.
.
"Tante cantikmu itu nanti malam bobok sama Om!!"
.
.
***
Pintu masuk terminal kedatangan internasional ramai sejak pagi. Beberapa spanduk ucapan selamat datang, dengan foto terbaru Ilyasa di sana, terpampang lebar, dipegangi oleh beberapa fans berat Ilyasa yang kini sudah bergelar sarjana ilmu agama dari Kairo.
Marhaba, Oppa Ilyasa! Selamat datang di tanah air!
Welcome, Oppa! We miss u so much! Kami menantikan tayangan dakwah Ustaz Ilyasa!
Demikian beberapa tulisan spanduk itu.
"Gimana kesan-kesannya, sebagai fans garis kerasnya da'i Oppa Ilyasa, sehubungan rencana kedatangan Oppa siang ini di bandara Soetta?" tanya salah satu wartawati pada seorang gadis berhijab seleher.
"Aaaaak!! Aku excited bangeets! Dari semalem susah tidur, ciin!" remaja itu jejeritan.
"Kamu udah lihat Oppa versi terbaru yang waktu itu tayang dari asrama mahasiswa di Kairo?" tanya wartawati berambut pendek itu, sambil menyodorkan mic.
"Iyaa! Aku syok pas liat Oppa rambutnya kok jadi gondrong gitu!!" remaja yang gerak-geriknya bagai cacing kepanasan itu, kini menutup muka.
"Menurutmu, cakep mana, Oppa yang rambut pendek atau gondrong kayak sekarang?"
"FIX cakepan sekarang! Oh My God! No debat! Oppa jadi kayak ... apa, ya? Anggota geng motor atau bad boy gitu. Astaghfirullah maafin aku, Oppa! Maaf, calon istrinya Oppa!" ucap gadis itu yang kembali menutup muka merahnya.
Sang wartawati tak sanggup menahan tawanya. "Ada isu, Oppa akan melangsungkan akad nikah dan resepsi malam ini juga. Gimana komentar kamu?"
Yang ditanya kini mengelus dada. "Yah yang namanya jodoh, mau gimana lagi, ya? Kalo aja aku bisa milih, aku maunya ya Oppa sama aku. Tapi nyatanya Oppa naksirnya sama yang lain. Meski hati ini agak terluka, namun di sisi lain aku bahagia juga, sih. Karena Oppa bakal nikah sama wanita pujaan dia sejak lama. So sweet banget, ya. Dari sejak di-khitbah sampai sekarang, sudah empat tahun. Gak pernah ada isu miring. Keduanya tetap saling setia. Ya Allah. Aku mau, dong yang kayak Oppa gitu. Amin." Gadis itu mengusap wajah. Beneran berdo'a ternyata.
.
.
Petugas bandara mengecek data pribadi Ilyasa, lalu mencocokkan foto Ilyasa di paspornya, dengan Ilyasa asli. Di foto, rambut Ilyasa masih pendek, tapi ini jelas adalah orang yang sama.
"Korean?" tanya pria berseragam itu ragu.
Ilyasa menggeleng dengan senyum di bibirnya. "No. Indonesian," jawabnya bangga.
.
.
Raesha berdiri dengan postur gugup. Jemarinya dimain-mainkannya sendiri sejak tadi. Matanya liar mencari sosok pria yang berharga baginya.
Lalu mereka bertemu juga akhirnya. Langkah Ilyasa terhenti sekian detik, sebelum keduanya menitikkan air mata dan saling menghampiri, memupus jarak.
Saat jarak keduanya kurang dari semeter, Ilyasa nampak menahan diri.
"Pengin meluk kamu, tapi belum halal," kata Ilyasa dengan suara bergetar. Keduanya tertawa kaku.
"Aku kangen," ucap Raesha menyeka air matanya dengan tisu yang sudah dia siapkan. Sudah tahu akan ada banjir air mata di perjumpaan mereka setelah terpisah empat tahun. Raesha sempat khawatir, Ilyasa akan kepincut gadis Kairo di sana, lalu membatalkan rencana pernikahan mereka. Tapi rupanya Allah menjaga hati Ilyasa untuknya seorang.
"Aku juga. Kangen. Banget," balas Ilyasa mengusap pipinya dengan tangan.
"Ayo. Kita ke rumahmu. Menunggu orang tuaku datang sore ini," ajak Ilyasa seolah sudah tidak sabar. Padahal sepantasnya yang empunya rumah yang mengajak.
Raesha mengangguk tersenyum. Mereka berjalan menuju pintu lobi dari kaca. Dua orang bodyguard memberi hormat pada pasangan itu. Di luar sana, sudah menunggu para wartawan dan para fans Ilyasa yang makin histeris saat melihat sosok Ilyasa menghampiri mereka.
Ilyasa mencuri pandang ke arah calon istrinya yang mengenakan gamis pink-keunguan dihiasi beberapa garis renda putih, model abad pertengahan, berpadu dengan hijab polos berwarna senada.
"Kamu cantik," kata Ilyasa dengan suara pelan, tapi cukup untuk terdengar oleh Raesha yang kini merona pipinya.
