Evanescent

By hanyaabualan

24.5K 2.8K 1.2K

Setelah 10 kali pertemuan, Jordan bersedia menemani Serenade tanpa paksaan orang tua yang sudah beberapa kali... More

Prolog: Kembang Api
1. Pertemuan Pertama, Pertemuan Kelima
2. Kesiapan
3. Feel Special
4. Kedekatan yang Pasti
5. Meyakinkan yang Ragu
6. Pertimbangan Lain
7. Imaji dan Realitas
8. Lamaran?
9. Tujuan yang Dinanti
10. Hari-H
11. Setelah menikah harus apa?
12. Dua Minggu dan Berlanjut
13. Sentuhan Tak Terduga
15. Prasangka Baru
16. Naif
17. Telanjur Mencinta
18. Perang Dingin
19. Menantang Maut
20. Unforgiven
21. Intuisi
22. Menyadari Keadaan
23. Tidak Gentar untuk Mundur
24. Menepi Sejenak
25. Manis yang Singkat
26. Pola yang Terulang
27. Solusi Terbaik
28. Roller Coaster
29. Garis Awal yang Berbeda
30. Seandainya
31. Cinta yang Menyiksa
32. Membebaskan
33. Babak Akhir
34. Jabatan Terakhir
35. Roda Kehidupan
Epilog: Lembar Baru
Cerita Tambahan

14. Sinyal Bahaya

507 62 23
By hanyaabualan

Jangan lupa vote dan komentarnya 💚

Biar aku makin semangat 💚

Sakit adalah hal keramat yang tidak boleh ada dalam kamus Serenade. Jatuh sedikit silakan, tetapi jika dia sampai tergeletak akibat tidak mampu bangun? Itu masalah besar! Sayang, Pemberi Kesehatan sedang tidak berpihak padanya, sebab Serenade berbaring tidak berdaya akibat demam tinggi dan menggigil di malam hari, membuat dia harus membatalkan janji merias dan terpaksa diganti Greya yang langsung bersedia.

Jadwal Serenade untuk seminggu ke depan juga sudah diganti oleh Greya semuaㅡya, hanya mereka berdua yang sanggup merias pengantin, sedangkan yang lain masih tahap belajarㅡsengaja agar wanita yang belum lama menyandang status sebagai istri itu bisa istirahat total. Selain merugikan jadwal Serenade, Jordan juga harus jadi korban karena dia tidak masuk kerja demi menjaga istrinya. Beruntung Jordan tidak ada jadwal pemotretan selama tiga hari ke depan, jadi Dewa tidak berat memberinya izin sampai Serenade pulih.

Setelah dua hari dalam kondisi drop, sepanjang hari ini kondisi Serenade sudah membaik. Wanita itu sudah mampu bangkit dan berjalan di sekitar rumah, pusing di kepalanya sudah reda, dan suhu tubuhnya sudah kembali normal. Serenade hanya tinggal mengisi tenaganya dengan asupan nutrisi yang cukup, sebab selama sakit dia jadi sulit makan dan hanya sanggup menghabiskan lima suap.

"Lagi bikin apa?"

Jordan yang sedang sibuk di dapur perlahan berbalik ketika suara parau mengajukan tanya. "Masak bubur," jawabnya seraya tersenyum dan kembali fokus menuangkan buburnya ke mangkuk. "Duduk aja. Apa mau makan di kamar? Nanti aku bawain ke sana."

"Di sini aja."

Serenade langsung mengambil posisi di tempat langganannya, lalu tidak lama Jordan datang bersama dua mangkuk bubur dengan topping komplet yang masih mengepulkan asap panas. Ah, hanya kurang sambal karena Serenade tidak boleh makan pedas.

"Eh, ngapain?" Serenade menahan Jordan yang baru saja meniup sesendok bubur dan hampir menyuapkannya pada sang istri.

"Nyuapin kamu."

"Aku bisa sendiri." Serenade berusaha meraih sendok itu, tetapi langsung dijauhkan oleh Jordan.

"Aku suapin kayak kemarin."

"Sekarang aku udah sehat. Bisa makan sendiri."

"Tapi aku tetep mau suapin. Soalnya kamu pasti ambil buburnya sedikit kalau makan sendiri."

