Win-Ka-Win

By diaparamita

1M 148K 15.1K

Win, kawin! Winka Winata terjebak dalam dilema ketika harus memilih antara kawin dengan pria pilihan bapaknya... More

1. Masih Harus Sepupuan
2. Misteri Mahasiswi Yang Bikin Gagal Move On
3. Spesies Manusia Kelainan
4. Sesuatu Yang Nggak Pernah Terduga Sebelumnya
5. Gadis Eksentrik Berambut Aneh
6. Pemikiran-Pemikiran Yang Tiba-Tiba Datang
7. Dia Nyeleneh, Tapi Baik
8.1 Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?
8.2. Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?
9. Pembicaraan Dua Orang Dewasa
10. Modus Pria Matang
11. Bagi Denganku, Jangan Dengan Orang Lain
PO Pesona Rasa Toko Buku Online, Shopee, dan Tokopedia
12. Seseorang Yang Saya Usahakan Sebagai Saya
13. Perasaan Manusia, Memangnya Bisa Ditebak?
14. Diputuskan
15. Kalau Minta Restu Itu Mudah
16. Lamaran
17. Seni Menahan Diri
18. Saya Berhak
19. Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 1
19. 2 Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 2
POV GALIH 1 - Satu Tahun Sebelum Hari Ini: Risau
Pesona Rasa After Marriage
20. Winkanya
POV Galih 2 - Mulai Bisa Menebak
Bab 21 dan Baca Duluan
21. Tujuan Hidup: Berada di Sisinya
22. Hari Ketika Aku Mengecewakanmu Kembali
23. Win, Please!
25. Sibling
26. Tanpa Terkecuali
Menjemput Pesona Rasa
27. Malapetaka (Part 1)
27. Malapetaka (Part 2)
28. Tidak Sadar
29. Kenapa Nggak Coba Kenalan Dulu?
30. Gemes Banget Calon Bapak-Bapak
31. Timbal Balik
Wedding Invitation
32. Cara Laki-Laki Bertransaksi
33. Adalah Takdir (Part 1)
34. Kontroversial
35. Menemukan Kedamaian
36. Cinta Pertama dan Patah Hati Pertama
37. Renata Dwita (1)

24. Win Ka Win

12.2K 1.9K 139
By diaparamita

Hayo lo, minggu2 mau jalan sama siape? 🤣

24. Win Ka Win

Apa yang ditakutkan Galih akhirnya terjadi. Setelah empat puluh delapan jam, Bram Winata dinaikkan statusnya dari saksi menjadi tersangka. Pria itu terlihat menggunakan rompi berwarna orange saat digelandang masuk ke dalam gedung KPK untuk dimasukkan ke dalam sel tahanan.

Bram tertunduk dan bungkam saat dikerubungi oleh awak wartawan. Kasus suap yang melibatkannya seketika menjadi santapan nasional karena melibatkan seorang anggota DPR yang juga berstatus sebagai artis komedi. Kasus ini tidak hanya disiarkan pada acara berita, tetapi juga sejumlah acara gosip. Nama Bram Winata semakin mencuri perhatian saat skandal perselingkuhannya juga ikut dinaikkan kembali oleh infotaimen. Hal ini karena karir masa lalu Marina yang sempat menjadi foto model dan memenangkan kontes kecantikan salah satu majalah terkenal ibu kota.

Galih mengamati Winka yang duduk bersisian dengan Adrian. Mereka sedang menunggu izin untuk membesuk Bram. Pria itu berjalan mendekati keduanya. Winka mendongak, lantas gadis itu memberi isyarat untuk duduk di sebelahnya.

"Surya sedang mengurus izinnya." Galih mengamati Winka dengan seksama. Mencoba mencari tanda-tanda kesedihan gadis itu. Mata lelah dan helaan nafas berat cukup membuat pria itu mengulurkan tangan untuk menggenggan jemari Winka. Gadis itu menerima dengan senang hati, lantas mengambil kesempatan untuk bersandar sejenak. "Udah hampir sejam, tapi kami masih belum bisa jenguk Papa."

"Nggak apa-apa. Kita masih bisa nunggu," kata Galih menenangkan.

