Secret Admirer

נכתב על ידי beebaebees

269K 10.2K 296

Syahnarra hanyalah gadis lugu yang kerap kali terlibat ancaman dan suatu hal yang berbahaya. Dia mengagumi St... עוד

1. Pesona Stevano
2. Hari Ulang Tahun Narra
3. Kejutan Untuk Narra
4. I'am Jealous, Boy's - Part A
5. I'am Jealous, Boy's - Part B
6. Patah Hati
7. Menjelang Ujian Nasional
8. Setelah Ujian Nasional
9. Prom Night
10. Mama.. You Always In My Heart
11. Species (Special Part)
12. Venna or Joana? (Special Part)
13. Masihkah Kau Mencintaiku? (Special Part)
14. Hurt (Special Part)
15. Not a Bad Thing
16. Seriously?
17. Almost
For You Information!
19. Remember
20. Barbeque's Time
21. And I'm Very Love You
22. Matchmaking
23. Stevano or Rendy?
24. Pengakuan
25. Suasana Yang Mengharukan
26. More Beautiful Than a Dream
27. Day With Vano's
28. A New Beginning
29. Ide Gila
30. Really Complicated
31. Kasus Baru
32. Hampir Selesai
33. Pengakhiran
Simplicity of Love Promotion
EPILOGUE SECRET ADMIRER

18. Dangerous

6.3K 271 22
נכתב על ידי beebaebees

Aku sampai di sebuah Rumah Sakit tempat dulu Venna memeriksakan kandungannya beberapa bulan yang lalu. Kami semua mendorong bangsal yang diatasnya tergeletak Venna yang sedang mengalami pendarahan menuju ke Unit Gawat Darurat. Rendy selaku Dokter yang menangani Venna sudah lebih awal masuk ke dalam UGD untuk menyiapkan beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk memeriksa ibu hamil yang bernotabene sahabatku ini.

Kami semua cemas menunggui keterangan Rendy tentang bagaimana kondisi keadaan Venna dan tentu saja bayinya yang sedang di periksa di dalam ruang UGD. Mario terus-menerus merutuki dirinya yang mungkin sedang sangat merasa bersalah karena tak bisa menjaga istri dan calon anaknya dengan baik.

Aku dan kedua sahabatku lainnya juga kerap menangis karena takut terjadi apa-apa pada Venna. Ku lihat keluarga besar Venna dan Mario hadir di depan ruang Unit Gawat Darurat ini. Tante Sofia dan Tante Eva ikut menangis mendengar perihal kabar kondisi Venna kritis, terlihat Mas Alvin hadir disini memberi dukungan pada Mario bersama kedua ayah mereka, Om Marco dan Om Ray.

Aku benar-benar merasa bersalah. Mengapa aku terlalu mendorong Venna dengan sangat antusias. Shit! Aku kecewa pada diriku sendiri.

"Mari ku antar kamu mengobati lukamu." Aku mendongak ke asal suara yang menyapaku. Ooh, Mas Alvin.

"Narra gak apa-apa kok, Mas." Kataku dengan suara serak karena lelah sedari tadi menangis.

Mas Alvin menggapai lenganku kemudian membantuku berdiri, aku pun mengikuti kemauannya. Mas Alvin jadi merangkul pinggangku menggunakan lengan kokohnya. Saat itu pula Vano datang menyergap aku dan Mas Alvin bermaksud memisahkan.

"Biar aku saja." Kata Vano menggantikan sekaligus mengambil alih posisi Mas Alvin.

Aku merasa tak berdaya saat aku berdiri diatas kakiku sendiri. Rasanya lemas. Aku nyaris jatuh namun Vano segera menggendongku. Vano berjalan sambil menangkup punggungku dan kedua kakiku. Jika di jabarkan, posisinya seperti di sebuah film fenomenal yang romantis berjudul Fifty Shades of Grey. Vano berjalan seperti Mr.Grey dengan menggendong aku yang di perankan Annastasya Steele, but kali ini suasanya berbeda.

Aku sampai di sebuah ruang rawat. Dokter mulai mengobati luka di kening dan bagian belakang kepalaku. Perban mulai menggulung menjadi sebuah tumpukan di kepalaku ini. Suster juga menancapkan sebuah jarum infus di tangan kiriku. Dan Vano setia duduk disamping bangsal tempat ku berbaring. Ooh, aku sakit lagi.

