.
.
Konferensi-konferensi bertajuk kemanusiaan itu, bukan menjadi tolak ukur toleransi.
.
.
***
"Surat ancaman?" gumam Arisa dengan wajah pucat.
Yunan mengangguk di hadapan istrinya. Keduanya menjelang tidur di ranjang mereka. Yunan menggenggam lembut tangan Arisa.
"Haruskah kamu pergi, sayang? Apa tidak sebaiknya rencana ke Swiss ditunda dulu?" tanya Arisa, lebih terdengar seperti memohon.
Jemari Yunan mengelus rambut sebahu Arisa. "Tidak, sayang. Aku tetap berangkat."
Arisa menundukkan kepalanya. Yunan kalau sudah memutuskan, akan tetap menjalankan keputusannya tak perduli apapun.
"Dengar, sayang. Tolong sampaikan ini juga pada Raihan dan Elaine. Jika terjadi sesuatu padaku -- tentunya aku berharap aku terhindar dari mara bahaya dan bisa pulang dengan selamat -- tapi seandainya terjadi sesuatu padaku ... aku mau kalian ridho. Ridho. Tidak perlu menuntut siapapun. Entah itu perseorangan, atau organisasi yang mencelakaiku. Aku tidak mau kalian menuntut siapapun. Paham?" kata Yunan dengan tatapan serius.
Air mata Arisa menetes. Situasi ini mengingatkannya akan kisah seorang saleh yang mengetahui dirinya hendak dibunuh. Orang saleh itu mengumpulkan seluruh keluarganya, dan berpesan jika sesuatu terjadi pada dirinya, dia ingin keluarganya rida dan tidak menuntut siapapun.
"Jangan sampai surat ancaman ini bocor ke ayahku, ibuku dan Raesha. Mereka akan makin khawatir mendengarnya," imbuh Yunan.
Arisa mengangguk dengan air mata makin berderai. Suami istri itu berpelukan erat. Semenjak kejadian di India, Yunan melarang Arisa ikut bersamanya.
"Jangan terlalu mencemaskanku. Ancaman-ancaman ini adalah bagian dari perjalanan dakwahku. Tiap-tiap orang, diberikan sesuai takarannya. Tak ada yang bisa mencelakaiku, jika Allah tidak mengizinkannya. Dan juga sebaliknya, tak ada yang sanggup kulakukan, jika Allah menetapkan diriku celaka. Do'akan saja aku. Kirimkan Al Fatihah untukku."
Arisa mengeratkan rangkulannya. Air matanya membasahi kaus yang dikenakan Yunan.
"Jika jatah dakwahku ditetapkan berakhir, aku berharap kamu dan anak-anak kita tetap hidup dan meneruskannya."
Dinginnya malam di bukit Sumatera Barat, tak kentara melawan hangatnya pelukan mereka, seolah pelukan itu adalah pelukan terakhir mereka.
.
.
"Ada koper lain lagi, Syeikh?" tanya Mahzar pada Yunan.
Dua orang pemuda yang usianya dua puluh-an awal, nampak sibuk memasuk-masukkan barang ke dalam mobil. Mereka adalah Henry dan Dahlan. Lulusan pesantren yang dikelola Ustaz Umar. Begitu mendengar berita Yunan nyaris jadi korban penembakan di New Delhi, Ustaz Umar mengadakan rapat tertutup dengan beberapa orang alumnus pesantren, dan mereka sepakat untuk mengirimkan dua orang perwakilan pesantren untuk berkhidmah seperti yang dilakukan Mahzar. Pertimbangan mereka, dikawal tiga orang, insyaallah akan lebih baik ketimbang Mahzar menghadapi semuanya sendirian.
"Sudah semua, Mahzar. Kita berangkat sebentar lagi. Bilang sama Henry dan Dahlan, kalau mau, mereka bisa ke hammam (toilet) dulu, sebelum kita berangkat," jawab Yunan sambil memasukkan ponsel ke kantung jaketnya.
"Kheir, Syeikh," sahut Mahzar patuh.
Arisa berdiri di luar pintu rumahnya. Meremas tangannya sendiri. Kepergian suaminya kali ini, terasa berbeda dari yang sudah-sudah.
"Sayang, hati-hati," ucap Arisa sambil menggenggam tangan suaminya. Arisa sebenarnya meminta ikut serta, tapi tentu saja Yunan melarangnya. Mengingat kejadian di India, lalu sekarang ada surat ancaman pula, sebaiknya dia tidak membawa keluarganya ikut. Terlalu beresiko.
"Iya, sayang." Yunan mengecup kening istrinya yang mengantar kepergiannya. Semenjak kejadian di India, Yunan jadi lebih menghargai momen perpisahan. Kadang, sesuatu yang kita pikir perpisahan sementara, ternyata adalah kehilangan selamanya.
Zhafran berdiri di samping mobil taft yang akan membawa Yunan beserta rombongan menuju bandara.
"Afwan merepotkanmu terus, Zhafran. Saya titip majelis," kata Yunan.
Zhafran merangkul Yunan. "Jangan terus-menerus minta maaf, Syeikh. Ini memang tugas saya."