"Kemarin pemeriksaannya hampir dua puluh empat jam." Adrian terlihat tenang, tetapi dari sorot matanya, Galih tahu kalau pria itu sebenarnya cemas. "Saya sudah berdiskusi dengan Mas Surya, kemungkinan penangguhan penahanan nggak bisa diajukan."

Galih mengerti. "Kita ikuti saja proses penyidikannya. Masih banyak kemungkinan sebelum putusan pengadilan diberikan."

Surya kembali setelah mengurus izin. "Kalian mengisi formulir dulu sebelum diizinkan menjenguk Om Bram."

"Ayo, Mbak!" Adrian menggandeng tangan Winka.

Surya duduk di sebelah Galih setelah memastikan Winka dan Adrian menuju tempat yang benar.

"Ada dua kemungkinan dalam kasus ini." Surya membuka percakapan. "Om Bram memang sedang apes atau," Dia menatap Galih. "orang dalam sengaja membocorkan data."

Galih menatap Surya lekat-lekat. "Kamu sudah tahu siapa pelakunya."

"Tidak sulit untuk menebak. Rapat RUPS sebentar lagi dan kita tahu siapa yang paling diuntungkan dengan penangkapan Om Bram."

"Kalau Winka tahu, dia akan sangat hancur."

"Yang harus dilakukan sekarang adalah mengumpulkan barang bukti. Penyidik sudah mengantongi bukti kuat untuk menjebloskan Om Bram. Kalau sampai itu terjadi kedudukan Winka dan Adrian di perusahaan juga akan terancam."

"Lalu apa yang akan kamu lakukan?"

"Membalikkan keadaan."

"Memasukkan pengerat ke dalam perangkap?"

"Membuat kedudukan seimbang dan mengamankan posisi Adrian serta Winka."

#

"Jadi, aku dulu sering makan di situ. Baksonya enak banget, Pak Gal. Padat, banyak uratnya, royal sekali soal tetelan, dan beuh... kuahnya ngaldu amat. Duh, ngiler! Apalagi sambelnya... hmmm... nggak bakalan berhenti kalau udah nyoba."

Galih tertawa sambil tetap fokus mengemudikan mobilnya. "Kamu ngajakin koleterol terus." Sejujurnya Galih tidak benar-benar rmengeluh. Dia menikmati setiap makanan yang ia santap dengan Winka. Gadis itu sungguh sangat terbuka dengan berbagai macam hidangan. Poin yang paling menyenangkan, Winka Winata tidak pernah mengatakan "terserah", jika ditanya ingin makan apa. Gadis itu memiliki stok tidak terbatas untuk menikmati makanan yang ia suka.

"Tapi, nggak yakin kalau kita bakal dapat tempat. Biasanya jam pulang kerja sampai menjelang malam begini tempatnya ramai banget." Winka agak khawatir.

"Kalau nggak dapat tempat, makan di mobil saja." Galih membelokkan mobilnya untuk menuju lokasi warung bakso incaran Winka.

"Waduh, parkira mobilnya ngeri. Tuh kan, alamat antri banyak beneran." Winka agak menyerah, ngeri ketika melihat deretan mobil yang terparkir di depan warung tenda tersebut.

"Justru yang bikin enak itu karena antrinya." Galih menyemangati sembari mencari tempat parkir.

"Karena antri lama jadinya lapar, sebab lapar makanya enak. Duh! Lupa kalau pacaran sama dosen ilmu sosial."

Galih tertawa. Pria itu akhirnya mendapatkan tempat parkir setelah meminta bantuan pada tukang parkir. "Beruntungnya sekarang kita lapar banget. Harusnya rasanya jadi berkali-kali lipat lebih enak." Galih melepaskan sabuk pengaman. "Kamu di sini dulu, biar aku yang turun buat antri."

Winka mempersilahkan pria itu menunaikan niatnya sepenuh hati. Gadis itu memilih untuk melepaskan sabuk pengamannya, menurunkan sandaran kursi, dan mengambil posisi ternyaman—merebahkan tubuh. Dia akhirnya bisa menutup mata sejenak.