"Kamu juga terluka." Ucapku pelan sambil mengusap darah yang masih bercucuran di pelipis kanan Vano menggunakan tangan kananku.

Mendapat perlakuan seperti itu, Vano langsung menepis tanganku dengan kasarnya. Ah, Vano kenapa berubah seperti ini.

"Aku mau kamu jelaskan kejadian ini." Katanya dengan sangat dingin.

Aku menghela nafas mencoba mengumpulkan kembali kata-kata yang masuk di akal untuk di cerna oleh seorang Stevano yang tak akan mudah percaya dengan apa yang terjadi padaku begitu saja.

"Aku mempunyai secret admirer." Vano tertawa mendengar kata-kata yang barusan ku utarakan. Ya, Vano, I know! Mana ada yang menyukaiku, makanya kamu ketawa begitu. Ucapku kesal dalam hati.

"Hanya orang bodoh yang mengagumimu, Narra." Kata Vano dengan sinisnya. Aku ikut terbawa suasana dengan menampilkan senyuman sinisku.

"Dan kamu salah satunya." Tukasku emosi.

"Hei, Dokter itu juga salah satunya." Sela Vano setengah berteriak.

Aku mengerutkan keningku menatap Vano tak percaya. Apa maksud dari perkataan Vano? Maksudnya ia cemburu dengan Rendy? Memangnya aku ada hubungan apa dengan Rendy sampai ia tak suka seperti itu.

"Maksudmu Rendy?"

"Entahlah siapa namanya, aku tidak mau tau. Yang ku tau, kamu juga menyukainya, kan?" Sergap Vano dengan pertanyaan yang aneh menurutku.

"Aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Paham?" Kataku sebal dituduh seperti itu.

Vano diam. Pemudaku itu tak lagi melanjutkan ucapannya setelah aku menggertaknya. Biarkan saja ia berpikir dengan merenungkan kata-kataku tadi.

Aku menyentuh tangan Vano yang terkepal dengan kuatnya. Tangan Vano terasa dingin, mungkin karena pengaruh AC di ruang rawat ini.

"Aku hanya mencintaimu, Vano." Kataku lirih. Vano menatapku, tatapannya masih terlihat marah dan emosi. Tetapi setidaknya aku sudah memberitahukan perasaanku yang sebenarnya pada Vano.

"Permisi, apa anda yang bernama Narra?" Suara Suster mengagetkan kami sekaligus membuat suasana di ruang rawat ini sedikit hangat.

Aku memperhatikan Suster yang berjalan ke arahku ini sambil membawa sebucket bunga mawar merah di tangannya. Bunga lagi? Pasti dari si penerror itu.

"Dari siapa, Sus?" Tanyaku pada Suster sambil menerima kiriman bunga tangan itu.

"Maaf, saya tidak tau. Permisi ya." Kata Suster itu dengan ramahnya kemudian berpamitan.

Tinggalah aku dan Vano yang mengisi sudut ruang rawat ini lagi. Suhu AC yang dingin rasanya kalah dengan sikap Vano padaku malam hari ini.

Aku mencium bucket mawar merah ini. Baunya masih harum, seperti baru di petik. Hari ini, sudah 2 bucket mawar merah yang ku terima. Namun berbeda dengan kiriman bunga pagi tadi, bunga malam ini terdapat kartu ucapan yang ditujukan untukku.

"Aku mencintaimu, Narra." Kata Vano membacakan secarik kartu ucapan yang tertera pada bucket mawar merah ini. Vano lancang, itu kan bukan haknya.

"Hebat! Jadi saat ini aku harus bersaing begitu untuk mendapatkanmu?" Ucap Vano marah sambil bertepuk tangan tak suka.

Aku melemparkan bucket mawar merah itu ke arah Vano. Aku muak mendapat perlakuan seperti itu dari orang yang seharusnya melindungiku tetapi ini malah mencurigaiku terus.

"Kalau kamu benar-benar ingin mendapatkan aku, perjuangkan aku seperti kamu memperjuangkan para gadismu yang lain!" Aku berteriak pada Vano yang sudah berdiri meninggalkan posisi duduknya dari samping bangsalku.

