Shakala (On Going)

By chocholate_girl

87.2K 8.3K 963

GXG✓ Semuanya serba singkat, Shaka mau tidak mau harus tinggal di rumah eyangnya yang berada di kampung dalam... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
Tulisan Shaka.
empat belas.
lima belas
enam belas.
tujuh belas.
delapan belas.
sembilan belas.
dua puluh.
duapuluh satu.
duapuluh dua.
duapuluh tiga.
duapuluh lima.
shakala.

duapuluh empat.

1K 143 42
By chocholate_girl

•Pelangi POV•

Satu tahun, 2 minggu dan 5 hari atau sama dengan 384 hari sudah aku menunggu kehadirannya. Kehadiran seorang gadis penyelamat hidupku, Shakala.

Tiga hari setelah kejadian itu, ibuku datang untuk menjemputku dan mengajakku untuk tinggal bersamanya. Dengan rasa tidak rela, aku meninggalkan Shakala yang saat itu masih belum sadar dari koma. Sungguh amat berat hari-hari yang ku jalani setelah pergi tanpa bisa tahu bagaimana keadaannya, apakah dia sudah sadar? Apakah dia sudah membaik? Apakah dia mencariku? Apakah dia merindukanku? Apakah dia mengharapkan kehadiranku disana?

Berbulan-bulan aku menunggu, mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa ku utarakan kepada diriku sendiri. Hingga akhirnya aku mendapatkan ijin, aku memberanikan diriku untuk berkunjung kesana, berharap dapat menemui dia. Tapi sayang beribu sayang, saat aku menanyakan perihal keberadaannya kepada Arin, gadis itu mengatakan bahwa Shakala telah pergi jauh. Shakala telah dibawa ayahnya kembali. Shakala ku pergi sebelum aku bisa mengucapkan terimakasih atau setidaknya melihat dia baik-baik saja.

Aku sempat mengunjungi desa itu beberapa kali, terakhir sekitar 5 bulan lalu aku kesana. Masih dengan tujuan yang sama, mempertanyakan keberadaan serta keadaan Shakala kepada Arinda Putri, satu-satunya orang yang ku yakini masih berkomunikasi baik dengan Shakala. Tapi entahlah, hasilnya selalu nihil. Dia tidak pernah memberiku jawaban soal keberadaan Shakala dan bagaimana keadaannya. Tapi hari ini, entah takdir baik milik siapa yang akhirnya mempertemukan kami berdua.

Ternyata, setelah sekian lama, anak kecil itu masih sama tingkahnya. Tidak ada yang berubah, dia masih menjadi Shakala yang dulu ku kenal. Shakala yang diam-diam sering ku goda demi melihat betapa menggemaskannya ekspresi yang akan dia tunjukan. Dia masih sama.

Dan sekarang, aku sedang berusaha sekuat tenaga menahan senyumku karena melihat betapa menggemaskannya dia saat berbincang dengan ibuku. Wajahnya yang beberapa kali menampakkan ekspresi bingung apalagi saat Ibu memeluknya dengan tiba-tiba. Rasanya ingin sekali aku menggodanya seperti dulu.

"Luka kamu bagaimana? Kamu sekarang juga sudah baik-baik saja kan?" Tanya Ibu terdengar khawatir.

"Ah itu, sudah sembuh. Aku hanya perlu check-up setiap beberapa bulan untuk memastikan bahwa lukanya memang sudah baik-baik saja..." Jawab Shaka.

Aku hanya diam mendengarkan perbincangan mereka berdua.

"Begitu ya. Kalau Nak Shaka tidak keberatan atau ada acara lain, saya secara pribadi mengundang Nak Shaka ke rumah untuk makan malam,"

"T-tapi saya tidak tahu rumah Pelangi dan Ibu dimana," Kata Shaka membuat aku hampir saja tertawa saat mendengarnya.

"Anggi, ajak Nak Shaka ke rumah biar dia tahu rumahmu. Jadi sewaktu-waktu saat dia ingin berkunjung, dia hanya perlu datang..."

"Iya Bu,"

"Saya masih ada pekerjaan yang harus dilakukan. Anggi, perlakukan Nak Shaka dengan baik ya?" Kata Ibu sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami berdua.

"Kamu apa kabar?" Tanya Shaka membuatku tersenyum tipis.

"Aku baik, kamu gimana?" Jawabku pelan, berusaha mengendalikan perasaan aneh yang tiba-tiba menyeruak di dadaku.

