Evanescent

By hanyaabualan

24.5K 2.8K 1.2K

Setelah 10 kali pertemuan, Jordan bersedia menemani Serenade tanpa paksaan orang tua yang sudah beberapa kali... More

Prolog: Kembang Api
1. Pertemuan Pertama, Pertemuan Kelima
3. Feel Special
4. Kedekatan yang Pasti
5. Meyakinkan yang Ragu
6. Pertimbangan Lain
7. Imaji dan Realitas
8. Lamaran?
9. Tujuan yang Dinanti
10. Hari-H
11. Setelah menikah harus apa?
12. Dua Minggu dan Berlanjut
13. Sentuhan Tak Terduga
14. Sinyal Bahaya
15. Prasangka Baru
16. Naif
17. Telanjur Mencinta
18. Perang Dingin
19. Menantang Maut
20. Unforgiven
21. Intuisi
22. Menyadari Keadaan
23. Tidak Gentar untuk Mundur
24. Menepi Sejenak
25. Manis yang Singkat
26. Pola yang Terulang
27. Solusi Terbaik
28. Roller Coaster
29. Garis Awal yang Berbeda
30. Seandainya
31. Cinta yang Menyiksa
32. Membebaskan
33. Babak Akhir
34. Jabatan Terakhir
35. Roda Kehidupan
Epilog: Lembar Baru
Cerita Tambahan

2. Kesiapan

946 106 16
By hanyaabualan

Jangan lupa vote dan komentarnya 💚

Biar aku makin semangat 💚

"Lo yakin mau nikah di umur segini?"

Greya Aksani, teman Serenade sekaligus rekannya yang sama-sama berprofesi sebagai MUA, bertanya sambil menepuk pahanya gemas ketika tahu bahwa kawan seperjuangannya sudah dijodohkan dengan seseorang.

"Bukan nikah, Grey, tapi dijodohin."

"Kalau dijodohin udah pasti nikah."

Serenade tertawa saja mendengar Greya yang sudah yakin dengan asumsinya, memilih sibuk menyapu lantai studio yang hanya dihuni oleh mereka berdua karena para tim sedang libur. Studio dua lantai yang menjadi tempat Serenade dan timnya berkreasi sebagai MUA, dibangun di lokasi yang sama dengan rumah Zaenal agar wanita itu tidak perlu mengeluarkan banyak ongkos. Ditambah lagi Serenade merekrut warga setempat yang memiliki skill mumpuni dan mau belajar, jadi mereka pun bisa menghemat pengeluaran dari gaji yang diberi.

Serenade yang menjadi founder dan Greya sebagai co-founder dari studio mereka. Hanya saja Greya jarang turun ke lapangan karena dia yang sibuk di belakang layar menerima job dari berbagai kalangan.

"Belum tentu nikah, Grey," tegas Serenade lagi. "Kami baru dikenalin dulu. Kalau sama-sama cocok bisa jadi bakal nikah," lanjut Serenade setelah selesai menyapu dan duduk di hadapan Greya.

Mereka berada di lantai dua tempat penyimpanan berada, biasanya jadi tempat para tim kumpul setelah menyelesaikan pekerjaan. "Tapi lo mau nikah sama dia?"

Serenade mengedikkan bahu, lama-lama tersipu malu. Hanya dengan anggukan halus, Greya sudah mendapat jawaban yang ditunggu.

"Enggak kaget, sih," tutur Greya yang lebih tenang. "Bibit, bebet, sama bobotnya udah oke. Casing luar udah menarik, dari dalam juga lo bilang dia baik. Mungkin kalau gue di sana juga bakal langsung naksir sama dia."

Serenade mengangguk yakin karena dia dan Greya memiliki selera yang hampir serupa jika sudah berkaitan dengan laki-laki, tapi tentunya memiliki kriteria khusus yang bertolak belakang, jadi tidak akan ada yang namanya urusan salah jodoh.

"Tapi," Serenade memelankan suaranya ketika ada sesuatu yang mengganggu kepala, "perjodohan gini biasanya ada gangguan orang ketiga, Grey."

Greya menaikkan sebelah alisnya. "Teori dari mana, tuh?"

"Dari fiksi."