Pintu kaca terbuka otomatis. Bodyguard membuka jalan bagi keduanya.
"Oppaaaaa!!!! Marhabaa!!" seru para fans jejeritan di belakang wartawan.
"Assalamu'alaikum!" seru Ilyasa sambil menyedekapkan tangan dan menebar senyum ke arah mereka yang menunggunya di bandara sejak pagi.
"Wa'alaikum salam, Oppaa! AAAAAA!!!!" Para gadis itu makin lantang jeritannya.
Raesha menarik napas, berusaha maklum. Begini perasaan orang yang jadi pasangan 'artis' ternyata.
"Oppa! Ada kabar Oppa dan Kak Raesha akan melangsungkan pernikahan malam ini juga. Apa kabar itu benar?"
"Setelah menikah, rencananya kalian akan tinggal di mana?"
"Bulan madunya ke mana, Oppa?"
"Resepsinya ngundang berapa orang, Oppa?"
Seperti biasa, tak ada satupun pertanyaan yang dijawab. Ilyasa dan Raesha hanya tersenyum hingga masuk ke dalam mobil.
"Fiuh," gumam Ilyasa sambil menyisir poni rambut panjangnya.
"Rambutmu jadi gondrong gini, Oppa," kata Raesha pangling.
"Iya. Aku bertekad gak akan potong rambut sampai lulus dan ketemu kamu. Sekarang kita sudah ketemu. Kamu suka rambutku pendek atau gondrong kayak gini? Kalau kamu gak suka aku gondrong, kita ke salon dulu sekarang," ucap Ilyasa dengan cengiran di akhir kalimatnya.
Raesha tertunduk malu. "A-Aku suka dua-duanya. Maksudku, aku gak keberatan rambutmu gondrong kayak gini. Walaupun kesannya agak ... nakal."
Ilyasa tersenyum usil. "Masa'? Kamu suka yang agak 'nakal'? Gak nyangka."
"Oppa, jangan godain aku. Ntar aku turunin di jalan," ancam Raesha dengan ekspresi menahan malu.
Ilyasa tertawa. "Tadi katanya kangen. Sekarang ngancam mau nurunin aku di jalan."
Raesha membuang pandangannya ke jalanan. Sebal! Dia sejak tadi berjuang melawan keinginan kuat untuk menggenggam tangan Ilyasa, dan memeluknya erat. Sekarang Ilyasa malah bercanda dengan santainya.
Ilyasa tersenyum geli ke arah calon istrinya. Dia menghela napas, sambil menyandarkan punggung di sandaran kursi belakang yang empuk.
Raesha terkejut saat tas tangannya diambil Ilyasa dan didekap Ilyasa di dada.
"Tasku diapain, Oppa?" tanya Raesha galak.
"Abis, meluk kamu gak bisa. Jadi aku meluk tasmu aja dulu. Aku mau tidur. Bangunin aku kalau sudah sampai rumahmu," jawab Ilyasa memejamkan mata.
Raesha ternganga. Serius dia mau tidur? batinnya. "Ngantuk banget kah?" tanya Raesha.
"Aku mau hemat energi. Buat nanti malem," lirik Ilyasa nakal.
Muka Raesha merah padam. Raesha mencubit lengan Ilyasa, membuat Ilyasa tertawa.
"Aduh nakal banget calon istriku. Cubit-cubit aku segala."
Raesha menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sejujurnya, dia gugup setengah mati, memikirkan malam pertama mereka nanti. Ilyasa malah bisa-bisanya menjadikan itu bahan lelucon. Dasar laki-lakiii!! jerit Raesha geram dalam hati.
.
.
"Wah wah! Calon pengantin sudah datang!" seru Erika ceria, menyambut kedatangan Ilyasa dan putrinya.
"Assalamu'alaikum, Tante," ucap Ilyasa bersedekap.
"Wa'alaikum salam. Masyaallah Ilyasa! Rambutmu jadi gondrong gini!" kata Erika syok melihat tampilan baru Ilyasa.
"He he. Saya tadinya khawatir Raesha gak suka rambut saya panjang, tapi karena dia bilang gak masalah, jadi --"
"Oh kamu jangan khawatir. Raesha cinta banget sama kamu. Dia bakal terima kamu apa adanya. Mau rambutmu panjang kek, pendek kek," canda Erika tertawa.
"Ibu!" seru Raesha malu. Ilyasa tersenyum senang. Dibilang Raesha cinta banget padanya, membuat hatinya serasa naik roller coaster.
Dana datang dan Ilyasa mencium tangan pria tua itu.
"Mana anak Ayah?" Yoga muncul di pintu depan. Ilyasa berlari dan memeluk Yoga sampai menubruk.
"Uff. Ya ampun. Ayahmu ini sudah makin tua. Kalau kamu tubruk terus seperti ini, nanti tulang Ayah retak," ucap Yoga tertawa.
Mata Ilyasa berkaca-kaca. Kangen sekali pada manusia langka ini. Ayah Yoga.