Entah Jordan ini cenayang kelas kakap atau sekadar bicara asal, jawabannya sangat tepat sasaran karena Serenade hanya akan menyuap sedikit demi sedikit alih-alih memakannya satu sendok penuh. Seakan tidak mau dibantah, Serenade akhirnya menerima saja ketika Jordan menyuapinya. Binar mata Jordan terpancar jelas ketika suapan demi suapan berhasil dicerna oleh Serenade hingga setengah mangkuk bubur sudah habis.

"Maafin aku, ya, Jordan. Kamu jadi nggak kerja," sesal Serenade saat Jordan mengambil gilirannya untuk makan. "Padahal kamu bisa minta bantuan Ayah, lho. Ayah nggak akan masalah buat jagain aku selama sakit."

"Aku yang masalah," ucap Jordan seraya menatap Serenade yang masih sedikit pucat. "Enggak enak lah minta bantuan Ayah saat aku sendiri bisa ngurusin kamu. Aku juga bakal bersalah banget kalau ninggalin kamu, Seren. Sekarang kamu itu tanggung jawab aku, jadi sebelum orang lain tahu, aku dulu yang bertindak. Paham?"

Serenade mengangguk saja, sebab tahu sang adam tidak mau dibantah. Jordan bukan orang yang suka adu mulut, tetapi jika ini berkaitan dengan kesehatan yang membuat pria itu harus terlibat, maka dia enggan mengalah dan membuat orang yang dijaga harus menurut apa katanya. Serenade adalah tanggung jawabnya. Maka selama dia tidak perlu membuat dua keluarga terlibat, Jordan masih bisa mengatasi kesehatan Serenade sendirian.

"Sebelumnya pernah drop gini juga?" tanya Jordan yang kembali menyuapi Serenade, padahal dia sendiri baru makan beberapa sendok.

"Cuma capek biasa, terus besoknya bisa sehat lagi. Aku nggak tahu kenapa sekarang bisa drop banget sampai susah bangun."

"Itu sinyal kalau kamu harus istirahat, Seren," tutur Jordan seraya menyingkirkan anak rambut Serenade yang sedikit menghalangi wajahnya. "Setiap seminggu dua kali kamu berangkat pas orang istirahat buat ngerias, belum lagi weekday masih ada job buat yang pesta macem-macem. Terus sebelum sakit harus ngerias aktris buat acara award. Itu juga mereka minta didandanin malem. Gimana nggak drop, coba? Sebulan ini tenaga kamu diforsir banget."

"Yang lain juga capek, tapi mereka sehat," cicit Serenade yang berusaha membela diri.

"Tapi kerja malem pas weekday itu kamu doang yang ngerjain, 'kan? Makanya tenaga kamu yang paling dikuras."

Serenade menciut kala Jordan membeberkan pekerjaannya. Setiap ada job, Greya akan menawarkan Serenade dan selalu dia ambil karena merasa sanggup. Akibatnya Serenade jarang menyadari pekerjaannya yang sangat padat karena terlalu menikmati seperti biasa. Lelah pun masih bisa dia hadapi tanpa merasa kesulitan, hingga akhirnya perlu diberi sinyal bahwa tubuhnya tidak kuat dikuras untuk banyak pekerjaan.

"Kamu kayak Ayah banget ngomentarin soal kesehatan aku," seloroh Serenade yang setelah menikah pun tidak dibebaskan dari segala ocehan soal kesehatan.

"Aku bisa jadi kayak ayah kamu kalau begini lagi."

Alih-alih ngeri, Serenade justru nyengir mendengar nasihat Jordan yang sangat menyerupai Zaenal. Yah, Serenade pun tidak dapat menolak segala bentuk kepedulian yang Jordan berikan untuknya. Justru dari situ Jordan menunjukkan ketulusan yang sebelum menikah sering Serenade ragukan.

"Sampai kapan kamu mau kerja gini, Greya?"

Itu yang ditanyakan oleh Manda, maminya, yang siang ini datang ke studio untuk menemui Greya. Lagi-lagi lantai dua studio jadi saksi konversasi, tetapi kemungkinan konversasi ini tidak akan berjalan baik.

"Studio ini Greya sama Seren yang bangun, Mi. Jadi jelas bakal bertahan lama selagi masih banyak yang butuh jasa kami," papar Greya berusaha tenang selama duduk di samping Manda.

Wanita berusia setengah abad itu mengembuskan napas kasar. "Kamu jadi susah punya anak karena ini lho, Nak. Apa nggak bosen berdua terus sama Juno? Semua orang berdoa lho buat pernikahan kalian. Berarti kalian juga harus usaha."