Aku pun ikut bangun menuruni bangsal ini dengan memegangi tiang infusanku. Vano seperti khawatir saat aku mulai melangkah keluar kamar rawat dengan jalanku yang tertatih-tatih.

"Tetap berbaring." Kata Vano sambil memeluk pinggangku. Aku berusaha menepisnya, tetapi usahaku sia-sia karena aku sedang merasakan tubuhku yang lemas saat ini.

Jadilah kami keluar kamar rawatku dan berganti tempat untuk memulai pembicaraan lagi. Aku duduk di kursi ruang tunggu depan kamar rawatku dan Vano berlutut di depanku sambil menggenggam kedua tanganku.

"Aku dan Rendy hanya teman, Vano. Kamu harus percaya. Rendy sangat membantuku. Aku harap kamu juga akan membantuku menyelesaikan semua masalah yang diberikan si peneror ini." Jelasku penuh harap. Semoga dengan ini Vano menjadi mengerti dan menyampingkan egonya.

"Aku harus apa?" Tanya Vano dengan tatapan innocent-nya.

Aku mulai menjelaskan apa yang harus Vano lakukan untukku dan untuk menangkap si peneror ini. Vano mengangguk mengerti mendengar penjelasanku.

"Aku akan menjagamu." Ucap Vano sambil mencium kedua tanganku yang ada dalam genggamannya.

"Ayo kita obati lukamu." Kataku lembut sambil mengelus-elus pipi Vano menggunakan ibu jariku. Vano pun mengerti dan membantuku untuk duduk diatas kursi roda. Vano mendorong kursi rodaku untuk mencari Suster dan Dokter baru untuk merawat luka di pelipis Vano. Ya, kami berdua terluka akibat benturan di panggung itu. Ini semua gara-gara si peneror itu.

***

"Apa disini ada yang bernama Mario?" Tanya seorang Dokter muda yang memakai kacamata hitam keluar dari ruang UGD tempat Venna di periksa. Siapa lagi kalau bukan Rendy.

"Saya, Dok. Saya Mario." Kata Mario yang langsung bangun dari duduknya di kursi tunggu depan Unit Gawat Darurat ini.

"Bagaimana keadaan adik saya, Dok?" Serang Mas Alvin dengan pertanyaannya yang terlihat khawatir.

Sejenak Rendy diam. Seperti berat mengatakan sesuatu perihal kondisi Venna dan bayinya. Aku dan tentu saja semuanya ikut dibuat penasaran dengan jawaban yang akan Rendy katakan. Acara mengobati luka di pelipis Vano telah selesai, kini baik aku dan Vano, kami sama-sama di perban. Tetapi Vano tak separah aku sampai harus menduduki kursi roda. Begitu mendengar Rendy akan mengabarkan sesuatu hal tentang Venna. Maka aku dan Vano segera bergegas kemari.

"Dok!" Pekik Mas Alvin. Air mukanya terlihat keruh dan pucat. Ooh, saat ini Venna beruntung sekali di temani oleh orang-orang yang banyak mencintai dan mengkhawatirkannya.

Rendy masih diam. Mungkin ia sedang menyusun berbagai kosa kata untuk di ungkapkan. Aku semakin merasa bersalah jika Venna mengalami hal yang parah dan berimbas pada bayinya.

"Ren, jawab!" Sergapku tak kalah pelak emosi.

"Aku harus jujur atau bohong pada kalian?" Bukannya menjawab pertanyaan dan kegelisahan kami. Rendy malah balik bertanya. Apa gunanya ia bernotabene menjadi seorang Dokter?

"Jadi selama ini kalau memberi kabar pada semua keluarga pasien, Dokter berbohong? Begitu?" Tanya Annisa yang mulai kesal dengan tingkah menyebalkan Rendy.

"Kondisinya masih belum membaik. Tetapi Venna sudah sadar dan boleh di jenguk, secara bergantian ya." Aku mengucap syukur tatkala Rendy mengatakan hal yang berbanding terbalik dengan yang ku pikirkan sedari tadi.

Jadilah Mario masuk terlebih dahulu menemui Venna. Sama dengan apa yang Venna inginkan, bukan? Menemui Mario terlebih dulu.

