.
.
"Saya sangat mengerti, pastinya tidak mudah menahan diri. Tapi memang demikianlah cobaan orang beriman."
.
.
***
"Tante duduk di depan?" tanya Elaine bingung, saat melihat Haya membuka pintu depan mobil, di samping supir.
"Iya. Aku sebenernya suka duduk di depan," kata Haya beralasan sambil tersenyum manis.
"Oh," gumam Elaine yang gugup, berdiri di samping Adli.
Adli membukakan pintu belakang dan membiarkan Elaine masuk mobil lebih dulu darinya. Rasa Adli bagai melayang saking bahagia. Akhirnya kesampaian juga membukakan pintu untuk Elaine, perlakuan a la tuan puteri yang biasa dilakukan Ayahnya kepada Erika. Romantis sangat, menurut Adli, ungkapan cinta Yoga pada Erika. Meski bukan pengantin baru, tapi gregetnya masih dapet. Kadang Adli dan Haya baper melihat keromantisan orang tua mereka. Yoga mencintai ibu mereka sepenuh jiwa raga. Memaklumi banyak kekurangannya. Meski ada saja yang mereka ributkan tiap harinya, tapi Yoga selalu memperbaiki suasana di akhir hari menjelang tidur. Ikatan mereka, adalah love goal Adli dan Haya. Kelak jika memiliki pasangan hidup, mereka mengharapkan hubungan romantis semacam itu.
Pintu belakang mobil tertutup. Mobil mereka berjalan keluar dari gerbang rumah. Adli dan Elaine duduk berdampingan, salah tingkah. Jemari Elaine meremas rok seragamnya. Merasakan hawa panas dari tubuhnya, yang dia sendiri tak mengerti kenapa.
Adli menoleh keluar kaca mobil. Mengatur napas, sebab jantungnya berisik sejak membukakan pintu untuk Elaine, hingga detik ini saat Elaine duduk di sampingnya. Waktu mereka bertemu di tempat suluk, tegangnya berbeda. Tidak sampai seperti ini.
Tidak boleh! Aku tidak boleh terlalu kentara kalau naksir dia! Elaine akan menganggapku aneh, kalau sampai tahu kalau aku, Om-nya ...
Haya nyaris tertawa di depan. Dia sengaja memilih duduk di depan. Ingin memberi ruang untuk kakaknya dan Elaine. Mana tahu 'kan, bibit-bibit cinta di antara mereka bisa bertumbuh sedari sekarang, lalu kelak keduanya berjodoh?
"Gimana hari pertamamu di madrasah kemarin, Elaine?" tanya Adli memecah hening. Adli memutuskan membuka percakapan, untuk mengurangi rasa gugupnya.
"Alhamdulillah lancar, Om. Aku suka suasana kelasnya. Teman-temanku baik-baik semua. Tante Raesha, Om Ilyasa, Ismail dan Ishaq, semua menyambutku. Tante Haya mengajakku berkeliling. Kami makan bersama di kantin. Di kantin makanannya ada macam-macam. Aku cocok sama rasanya. Aku betah. Eh --," Elaine menutup mulutnya. "Maaf. Aku terlalu cerewet, ya," kata Elaine malu. Entah mengapa, kalau di hadapan Om Adli, dia selalu ingin nampak sempurna. Takut kalau Om Adli melihat kekurangannya.
Adli tertawa renyah. "Enggak, kok. Kalau kamu yang cerewet, Om seneng liatnya."
Di depan, Haya mencibir. Halah. Giliran Elaine yang bawel, kakaknya gak protes. Giliran dia yang bawel, dihina macam-macam. Dasar bucin!
"Syukurlah kalau kamu suka sama madrasahmu. Apa yang kamu suka, Om juga suka. Suka banget," kata Adli dengan sorot mata penuh kelembutan.
Muka Elaine merah merata. Kenapa Om Adli menatapnya seperti itu? Jadi merinding tubuhnya.
Haya menatap ke jalanan di depannya, dengan ekspresi datar. Dasar Kakak playboy cap kapak! misuhnya dalam hati.
.
.
Ilyasa keluar dari kamar mandi. Dilihatnya di depan meja rias, istrinya yang cantik sedang memulas wajahnya dengan bedak tabur tipis, lalu mengoleskan lip gloss.
"Sayang," panggil Ilyasa.
"Ya?" Raesha memutar tubuhnya hingga menghadap suaminya.
