUS dari salah seorang penulis favoritku. Judul novel serta ceritanya menggambarkan suasana hatiku saat ini. Cukup membantu untuk menyindir mereka melalui tulisan dan karangan tidak nyata yang ku dapatkan dari Rendy saat aku berada di Rumah Sakit waktu itu. Hei, ngomong-ngomong soal Rendy, dia sedang apa ya? Aku jadi merindukannya mengingat ia jarang menghubungiku belakangan ini.

Saat sedang berpikiran tentang Dokter muda yang terpaut usia denganku 10 tahun itu, tiba-tiba saja Rendy menelpon. Ah, dia mengerti apa yang ada di benakku saat ini.

Segera ku angkat panggilan masuk dari Rendy. "Apa? Kamu mau menyusul aku?" Kataku senang setelah menceritakan bahwa aku akan pergi berenang di hari minggu ini.

Mendengar aku yang akan mengajak Rendy untuk bergabung. Vano langsung menginjak rem seenaknya. Lagi-lagi semua serba sesuka dirinya. Hingga menyebabkan tubuhku terdorong kedepan dan menggerutu kesal. "Bisa tidak sih kalau mau injak rem itu bilang-bilang dulu!"

Bukannya menyahut, Vano langsung mengambil alih Iphoneku lalu di tempelkan di telinganya. "Eh!" Jeritku tertahan.

"Narra sedang bersamaku. Jadi tolong jangan mengganggu." Larang Vano pada ide Rendy yang akan menyusul kami.

"Memang apa masalahnya? Kamu saja boleh membawa gadis lain untuk ikut." Dengan samar-samar ku dengar suara Rendy menyahut.

"Itu bukan urusanmu. Sebagai Dokter, beri saja perhatianmu pada pasien-pasien dan jangan pada pacar orang!" Tukas Vano emosi dan langsung mematikan sambungan telepon. Ini ketiga kalinya pemuda blasteran ini melakukan hal semaunya lagi.

Aku langsung merebut kasar Iphoneku dalam genggaman tangan Vano. "Kembalikan!" Pintaku setengah menjerit saat Vano masih mempererat genggaman Iphoneku di tangannya.

"Tidak, sebelum aku yakin Dokter itu berhenti mengganggu." Tegas Vano membuatku diam. Aku bisa jamin bahwa Acha sedang jealous mati-matian melihat sikap Vano yang posesif padaku ini.

"Kak Narra selalu saja cari perhatian!" Suara Acha menyentak lamunanku.

Aku meremas jok belakang mobil Vano yang ku duduki. Lagi-lagi aku yang disalahkan. "Bukannya kamu? Justru Kakak kalah hebat cari perhatiannya di banding kamu!"

"Kok jadi aku? Kak Narra selalu saja menyalahkan aku." Entah sejak kapan bocah resek ini pintar membalikkan fakta. Kapan aku pernah menyalahkannya? Marah saja pun tidak ku tunjukkan walau sebenarnya ingin aku tendang dia dari mobil kekasihku ini.

"Kak Vano harus bela aku!"

"Vano pasti bela kamu tanpa di minta. Tenang saja." Selorohku cepat membuat suasana semakin antagonis terasa.

"Diam!" Setengah mati aku berusaha menahan suara bentakan. Tetapi ini malah keluar sendiri dari mulut pemuda yang sedang aku dan Acha debatkan.

"Kalau kalian masih terus berdebat. Turun saja sekalian!" Dua kali Vano berbicara dengan nada membentak. Aku bisa maklum karena itu wataknya. Tetapi saat ini aku merasa di acuhkan. Dan alasannya tidak lain karena Acha.

Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, akhirnya kami tiba di waterboom yang terletak di Cileungsi, Bogor. Tempat yang ku kunjungi 6 tahun lalu saat Papa berusaha mendekatkanku dengan Amanda dan Candy yang waktu itu masih berusia 1 tahun.

"Biar Kakak bantu." Suara serak Vano menyapa Acha sambil membawakan beberapa tas yang dibawa bocah resek itu. Mau renang apa ngungsi, Mbak? Desisku dalam hati.