"Narra, aku harus bicara denganmu." Kata Rendy berlutut didepan kursi rodaku ini. Sekaligus ia menahanku dan Vano untuk berpamitan dari Rumah Sakit.

Melihat suasana seperti ini lantas membuat Vano berdehem. Tampaknya ia tak menyukai adegan seperti ini.

"Soal apa, Ren?" Tanyaku masih sama dengan suara yang lemas.

"Soal pengagummu." Aku mengerutkan keningku. Mengapa Rendy seperhatian ini padaku? Berbeda dengan Vano.

"Sudah ada aku yang akan menjaga Narra." Sela Vano cepat.

"Tetapi aku juga akan menjaga Narra." Tandas Rendy yang lantas membuat Vano mengepalkan kedua tangannya keras-keras.

"Stop! Aku bukan seseorang yang lemah untuk dijaga. Aku mampu menjaga diriku sendiri!" Kataku mencoba memisahkan dua kubuh yang saling bersitegang ini.

Vano dan Rendy saling diam. Namun tak dapat di hindari jika nantinya aku tidak ada didekat mereka, maka perkelahian akan terjadi.

"Aku mau kalian bekerja sama. Untukku. Itu tujuan kalian, kan?" Ucapku terdengar serius.

"Tetapi aku hanya mau menjagamu dengan kedua tanganku sendiri, Narra." Kata Rendy bersungguh-sungguh.

"Hei!" Teriak Vano yang membuatku kaget setengah mati. "Narra's mine!" Gertaknya tak kalah bersungguh-sungguh pada Rendy.

"Cukup! Aku bilang berhenti! Kalau kalian masih beradu mulut seperti ini, lebih baik aku mengatasi semua masalah dari si penerror itu sendiri!" Kataku kesal sambil berlalu meninggalkan mereka dengan menjalankan kursi rodaku sendiri.

Aku muak dengan sifat kedua pemuda yang egois itu. Mereka pikir aku apa? Barang pecah belah yang harus di jaga tanpa boleh jatuh? Shit! Aku manusia biasa, Vano, Rendy!

***

Mario meletakkan sebuah kursi tepat disamping bangsal Venna yang kemudian ia duduki. Venna tersenyum mendapati suaminya kini tengah berada di sampingnya, artinya Mario benar-benar setia, bukan? Rela menungguinya sampai terbangun sekarang ini.

"Aku senang kamu sadar." Kata Mario dengan mata berbinar.

"Bagaimana keadaan bayi kita?" Tanya Venna tiba-tiba. Jika akan menjadi seorang Ibu, prioritas utama pemikirannya pasti disudutkan pada calon buah hatinya.

"Dia baik, Sayang. Dia anak yang kuat, seperti kamu." Ucap Mario menenangkan sambil menggenggam tangan kanan Venna.

Wanita hamil yang sedang mengandung bayi berusia 6 bulan itu tersenyum dan akhirnya bisa bernafas lega. Syukurlah, anaknya baik-baik saja.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Venna ingin tahu. Sejenak Mario diam.

"Mario, aku ingin tau. Beri tau aku." Kata Venna mendesak.

"Sepertinya kita semua dalam bahaya." Venna mengerutkan alisnya saat Mario berkata danger. Apanya yang berbahaya?

"Narra sedang mendapati terror, akhir-akhir ini. Aku, bahkan Vano dan Narra-nya sendiri tidak tau siapa penerrornya. Tapi untuk masalah di cafe sore tadi, sudah aku laporkan pada pihak yang berwajib." Kata Mario lagi.

"Jadi semuanya kena terror?" Tanya Venna dengan air muka yang terlihat tegang.

"Just Narra."

"Tapi Narra itu sahabatku, jelas kita semua ikut merasakannya. Mana ada sahabat yang tega melepaskan sahabatnya sendiri terjerat permasalahan sebesar ini." Tukas Venna berambigu.

"Ya, aku mengerti kekhawatiranmu. But, untuk saat ini tolong perhatikan kondisimu saja dan bayi kita. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja."

Saat Mario menasihati Venna dengan lembut. Tiba-tiba saja lampu di Rumah Sakit ini padam. Semua berubah menjadi gelap total.