Pertemuannya dengan sang ayah berjalan cuku p baik. Ternyata Winka tidak perlu merasa khawatir karena Bram Winata diurus dengan sangat manusiawi di dalam sel. Ayahnya juga terlihat sehat, hanya saja Bram tidak bisa menyembunyikan masalahnya hingga wajah pria itu terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Namun, kunjungan itu berubah menjadi sedikit menegangkan saat Bram meminta Adrian untuk masuk ke dalam perusahaan dan mengamankan posisi mereka.

Winka agak skeptis sebab tinggal menghitung hari RUPS akan dilaksanakan. Melihat perkembangan kasus Bram Winata yang kemungkinan akan segera dinaikkan statusnya membuat Winka was-was. Lagipula, Adrian juga tidak mempunyai pengalaman apa pun untuk mengurus perusahaan keluarga mereka. Gadis itu juga tidak sampai hati menyuruh adiknya untuk melakukan sesuatu yang tidak ia suka.

Bukannya Winka tidak mengetahui alasan dibalik keputusan Bram tersebut. Tanpa perlu diberitahupun Winka bisa menebak siapa dalang dibalik penangkapan Bram Winata dan apa yang menjadi sumber keresahan ayahnya. Winka telah berpikir masak-masak untuk mengambil sebuah kesimpulan bahwa kejadian ini adalah bentuk dari sebab dan akibat. Dia tidak bisa begitu saja meyalahkan salah satu pihak. Karenanya, Winka memilih untuk menenangkan diri terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan berikutnya.

"Tempatnya penuh, kamu nggak apa-apa kalau kita makan di mobil saja?" Galih kembali setelah mengecek tempat.

"Bolehlah. Lagian, kita bisa sambil nyalain ac di sini."

"Oke. Aku pesanin bakso urat semua buat kamu."

"Makasih, Pak Gal." Winka mengambil botol air mineral dari dalam tasnya kemudian menyerahkannya pada Galih "Minum dulu," katanya.

"Trims." Galih membuaka segel tutup botol tersebut. Winka memerhatikan dengan seksama urat-urat yang menonjol di lengan pria tersebut karena Galih telah menggulung kemejanya hingga ke siku. Pria itu menyelesaikan setengah isi botol dalam beberapa tegukan saja. Galih menutup kembali botol tersebut, kemudian hendak menyerahkannya kepada Winka—kalau-kalau gadis itu juga haus—ketika menyadari mata gadis itu yang terpaku. "Kamu kenapa?"

Winka tidak mengalihkan pandangannya. "Salah fokus." Gadis itu terlihat terkagum-kagum. "Lengan kamu bagus banget."

Galih menyadari pandangan gadis itu dan salah tingkah. "Oh, nge-gym."

"Manly banget, Pak Gal." Winka mendongakkan kepalanya untuk menatap Galih. "Gagah."

Galih kelabakan untuk menanggapi rayuan blak-blakan semacam ini. Pria itu tanpa sadar menahan nafasnya sejenak ketika menyadari tatapan Winka yang benar-benar intens. Tatapan itu menunjukkan ketertarikan, kekaguman, dan rasa ingin tahu yang besar. Galih pernah membaca kalau nafsu seorang pria bisa mudah dibangkitkan oleh wanita yang tepat. Mungkin saja artikel itu memang benar. Gadis itu tidak perlu berpakaian terbuka, tidak perlu berdandan sensual, tidak perlu mengeluarkan rayuan-rayuan mengundang, cukup bersikap apa adanya, mengatakan sesuatu yang ada di dalam pikirannya, maka gadis itu terlihat berkali-kali lipat lebih menggairahkan dalam busana sopan dan situasi minim sentuhan.

"Ingin pegang, tapi kayaknya aku bakal kebablasan." Gadis itu mengeluh. "Ternyata pacaran itu memang susah banget. Mau cepat-cepat nikah ada aja halangannya. Begini amat, padahal lihat kisah cinta orang-orang kayaknya lancar-lancar aja."

Gadis itu bersikap kekanakan, tetapi justru terlihat sangat manusiawi ditengah usahanya untuk menyelesaikan masalah. "Sabar! Kalau sudah waktunya pasti semua bakal ditebus impas."