Greya yang sejak tadi menunduk dan tidak berani membantah Manda, perlahan-lahan mengangkat pandangan untuk menyanggah maminya yang dirasa sok tahu tentang usahanya dalam pernikahan.

"Kalian cuma doain aku sama Juno punya anak? Enggak doain kami punya rumah tangga yang bahagia?"

Manda berdecak lidah. "Enggak gitu lho, Nak. Punya anak itu bisa bikin kalian bahagia."

"Aku sama Juno bahagia kok tanpa anak," tegas Greya yang tidak mau kalah. "Terus soal usaha, aku sama Juno udah rencana buat coba bayi tabung. Jadi Mami sama yang lain nggak usah khawatir."

"Gimana kalau ternyata gagal setelah ngeluarin banyak uang? Percuma, dong. Mending kamu berhenti dan fokus buat bikin anak."

Greya tersenyum masam, bahkan di saat dia membeberkan usahanya pun tidak dihargai sebesar tuntutan orang-orang padanya. Berbicara soal anak di depan orang tua adalah hal yang paling Greya benci karena ujung-ujungnya yang dia terima hanya tuntutan alih-alih dukungan. Namun, tidak ada jalan untuknya kabur selain dihadapi dengan hati yang berkali-kali dibuat hancur. Sialnya kehancuran itu datang dari keluarga, sosok terdekat yang seharusnya bisa Greya percaya untuk jadi teman berkeluh kesah.

"Mami dulu dukung kamu buat bangun karier sendiri, Greya," ucap Manda setelah menghabiskan secangkir teh yang telah Greya siapkan. "Tapi setelah nikah gini malah menghambat kamu buat punya anak, mending berhent ajㅡkamu mau ke mana?" sentak Manda ketika Greya malah berdiri sebelum beliau selesai bicara.

"Selama Juno masih ngasih izin, aku nggak akan berhenti." Greya berhenti di ambang pintu dan berbalik untuk menatap Manda. "Soal anak jadi urusan aku sama Juno berdua. Jadi, Mami nggak usah atur aku hanya karena lebih banyak pengalaman. Jujur aja, itu nggak membantu."

"Gini, dong. Enggak susah gue ajak ketemu. Walaupun harus gue yang nyamperin lo, sih."

Seno tersenyum girang karena akhirnya bisa bertemu Dewa yang sangat sulit untuk diajak tatap muka. Ada saja alasannya dan itu soal pekerjaan. Selalu berusaha mengerti, tetapi Seno lama-lama gemas karena alasan klise itu jadi sulit dia percaya.

Sejak dulu Seno memang yang paling loyal kalau soal berkawan. Mau sudah hidup masing-masing dengan kegiatan berbeda, Seno pasti menyempatkan untuk bertemu teman yang paling dekat, termasuk Jordan dan Dewa. Namun, kali ini hanya Dewa yang dia temui karenaㅡmenurut informasi yang baru dia dapat saat tiba di studio foto temannyaㅡJordan tidak masuk untuk mengurus Serenade yang sakit.

"Lagian lo ngebet banget ketemu sama gue. Pas jam makan pula," ucap Dewa sambil membawa makanan yang sudah dia panaskan di microwave. "Naksir lo sama gue?"

"Anjir. Gue udah nikah, ya."

Dewa tergelak karena Seno termakan kelakarnya. Sekarang ini mereka berada di pantry yang jadi tempat karyawan makan atau sekadar menikmati kopi pagi dan di kala break. Ada meja makan berkapasitas enam orang di dalamnya, juga dilengkapi dengan microwave, kulkas, lemari penyimpanan, dan coffee maker. Jarang sebenarnya meja makan diisi oleh karyawan karena seringnya merekaㅡtermasuk Dewa dan Jordanㅡmakan siang di luar, mau itu saat ada sesi foto di tempat lain maupun saat sedang di studio saja. Baru sekarang lagi diisi untuk makan, itu juga karena Seno datang untuk numpang makan.

"Tapi serius, deh. Di kantor lo nggak ada temen makan, apa? Belakangan ini maunya sama gue atau Jordan mulu."

"Biasanya 'kan sama Laura, tapi dia resign. Terus karyawan di sana demen banget makan siang yang mahal. Gue 'kan harus hemat buat anak, nih. Enggak kuat ngikutin gaya hidup mereka."