"Mario!!" Jerit Venna takut akibat lampu yang entah kenapa bisa padam seperti ini.

"Ya, Sayang? Aku disini. Tenang." Mario bangkit dari duduknya dan langsung berpindah duduk ke atas bangsal Venna. Mario dengan sigap membangunkan Venna sambil mengambil infus tanpa tiangnya itu.

"Mario, aku takut." Venna memeluk pinggang Mario dengan eratnya. Jelas siapa yang tidak takut mendapati lampu yang padam di Rumah Sakit besar seperti ini. Jika hanya dirumah saja, mungkin tak akan separno sekarang ini.

"Aku akan membawamu keluar." Mario membopong tubuh Venna beserta perut buncitnya untuk diletakkan diatas kursi roda.

"Kemana yang lain?" Dalam situasi seperti ini, Venna masih saja memperdulikan nasib yang lain.

"Mereka pasti sudah keluar atau sedang mencari para petugas yang mengerti dengan listrik. Sudahlah, pikirkan nasib kita dulu." Kata Mario sambil memberikan botol infus pada Venna untuk di pegang.

Mario pun langsung ambil langkah meninggalkan kamar rawat Venna sambil mendorong kursi roda yang diduduki istrinya ini. Semua sudut tampak gelap, lalu bagaimana caranya akan keluar?

"Kita gak bisa keluar, Yo, gelap!" Mario segera putar otak untuk menemukan sebuah alat penerang agar mereka bisa keluar dari Rumah Sakit ini.

"Handphone!" Seru Mario sambil mengeluarkan gadget bercase hitam miliknya dari saku jaket coklat yang ia kenakan. Mario langsung menyetel mode lampu yang selalu ON dan diberikan kepada Venna. Ooh, beruntunglah ada barang itu.

Venna langsung memimpin jalannya keluar Rumah Sakit dengan penerangan seadanya. Satu-satunya yang sedang ia pikirkan saat ini hanyalah bisa keluar dari kegelapan lampu yang padam. Yang entah di sengaja atau memang sedang ada gangguan listrik.

***

Aku mengarahkan kursi rodaku ini masuk ke dalam toilet. Aku ingin membasuh wajahku yang kelihatannya kusam di depan cermin ini. Oh, cermin lagi. Beruntung tak ada tulisan mengerikan itu.

Aku menyalahkan keran air di wastafel ini. Rasanya segar, air dingin ini telah menyapu bersih wajahku serta mataku agar tak terlalu mengantuk. Ku lihat jam dinding terletak diatas kaca, jarum jam yang panjang menunjuk ke angka 2 dan jarum jam yang pendek ke angka 11. Jadi sekarang sudah jam 11 malam lewat 10 menit. Hmm, aku berani sekali berkeliaran di Rumah Sakit saat menjelang tengah malam seperti ini.

Bulu kudukku seketika merinding saat aku merasa ada seseorang berpenampilan hitam melewatiku dari belakang. Aku lantas menoleh namun tidak ada siapa-siapa dibelakangku.

"Hei, siapa disana?" Suaraku menggema mengisi kesunyian malam di toilet ini.

Aku menggelengkan kuat kepalaku. Aku harus meyakinkan diriku bahwa yang tadi itu bukan apa-apa dan hanya ilusinasiku saja karena aku terlalu lelah -mungkin-.

Aku kembali memutar roda disamping kursi yang ku singgahi ini bermaksud meninggalkan toilet. Tetapi saat aku ingin keluar toilet, tiba-tiba saja lampu padam dan membuat semua sudut gelap total. Ya ampun, apa aku sedang bermain dalam sebuah film bergenre horror. Semuanya datang dengan tidak tepat sekali.

Aku merogoh saku jeansku untuk menemukan Iphone milikku, tapi sial, alat canggih itu tak ada. Kemana ya? Aku mencoba berpikir ulang, dimana aku meletakkan Iphoneku? Mengapa sih jika keadaannya penting seperti ini, barang yang kita inginkan tak ada. Ah, sial! Iphoneku ada dalam tas kecil coklatku yang terletak di dalam kamar rawat. Ya Tuhan!