Raesha dan Erika tersenyum melihatnya. Tahu bahwa Ilyasa dan Yoga punya hubungan yang spesial. Yoga masih memperlakukan Ilyasa seperti anak kecil, dan Ilyasa berubah tingkahnya seperti anak-anak, khusus di depan Yoga.
"Ayo masuk. Sudah makan, belum?" Yoga memboyong Ilyasa yang masih merangkulnya erat, memasuki foyer menuju ruang makan.
Raesha menatap datar calon suaminya. "Sayang! Kopermu! Argh! Kalau sudah ketemu Ayah, aku dicuekin!" omelnya.
Erika cekikikan. "Ayo masuk. Calon pengantin gak boleh marah-marah, dong. Biar supir yang bawa koper Ilyasa," ucap wanita itu sambil memberi isyarat tangan pada supir. Pemuda yang menjadi supir Ilyasa dan Raesha tadi, segera menurunkan koper Ilyasa dan mengekori Erika dan putrinya memasuki rumah.
"Kak Arisa?" Ilyasa terkejut melihat seorang wanita bercadar hitam di ruang makan bersama seorang anak kecil berusia empat tahun.
"Assalamu'alaikum, Ilyasa," sapa Arisa terdengar ceria.
"Wa'alaikumussalam," Ilyasa membalas dengan sedekap tangan.
"Dan ini pasti Raihan," kata Ilyasa tersenyum pada anak laki-laki berwajah serius, duplikatnya Kak Yunan.
"Ayo cium tangan sama Om Ilyasa, sayang," kata Arisa pada Raihan.
Raihan turun dari kursinya dan mencium tangan Ilyasa. Mengamati Ilyasa lekat. "Ini Om Oppa?" tanya Raihan.
Ilyasa terkejut. Bukankah itu percakapan dua tahun lalu, waktu terakhir kali Kak Yunan menginap di rumah ini? Ilyasa dan Raihan sempat bicara melalui ponsel Raesha waktu itu. Raihan menyebut Ilyasa dengan sebutan Om Oppa, karena mendengar Raesha memanggil Ilyasa dengan sebutan Oppa. Ternyata Raihan masih ingat. Ingatannya bagus, untuk ukuran usia anak dua tahun saat itu.
Arisa terkikik. "Maaf," ucapnya.
"Kak Yunan --," kata Ilyasa sambil melirik ke kanan-kiri.
"Yunan tidak ikut. Dia ada konferensi di Paris. Kakak di sini mewakili dia," jelas Arisa sambil menahan malu. Ada-ada saja suaminya. Adik menikah kok malah lebih memilih ke luar negeri.
"Oh," gumam Ilyasa. Dia paham, Kak Yunan menghindari pertemuan langsung dengan Raesha, karena permasalahan gangguan-gangguan itu, tapi membiarkan istri dan anaknya pergi mewakili dirinya, tanpa penjelasan apapun, bukankah itu agak berlebihan? Seperti sedang ngambek atau semacamnya.
"Kak Arisa?" Raesha tiba di ruang makan bersama Erika. Terkejut melihat Arisa hanya berdua dengan Raihan.
"Tante Rae!!" Raihan berlari memeluk Raesha.
Mata Raesha berkaca-kaca. Sudah dua tahun tidak bertemu, Raihan lebih tinggi dan raut wajahnya terlihat lebih serius, makin mirip Kak Yunan.
"Ya Allah kangen," ucap Raesha membalas pelukan Raihan. Entah mengapa, ada rasa tak suka dalam hati Ilyasa, melihat Raesha dan Raihan selengket itu.
"Waduh kangen berat ya, Raihan. Dua tahun gak ketemu Tante cantik," kata Arisa terkekeh.
"Raesha, selamat ya, calon pengantin. Insyaallah jadi pengantin malam ini!" kata Arisa gantian memeluk Raesha.
"Makasih, Kak Arisa," Raesha membalas rangkulan kakak iparnya itu, meski rikuh.
"Mm ... Kak Yunan -- ," Raesha melihat sekeliling, dengan tatapan khawatir. Sedang berpikir, kalau ternyata ada Kak Yunan di rumah ini, dia rasanya ingin angkat kaki saja.
"Kak Yunan tidak ada. Kak Arisa datang mewakili Kak Yunan," Ilyasa yang menjelaskan.
"Oh," ucap Raesha, antara lega dan sedih. Dia sedikit berharap bertemu Kak Yunan, padahal itu bisa jadi buruk untuk mereka berdua.
"Tante Rae, nanti malam aku bobok sama Tante ya," kata Raihan menarik gamis Raesha.
"ENAK AJA! Tante cantikmu itu nanti malam bobok sama Om!!" protes Ilyasa segera.
"Oppa!!" jerit Raesha dengan muka semerah kepiting rebus.
Yoga yang pertama kali tertawa, disusul yang lainnya. Benar-benar, Ilyasa. Kelakuan bucinnya menyerupai Yoga. Sekarang rambut gondrongnya pun otw rambut Yoga.
.
.
***