"Aku juga baik," Balas Shaka lengkap dengan senyum manisnya yang seketika langsung membuatku ikut tersenyum.

"Kamu tadi kelihatannya buru-buru, mau pergi?"

"Ah itu, enggak. Aku emang kadang begitu,"

"A-aku..."

"Kamu mau ikut aku ke rumah nggak? Ada sesuatu yang harus aku ambil..." Ajakku sengaja memotong entah apapun yang Shaka akan katakan.

"Boleh,"

"Ayo," Kataku sambil mengulurkan tanganku padanya.

Shaka menerima uluran tanganku dan sekarang tangan kami saling bertautan, hal itu jantungku berdegup dengan cepat. Perasaan ini muncul lagi. Kami langsung turun ke lantai satu kemudian menuju parkiran. Dengan reflek aku membukakan pintu untuk Shaka.

"Kamu nyetir mobil?" Tanyanya dengan nada hera.

Aku mengangguk, "Setelah kamu pergi, ada banyak hal yang berubah Shaka..." Jawabku kemudian mulai melajukan mobil menuju rumahku. Aku sengaja memilih belajar mobil dan melakukan beberapa hal lain untuk mengisi waktu luangku selama ini.

Perjalanan menuju rumahku hanya membutuhkan waktu kurang lebih sekitar sepuluh menit. Apalagi ditambah jalanan yang lancar membuat kami lebih cepat sampai.

"Ini rumah Ibu aku, ayo turun." Ajakku setelah aku memarkirkan mobil di garasi.

Shaka mengangguk kemudian ikut turun dan berjalan di belakangku. Seketika senyumku tidak bisa ditahan saat mengingat bahwa Shaka sedang bersamaku. Ah, menyenangkan sekali, sangat menyenangkan hatiku.

"Ikut aku ke atas ya, ke kamar aku..." Ajakku.

Shaka dengan patuh kembali mengikuti langkahku, langkah yang sekarang ini sangat ringan rasanya. Sungguh, sebenarnya aku sangat ingin langsung membawanya kedalam pelukanku. Bahkan sejak berada di kafe tadi, rasanya sangat sulit untukku bisa menahan diri. Tapi mempertimbangkan situasi yang kurang tepat membuatku sebisa mungkin menahan diri.

Aku membuka pintu kamarku dan mempersilakan Shaka untuk masuk, tapi sepertinya aku melupakan sesuatu. Aku lupa bahwa aku memiliki sebuah lukisan dengan wajahnya yang terpasang di dinding kamarku. Yang bisa langsung dilihat oleh siapapun saat orang itu baru saja masuk ke dalam kamarku. Astaga, bagaimana ini. Apalagi sekarang Shaka yang terlihat syok langsung menatapku dengan penuh tanda tanya. Apa yang harus ku katakan padanya?

"Eh itu..."

"Is that me? " Tanyanya.

"I-iya itu kamu..."

"Why do you have a painting with my face?"

"Aku–itu, karena," Jawabku terbata karena bingung harus menjawab apa. Karena sepertinya tidak mungkin jujur padanya bahwa aku begitu sangat merindukannya sehingga yang ada di kepalaku hanya dia dan wajahnya sehingga yang bisa kulakukan hanya menggambarnya ke dalam kanvas sehingga terciptalah lukisan ini.

Dia berjalan mendekati lukisan itu membuat jantungku berdetak makin kencang, ya Tuhan, bagaimana kalau Shaka marah?

"This is really good, looks real, really looks like me." Katanya membuat senyumku merekah. "Tapi kenapa aku nggak pernah tau kalau kamu bisa ngelukis?"

"Ah, itu aku juga baru bisa. Aku melukis buat mengisi waktu luang kok..."

"Kamu serius? Tapi ini beneran bagus, tapi lukisannya kelihatan lebih cakep daripada aslinya ya," Katanya membuatku terkekeh.

"Mana ada begitu, kamu jauh lebih cakep dibanding lukisan itu..." Kataku tanpa sadar kemudian langsung menutup mulutku sendiri.

Shaka menatapku seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Tapi benar, memang jauh lebih menawan aslinya. Apalagi sekarang, dia terlihat sedikit lebih dewasa dan tidak se kekanakan dulu. Tingginya juga sepertinya bertambah, ku rasa sekarang aku lebih pendek darinya.

"Aku boleh ngomong sesuatu? Sebenernya lebih ke meminta sesuatu sih," Kata Shaka terdengar ragu-ragu dalam mengatakannya.