Ku lihat Acha tersenyum dengan manisnya kearah Vano. Pemuda itu balik tersenyum sambil memimpin jalan memasuki tempat menyenangkan ini. Aku bagaikan kacung untuk mereka. Berjalan dibelakang mereka yang sedang bergandengan mesra. Hanya Acha sih yang menggandeng Vano seperti itu. But for me, nyelekit sampai ke ulu hati.

"Kalian ganti baju sana. Kita bertemu langsung di kolam renang ya." Kata Vano sambil menyerahkan tas Acha yang ia bawakan kepada sang pemilik kemudian memasuki ruang ganti pakaian khusus laki-laki.

"Kak Narra tolong bantu aku." Ku dengar suara Acha yang kerepotan membawa tasnya memanggilku. Aku memperhatikannya sekilas lalu angkat bahu kemudian berjalan cuek memasuki ruang ganti pakaian khusus wanita. Ia sudah besar kan? Buktinya sudah pandai mengganggu kekasih orang lain. Itu tandanya sudah mampu mandiri.

Aku tak perlu berlama-lama berganti pakaian renang seperti para wanita atau gadis lain lakukan. Cukup hot pans hitam dan tanktop berwarna abu-abu menemaniku untuk berenang, memang simple, tetapi ini terlihat seksi menurutku. Setidaknya terbukti saat beberapa pasang mata laki-laki menatapku dengan nakalnya. Itu lantas mendapat sambutan sinis dari Vano. Oh, cemburu Mas?

Aku bahkan tidak bisa menjelaskan bagaimana bentuk baju renang berwarna pink yang Acha kenakan ini. Kelihatannya sangat susah di pakai alias ribet. Selalu saja ya bocah resek ini memakai pakaian yang terkesan mencolok. Dan betapa bodohnya aku karena tak punya image feminim yang melekat dalam diriku ini. Ah, aku merasa gagal jadi seorang gadis yang anggun.

Nilai 8 dari 10 nilai tertinggi ku berikan untuk bentuk tubuh Acha yang sintal ini. Aku di buat envy olehnya. Meski usianya lebih muda dariku, Acha memiliki tubuh proposional layaknya gadis kuliahan. Sementara aku? Kebanyakan lemak pantas di sematkan dalam tubuhku ini.

Dan Vano, oh you look so hot boy! Dada bidang serta perut sixpack Vano dapat di lihat jelas dengan mata telanjang oleh siapapun. Aku merasa iri hati saat banyak gadis yang mengelilinginya memiliki kriteria wajah dan tubuh yang menjanjikan. Tidak seperti aku yang.. Ah sudahlah, sedih jika ku gambarkan lagi.

Aku duduk di pinggiran kolam renang menyaksikan Vano yang sedang mengajari Acha berenang. Keduanya terlihat mesra dan serasi. Senyum dan tawa menghiasi wajah mereka dengan tulus kelihatan. Aku sudah tau Acha hanya modus agar bisa dekat dengan Vano dan menjauhkanku dari pemuda itu. Aku paham betul bagaimana pemikiran orang-orang yang licik. Karena sebagian besar hidupku dikelilingi pemikiran seperti itu.

"Ayo dong kamu pasti bisa, Ca! Kalau takut tenggelam nanti Kakak tolong."

"Setelah itu Kakak beri aku nafas buatan ya." Canda Acha mencoba menggoda Vano.

"Siap!" Sahut pemuda itu menyanggupi. Mereka berdua tertawa bersama. Sejujurnya baru kali ini aku melihat Vano tertawa lepas tanpa fake smile saat bersama Acha. Berbeda saat denganku. Oke fine, blank sudah pikiran dan hatiku sekarang juga.

"Nar, sini berenang." Panggil Vano yang sedang berenang mendekatiku.

"Kamu saja. Aku lebih suka memperhatikan." Kataku berusaha menetralkan suara yang mulai kedengaran parau.

"Bilang saja Kakak juga tidak bisa berenang agar diajari Kak Vano, kan? Modus deh."

Aku menggangguk mendengar perkataan Acha yang lagi-lagi memutar jarum kesalahan padaku. "Makanya kalian saja yang berenang. Biar tidak menganggu, aku melihat saja." Kataku mengalah.