Greya berdecak pelan mendengar jawaban polos Serenade yang sungguh di luar nalar. Greya yang semula duduk bersandar di sofa kini menegakkan badan dan bicara serius pada Serenade. "Lo jangan gampang terpengaruh sama fiksi. Itu emang udah dimodifikasi biar makin seru aja pas dibaca. Lagian lo sendiri yang bilang kalau Jordan welcome banget, bahkan nggak kaku buat dideketin. Bukannya itu tanda kalau nggak ada cewek lain di hidup dia?"

"Iya, tapi ... belum pasti mulus, 'kan? Namanya juga nikah bukan karena cinta."

"Nikah karena cinta aja nggak menjamin mulus, Seren." Greya mulai gemas, tetapi berusaha tenang agar Serenade bisa menetapkan pilihannya dengan mantap. "Contohnya gue sama Juno, deh. Pacaran waktu gue masih SMP, pernah putus pas SMA, ketemu lagi pas kuliah, terus nikah nggak lama setelah gue lulus. Kami sama-sama saling cinta, tapi pernikahan gue sama dia nggak semulus jalan tol juga. Contohnya sekarang kami belum punya momongan, masih suka cekcok karena hal gede sama kecil. Terus kadang kami dapet omongan nggak enak dari keluarga soal anak. Bisa bertahan sampai sekarang juga udah syukur, Seren. Itu bukan karena cinta doang, tapi karena saling menjaga kepercayaan dan hadapin semuanya berdua, apalagi lidah mertua yang sok tahu. Beruntungnya sih Juno bukan cowok yang nurutin maunya orang tua terus, tapi ada banyak masa kami pun nggak ngerasa manjur."

Seperti biasa, Greya akan berakhir curhat soal kehidupan rumah tangganya saat Serenade menceritakan soal kisah asmaranya. Kendati begitu, Greya tidak bermaksud membandingkan, justru menyadarkan Serenade bahwa menikah dengan modal cinta saja tidak cukup jika rasa saling percaya tidak dijunjung. Greya dan suaminya bisa bertahan sejauh ini pun bukan sebatas cinta, meski tidak dapat dipungkiri perasaan yang selaras akan membuat rumah tangga lebih terasa indah sebab bersama orang tersayang.

Baru lima pertemuan dan Serenade belum mempertimbangkan soal pernikahan, tetapi sudah ada banyak skenario di kepala tentang pernikahan yang dimulai oleh perjodohan dan sungguh ... itu bukan skenario yang baik. Paham dengan pikiran Serenade yang semerawut, Greya kembali bicara agar temannya tidak mengambil keputusan yang salah.

"Kalau udah kelihatan buat nikah, saran gue tanya banyak hal ke Jordan supaya jadi pertimbangan lo juga."

Serenade mengerjap antusias. "Apa aja tuh pertanyaannya?"

Greya malah mengeluarkan ponsel alih-alih menjawab pertanyaan Serenade, mengutak-atik layar tanpa bisa temannya lihat, kemudian tersenyum setelah melakukan sesuatu. "Gue udah kirim daftar pertanyaan ke WhatsApp. Bisa lo tanyain ke Jordan."

Serenade lantas mengeluarkan ponsel dari saku celananya untuk memeriksa pesan yang dikirim Greya, membuka file yang dimaksud, lalu membaca deretan pertanyaan yang membuat matanya membeliak.

"Ini ... lo yakin?" Serenade tampak skeptis dengan daftar itu.

"Enggak usah semua. Sesuai kebutuhan aja."

"Lo pake daftar ini juga?"

"Iya, lah. Bahkan itu yang gue bikin khusus sebelum nikah sama Juno. Pacaran lama juga perlu, apalagi yang dijodohin kayak lo."

Serenade mengangguk sekali dan kembali memusatkan pandangan pada file di layar ponselnya, membaca satu per satu pertanyaan yang bisa diajukan pada Jordan sesuai kebutuhan. Untuk sekarang Serenade tidak ada bayangan karena masih belum menebak-nebak ke mana arah hubungan dia dengan Jordan. Bisa berteman dengan orang baru saja sangat bersyukur, jadi Serenade tidak menaruh ekspektasi apa pun. Justru dia sedang memikirkan cara untuk mempertahankan hubungan pertemanannya alih-alih persiapan pernikahan.

Kendati begitu, Serenade tetap berpikir realistis jika kecocokan itu didapat, kemungkinan besar dia sudah siap untuk melepas masa lajangnya. Itu pun jika Jordan ada kesiapan yang sama, sebab laki-laki cenderung ingin bebas lebih lama tanpa mengemban status sebagai suami orang.