"Boleh, asalkan sesuatu itu adalah hal yang bisa aku kasih."

"Boleh aku peluk kamu?"

Tanpa menjawab pertanyaan darinya aku langsung berjalan ke hadapannya kemudian memeluk dia. Anak ini, kapan sih tidak menggemaskan seperti sekarang? Astaga Shaka.

"Emang aku kelihatannya akan menolak kalau kamu minta sebuah pelukan, hm?" Bisikku.

"Aku–nggak tahu..." Jawabnya sambil membalas pelukanku dengan erat.

"I miss you, I miss you so much." Bisiknya pelan tapi bisa ku dengar dengan jelas.

"I miss you too..."

"I've been waiting for this moment from a long time," Bisiknya dengan suara serak kemudian mengeratkan pelukannya.

Eh, dia nggak nangis kan?

"Shaka, kamu baik-baik aja kan?" Tanyaku mencoba memastikan.

"Hmm.."

Dengan sedikit usaha aku mendorong tubuhnya yang sedang memelukku dengan cukup erat, bukan, bukan aku tidak menyukai pelukannya. Justru aku sangat menyukainya, tapi aku hanya ingin melihat wajah Shaka, memastikan bahwa bocah itu benar-benar tidak menangis karena aku mendengar suaranya yang berubah menjadi serak seperti menahan tangis.

"Apa?" Bingungnya karena aku menatapnya dengan intens.

"Just make sure you cry or not,"

"Iya,"

"Kamu tambah tinggi ya..." Kataku sambil menatap kedua matanya yang sekarang berusaha menghindari kontak mata denganku.

"Hm."

"Gimana kuliahnya? Cuaca disana, apa kamu suka?"

"Nggak gimana-gimana, ya gitu."

"Punya temen nggak disana?"

"Ada,"

"Berapa?"

"Satu."

"Kenapa cuma satu?"

"Daripada tidak ada sama sekali." Jawabnya membuatku terkekeh.

"Aku boleh duduk nggak? Pegel,"

Aku kembali terkekeh, astaga. "Iya ayo duduk disini aja," Kataku sambil menunjuk ranjangku.

"Iya,"

Shaka melirik jam tangannya. "Aku boleh pulang, eh balik ke hotel nggak? Nanti aku kesini lagi..."

"Mau ngapain?"

"Aku harus mandi sama ganti baju, nanti kalau nggak salah ibu kamu ngundang aku buat makan malam..."

"Oh itu, kenapa kamu nggak mandi disini aja? Aku punya beberapa baju yang belum pernah aku pakai, mungkin pas buat kamu..." Tawarku.

"Sepaket sama itunya nggak?"

"Sepaket sama apa?"

"Itu, anu, dalaman..."

"Ada sih, cuma nggak tau pas atau nggak di kamu,"

Shaka terlihat berpikir, dan aku memilih diam sambil melihat dia. Ah rindu ini, akhirnya terobati juga.

"Ya udah deh nggak apa-apa," Katanya dengan nada pasrah.

Aku tersenyum kemudian mengambil baju sepaket dengan 'dalaman' yang tadi ditanyakan oleh Shaka. Astaga, aku jadi malu sendiri.

"Kamu mandi duluan aja, aku ke bawah dulu." Kataku kemudian meninggalkannya.

Membicarakan soal makan malam, itu ibu mengajak Shaka untuk makan malam disini tapi siapa yang akan menyiapkan makanan ya? Kan tidak mungkin jika aku yang memasak.

Aku mengambil telepon rumah kemudian menghubungi nomor kafe milik ibuku. Jangan tanyakan soal dimana handphone ku, jawabannya adalah aku tidak punya. Karena aku tidak terlalu suka berurusan dengan benda itu. Meskipun aku sendiri tahu cara menggunakan beserta serentetan fungsinya. Tapi aku merasa belum perlu memilikinya, ada sih, sebenarnya waktu itu ibuku memberiku handphone supaya memudahkan kami dalam berkomunikasi dan aku lupa meletakan benda itu dimana. Sepertinya ada di meja nakas kamarku, atau di laci meja belajar ku ya? Eh dimana ya?

"Halo bu, ini kan tadi ibu ngajak Shaka makan malam, terus ini ibu nggak mungkin kan nyuruh Anggi buat masak?" Tanyaku setelah ibu mengangkat telpon.

"Ibu sudah pesan ko, nanti diantar ke rumah. Paling kamu bantu taruh di piring ya sayang. Sekitar satu jam lagi ibu pulang,"

"Iya bu,"

"Kamu masih sama Shaka? Kalian lagi dimana?"