"Nikahan lo udah mewah banget, Sen."

"Itu 'kan masih ada sedikit bantuan orang tua, Wa," aku Seno blak-blakan. "Lo ikhlas nggak sih nemenin gue makan?"

Dewa terkekeh dan mengacungkan ibu jarinya. "Ikhlas banget, Sen. Apalagi lo yang bayarin gini. Sering-sering, ya?"

Seno berdecak, jelas Dewa selalu ada maunya. "Iya, tapi Family Mart atau Lawson aja, ya? Yang murah meriah."

Dewa mengangguk saja, sekaligus bingung sebenarnya karena Seno ini bukan orang susah, orang tuanya saja termasuk kaya dan gajinya sebagai Head of Risk tidak sedikit. Anehnya Seno makan saja masih irit, lebih suka makanan instan dari minimarket daripada ke restoran elite seperti gaya hidup rekan sejawat lainnya.

Namun, itu yang membuat Dewa dan Jordan betah berteman dengan Seno. Mereka tidak kesulitan untuk ikut-ikutan gaya hidup Seno, malah Seno yang ikut gaya hidup sederhana dua temannya.

"Minggu depan dateng ya ke acara gue. Syukuran rumah sama tujuh bulanan Laura. Awas lo kalau alesannya sibuk lagi. Gue tarik dari tempat kerjaan biar beneran dateng."

Ancaman Seno terdengar serius, jadi Dewa tidak mau macam-macam selain mengangguk dan menurut. Toh, jadwalnya minggu depan sangat lengang, jadi tanpa perlu ditarik pun Dewa akan dengan senang hati datang. Lumayan, acara syukuran akan ada makan-makan gratis yang menjadi target Dewa nanti.

"Udah berapa hari Jordan nggak masuk?" tanya Seno yang merasa aneh saat sobat jangkungnya itu tidak bergabung. "Susah banget kumpul bertiga."

"Tiga hari kurang lebih. Senin nanti juga udah bisa masuk."

Seno manggut-manggut. "Dulu pas kuliah tetep masuk walaupun sakit," katanya mengingat-ingat masa lalu. "Sekarang istri sakit langsung nggak bisa ditinggal."

Dewa terkikik. Dia juga ingat masa-masa itu dan sempat heran kala Jordan mengajukan izin beberapa hari demi Serenade. "Udah bucin istrinya dia."

Seno terbahak selepas meneguk habis air mineral di gelas. "Bagus lah bucin juga, bukan kewajiban doang jagain istri sakit. Gue kira kalau dijodohin gitu nggak akan bucin. Jadi inget deh gue pas dia bucin sama Distㅡeh, lo tahu nggak Disty udah balik? Dia sempet muncul di majalah fashion gitu. Gue juga sempet tunjukin majalahnya ke Jordan."

Dewa kontan berhenti mengunyah dan melabuhkan pandang pada Seno yang bicara tanpa dosa. Informasi yang Seno beri sudah Dewa ketahui sejak lama, apalagi sempat bertemu orangnya. Namun, yang membuatnya terkejut ketika Jordan juga jadi tahu berkat mulut Seno tidak bisa dijaga. Seno juga tampak santai dan tidak merasa bersalah, tidak pula memikirkan reaksi Jordan begitu tahu kabar tersebut.

Ah, sial. Padahal Dewa sudah mati-matian menutupi fakta kehadiran Disty, tetapi akhirnya Jordan tahu juga dari teman sendiri.

"Terus gimana reaksi Jordan?" tanya Dewa iseng.

"Biasa aja, sih. Majalahnya juga dia bawa pulang," jawab Seno sambil mengingat reaksi Jordan waktu itu. "Tapi kelihatannya nggak tahu Disty udah balik."

Begitu, ya. Dewa belum bisa menyimpulkan maksud biasa saja karena tidak melihat dengan mata kepala sendiri. Dia juga tidak bisa mengandalkan insting Seno yang kurang peka, kecuali pada Laura. Dewa tidak bisa menyalahkan Seno, jadi dia berharap Jordan di belakang sana tidak bereaksi berlebihan apalagi sampai terus mengingat orang lama.

"Astaga, Jordan!"

Serenade memekik dan mendorong Jordan pelan hingga menjauh beberapa senti darinya. Jordan tidak berbuat hal negatif, hanya saja dia membuat jantung Serenade kerepotan karena lancang mencium pipinya saat mereka belum lama turun dari motor untuk makan bersama. Sang pelaku hanya tertawa tanpa merasa bersalah, kemudian merangkum wajah Serenade yang merengut karena Jordan sudah lancang.