"Lo beneran yakin mau nikah di umur segini?" Greya kembali bertanya.

Serenade tatap lagi Greya yang kali ini tidak bisa diajak bergurau, seakan menunggu jawaban yang lebih serius. "Lo nanya kayak gitu di saat lo sendiri nikahnya waktu masih muda banget."

"Justru karena nikah pas masih muda, gue nggak mau lo ngerasa kehilangan waktu yang berharga setelah jadi istri. Gue sih nggak nyesel nikah di umur yang seharusnya masih bisa ke sana kemari dengan bebas karena Juno nggak ngelarang banyak hal, tapi ... kita nggak tahu Jordan gimana, makanya gue tanya apa lo yakin dan nggak akan nyesel di kemudian hari."

Menyesal, ya ....

Sejujurnya kata itu tidak pernah ada dalam kamus Serenade, sebab apa pun keputusan yang dia ambil selalu memiliki risiko untuk dia hadapi. Pernikahan merupakan keputusan seumur hidup dengan harapan hanya terjadi satu kali tanpa perpisahan yang memutuskan janji suci, jadi wajar bila Greya berkali-kali meyakinkan Serenade karena penyesalan setelah menikah bisa saja muncul dan bisa berakibat buruk.

Namun, di saat skenario buruk masih sibuk berkerumun, Serenade coba enyahkan soal penyesalan dan menjawab lugas, "Kalau selama perkenalan ini bisa cocok sama Jordan, gue yakin, Grey."

"Main nikah aja. Kamu nggak mau nunggu aku sampai punya anak kedua?"

Ilyas, kakak Serenade, mengomentari soal perjodohan yang sedang dijalankan oleh adiknya. Ilyas yang tinggal di rumahnya sendiri bersama istri dan anak, baru dikabari oleh Zaenal ketika dia bertandang ke rumah sang ayah. Ilyas jelas terkejut karena biasanya Zaenal membicarakan hal sepenting itu dengannya. Sayangnya kali ini lain dan tentu saja Ilyas merasa tidak rela sebab tidak dilibatkan dalam hal sepenting itu.

Di ruang keluarga yang kumpul dalam formasi lengkapㅡistri Ilyas, Nakia, turut hadirㅡZaenal akhirnya tidak berdua saja dengan Serenade ketika weekend. Tentu saja yang paling memeriahkan rumah adalah Anjani, putri Ilyas dan Nakia yang berusia dua tahun, lalu kini sedang duduk di pangkuan Serenade sebagai pawang ahli agar gadis yang tengah dalam masa aktifnya itu bisa diam sementara orang dewasa berbincang.

Babysitter dadakan sudah menjadi tugas langganan Serenade setiap Ilyas datang ke rumah atau dia yang bertandang ke rumah kakaknya. Tentu atas inisiatif sendiri karena Anjani yang rambutnya kini dibiarkan panjang sangat menggemaskan, apalagi ketika dia sudah bisa merespons ucapan orang-orang sekitar.

"Kelamaan nunggu anak kedua," balas Serenade untuk pertanyaan Ilyas tadi. "Tapi kalau kamu mau biayain nikahan aku sih nggak apa-apa, Kak."

Nakia tertawa riang, lain dengan Ilyas yang menggeram pelan. "Iya, Pa. Biayain dulu nikahannya Seren, baru punya anak kedua."

Ilyas menepuk dahinya pelan saat Nakia bersuara. "Sesama cewek emang paling cocok kalau udah urusan uang."

Zaenal tertawa mendengar keluhan Ilyas. Ditertawakan begitu membuat Ilyas merasa terpojok. "Ayah tolong bela anakmu ini."

"Sorry, ya," tukas Zaenal dengan nada bergurau. "Ayah juga penginnya biaya nikah Seren diurus sama kamu aja."

Ilyas berdecak lidah, tidak ada yang berada di pihaknya meski semua itu hanya bualan belaka. Beruntung bualan itu terhenti ketika ada suara bel yang menginterupsi kehangatan keluarga Zaenal. Serenade berinisiatif untuk membuka pintu sembari memangku Anjani yang ingin ikut.

Begitu tiba di depan dan pintu utama dibuka, Serenade terlonjak dan mengeratkan pangkuannya pada Anjani ketika melihat Jordan yang sudah berdiri di hadapan. Jordan tersenyum lebar, makin semringah ketika melihat Anjani yang tertawa menyambutnya.