"Kamu bilang, kemarin sempat ketemu Kak Yunan?" tanya Ilyasa. Sudah bertahun-tahun padahal, tapi rasa cemburu ini masih menyesakkan dadanya, tiap kali tak bisa mengelak dan harus menyebut nama itu. Kak Yunan. Nama yang dia yakin masih bersemayam di hati istrinya.
"Iya. Kak Yunan kelihatan sehat, alhamdulillah. Aku nawarin Kak Yunan untuk mampir dulu ke madrasah dan ketemu sama kamu, Ismail dan Ishaq, tapi Kakak bilang, dia harus buru-buru pulang karena mau menyiapkan bahan untuk pertemuan di India besok," jelas Raesha dengan wajah ceria.
Ilyasa duduk di tepi ranjang, masih mengenakan jubah mandinya. Kepalanya tertunduk.
"Kak Yunan bilang apa lagi?"
Senyum Raesha meredup. Apa yang dimaksud suaminya? Tentu saja, Raesha tak mungkin bicara semuanya, sebab Ilyasa mungkin akan cemburu yang tak perlu. Meski Yunan kemarin seperti ingin berkata sayang padanya, tapi Raesha pikir, sayang yang dimaksud Kak Yunan, bukanlah sayang seperti yang ada di pikiran suaminya.
"Gak bilang apa-apa lagi, sih. Cuman bilang titip Elaine," jawab Raesha dengan senyum yang diharapnya terlihat alami di mata Ilyasa.
Ilyasa hanya mengangguk sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Kamu senang?"
Raesha yang sudah kembali menghadap ke cermin, terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Maksudmu gimana, sayang?" tanya Raesha ragu.
"Kamu senang ketemu Kak Yunan?" ulang Ilyasa, sambil menatap Raesha dari celah poninya yang masih basah.
Raesha menelan saliva. "I-Iya tentu saja aku senang, sebagai adik yang sudah lama gak ketemu kakaknya. Maksudku, karena ada hal-hal gaib itu, aku dan Kak Yunan sudah bertahun-tahun tidak bisa bertemu."
"Hanya itu?"
Hening terasa mencekam, setidaknya bagi Raesha.
"Iya hanya itu. Kamu kenapa, sayang?" tanya Raesha dengan suara lembut. Ia berdiri dan menghampiri suaminya.
Raesha terkejut saat tangannya ditarik paksa hingga tubuhnya menimpa Ilyasa di ranjang.
"Kamu gak bohong, 'kan?"
Raesha bergidik saat melihat sorot mata Ilyasa nampak dingin, tak seperti biasanya.
"E-Enggak. Aku gak bohong," tenggorokan Raesha terasa tercekat. Kenapa dia begini? Bukankah dia memang tidak bohong? Perasaannya pada Kak Yunan, sudah lama --
Raesha membuka matanya lebih lebar, saat ia dicium paksa. Ilyasa menautkan ciuman itu lebih dalam dari biasanya.
"Ah!" Raesha menjerit saat menyadari bibirnya tergigit.
"Maaf, sayang. Aku gak sengaja," ucap Ilyasa dengan tangan mengusap darah di bibir istrinya. Ia bangkit dan mencari obat luka.
"Tahan dulu. Sebentar," kata Ilyasa membawakan obat luka dan mengobati bibir istrinya.
"Maaf. Maafin aku," Ilyasa melingkarkan tangannya di pinggang Raesha.
Debaran jantung Raesha masih bertalu. Apa yang barusan terjadi? Ilyasa belum pernah kasar padanya sebelumnya. Dia bilang tidak sengaja. Dia pasti benar-benar tidak sengaja, 'kan?
Ilyasa masih memeluk Raesha. Dia mengenal istrinya luar dalam. Tahu persis, bahwa Raesha menyembunyikan sesuatu. Kak Yunan pasti berkata sesuatu yang lain pada Raesha kemarin. Dia percaya Kak Yunan dan istrinya tak akan main gila atau berlaku aneh-aneh yang melanggar syari'at, tapi bagaimanapun, percikan cinta itu pasti ada, dan meletup di detik pertemuan mereka setelah lama tak jumpa. Cinta itu dibalut oleh sejarah hubungan kakak-adik mereka selama bertahun-tahun, dimana Kak Yunan merawat Raesha bukan hanya seperti seorang kakak pada adiknya, tapi bagai ayah pada putrinya sendiri. Dan karenanya, Ilyasa merasa dirinya tak punya hak untuk marah, atau melarang keduanya bertemu. Ilyasa benci itu! Benci!