"Saya terus memantau dari sini. Jika saya tahu sesuatu, saya akan beritahu Syeikh," kali ini Zhafran berbisik di samping telinga Yunan. Melalui sorot mata, keduanya sama-sama memahami. Agaknya Zhafran merasakan sesuatu akan datang padanya. Tidak sekali dua kali, Zhafran menjadi perpanjangan tangan untuk hal mendesak yang kemudian disampaikannya pada Yunan.
Dari segi ilmu, Yunan mungkin tahu lebih banyak ketimbang Zhafran, tapi Zhafran diyakini Yunan lebih 'lurus' dalam mempraktekkan ilmunya. Dan itulah mengapa, Zhafran ada di sini, diminta langsung oleh Syeikh Abdullah untuk mendampingi Yunan.
.
.
Sehari kemudian ...
Yunan terlelap di kamar hotel yang lokasinya dekat dengan bandara internasional Dubai DXB. Pesawatnya transit beberapa jam di Dubai. Tiga orang yang mengawal Yunan, memilih tidur di kamar sebelah. Merasa segan sekamar dengan Yunan. Mereka hanya punya waktu istirahat singkat, sebelum lanjut terbang ke bandara Geneva, atau yang biasa dikenal dengan bandara Cointrin.
Lampu utama dimatikan, hanya lampu meja temaram menerangi wajah Yunan yang lelah.
Syeikh.
Alis Yunan berkerut. Di alam mimpi, dia berada di antara kabut pekat dalam gelap. Melihat sekeliling namun tak menemukan siapapun.
Syeikh!
Kali ini tepukan di pundak, membuat Yunan menoleh ke belakang. Zhafran, pria berdarah Arab yang lebih tinggi darinya, menatapnya dengan iris mata menyala hijau. Cincin di tangannya juga mengeluarkan sinar kehijauan. Hanya dalam mimpi, Yunan bisa melihat Zhafran seperti ini. Zhafran dan cincin mata sembilannya, seolah melebur menjadi satu, hingga energi cincin, mengalir dalam diri Zhafran dan terpancar di sorot matanya.
"Ada apa, Zhafran?" tanya Yunan. Jika Zhafran sampai mendatangi mimpinya, itu artinya ada masalah. Yunan tentunya masih ingat saat gangguan jin datang kala itu, saat dia dan Raesha bertemu di rumah Yoga.
"Ada pesan dari Syeikh Abdullah. Hati-hati dengan piramid."
Kening Yunan berkerut. "Piramid?" gumamnya. Dia tahu Syeikh Abdullah memang seperti itu. Jika memberi pesan, seringkali disampaikan dengan bahasa yang tidak langsung, dengan makna yang samar.
Mata Yunan terbuka. Dia memeriksa petunjuk waktu di ponsel. Sudah masuk Subuh. Yang artinya, dia melewatkan tahajud. Terkadang itu terjadi, di saat tubuhnya kelelahan. Segera Yunan mengambil wudu' dan salat Subuh. Langsung mandi dan bersiap selepas zikir, sebelum bertemu dengan rombongannya di restoran hotel untuk sarapan. Belum banyak pengunjung di sana.
Roti Arab dipotong oleh Yunan dengan pisau di tangan kanannya. Sambil menyantap hidangan Timur Tengah yang mirip pancake itu, pikiran Yunan mengembara, teringat mimpinya semalam. Syeikh Abdullah selalu senang main tebak-tebakan. Entah apa yang dimaksud dengan piramid. Mungkin Yunan akan memahaminya sendiri nanti. Biasanya sih begitu.
"Syeikh," panggil Mahzar.
Yunan menoleh ke samping. Dilihatnya salad buah sudah habis disantap Mahzar.
"Ya, Mahzar?" sahut Yunan tersenyum.
Mahzar terlihat malu. Dia merasa hatinya bergejolak, tiap kali namanya disebut oleh Yunan. Sensasi menyenangkan ini, dulu sekali, dia rasakan saat melayani Syeikh Abdullah. Rupanya sensasi itu kini menurun ke penerus beliau.
"Saya berpikir, bagaimana kalau untuk meminimalisir resiko, kita minta pada panitia acara, untuk memeriksa ketat semua peserta pertemuan besok," usul Mahzar dengan suara mantap.
Yunan berhenti mengunyah makanannya.
"Ide bagus itu, Syeikh! Jadi seandainya ada pengunjung yang membawa benda tajam atau pistol, mereka bisa dicegah masuk sejak awal!" sahut Dahlan, pemuda berambut ikal yang lebih muda lima tahun dari Mahzar.
"Betul, Syeikh! Malah, mereka bisa ditangkap sebelum mereka sempat melancarkan aksinya!" Henry ikut menimpali dengan antusias.
Yunan tersenyum, menelan sisa makanan di kerongkongannya, lalu menggelengkan kepala.
"Tidak. Kita tidak akan melakukan itu," putus Yunan.
"Kenapa, Syeikh? Bukankah itu bisa jadi cara yang efektif untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan, seperti peristiwa teror di India waktu itu?" tanya Mahzar kecewa.