"Sapa, tuh?" tanya Anjani seraya menunjuk ke arah Jordan.

"Halo. Aku Om Jordan," sapa pria jangkung itu sambil melambaikan tangan singkat. "Dedek yang cantik namanya siapa?"

Anjani terkikik ketika paham dia sedang dipuji sampai bersembunyi di pundak Serenade, lalu diam-diam melirik Jordan dan menjawab, "Jani."

"Namanya lucu," puji Jordan lagi yang makin membuat Anjani kegirangan, terlebih ketika tangan pria itu mengusap puncak kepalanya gemas.

Serenade sedikit geli melihat tingkah keponakannya yang sudah paham ketika ada laki-laki tampan, pandai pula mencari perhatian dengan tingkah centilnya yang bisa membuat siapa saja luluh hanya dalam satu kali senyum. Termasuk Jordan.

"Anak kamu?"

"Iyaㅡeh, bukan!" seru Serenade yang hampir terkena serangan jantung karena salah menjawab.

Jordan tertawa saja. "Aku cuma bercanda, kok. Itu keponakan kamu."

"Kok tahu?"

"Tadi pas izin mau ke sini dikasih tahu Om Zaenal mau ada kakak kamu sama keluarganya."

"Kamu izin ke Ayah tapi nggak bilang ke aku? Parah banget."

"Aku chat kamu. Cuma belum dibalas aja. Kayaknya sih emang belum dibaca."

Serenade sontak tersenyum keki karena sudah salah mengira terkait Jordan yang tidak memberi kabar, baru ingat juga kalau ponselnya sejak tadi di kamar karena terlalu sibuk dengan Anjani. Ah, sial. Otak Serenade selalu tidak sinkron bila sudah dihadapkan dengan Jordan. Itu sinyal bahaya, tetapi anehnya Serenade tidak mau kabur begitu saja.

"Ini aku nggak diajak masuk?"

"Oh, iya."

Serenade terkekeh dan mempersilakan Jordan masuk, lalu menutup pintu setelah pria jangkung itu memasuki rumah dan mulai berjalan ke ruang keluarga tempat yang lain berkumpul.

"Eh, Jo." Zaenal kontan berdiri ketika tamu yang dinanti hadir.

"Sore, Om."

"Mama mana?"

"Saya sendiri," jawab Jordan sambil menyalami Zaenal, diikuti pada Ilyas dan Nakia yang menatapnya lamat untuk membuat penilaian. Jordan diperkenalkan singkat pada Ilyas dan Nakia oleh Zaenal.

Jujur saja, Jordan sedikit gentar ketika Ilyas begitu tajam menatapnya, lain sekali dengan Nakia yang kini lebih tenang setelah diberi impresi baik olehnya. Gawat! Jordan berharap kakak Serenade tidak segalak bayangannya, hanya ingin menggertak saja.

"Tumben sendirian, Jo?"

"Waktu itu Seren sendirian ke rumah, Om, makanya sekarang giliran saya yang sendiri."

Serenade tertawa hambar ketika namanya dibawa-bawa di tengah percakapan awal, membuat semua mata tertuju pada wanita yang tengah mendudukkan Anjani di sofa setelah tadi sempat melipir ke dapur untuk mengambil camilan dari kulkas.

"Lucu banget, sih," ucap Zaenal yang turut senang melihat Serenade dan Jordan mulai menunjukkan kedekatan. "Kalian langsung berduaan aja, deh. Ke mana gitu, jangan di rumah terus setiap ketemu."

Jordan dan Serenade berpandangan sejenak, lalu kembali memusatkan netra mereka pada Zaenal yang memberi usul.

"Seren harus masak buat nanti malam, Ayah."

"Eh, nggak usah."

Nakia yang biasanya pendiam tiba-tiba saja bersuara lagi, membuat Ilyas sedikit tersentak karena aneh mendengar sang istri jadi begitu semangat. Nakia langsung paham sekali dengan sinyal yang diberikan Zaenal, jadi dia pun ikut andil untuk kedekatan adik ipar danㅡsemoga sajaㅡcalon suaminya.

"Maksudnya ada yang harus dibeli dulu. Nanti biar aku yang masak."