"Vano! Rendy!" Teriakku mencoba memanggil nama dua orang yang tak pernah akur itu kalau bertemu. Barang kali mereka mencariku atau sedang lewat depan toilet. Tetapi hingga saat ini, tak ku dengar langkah seseorang memasuki toilet. Jika di butuhkan saja, mereka malah menghilang. Dasar!

Aku mencoba bangun pelan-pelan meninggalkan kursi rodaku ini. Nyatanya berhasil meskipun kakiku terasa berat sekali untuk melangkah. Aku berjalan tertatih-tatih sambil memegangi tembok bercat putih ini. Upayaku untuk keluar meninggalkan toilet pun berhasil. Jadilah kini aku berada di luaran toilet. Aku tak tau harus melangkah kemana, siapapun yang mempunyai alat penerang semacam senter, aku pinjam. Teriakku dalam hati.

Aku terus berjalan tanpa tujuan dengan pandangan gelap. Sumpah, kali ini aku hanya mengandalkan feeling-ku saja. Tega sekali sih yang memadamkan lampunya, mana tak ada seorang Dokter atau Suster yang berjaga malam ini. Benar-benar tega!

Saat aku kembali melangkah, kakiku merasa menginjak sesuatu, apalagi ini? Aku memungut sesuatu itu. Walaupun aku baru mendapatkannya dua kali dalam seharian ini, tetapi aku sudah sangat hafal aroma dan bagaimana bentuknya.

"Hmmm, bunga." Gumamku.

Aku berpikir sejenak. Setiap kali ada bunga, pasti ada sesuatu yang akan terjadi. Jadi artinya, si penerror itu ada di sekitar sini? Di dekatku? Dalam keadaan gelap seperti ini?

"Siapapun kamu, tolong jangan ganggu aku! Please. Aku takut!" Jeritku frustasi.

Ku dengar ada derap langkah kaki mendekat ke arahku. Hatiku semakin mencolos saat samar-samar ku lihat seseorang itu berjalan sambil memegang pisau belati di kedua tangannya. Pakaiannya sama persis dengan orang yang memotong kabel lampu sorot panggung di cafe sore tadi. Jadi begini cara si penerror akan menunjukkan kekagumannya padaku?

"Narra." Ucap si penerror dengan suara beratnya yang seperti pernah ku dengar suara itu. Tetapi kapan dan dimana, ya?

Aku segera mengambil langkah mundur saat si penerror semakin berjalan mendekat ke arahku. "Siapa kamu? Hah? Kamu mau apa?! Tolong, jangan ganggu aku!"

"Aku ingin nyawamu!" Si penerror itu berteriak membentakku. Aku lantas berjengit kaget mendapat perlakuan seperti ini. Ah, gila, beraninya ia berteriak bahkan sampai membentakku. Siapapun belum pernah ada orang yang melakukan itu padaku.

"Nyawa? Apa sih maksudnya? Kita bahkan gak saling kenal! Apa salah aku sama kamu?" Teriakku sambil terisak.

Aku merasa tubuhku terbentur tembok. Tak ada lagi jalan untuk melangkah mundur. Sementara si penerror itu semakin dekat. Bagaimana ini?

Kedua pisau belati itu seperti menancap di tembok tepat di sisi kanan dan kiri wajahku saat aku sudah tepojokkan. Aku diapit oleh penerror dan kedua pisaunya ini. Kedua tanganku bahkan sampai tertahan di dada bidang si penerror agar tak terlalu dekat. Apa yang akan ia perbuat? Langsung membunuhku menggunakan kedua pisau belatinya itu atau.. Merenggut keperawananku? Bisa saja kan semua itu dilakukan orang psycho semacamnya.

"Kau takut, Narra? Hah?" Kata si penerror ini sambil mengelus lembut pipiku menggunakan ibu jarinya yang memakai sarung tangan. Ku yakini itu juga berwarna hitam.

Aku memejamkan mataku berharap semua ini hanyalah mimpi buruk, tetapi tidak, bahkan deruan nafas sang penerror sangat terasa menghembus wajahku. Benar, kan? Apa saja bisa di perbuat oleh orang yang terlalu terobsesi. Aku takut kalau sampai ia berani menciumku atau bahkan mengambil harta berharga milikku. Lebih baik aku mati!