Rangkulan Ilyasa makin erat.
Kamu bohong! Mau sampai kapan kamu membohongiku??
Tapi lantas, jika Raesha jujur, Ilyasa tahu persis, hatinya tak akan sanggup menerimanya. Lalu bagaimana sebaiknya? Apakah kebohongan sepanjang pernikahan mereka adalah lebih baik?
.
.
Dua hari berselang ...
Siang yang panas di New Delhi, India. Tiga puluh satu derajat celcius. Sinar mentari terik menyinari bangunan blok-blok kotak berlapis batu bata ekspos. Di sebuah ruang konferensi di gedung pertemuan India Habitat Centre, sedang berlangsung pertemuan ulama Islam seluruh dunia. Yunan Lham, adalah salah satu pesertanya. Ruang pertemuan itu berbentuk segi delapan, dengan warna hijau mendominasi kursi dan dindingnya.
Dua hari yang lalu, Yunan berangkat dari bandara Soekarno Hatta siang hari. Sempat transit di bandara Kuala Lumpur, sebelum tiba di bandara Delhi. Undangan ini termasuk mendadak. Untungnya, tak perlu mengurus visa dari jauh hari. Sebab ada voa (visa on arrival) yang hanya memerlukan waktu sehari saja untuk mengurus visa.
Seorang ulama tuan rumah, sedang berbicara di depan panggung dengan bahasa Arab. Tangan Yunan sibuk mencatat di buku.
"Walan nadeu alshaykh Yunan Lham min 'iindunisia liltaebir ean fi hadha almuntadaa." (dan sekarang kami persilakan Syeikh Yunan Lham dari Indonesia untuk menyampaikan pendapatnya dalam forum ini)
Yunan berdiri dan membungkuk hormat seraya menyentuh dada kirinya, pada dua orang rekan ulama yang lebih tua darinya, yang duduk di sampingnya, penghormatan sekaligus meminta izin untuk turun ke panggung di depan.
"Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh," ucap Yunan memberi salam.
Para peserta pertemuan, membalas salamnya. Setelah mengucap shalawat, Yunan memulai paparannya dalam bahasa Arab.
"Kita mengucap syukur alhamdulillah, karena kondisi umat muslim di India saat ini, jauh lebih baik ketimbang dua tahun yang lalu, saat kerusuhan pecah antara umat muslim dengan umat Hindu sebagai agama mayoritas di India.
Kita tidak melupakan sejarah berdarah saat Inggris di akhir masa penjajahannya di India, memutuskan pemisah wilayah antara umat muslim dan umat Hindu, sehingga terbentuklah negara Pakistan. Ramai umat muslim pindah ke Pakistan kala itu. Dan umat Hindu pindah ke India. Suasana sangat kacau. Gerbong-gerbong kereta yang mengangkut para penumpang yang hendak pindah wilayah, penuh dengan darah. Mayat-mayat dibuang ke jalanan. Sangat mengerikan.
Sebagian umat muslim memutuskan tetap tinggal di India. Namun kemudian hingga kini, ada saja konflik-konflik yang terjadi antara umat muslim dengan umat mayoritas di India.
Menyikapi hal ini, dengan segala kerendahan hati, saya ingin mengingatkan para ulama tuan rumah, jika suatu saat konflik terjadi lagi -- yang mana tak ada satupun dari kita yang mengharapkannya -- saya bisa memahami perasaan umat muslim di sini, sebagai umat minoritas, yang terluka hatinya saat ada keluarganya yang menjadi korban konflik, baik korban nyawa maupun korban luka-luka. Atau terluka hatinya saat al Qur'an dan Nabi Muhammad ﷺ dihina.
Saya yakin, tak ada satupun muslim yang rela, saat Allah, al Qur'an dan Nabi Muhammad ﷺ dinistakan. Bahkan muslim yang masih fasik dan masih terjerumus dalam maksiat sekalipun, tak rela jika agamanya dihina. Kami turut merasakan luka yang kalian rasakan. Tapi sebagai bagian dari ulama, tali penyambung ilmu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ , kita tetap harus berpikir tenang, dan berusaha menenangkan umat, bukan malah memperkeruh suasana. Pikirkan saudara-saudara muslim kita di tempat lainnya, dalam kasus ini adalah umat muslim di India, yang berada di luar area terdampak konflik. Karena yang nampak di media, tidak menggambarkan kondisi keseluruhan umat muslim di India, namun sebagian kecil saja. Jika umat muslim yang mengalami konflik kemudian membalaskan dendam mereka, itu bisa memicu aksi balasan lainnya, yang akhirnya bisa berdampak pada seluruh umat muslim India, bahkan juga di belahan dunia lain.