Ilyas mengernyit. "Tumben? Emang di dapur nggak ada bahannya, apa? Tadi juga baㅡ"

"Enggak ada," sela Zaenal cepat karena Ilyas hampir saja merusak suasana yang menarik untuk disimak.

Ilyas merengut karena lagi-lagi tidak ada yang berada di pihaknya, padahal dia ingin menginterogasi Jordan yang baru pertama kali ditemui.

"Masa Jordan ditinggalin sama aku pas belanja? Kasihan, dong."

Jordan hampir saja tersedak ketika Serenade menunjukkan kepeduliannyaㅡentah itu serius atau sekadar gurauan untuk menanggapi keluarganya yang sering bertingkah.

"Berdua sama Jordan," usul Zaenal. "Kamu mau, 'kan?"

"Ayah! Ya kali tamu disuruh belanja," tukas Serenade gemas.

"Enggak apa-apa, kok. Om Zaenal bener, kita bisa sambil pendekatan selain di rumah."

"Tapi nggak usah belanja juga, Jo. Kamu harusnya di sini aja."

"It's okay. Berangkat sekarang, ya. Naik motor aku. Apa aja yang harus dibeli?"

Semua yang ada di ruangan keluarga takjub mendengar Jordan dengan sigap menerima permintaan itu, tidak terkecuali Anjani yang matanya berkeliaran memandang satu per satu orang dewasa di depannya. Serenade ingin kembali mengeluarkan rasa keberatan, tetapi diurungkan ketika Jordan mendengar baik-baik daftar belanjaan yang disebut oleh Nakia.

Pria itu benar-benar menyanggupi permintaan konyol keluarganya, tanpa merasa terbebani dan justru antusias untuk melaksanakan perintah yang diselipi doa agar Jordan dan Serenade makin dekat.

"Oke. Aku duluan ke depan, ya. Permisi, Semua."

Jordan lebih dulu keluar setelah diberi tahu daftar belanjaan, padahal belum lama dia masuk untuk bertamu.

"Awas ya kalau gini lagi, aku marah," ancam Serenade sebab Jordan harus direpotkan.

Zaenal dan Nakia terkikik saat Serenade pergi sambil bersungut-sungut, sedangkan Ilyas yang sama kesalnya malah menegur.

"Kalian ini kompak banget. Aku masih harus interogasi Jordan, tahu."

Zaenal kembali duduk dan diikuti oleh putra serta menantunya. Kali ini Anjani duduk di pangkuan Zaenal setelah babysitter-nya pergi. "Biarin dulu, Yas. Namanya juga dijodohin, pastinya butuh pendekatan lebih lanjut."

"Iya, Pa. Tahan dulu interogasinya. Lagian Jordan kelihatan baik, kok," kata Nakia yang ikut berada di garda terdepan seperti mertuanya.

Ilyas mengembuskan napas berat. Bukan soal baik di luar yang ingin Ilyas tahu dari Jordan, tetapi ya sudahlah. Ilyas biarkan dulu asalkan nanti dia mendapat kesempatan untuk mengulik Jordan lebih jauh.

"Yang bener aja?"

Serenade terkesiap melihat motor hitam besar Jordan yang jok belakangnya lebih tinggi dari jok depan. Motor yang paling tidak ramah untuk membonceng orang, apalagi perempuan. "Kamu mau bonceng aku pake motor setinggi itu?"

Alih-alih tersinggung karena tidak merasa dihargai, Jordan tergelak melihat reaksi Serenade yang tidak disembunyikan sedikit pun.

"Aku kira kamu pake motor yang pendek."

"Kependekan buat aku, Seren. Enggak sesuai body," ucap Jordan yang sedikit narsis dengan tubuh jangkungnya.

Well, Serenade akui Jordan tampak sangat keren ketika berdiri di samping motornya, tetapi itu jika dia hanya duduk sendiri. Serenade punya pengalaman yang menyebalkan di ojek online saat naik motor setinggi itu dan membuatnya keberatan untuk mengulangi kejadian serupa. Namun, Serenade tidak mungkin mendesak Jordan untuk naik motor Zaenal karena itu sama saja tidak menghargai bantuannya. Alhasil Serenade mau tidak mau mendekat dan di saat yang bersamaan Jordan naik ke motor setelah mendapat lampu hijau.

Jordan sedikit memiringkan motornya agar Serenade bisa mudah menginjak pijakan motor dan berkata, "Remes aja pundak aku kalau susah."