"Memangnya kamu nggak kesusahan mengendalikan diri?"

"Susah banget." Sebenarnya Galih menjurus ke nelangsa. "Kamu cerdas, cantik, dan tipe S?"

"Tipe S?"

"Tipe tubuh seperti gitar Spanyol." Galih agak bersemu ketika mengatakannya. Dia berusaha sehati-hati mungkin agar tidak terkesan melecehkan.

"Oh, aku pikir ukuran dada, pinggang, pinggul, dan bokongku normal."

"Di atas normal." Pria itu tidak bisa berpura-pura bahwa selama ini dia cukup suci untuk menjaga pandangannya. "Aku punya mata dan kamu begitu menarik. Beberapa kali aku nggak bisa menahan diri untuk mengamati bentuk fisikmu. Maaf, bukannya bermaksud kurang ajar, hanya saja itu," Galih terdiam sejenak. "Selalu nggak sengaja terjadi."

Winka terbahak karena melihat sikap sungkan pria itu. Bukannya tersinggung, gadis itu justru merasa gemas. Dia tahu betapa sopannya Galih dan bagaimana pria itu berusaha untuk menjaganya. Apa yang keluar dari mulut pria itu adalah sebuah kejujuran, meskipun sekarang terkesan sebagai rayuan.

"Aku sedang cari mati, tapi kalau kamu berani macam-macam berarti kamu benar-benar mau mati." Winka kemudian merangsek untuk memeluk Galih. Gadis itu membelitkan lengannya seperti piton pada pinggang pria tersebut. Kepalanya bersadar dengan mantap karena dia tahu Galih akan menerimanya penuh hormat.

"Kamu memang sekejam itu 'kan, Win?" Galih memeluk tubuh Winka dengan sebelah lengannya, sedangkan tangan yang satunya dia gunakan untuk mengusap kepala gadis itu. "Kamu nggak memberiku kesempatan untuk menolak, nggak juga untuk berjaga-jaga atau mempersiapkan diri. Kamu merangsek begitu saja, mengambil semua hal yang bisa kamu dapatkan, lalu bersikap seolah-olah kalau yang kamu lakukan nggak akan memberikan dampak apa pun buatku."

"Kamu juga melakukan hal yang sama, dengan kadar yang jauh lebih menakutkan."

"Tapi, kamu selalu membuatku menebak-nebak. Membuatku bertanya-tanya, lalu berusaha untuk melakukan segala hal, lebih dari yang aku harapkan. Berharap bahwa itu akan membawa dampak yang membuatmu puas. Memberi makan egoku, tetapi selalu berakhir membuatku merasa ingin melakukan lebih. Selalu ada yang kurang, selalu membuatku ingin menambahkan sesuatu."

Winka mendongak. "Maaf, Pak Gal, kamu sudah nggak bisa diselamatkan lagi." Gadis itu pura-pura prihatin.

Galih balas mendekap gadis itu dengan gemas. Mengeratkan lengannya hingga ia bisa membaui aroma mawar dari rambut serupa bunga matahari tersebut. Winka tertawa-tawa, tidak keberatan untuk menerima perlakukan dari pria berusia dua belas tahun lebih tua darinya itu.

"Sehat-sehat, ya, Pak Gal, aku mau anak tiga."

"Sebelum usiaku empat puluh."

"Bercanda kamu." Winka buru-buru memisahkan diri hingga tubuh Galih terdorong ke belakang. "Kalau kita nikah tahun ini dan aku langsung hamil, paling nggak kita baru bisa punya anak tahun depan. Iya, kalau aku lahiran normal, kalau sesar, gimana? Paling nggak kita harus kasih jarak tiga tahun."

"Kalau begitu satu aja cukup."

"Wah, minta di demo kamu? Katanya punya anak itu hak perempuan."

"Tapi, kalau aku sudah tua kasihan kamu."

Winka mengamati Galih sejenak. Gadis itu menggenggam kedua tangan Galih sebelum berkata, "Kamu insecure?"