"Aku ajak Shaka ke rumah bu, rencananya aku mau minta dia buat nginep. Boleh bu?"

"Oh begitu, boleh saja kalau ibu. Asalkan dia mau dan ndak keberatan..."

"Makasih ya bu. Ya udah Anggi mau mandi sambil nunggu makanannya dateng ya, Assalamu'alaikum..." Pamit ku kemudian menutup telpon.

Tidak lama setelah menutup telpon aku mendengar bel rumah berbunyi. Sepertinya itu adalah makanan yang ibu pesan jadi aku bergegas membukanya.

"Sore Mba Anggi hehe, ini saya mau antar pesanannya Bu Mirna..." Kata Mas Wisnu, karyawan rumah makan langganan ibu.

"Iya mas, terimakasih."

"Saya permisi ya Mba Anggi," Pamit Mas Wisnu.

Aku membawa makanan yang diberikan oleh Mas Wisnu ke dalam dan menaruhnya di meja makan kemudian mengambil beberapa piring untuk menaruh makanan itu. Setelah selesai aku memutuskan untuk kembali ke kamarku dan mandi, sepertinya dengan mandi bisa membuatku merasa lebih segar.

Aku lupa jika ada Shaka di dalam kamarku jadi tanpa mengetuk pintu terlebih dulu aku langsung masuk. Shaka yang sepertinya baru selesai mandi dan berdiri di ambang pintu kamar mandi terlihat kaget saat menyadari keberadaanku.

"Maaf, aku lupa kalau ada kamu..."

"Nggak apa-apa kok, aku juga udah selesai,"

Tanpa basa basi lebih banyak aku langsung mengambil baju ganti kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Rasanya jadi agak canggung sekarang dan aku berusaha menghindari kecanggungan itu.

Aku langsung membasahi kepalaku dengan air yang mengalir melalui shower. Rasanya segar sekali, bahkan saking segarnya saat mataku tertutup muncul Shaka di dalam bayanganku membuatku menggeleng mencoba mengusir bayangannya.

Setelah kurang lebih sepuluh menit aku sudah selesai mandi. Tapi sial, handuk yang aku taruh disini dipakai oleh Shaka dan aku lupa tidak membawa handuk penggantinya. Dan sialnya lagi Shaka pasti ada di kamarku karena dia tidak mungkin pergi ke bawah atau ke sisi lain  rumah ini tanpa ijin kan? Aku malu.

Dengan ragu aku membuka sedikit pintu kamar mandi dan mengintip keberadaan Shaka, dia sedang duduk di ranjangku seperti tadi.

"Shaka..." Panggilku.

Shaka yang tadi sibuk dengan handphonenya langsung menatapku. "Kenapa?"

"Boleh minta tolong?" Tanyaku yang membuat dia dengan sigap bangkit dan menghampiriku, membuat diriku sedikit panik.

"Apa?" Tanyanya setelah berdiri di depan pintu.

"Tolong ambilin handuk di lemariku, aku lupa nggak bawa..."

"Di sebelah mana?" Tanyanya sembari mendekati lemariku.

"Kamu buka pintu yang kanan, ada di bagian bawah."

"Oke,"

Astaga aku lupa, selain handuk cadangan disitu juga tempat 'aset' milikku.

"Ini," Kata Shaka dengan wajah datarnya saat menyerahkan handuk kepadaku.

"Makasih," Aku langsung menutup pintu dengan rapat tidak lupa menguncinya sesaat setelah handuk itu sudah berpindah tangan kepadaku. Semoga Shaka tidak berpikiran macam-macam karena hal tadi.

•••

Kami memakan makan malam dengan santai diselingi dengan beberapa obrolan ringan bertemakan Shaka. Malam ini Shaka menjadi topik pembicaraan sekaligus narasumber yang sedang diwawancarai oleh ibuku.

"Jadi Nak Shaka kuliah di Jerman? Terus ini lagi libur jadi pulang kesini?"

"Iya tante,"

"Kuliah disana enak ndak? Anggi ibu suruh lanjut kuliah disini saja ndak mau, apalagi kalau sampai ke luar negeri seperti kamu ya. Mungkin dia minggat sekalian,"

"Ibu..." Kataku sedikit merengek.