"Kamu bisa nggak sih kalau mau cium tuh izin dulu?" sungut Serenade yang akhirnya bisa menyuarakan keberatan setelah selama ini dia pendam.

Jordan meredakan tawanya dan menarik tangan dari wajah Serenade kala sang istri tidak bisa diajak bercanda. "Sorry, aku kira ... boleh. Soalnya 'kan kita udah nikah."

"Bukannya nggak boleh, tapi aku jadi jantungan, tahu nggak? Minimal ada aba-aba dulu gitu, jangan tiba-tiba kayak tadi."

Lega sekaligus senang Jordan rasakan saat ternyata Serenade tidak sepenuhnya melarang, hanya mengingatkan agar tidak bertindak impulsif seperti tadi dengan alasan status yang mereka miliki.

Yah, mau bagaimana? Pipi Serenade yang sering kemerahan walaupun tanpa blush terlalu menggemaskan untuk Jordan abaikan. Masih di area parkir restoran yang cukup penuh oleh kendaraan roda dua, Jordan membelai pipi Serenade yang makin merona akibat terik matahari Ibu Kota.

"Kalau aku izin, bakal dibolehin cium?"

Serenade mengulum bibir selagi matanya berkeliaran melihat sekitar karena takut ada yang menyaksikan mereka. "B-boleh," jawabnya malu-malu.

Pipi Jordan mengembang puas, lalu meraih tangan Serenade dan menggenggamnya kuat untuk beranjak menuju restoran. "Nanti aku cium lagi di rumah," ujar Jordan percaya diri.

"Aku masih agak sakit lho ini. Nanti kamu ketularan."

"Enggak apa-apa. Biar sakitnya ke aku aja," seloroh Jordan yang menggampangkan keadaan.

Serenade hanya bisa geleng-geleng pelan mendengarnya dan tidak kembali berkomentar selagi mereka berjalan sampai ke pintu depan. Masih beberapa langkah lagi tiba, tungkai Jordan berhenti mendadak saat ada suara yang memanggil namanya dengan akrab. Serenade ikut berhenti, lalu mengikuti arah pandang Jordan yang kini sudah berbalik untuk melihat sang pemilik suara di belakang mereka.

Seorang wanita yang tidak Serenade kenal, berkulit putih dengan tubuh tinggi semampaiㅡkira-kira sedagu Jordanㅡdan senyum secerah matahari siang ini. Serenade tidak mengenalnya. Namun, ketika Jordan melepas genggaman tangannya dalam satu tarikan dan bibir pria itu bergetar ketika menggumamkan satu nama, tidak lupa binar di mata yang belum pernah dilihat sebelumnya, Serenade langsung menangkap sinyal bahaya untuk rumah tangganya.

"Disty ...."

Waduh! Apakah sudah mulai konflik? Yes, bentar lagi. Tapi konfliknya santai, kok. Gak akan seberat cerita yang lain. Terus bagi yang udah baca thread Jordan-Serenade di Twitter, pasti udah ada sedikit bayangan buat chapter selanjutnya xD

Anyway, gimana puasa kalian? Semoga lancar dan masih belum bolong, ya! Kalau yang udah bolong juga gak apa-apa, jangan lupa diganti xD

Makasih udah baca. Sampai jumpa di chapter berikutnya. Have a nice day ^^

Bonus 💚

Dipublikasikan pada tanggal
9 April 2023
Pukul 18.00 WIB

Continue Reading

You'll Also Like

44.8K 7.7K 48
[SEGERA TERBIT] ACT 1 - BE YOUR ENEMY ❝Sampai kapan permusuhan ini akan berakhir?❞ Anora bukan berasal dari golongan atas, ia hanya memiliki keluarga...
46.1K 5.7K 37
Julian terlibat skandal besar dengan penyanyi terkenal, Trysta Moretz. Ia dibayar gila-gilaan tuk dijadikan kekasih bayaran Trysta karena kehamilan m...
927K 76.5K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
✅One and only By Ris

General Fiction

1.8K 169 41
[END] 5 kepala yang tinggal dalam satu atap yang sama. 5 kepala yang walaupun satu tempat, namun mempunyai kisah dan kenangan yang berbeda-beda. Wala...