"Karena, kita ke sana untuk mengenalkan Islam yang damai pada mereka. Jika kita memeriksa mereka sedemikian rupa, mereka akan merasa kita mencurigai mereka. Tidak sepantasnya kita seperti itu, pada tamu-tamunya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam."
Ketiga pengawal Yunan, kini terkejut raut mukanya setelah mendengar jawaban Yunan.
"Mereka ingin mengenal Islam lebih dekat. Sekiranya Nabi Muhammad masih hidup di dunia, beliau tidak akan membuat tamu-tamunya merasa tidak nyaman," lanjut Yunan, menyadari bahwa Mahzar, Henry dan Dahlan sepertinya masih memerlukan penjelasan.
"Jangan khawatir. Allah akan melindungi kita, insyaallah. Jikapun kita harus bersikap waspada, kewaspadaan itu bukanlah sesuatu yang akan menciptakan rasa tidak nyaman." Yunan kembali tersenyum saat mengatakannya, senyum yang membuat ketiga teman jalannya merasa lebih tenang.
.
.
Keesokan harinya ...
Setelah perjalanan panjang dan melelahkan dengan pesawat, Yunan dan rombongan akhirnya tiba di bandara Geneva, Swiss.
Baru datang, Yunan sudah menemukan simbol wanita bercadar yang dicoret. Sebuah penjelasan ditulis dengan bahasa Inggris dan bahasa Jerman, di bawah poster itu. Rupanya, pemerintah Swiss secara resmi telah melarang penggunaan cadar di negara mereka. Hal ini menambah deretan alasan mengapa Yunan melarang istrinya untuk ikut serta. Bisa jadi, akan ada permasalahan pelik dengan staf bandara, jika Yunan nekat membawa Arisa bersamanya. Syukurlah Arisa tidak ikut.
"Saya kira, negara ini lebih toleran, karena ... setahu saya, banyak konferensi kemanusiaan internasional, digelar di sini. Bukan begitu, Syeikh?" bisik Mahzar yang berjalan di samping Yunan sambil menyeret koper.
"Konferensi-konferensi bertajuk kemanusiaan itu, bukan menjadi tolak ukur toleransi, Mahzar. Biar saja. Tiap-tiap negara punya aturannya. Kita harus fleksibel. Selama kita tetap bisa menjalankan syari'at-syari'at yang wajib, kita ikuti saja aturan mereka. Tapi jika sejak awal kita merasa nilai-nilai mereka terlalu timpang dengan nilai yang kita rasa benar, maka tinggalkan saja dan pilih untuk tinggal di tempat yang menghargai nilai-nilai kita. Lagi pula, kunjungan kita ini 'kan hanya kunjungan singkat saja. Tidak masalah. Beragama semestinya tidak perlu dibuat rumit."
Mahzar diam-diam mengagumi jawaban santai Yunan itu. Tak lama, mereka tiba di pemeriksaan paspor.
"Yunan Lham?" tanya seorang petugas bandara, seorang pria bertubuh tinggi dengan rambut dan alis cokelat. Manik mata cokelatnya menatap tajam ke arah Yunan.
Yunan melepas kacamata hitam sambil melempar senyum ramah. "Yes," jawab Yunan.
"From Indonesia?" tanya petugas itu lagi.
"Yes. Tourist from Indonesia, Sir."
Petugas itu memerhatikan penampilan santai Yunan, dengan jaket kulit cokelat dan celana jins.
"Okay. Have a nice vacation, Sir," ucap pria itu yang kini sorot matanya berubah ramah.
"Thanks," sahut Yunan bergerak maju agar Mahzar bergiliran diperiksa.
Mahzar tak banyak ditanya-tanya, tapi Henry dan Dahlan agak lama diperiksa. Entah ada hubungannya atau tidak, tapi kedua pengawal Yunan itu, memakai baju koko yang agak panjang, serta peci putih.
"Pardon, Sir. Is there any problem? They're with me. They're my friends," kata Yunan menghampiri sang petugas.
"Oh is that so? Well then, pardon, Sir. Please," petugas itu membungkuk sopan sambil memberi isyarat pada Henry dan Dahlan untuk melewati pos pemeriksaan.
Mahzar, Henry dan Dahlan, saling tatap sambil cekikikan. Pemeriksaan di bandara bisa berbeda hasilnya, tergantung penampilan. Mereka merasa lucu sekaligus kagum, melihat Yunan yang berjalan dan berpakaian sangat kasual, mengingat tujuan mereka kemari. Ditambah, bukankah Yunan jelas-jelas mendapat surat kaleng berupa ancaman pembunuhan? Dan lagi, ini pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di Swiss. Bagaimana Yunan bisa begitu santai, seolah negeri ini biasa saja untuknya, seperti negara-negara lain yang dikunjunginya hanya karena ada sekelompok orang yang mengundangnya untuk memperkenalkan Islam.
Alih-alih hendak berdakwah, gaya Yunan tak ubahnya turis yang hendak berlibur saja.
.
.
***