Tatapan sendu terlihat jelas mengarah padaku dari kedua mata Vano. Aku tersenyum lirih mendapati Vano yang menatapku seperti itu. Aku ikhlas jika setelah pulang dari sini mereka akan menjalin kasih kembali. Karena nyatanya, Vano lebih bahagia bersama Acha ketimbang aku yang bertingkah konyol ini.

"Kita makan saja ya. Berenangnya nanti lagi. Kamu juga belum makan Narra, biar aku belikan ya." Tak ada kata yang bisa ku lontarkan untuk menolak tawaran Vano. Perutku juga sudah mulai berbunyi pertanda aku harus segera mengisinya. Baik kali ini rasa gengsi di pendam lebih baik.

Vano pun pamit padaku dan Acha untuk membeli makanan di salah satu kedai yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat kami berenang. Aku mengangguk saat Vano berpesan untuk menjaga Acha dari keramaian siang hari ini. Kenapa harus Acha lagi?

"Kak Narra ingat tidak? Kakak kan hanya pengagum rahasia Kak Vano yang kebetulan saja sekarang sedang menjalin hubungan. Nah, sementara aku? Kami pernah pacaran dan.."

"Dan kemudian putus lalu sekarang kamu tidak menerima kenyataan itu hingga berusaha mengganggu hubungan kami? Begitu ya?" Selaku memotong pembicaraan tengik bocah resek ini.

"Kak Narra tidak tau malu!" Sentaknya yang nyaris berteriak.

Aku tertawa kecil mendapatinya yang kerap emosi. Maklum, perasaan bocah mudah labil. "Kenapa jadi aku? Bukannya kamu yang harusnya malu? Mengirimi BBM pada Vano hanya untuk merengek meminta ikut. Tidak punya kaca? Atau mau aku belikan?"

Tatapan sinis Acha terlempar jelas ke arahku. "Itu karena Kak Vano sayang sama aku."

"Bukan sayang tapi kasihan! Beda-beda tipislah pengemis cinta sama pengemis di jalan. Kebanggaannya, pengemis di jalan dapat uang tapi pengemis cinta hanya dapat kesepian merana meratapi cintanya yang tak berhasil didapat. Karena sejatinya saat ini Vano hanya mencintaiku. Hanya aku. Paham?" Ketusku menyindirnya sekaligus menegaskan kenyataan yang ada.

Raut wajah Acha terlihat tidak terima dengan perkataanku. "Apa? Mau marah?" Ucapku menantangnya.

"Lihat saja apa yang akan aku perbuat!" Kata Acha balik menantang.

"Lakukan saja! Selama hati Vano masih aku miliki, ia akan terus mengejarku." Ucapku dengan tenang.

Kedatangan Vano membuat kami menghentikan perdebatan sengit ini. Vano datang dengan membawa 2 cup popmie dan sebotol air mineral. Ia langsung duduk ditengah-tengah aku dan Acha di pinggiran kolam ini.

"Maaf ya aku cuma bisa dapat makanan ini. Habisnya ramai sekali. Aku saja harus mengantri." Kata Vano bersungguh-sungguh. Ya, aku percaya karena antrian dapat di lihat dari kejauhan seperti ini.

"Kalau begitu ini untuk Kak Vano dan ini untukku. Begitu kan maksud Kakak?" Acha membagi 2 cup popmie yang Vano bawa untuk dirinya dan Vano.

"Kamu kan sudah makan. Biar itu untuk Kak Narra."

"Aku mau seperti ini." Tukas Acha sebal.

"Yasudah. Kita berdua saja ya, Sayang." Kata Vano kemudian merubah posisi duduknya menghadap ke arahku sambil meniupi cup popmie yang ia pegang.

Aku mengangkat alisku menatap Acha sambil menunjukkan senyuman tersinisku. Bisa di lihatkan? Vano sendiri yang tak ingin melepaskan aku. Batinku tertawa puas mendapati perubahan wajah Acha yang geram menahan emosi yang meluap-luap itu.

Baru saja Vano akan memyuapiku dengan hati-hati karena panas, tiba-tiba saja Acha menyenggol tubuh Vano kedepan hingga mengakibatkan sebagian kuah popmie dalam cup tersebut tumpah mengenai kedua tanganku dan sebagian paha putih mulusku ini.