"Loh iya toh, kamu ini kan sudah ibu tawari mau kuliah dimana. Katanya ndak mau kuliah, mau mengisi waktu luang kamu dengan melukis saja, atau belajar hal-hal baru lainnya. Ya ibu akhirnya cuma bisa pasrah aja kan, ndak bisa ibu maksa-maksa kamu kalau kamunya ndak mau..."

"Kan Anggi udah jelasin sama ibu, kalau Anggi nggak tertarik buat kuliah. Dan memang ada banyak hal lain yang bisa aku lakuin kan selain kuliah?"

"Nggih nduk, kan ibu bilang juga ndak apa-apa, pasrah saja ibu. Yang penting kamu sehat-sehat, terus ada disini nemenin ibu."

"Iyaa..."

Sebentar, sepertinya topik pembicaraannya agak melenceng. Kenapa jadi membahas aku yang tidak mau kuliah. Aku melirik Shaka sekilas yang masih asyik dengan makanannya. Syukurlah.

"Nambah lagi Nak Shaka, makan yang banyak ya. Jangan kayak Anggi, badan sudah kurus begitu masih susah aja disuruh makan."

Aku lagi.

"Iya tante, ini udah cukup kok. Nanti kalau kekenyangan juga nggak baik,"

"Ya sudah ndak apa-apa. Kamu di Yogyakarta sampai kapan usiaku nduk?" Tanya ibuku, bagus bu, aku juga ingin tahu masih berapa lama lagi waktu yang bisa ku habiskan dengan Shaka.

"Mmm.. Aku sudah disini hampir seminggu, jadi lusa aku harus balik ke Jerman," Jawabnya membuatku merasa sedih. Dia sudah seminggu disini? Tapi kenapa baru hari ini kami bertemu?

"Wah sayang sekali, coba saja kalau Nak Shaka ketemu sama Anggi dari kemarin-kemarin, pasti ibu suruh Anggi buat nemenin kamu jalan-jalan." Kata ibu yang membuat Shaka melirik ku sekilas.

"Haha iya sayang sekali ya bu. Meskipun sepertinya kurang beruntung tapi saya tetep aja beruntung karena bisa ketemu sama Pelangi." Kata Shaka membuatku langsung menatapnya.

Mata kami bertemu, entah kenapa aku merasakan ada sorot kesedihan yang terpancar.

"Nanti kalau sudah selesai ditinggalin aja piringnya biar ibu yang beresin, siapa tau Nak Shaka mau ngobrol-ngobrol sama Anggi. Kan kalian sudah lama nggak ketemu,"

"Baik bu, terimakasih..." Jawab Shaka diakhiri dengan senyum.

Mendengarnya aku langsung memakan makananku dengan lahap supaya cepat selesai. Berarti aku masih punya waktu satu hari bersama dia, itupun jika dia mau bersamaku.

"Nak Shaka coba bilang sama Anggi supaya mau pegang handphone seperti orang lain. Siapa tau kalau kamu yang bilang dia jadi mau pakai handphone, kadang ibu sulit menghubungi dia, dia punya handphone tapi sepertinya cuma buat pajangan..."

"Oke, nanti saya bilangin bu..." Kata Shaka sambil melirik ku.

"Anggi udah selesai, Anggi ke atas dulu ya bu..." Pamit ku kemudian meninggalkan ibu dan Shaka.

Cukup sudah aku tidak mau lagi mendengar permintaan-permintaan ibu terhadap Shaka. Ada-ada saja ibuku ini, kan tidak semua orang harus kecanduan gadget.

Aku duduk di meja belajar ku kemudian menyalakan laptop. Apa? Aku memang tidak bukan seseorang yang aktif dalam menggunakan handphone, tapi bukan berarti aku juga tidak menggunakan gadget lainnya. Meskipun kebanyakan laptop ini ku gunakan untuk browsing tentang hal-hal yang ingin ku pelajari.

Aku menoleh ke arah pintu saat mendengar pintunya terbuka. Tentu saja, Shakala.

"Maaf, ngagetin kamu ya?" Tanyanya.

"Engga kok,"

Shaka duduk di bagian ranjang tepat di belakang bangku yang aku duduki. Entah dia sedang apa sekarang karena aku berusaha menyibukkan diri dengan bacaan di hadapanku.

"Kamu lagi apa?"

"Lagi baca aja, kenapa?"

"Nggak apa-apa sih, cuma nanya."

Aku menutup halaman website yang sedang ku baca kemudian memutar bangkuku menjadi berhadapan Shaka. Kenapa wajahnya selalu terlihat tenang sehingga kadang aku sulit memprediksi apa yang sedang dia pikirkan?