"Kamu aman bersamaku." Ucap si penerror ini dengan lembutnya sambil mendekatkan wajahnya yang sudah semakin dekat denganku. Ya Tuhan, aku ingin first kiss-ku bersama Vano.

Aku menekuk lututku kemudian ku arahkan ke atas dengan menendak keras-keras area kejantanan si penerror. Akibatnya ia mengaduh sakit dan mulai merenggangkan apitannya padaku sambil memegangi miliknya menahan sakit.

"Sialan!" Gumamnya tertahan.

Melihat kondisi seperti ini segera ku manfaatkan. Aku langsung -mencoba- berlari diatas kakiku yang terasa lemas dan sakit ini. Ku lihat kebelakang si penerror mulai mengejarku. Aku harus mengumpat agar ia tak terus mengikuti aku.

Aku melihat sebuah meja resepsionis Suster di sampingku. Kosong. Maka aku segera mengambil tempat di belakang resepsionis yang jauh dari pandangan ini untuk mengumpat. Aku berharap si penerror tak dapat menemukanku.

"Narra, kamu dimana, Sayang?" Katanya dengan suara menakutkan. Aku mengintip dari balik celah meja. Sang penerror berdiri di depan meja resepsionis. Jangan temukan aku sekarang!

Aku bisa bernafas lega saat si penerror mulai berjalan melewati meja resepsionis ini, artinya ia tak menyadari keberadaanku disini. Namun tiba-tiba aku merasa ada sebuah tangan membekap mulutku. Siapa ini?

Aku nyaris memberontak saat sebelum orang itu berkata, "Hey, Sayang, tenang! Ini aku, Vano."

Aku menoleh kebelakang dan ku lihat ternyata itu benar, Vano! Meski gelap begini, aku hafal betul aroma parfum Vano. Aku lantas memeluknya. Vano balas memelukku dengan cemas.

"Vano, aku takut." Ucapku pelan sambil menangis ketakutan.

"Ssstttt. Ada aku, tenang ya. Aku janji akan bawa kamu keluar dari sini." Kata Vano sambil mencium puncak kepalaku.

"Penerror itu ada disini. Dia nyaris membunuhku." Kataku setengah berbisik pada Vano.

Air muka Vano terlihat tegang sama sepertiku. Mungkin ia sedang memikirkan cara bagaimana bisa keluar dan mengungkap status penerror misterius itu.

"Oke, sekarang kamu ikut aku, jangan melepaskan tanganmu." Kata Vano posesif sambil menggenggam erat tanganku. Kami berhasil kabur dari meja resepsionis dan memasuki sebuah kamar rawat. Aku harap ini bukan kamar mayat.

Vano mengunci pintu bercat putih ini dan menyuruhku duduk diatas bangsal. Suasana tampak tenang sekarang ini, tapi tetap saja aku takut. Lampu pun masih padam. Rumah sakit yang menyeramkan.

"Aku mau kamu tenang, kita pikirkan semua ini bersama." Kata Vano tegang.

"Pikiranku buntu saat kamu meninggalkanku sendirian!" Sanggahku emosi.

"Kamu yang pergi meninggalkanku begitu saja. Ingat?" Tukas Vano tak kalah emosi.

"Tapi tadi aku nyaris mati, Vano!" Sungutku kesal.

"Baru nyaris, kan? Belum mati!" Sela Vano yang membuatku semakin kesal.

Perdebatan kami berhenti sejenak, saat sebuah pisau belati kembali menancap di pintu bercat putih kamar rawat ini. Ooh, Tuhan, penerror itu tau keberadaan kami.

Vano merangkul pinggangku membantuku turun dari bangsal. Pintu terbuka dengan sekali dobrakan dari si penerror yang lantas memasuki kamar rawat ini.

"Ternyata kamu disini, Sayang." Aku meremas kuat-kuat sweater hitam yang Vano gunakan. Aku takut. Aku baru merasakan ketakutan yang sebenarnya adalah bukan pada saat Papa meninggalkan aku dan Mama atau Vano tak mencintaiku lagi. Tapi aku takut, saat ada seseorang yang menginginkanku teramat sangat seperti penerror ini yang jelas-jelas akan membahayakan nyawaku dan orang yang ku cintai.