"Aaww.." Aku menjerit tertahan menahan air panas yang sedang beruap dalam cup yang sudah berpindah mengenai tangan dan pahaku ini.

Vano langsung menatap Acha geram dan akan mengamuk. "Mau apasih kamu? Lihat ini! Air panasnya jadi menumpahi sebagian tubuh Narra!" Bentakan Vano terdengar keras pada Acha.

"Aku hanya mau ambil minum. Tidak tau kalau akan terjadi seperti ini." Sekali pendusta tetap saja jadi pendusta.

Air mataku sudah tak bisa tertahan lagi. Aku menangis merasakan kuah panas yang mulai merubah kulit tangan dan pahaku menjadi memerah. Vano meninggalkan segala aktifitasnya kemudian membopongku untuk bertahan dalam situasi terbakar seperti ini.

"Kak Narra saja yang tidak hati-hati. Seharusnya kan bisa menghindar. Bilang saja sengaja agar di perhatikan Kak Vano!" Sudah untuk ke berapa kalinya Acha menyerangku mengatakan hanya untuk mencari perhatian Vano. Aku muak mendengarnya. Segera ku ambil jarak untuk menjauh dari Vano.

"Aku pamit pulang." Kataku beranjak bergegas sebelum Vano menarik pergelangan tanganku. Membuatku mengurungkan niat.

"Jangan bodoh! Kamu terluka. Biar kita pulang bersama." Aku menghapus air mata yang jatuh dengan kasarnya. Pulang bersama? Aku akan jadi korban lagi?

"Kamu yang jangan bodoh, matamu buta ya? Hah?" Bentakku pada Vano dengan kedua mata menggenang.

Vano menautkan alisnya, bingung. "Apa?"

Aku menyunggingkan senyuman sinisku sekali lagi di depan pemuda tak berperasaan sepertinya. "Kamu ingin aku menjadi korban lagi? Apa sedari tadi kamu tidak sadar bahwa mantanmu itu selalu menyalahkan aku? Menganggap aku adalah orang ketiga dalam acara ini. Susah ya untuk membaca keadaan?"

"Kenapa kamu jadi membawa-bawa Acha?" Kata Vano yang kedengaran tak terima.

"Karna memang dia penyebabnya. Sudahlah. Hanya malu yang kita dapatkan jika terus berbicara. Aku ingin pulang sendiri dan jangan memaksaku untuk ikut dengan kalian." Kataku tak sanggup lagi menahan sesak sampai menangis terisak. Biar saja semua mata memandang ke arah kami. Aku sudah tidak kuat.

"Yasudah kalau itu mau kamu." Kata Vano pasrah mengikuti keinginanku.

Aku menghela nafas berat, sekali lagi aku menahan rasa sakit yang berlipat-lipat. Aku tau Vano tidak akan pernah bisa mencintaiku setulus hatinya karena karakter kami yang sulit di persatukan. Sama-sama mengedepankan ego masing-masing membuat kami selalu salah paham dengan perasaan sendiri. Di tambah sifat Vano yang selalu bersikap semaunya dan cuek dengan keadaan tentu membuat kami semakin menjadi langit dan bumi. Apa seterusnya akan begini? Apa aku harus melukai hatiku sendiri agar Vano nantinya tau bahwa dengan begitu sama saja melukai hatinya sendiri? Apa yang harus aku lakukan untuk dirimu agar mengerti sedikit tentang keadaanku, Stevano? Teriakku dalam hati di tengah perjalanan kota Bogor Sore ini.

~~~

Yaps, selamat malam readers! Hohoho.. Selamat galau malam-malam hehe... Yang insom silahkan menikmati cerita tijel ini. Jangan lupa meninggalkan jejak setelah membaca dong! Kesel liat readers yang bertambah tiap menitnya tapi voted segitu-gitu saja. Mohon kesadarannya ya... Terima kasih untuk yang sudah setia membaca dan menunggu juga voted dan comment. Sekali lagi selamat malam. Thank u very much❤

Continue Reading

You'll Also Like

30.4M 1.7M 65
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 3 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
3.4M 170K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...