Galih menatap iris cokelat keemasan yang penuh rasa ingin tahu tersebut. "Iya." Pria itu menghela nafas. "Aku nggak bisa menempatkanmu dalam posisi sulit. Aku ingin berbagi peran dengan seimbang, termasuk soal anak. Aku nggak ingin kamu mengurus anak itu seorang diri. Aku nggak mau membebani kamu dengan pilihan sulit nantinya. Aku tahu kamu menikmati karirmu dan kamu bahagia dengan itu. Sedangkan aku semakin tua, mungkin akan semakin sibuk dengan pekerjaan, perlahan-lahan mengalami perubahan psikologi karena usia. Aku nggak mau kamu tertekan. Inginku kamu hidup lebih bahagia dari masa lajangmu. Aku nggak ingin kehidupan pernikahan, terutama anak, membebani dirimu dan membuatmu kehilangan kendali diri."

"Pak Gal," panggil Winka lirih.

"Seperti katamu tadi, aku sudah nggak terselamatkan. Aku ingin membuat hidupmu menjadi mudah ketika memutuskan untuk bersamaku."

"Kamu baik banget." Winka mengerakkan jempolnya untuk mengusap permukaan tangan Galih. "Kenapa kamu malah memikirkan aku duluan ketimbang dirimu sendiri?"

"Karena kamu berharga buatku."

"Kadarnya lebih tinggi dari 'Aku cinta kamu', ya?" goda Winka.

Galih tertawa, kemudian mengangguk. "Kamu sekarang prioritasku."

"Aduh! Kasian banget Budhe Dewi, anak laki-lakinya jadi bucin parah." Tetapi gadis itu jutsru tersenyum malu-malu sembari mengamati tangan Galih yang sedang ia usap-usap. "Tapi, harusnya Budhe Dwi bilang makasih ke aku karena menyelamatkan anaknya dari resiko nggak menikah."

Galih tertawa."Bisa ngamuk Mama kalau dengar kamu ngomong gini."

"Sssstttt." Winka menempelkan telunjuknya ke bibir. "Jangan cepu!"

Galih tidak bisa lagi menahan diri. Dia tangkup wajah Winka dengan gemas. "Winka Winka Win Ka Win Ka Win Ka..."

"Win." Sambung gadis itu. "Ingin kawin, tapi bapaknya kebanyakan gaya."

Galih melepaskan tawanya. Cara gadis itu mengekspresikan kemarahannya memang unik. Dia tidak berusaha untuk mengendalikan situasi. Winka juga tidak berusaha untuk terlihat tegar. Gadis itu hanya membiarkan segala hal berjalan dengan semestinya, kemudian berlalu. Cara gadis itu bersikap menenangkan hati Galih. Winka tahu, bahwa ia tidak bisa merubah situasi dengan instan. Galih juga yakin, kalau gadis itu paham betul kalau masalah ayahnya adalah sesuatu yang tidak bisa ia selesaikan dengan mudah.

Hanya saja seperti karater Winka Winata yang unik, gadis itu membuat semua permasalahan yang ia hadapi seakan-akan akan segera berlalu. Keyakinan gadis itu, optimisme, dan pemahamannya sungguh membuat Galih kagum. Penerimaan dan pilihannya untuk tidak menentang membuat Winka menaikkan levelnya ke tempat yang lebih tinggi. Kedewasaan yang Winka tunjukkan hanya membuat Galih semakin tidak bisa diselamatkan.

"Kalau Pak Bram nggak ada, aku nggak bakalan ketemu kamu."

"Dee Lestari bilang, 'Diantara ribuan manusia dan kubisa dengan radarku menemukanmu'."

"Poin yang bagus dan menarik. Jodoh itu memang unik. Cari ke sana ke mari, tahunya dapat yang depan mata sendiri."

"Misal kamu confess ke aku lima tahun lalu, kamu justru bikin aku takut setengah mati."

"Lima tahun lalu kamu masih abg."

"Lima tahun lalu aku sembilan belas."

"Baru masuk kuliah."

"Dan kamu sudah tamat S3. Mampus, dibilang jodoh datang di waktu yang tepat ternyata emang benar."

"Kita cuma butuh percaya Tuhan dan sabar menunggu sampai giliran kita datang."