"Mundur lo! Dasar psycho! Dia milik gue! Paham? Hah?" Gertak Vano pada si penerror.

"Siapapun tidak ada yang boleh memilikimu, Sayang." Ucap si penerror sambil kembali berjalan mendekati kami. Ya, aku dan Vano.

Sampai pada akhirnya penerror misterius itu meraih pergelangan tanganku kemudian di genggamnya kuat-kuat. Aku bahkan merasa tanganku memerah karna terlalu di cengkram kuat olehnya.

"Ikut aku!" Seru si penerror berusaha menarikku dari pelukan Vano.

"Enggak! Lepasin!" Teriakku berusaha melepas genggaman tangan si penerror.

"Eh, brengsek lo!"

BUGGG!!

Vano menghantam keras wajah si penerror dengan buku-buku tangannya yang sudah terkepal sejak tadi menahan emosi yang menyulut. Si penerror pun jatuh tersungkur kelantai dekat bangsal.

"Ayo kita kabur, Narra!" Ajak Vano sambil masih menempatkanku dalam pelukannya.

"Semua gelap, Vano!" Kataku ketakutan.

Vano merangkul pinggangku sambil berlari menuju jendela yang lebar di kamar rawat ini untuk menjauhi si penerror yang masih kesakitan. Dengan susah payah aku mengikuti langkah Vano yang berlari meski kakiku teramat sakit.

Vano berusaha membuka kunci jendela tersebut. Tetapi kelihatannya susah sekali. "Shit!" Umpatnya kesal karena tak berhasil membuka jendela untuk menjadi jalan keluar kami.

"Kenapa?" Tanyaku cemas.

"Gak bisa di buka." Kata Vano putus asa.

"Kena kamu." Aku kaget setengah mati saat tangan penerror itu memegang kaki kiriku dengan posisinya yang telungkup dan merangkak disampingku. Aku berusaha melepaskannya dengan menginjak tangan si penerror sekaligus menendangnya kasar.

"Argh!" Si penerror memekik kesakitan. Itu hukumannya!

Vano langsung memeluk pinggangku yang setengah diangkatnya. "Kamu siap?"

"Apa?" Tanyaku tak mengerti.

Bukannya menjawab pertanyaanku. Vano malah memerintahku, "Peluk aku. Pejamkan matamu."

"Untuk apa?" Tanyaku lagi.

"Lakukan!" Aku segera melakukan hal yang Vano minta. Aku memeluknya dan memejamkan kedua mataku. Dan apa yang akan pemuda ini lakukan? Aku sungguh tak percaya.

"Aarrgghh!" Teriak kami bersamaan saat menembus jendela kaca yang besar ini. Vano gila! Beruntung ini di lantai satu. Tetapi rasanya sekarang aku seperti sedang bermain film action. Tadi horror, sekarang action-_-

Kami jatuh terlempar ke aspal jalan samping rumah sakit. Oh, aku merasa beberapa serpihan kaca menembus kulitku. Rasanya perih. Aku tergeletak lemah di aspal ini dan ku lihat Vano pingsan disampingku. Aku juga merasakan pusing menjalar di kepalaku. Kakiku sakit. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya padaku dan Vano. Badanku terasa kaku, ku rasa banyak darah mengalir di beberapa bagian tubuhku. Aku mendengar beberapa sirine mobil polisi datang kemari sebelum akhirnya pandanganku gelap dan buram.

~~~

Yessss. Aku berhasil, hehe. Haiii, selamat pagi (sebelum jam 12 siang itu masih pagi lho), akhirnya aku publish juga ya kelanjutannya. Huhuhu, terlalu drama ya? Lebay? Atau tijel? Abis cuma itu yang ada di pikiranku. Terima kasih yang sudah memberikan semangat, votenya dan komentar kalian. Terima kasih sudah meluangkan waktu menunggu cerita ini, membaca dan semacamnya. Untuk part kali ini aku mau kalian berkomentar ya-ya.. Supaya aku gak ngaret lagi. Keluarkan uneg-uneg dan kekepoan kalian pada Secret Admirer di kolom komentar. Hehe, thank u so much.

המשך קריאה

You'll Also Like

1.5M 130K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
586K 27.8K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
1.8M 79.7K 36
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
6.3M 485K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...