Diperintahkan begitu membuat Serenade menurut. Wanita itu pun lantas meremas pundak Jordan saat menaiki motor, tetap harus susah payah karena tidak terbiasa dan tinggi badannya pun terbatas. Serenade sampai sedikit terengah setelah menduduki jok belakang yang lebih tinggi dari posisi Jordan, tipis pula dengan bagian belakang sehingga wanita itu harus berpegangan pada orang di depan.

"Pegangan aja. Belanjanya deket sini?"

Serenade tergugu-gugu ketika Jordan memahami situasinya yang canggung, lagi-lagi membuatnya tersihir untuk berpegangan pada kedua pundak Jordan. "Iya, deket," jawab Serenade yang suaranya sedikit bergetar karena malu.

"Oke. Aku jalan pelan, ya. Kasih tahu kalau nggak nyaman."

Serenade hanya mengangguk karena kakinya sudah gemetar saat setinggi itu di atas motor. Terlebih ketika motor mulai melaju perlahan, tungkainya makin lemas, sedangkan kedua tangannya makin meremas pundak Jordan. Remasan itu menjadi sinyal untuk Jordan yang memelankan laju motornya agar Serenade nyaman di belakang dan tidak ada adegan memalukan akibat berhenti mendadak.

Komplek perumahan tempat Serenade tinggal merupakan kawasan yang cukup padat dan lebih ramai daripada rumah orang tua Jordan, ada berbagai ruko juga yang berdiri kokoh sebagai fasilitas perumahan. Termasuk supermarket yang terletak di pusat komplek, menjadi salah satu tempat paling sibuk karena kebanyakan orang akan berbelanja di sana untuk mencari kebutuhan rumah. Jaraknya kurang lebih lima menit menggunakan motor, tetapi jadi sedikit lebih panjang karena motor Jordan melaju dengan kecepatan yang lambat.

Beruntung tidak ada drama aneh-aneh ketika Serenade akhirnya turun dan bisa bernapas lega setelah bebas dari siksaan di belakang, kemudian masuk ke supermarket bersama Jordan setelah motor diparkirkan.

"Kamu hafal tadi Kak Nakia bilang harus belanja apa aja?" tanya Jordan sambil mendorong troli di samping Serenade yang langsung tahu ke station mana mereka harus pergi.

"Hafal, lah. Orang itu semua udah dibelanjain sama aku."

"Gimana?"

Serenade berhenti sejenak di pinggir jalan agar pengunjung lain masih bisa bebas berlalu lalang. "Mereka itu mau modus doang supaya kita nggak di rumah. Semua yang tadi disebut udah aku beli pagi buat dimasak hari ini."

Jordan ber-O ria, otaknya baru terkoneksi dengan maksud Zaenal dan Nakia yang tidak terpikirkan oleh pria itu sebelumnya, padahal ayah Serenade sudah menyuruh mereka untuk keluar dan mengobrol selain di rumah. Jordan hanya mengiakan karena merasa itu memang perlu, jadi sekarang dia bingung harus melakukan apa di supermarket karena tidak mungkin pulang dengan tangan kosong.

"Terus sekarang mau beli apa?" Jordan kembali bertanya saat tungkai mereka melanjutkan perjalanan dengan tempo pelan, menyusuri barisan station tanpa tahu harus memilih apa.

"Kebetulan aku mau beli camilan aja," jawab Serenade enteng karena sudah ada daftar untuk dibeli. "Kenapa kamu nurut aja sama Ayah?" Serenade tertawa pelan. "Kamu 'kan tamu. Enggak seharusnya repot gini. Mana ujung-ujungnya dikerjain pula."

Jordan mengekori Serenade yang sesekali berhenti saat mereka berada di station kudapan ringan, tetap mendorong troli yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan karena wanita itu tidak akan membeli banyak.

"Kamu udah bantuin Mama. Giliran aku yang sekarang bantuin kamu."

"Kalau nggak bantuin bakal ngikut omongan Ayah juga?" Serenade bertanya lagi seraya memasukkan dua kotak wafer cokelat ke troli.

"Aku tetep bantuin. Hitung-hitung nyari tempat lain juga buat ngobrol."