"Lihat gimana dampaknya ketika aku macarin pria yang jauh lebih tua. Semua yang aku mau, pemikiran, tipe diskusi, cara menanggapi, bahkan pandangan hidup, cukup mudah untuk menyesuaikan sama kamu. Hal yang paling kusuka dari memacari kamu adalah kemudahan dalam berkomunikasi. Kita punya dunia yang sangat berbeda dan simpelnya harusnya kita sama sekali nggak cocok, tetapi booom... kamu bisa jadi patner diskusi yang asik buatku."

"Karena kita punya jenis konklusi yang sama untuk setiap masalah. Sudut pandang kita juga nggak jauh berbeda, dan kamu lebih dewasa dari yang kubayangkan. Aku nggak perlu mengurangi atau merubah apa pun dan semua ngalir gitu aja. Pada akhirnya semua yang kucari dari pasangan selain cinta, saling menghormati, komitmen, dan kepedulian adalah patner. Pasangan hidup. Orang yang sampai tua nanti nyaman untuk diajak hidup berdua."

"Kamu dapat A."

"Plus?"

"Nanti, dilihat dulu setelah kita nikah." Mereka berdua tertawa.

Galih melihat arlojinya. "Sudah dua puluh menit, aku cek dulu pesanan bakso kita." Pria itu kembali ke dalam warung.

Winka bertopang dagu, mengamati Galih yang sedang mengatri. Dia bisa membayangkan hari-harinya nanti dengan memiliki pria itu di sisinya. Dia tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Pria itu adalah sosok pria yang baik untuknya dan bisa dipastikan adalah sosok ayah yang baik untuk anak-anak mereka kelak. Winka hanya perlu berusaha sedikit lagi untuk memantaskan diri dan membuat mereka menjadi seimbang.

Gadis itu tersenyum saat mendapati Galih menatapnya. Mereka bertatapan beberapa saat hingga bunyi ponsel mengalihkan perhatian Winka. Gadis itu mengambil ponselnya di dalam tas, menggeser layar sebelum mengernyit saat mendapati satu pesan dari nomor yang tidak dikenal.

+628 xxx xxx xxx : Bisa kita bicara?

Anda : Siapa?

+628 xxx xxx xxx : Marina

: Kita perlu berdiskusi tentang kondisi Mas Bram.

Anda : Bisa didiskusikan saja dengan Surya.

+628 xxx xxx xxx : Kita juga perlu membahas RUPS.

Anda : Bisa dibicarakan dengan Adrian. Saya nggak mau ikut campur.

+628 xxx xxx xxx : Kamu nggak bisa mengindari masalah ini. Kita perlu mencari jalan tengah untuk mencari pengganti Mas Bram.

Winka menghela nafas. Dia sedang tidak ingin berurusan dengan istri ayahnya.

Anda : Tante, bicarakan saja urusan perusahaan dengan Adrian atau Juna. Saya nggak ingin terlibat urusan apa pun dengan Tante. Toh, saya nggak punya pengaruh apa pun untuk RUPS besok.

+628 xxx xxx xxx : Saya ingin kamu mendukung Juna di RUPS. Dia satu-satunya orang yang bisa sementara menggantikan posisi Mas Bram.

Winka hanya membaca pesan tersebut tanpa berniat untuk membalasnya, lebih-lebih ketika melihat Galih kembali dengan nampan berisi dua mangkuk bakso dan dua gelas besar es teh.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

"Oh. Buka bagasi belakang saja."

"Oke."

Winka mengikuti Galih. Gadis itu mengambil alih nampan dan membiarkan Galih mengatur kursi agar mereka bisa makan dengan nyaman.

#

Selamat hari minggu bucin cucian dan kasur empuk

Yang mau baca lanjutan bab nya, si Karyakarsa udah nyampe bab 28...

Continue Reading

You'll Also Like

45.8K 5K 27
Juwita pernah menaruh hati pada Jeremy, namun terpaksa ia pendam karena sahabatnya Serena memiliki perasaan yang sama dan berbalas. Bertahun-tahun ia...
1.1M 55.5K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
97.8K 17.7K 31
COMING SOON...
633K 50.9K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...