"Kenapa?"

"Hm?"

"Kenapa kamu liatin aku terus?"

"Kamu manis," Jawabku kemudian tersenyum membuat Shaka langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tapi karena hal itu aku bisa melihat pipinya yang sedikit memerah. Dia blushing?

"Kamu juga lucu, kamu tau nggak kalau pipi kamu sekarang merah?" Kataku kemudian terkekeh.

Shaka langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya membuatku tertawa.

"Kapan sih kamu nggak bertingkah kayak gini? Aku gemes banget tau nggak?" Kataku jujur.

"Stop buat aku salah tingkah."

"Aku nggak ngelakuin apapun,"

"Ya."

"Jangan ditutup gitu mukanya Shaka, aku kan jadi nggak bisa liat kamu yang malu-malu," Godaku.

"Never in a million years." Katanya membuatku kembali terkekeh untuk yang kesekian kalinya. Ternyata seperti ini Shakala mode salah tingkah.

"Oke-oke, aku nggak godain kamu lagi. Ayo sini ngobrol, kita kan udah lama nggak ketemu," Kataku ikut pindah duduk di ranjang.

"Ngobrol apa?" Tanyanya setelah menurunkan tangannya.

"Apa ya?"

"Nggak tau, aku nggak pernah ngobrol dan nggak suka ngobrol." Katanya.

"Bohong, dulu pas sama aku kamu sering ngajak aku ngobrol kok,"

"Iya, tapi dikit."

"Ya udah coba liat HP kamu, kita cari obrolan dari situ," Kataku dan Shaka malah memberikan handphone nya yang tadi berada di atas nakas kepadaku. Astaga anak ini.

"Maksudnya nggak gini," Kataku sambil geleng kepala.

"Terus gimana?"

"Ya udah nggak apa-apa, oke kita lihat apa yang bisa kita jadikan obrolan disini. Hm, tiktok ya, coba kita buka tiktok..." Gumamku kemudian membuka aplikasi tiktok di handphone Shaka.

Shaka hanya diam memperhatikan aku yang sedang sibuk scrolling di akun tiktoknya.

"Ini Piala Dunia kamu dukung siapa? Eh kamu suka nonton bola nggak sih?"

Shaka menggeleng sebagai jawaban.

"Oke topik lain, apa ya, oh ini ada drama baru punya Song Jong Ki. Kamu suka drakor?"

Lagi, dia menggeleng.

Aku menghela nafas. "Oke pasti ada hal lain yang bisa kita obrolin," Kataku berusaha mencari sesuatu yang bisa dijadikan topik pembicaraan oleh kami.

Dahiku mengernyit saat melihat sebuah video dengan bahasa asing berisikan dua orang gadis yang sedang duduk berbincang entah apa, tapi dari terjemahan yang aku baca disitu tertulis 'peraturannya, setiap kali aku menggigit bibirmu kamu boleh menggigit hidungku' dan saat adegan dimana salah satu gadis itu menggigit bibir temannya darahku tiba-tiba berdesir. Astaga, perasaan aneh apalagi ini.
(Referensi : GAP The Series Episode 5 bagian 3)

Aku melirik Shaka yang terlihat fokus melihat layar handphonenya. Bibirnya yang pink menggemaskan membuatku ingin menggigitnya sama seperti di video yang aku lihat barusan. Ck, pikiran mesum macam apa yang merasuki diriku.

Shaka menatapku dengan tiba-tiba membuat aku yang tertangkap basah sedang memperhatikannya jadi salah tingkah.

"Mau?"

"Hah?"

"Mau main game itu nggak?"

"Hah?! Game apa?"

"You can bite my nose every time I bite your lip."

Astaga Shaka.

"Cause honestly, I really want to bite your lips." Katanya dengan suara serak kemudian mendekatkan dirinya padaku.

Shakala Dewani, jika memang ciuman pertamaku harus dimiliki olehmu, dengan senang hati aku akan memberikannya. Dengan senang hati...

:•::•:

Setting waktunya emang agak rancu sih. Ikutin aja alurnya ya hehe.

3000 kata, sampe pegel nulisnya, sampe ditinggal tidur sama pacar karena bosen nunggu nggak kelar-kelar.

Semoga kalian suka ya.

Thanks.

Dipskyar.

Btw yg nonton GAP The Series toss dulu sini...

Continue Reading

You'll Also Like

Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.3M 224K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...
540K 58.3K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
620K 24.4K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...