Serenade berdecak kagum karena Jordan memiliki niat yang tinggi dalam perjodohan ini. Pria itu tidak segan untuk menuruti keinginan orang tuanya agar dekat dengan perempuan yang dikenalkan, tidak canggung juga ketika berbicara padahal baru beberapa kali berjumpa. Jordan benar-benar tipikal laki-laki yang sangat disukai oleh Zaenalㅡmudah akrab, tidak menunjukkan kesan terpaksa, mau berbaur sejak awal bertemu, dan yang paling penting bisa cocok dengan Serenade.

"Sorry ya tadi aku agak lebay pas lihat motor kamu," ucap Serenade ketika mereka berdiri di depan station minuman dingin. "Aku nggak terbiasa aja naik motor kayak gitu, makanya kaget."

"It's okay," sahut Jordan santai, ikut mengambil satu kotak jus jambu dan dimasukkan ke troli. "Justru reaksi tadi paling jujur, lho. I mean ... kamu nggak keberatan buat protes dikit dan aku suka itu."

"Emang biasanya gimana?"

"Kebanyakan sih malu-malu dan kesenengan."

Serenade kontan berbalik menghadap Jordan yang semula berada di belakangnya. Jordan sontak berdiri tegak melihat Serenade yang memicingkan matanya penuh asumsi curiga.

"Kayaknya banyak banget petualangan cinta kamu."

Jordan hampir saja terbahak jika saja dia tidak ingat sedang berada di mana. Dugaan yang dilontarkan Serenade tidak sepenuhnya salah, tetapi juga kurang tepat di bagian cinta. "Lebih tepatnya sih kebanyakan dijodohin."

"Sesering itu?"

Jordan mengangguk sambil mengingat-ingat berapa kali dia dijodohkan dan semuanya gagal. "Lumayan."

"Terus satu pun nggak ada yang berhasil?"

Jordan mengedikkan bahunya dan berjalan mendahului Serenade yang masih tertarik mengulik masa lalu pria itu lebih dalam. Serenade segera menyusul hingga berjalan sejajar dengan Jordan, masih menunggu jawaban yang sangat berguna untuk kelanjutan hubungan mereka.

"Kalau berhasil nggak akan ketemu kamu, Seren."

Jawaban sederhana itu sangat masuk akal, tetapi Serenade masih belum puas untuk menjelajah. "Kira-kira kita bakal berhasil, nggak?"

"Tergantung."

Jordan menoleh tanpa menghentikan langkahnya yang begitu pelan agar Serenade tidak kesulitan kala mengejar. Serenade sedikit memiringkan kepalanya, makin bingung karena Jordan menggantungkan jawabannya yang terdengar serius. Beberapa saat bungkam, Jordan akhirnya kembali bersuara, melontarkan pertanyaan yang membuat Serenade menganga di tempat.

"Kamunya udah siap buat kita serius, belum?"

Udah serius, belum? xD

Hai, selamat hari Minggu. Semoga Minggu ini berjalan cukup baik dan Senin besok bisa dilancarkan!

Seperti yang udah aku bilang di update sebelumnya, beberapa chapter awal sibuk pendekatan. Jadi nikahnya masih entar dulu ya, chinguya xD

Harap bersabar sampai Jordan dan Serenade berlayar xD

Untuk tahun ini aku fokus ngerjain satu cerita ini, ya. Jadi yang bertanya di DM apakah ada cerita lain di Wattpad maka jawabannya gak ada. Tapi silakan cek akun Twitter aku dan buka pin, ada cerita yang lagi on going juga ^^

Nanti juga bakal ada side story dari tokoh lain, salah satunya Greya. Tapi tipis-tipis aja xD

Oke, deh. Sekian dari aku hari ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya ^^

Bonus 💚

Dipublikasikan pada tanggal
15 Januari 2023
Pukul 18.00 WIB

Continue Reading

You'll Also Like

532K 43K 49
"Kalau sama kamu sakit, tapi kalau nggak sama kamu jauh lebih sakit lagi." Bian Sastrowardoyo-putra bungsu dari keluarga konglomerat Sastrowardoyo-me...
37.6K 3.2K 6
Spin-off Still into You. Mereka menikah. Bukan karena saling mencintai. Tapi karena keadaan yang mengharuskan pernikahan itu terjadi. Nathan harus me...
216K 17.7K 89
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
33.8K 1.3K 54
A German-Indonesian conglomerate heir, Fabian Hamish Hafiyyan, should encourage his parents to support his dream to be a pediatric surgeon, like his...