Saya sangat mengerti, pastinya tidak mudah menahan diri. Tapi memang demikianlah cobaan orang beriman."
Beberapa ulama tuan rumah nampak berkaca-kaca matanya, mendengar paparan Yunan yang membawa ingatan mereka pada sekian banyak tragedi berdarah. Saat terjadi seruan pembunuhan terhadap umat muslim di India, banyak muslim yang diburu. Ada para muslim yang bersembunyi di rumah orang-orang Hindu, tetangga mereka yang merasa iba dan berusaha menyelamatkan nyawa mereka. Suasana sangat mencekam kala itu. Belum lagi pedihnya perasaan mereka tiap kali harus menelan bulat-bulat segala penghinaan terhadap Islam. Sangat menyakitkan.
"Tanpa menafikkan kemungkinan akan adanya pihak-pihak yang sengaja memancing amarah umat muslim di India dan negara lainnya di dunia, kita harus ingat bahwa sehebat apapun makar manusia, makarnya Allah adalah Maha Dahsyat. Semoga Allah anugerahkan pada kita, kejernihan hati dan pikiran, sehingga kita bisa membimbing umat dalam meneladani Nabi Muhammad ﷺ dalam situasi apapun kita berada."
Orang-orang mengaminkan, sebelum Yunan membaca shalawat dan salam. Setelah pertemuan usai, Yunan keluar ruangan. Orang-orang hendak mencium tangannya, namun ia menolak dengan halus. Yunan disambut oleh Mahzar yang sedari tadi menunggu di koridor.
"Sudah selesai, Syeikh?" tanya Mahzar saat berdiri dari duduknya.
"Sudah. Kita kembali ke hotel," jawab Yunan tersenyum.
Mereka berjalan menuju lift. Ramai berpapasan dengan beberapa ulama dan staf gedung. Mendadak di belokan menuju lift, Yunan merasa seseorang mengintainya.
"Belok ke kiri, Mahzar," kata Yunan tiba-tiba.
"T-Tapi, liftnya sebelah sana, Syeikh," ucap Mahzar bingung.
"Tak apa. Kita ambil jalan memutar."
"Baik, Syeikh," Mahzar manut meski tak paham alasan Yunan mengambil jalan yang lebih jauh.
Yunan melirik melalui ekor mata. Benar. Ada yang menguntitnya. Berapa orang? Mata Yunan memejam. Dia bisa mendengar langkah kakinya, Mahzar, orang-orang di sekitarnya, lalu ada langkah kaki orang-orang itu. Ada tiga orang di belakang. Hawa kebencian yang menusuk, terendus oleh Yunan.
Satu diantara tiga orang itu, merogoh sesuatu di pinggangnya.
Yunan mendorong Mahzar hingga mereka berdua terjerembab di lantai, tepat saat suara desingan peluru terdengar keras menghantam dinding di dekat keduanya.
Semua orang berlarian. Mahzar menatap Yunan, kini paham mengapa Yunan bertingkah aneh. Tiga orang pria berkacamata dan berjaket hitam, kabur. Salah satunya terlihat memasukkan pistol ke pinggangnya. Dua orang petugas keamanan mengejar mereka.
"Ayo cepat ke mobil, Syeikh!" jerit Mahzar yang menyadari adanya kemungkinan serangan kedua. Mahzar merangkul Yunan sambil berlari menunduk dengan mata liar mengecek tiap sudut koridor. Orang-orang masih berlarian ketakutan ke luar gedung.
Mahzar menekan tombol lift dan mengecek isi lift sebelum mereka masuk ke dalamnya. Tak lama, mereka tiba di parkiran.
"Tunggu di sini, Syeikh! Saya akan tangkap orang itu!" kata Mahzar.
"Mahzar!" panggil Yunan, namun terlambat. Mahzar sudah lari menjauh.
Meski sudah tahu diincar sejak tadi, dada Yunan tetap bergemuruh. Seumur hidup, baru kali ini, percobaan pembunuhan dialamatkan padanya.
Karena apa? Karena dirinya berdakwah?
.
.
***