TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁...

By AlienMoomin

2.6M 184K 4.1K

Mana mungkin pria yang dulunya Naza hormati sebagai kakak ipar, kini harus Naza layani sebagai suami. _______... More

Awalan
01. Arti Pernikahan
02. Kemelut Janji
03. Sepotong Roti
04. Batas Kita
05. (Bukan) Sepasang
06. Tangisan Malam
07. Permintaan Kecil
08. Belum Usai
09. L'appel du vide
10. Marmer Hitam
11. Acara Keluarga
12. Prahara Pekerjaan
13. Perkara Masakan
14. Rumah Impian
15. Aroma Nasi Goreng
16. Kejutan Temu
17. Satu Almamater
18. Tidur Bersama
19. Terlanjur
20. Amplop Putih
21. Koper dan Masa Lalu
22. Hati Manusia
24. Syarat Kebahagiaan
25. Hukum Dunia
26. Cara Kerja Hati
27. Kokohnya Sebuah Rumah
28. Keraguan & Keyakinan
29. Seandainya Kita Bisa Bahagia
30. Parameter Kebahagiaan
31. Kenapa bukan Dia
32. Kenyataan yang Tak Bisa Kita Hindari
33. Pilihan
34. Pulang dengan Kedewasaan
35. Rumah Seharusnya
36. Dongeng Sepatu
37. Ketakutan Akan Masa Depan
38. Waktu yang Tepat untuk Jatuh Cinta
39. Berdua Lebih, Baik!
40. Hari Bersamamu
41. Masa Lalu Kita
42. Akhir Skenario Tuhan
Akhiran
Sequel/Spin-off
Intip aku, dong!
Apa kabar, Natha?
AU Abang Leon
Sisi lain dari kisah Alby dan Naza.

23. Tamu (Tak) Diundang

58.1K 4.3K 119
By AlienMoomin

Pagi tiba, Naza bangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tenggelam dalam balutan selimut tebal di kamarnya sendiri. Naza pikir, Alby masuk ke kamarnya hanya bagian dari bunga tidur. Ternyata, perasaan berdebar itu Naza rasakan begitu nyata. Setiap kata yang Alby ucapkan masih terngiang di telinganya. Wajahnya kembali bersemu merah Dia kembali masuk ke dalam balutan selimut tebalnya, menyembunyikan wajahnya yang tersipu.

Di balik selimut itu, Naza menendang-nendang kakinya sendiri. Bahkan dia mengerang tanpa suara. Entah apa yang dia lakukan di dalam selimut itu. Jika dilihat dari luar, terlihat bagaimana buntelan putih itu terus bergerak dan menggeliat seperti ulat daun pisang yang sedang kasmaran.

“Aw!”

Kepala Naza terbentur pada sandaran ranjang. Dia meringis dan langsung keluar dari balutan selimutnya. Sambil mengusap-usap kepalanya yang terasa gatal karena benturan itu, Naza tertawa pelan. Dia pandangi seisi kamarnya. Ternyata, kekacauan yang dibuatnya tadi malam sudah berakhir. Kamarnya sudah kembali rapi, koper hitamnya sudah tak ada, dan setiap pakaiannya sudah kembali masuk ke dalam lemari pakaian. Naza yakin, Alby yang merapikan semuanya.

Setelah mengumpulkan seluruh nyawa dan kewarasannya, Naza beranjak untuk beralih ke kamar Leon. Namun, ruangan yang didominasi warna biru muda itu kosong, Leon tak ada di sana.
Naza langsung melirik jam dinding. Harusnya, jam sembilan pagi Leon belum bangun. Bayi berusia satu tahun itu akan menangis minta susu atau meminta popoknya diganti setelah Alby berangkat kerja. Naza melirik kamar Alby yang kini pintunya terbuka lebar. Ternyata, kamar Alby pun kosong. Padahal, sekarang akhir pekan.

“Kemana mereka?” tanyanya.

Pertanyaan Naza langsung dijawab oleh suara gaduh dari lantai bawah. Suara piring beradu dan spatula yang bersentuhan dengan wajan di bawah sana mendominasi pendengaran Naza.

“Bi Yanti udah datang sepagi ini?” Naza kembali bermonolog, menerka jika saja itu suara Bi Yanti yang sudah sibuk memasak di dapur.

Naza berjalan cepat menuju area dapur. Bukannya Bi Yanti, tapi malah punggung Alby yang menyambut Naza. Pria itu sepertinya sangat serius dengan kegiatannya pagi ini. Naza lebih terkejut saat melihat Alby juga tengah menggendong Leon di depan dadanya. Pria itu bahkan menggunakan gendongan bayi berwarna biru agar Leon bisa nyaman saat dia sibuk dengan pekerjaannya.

“Mas .…”

Alby tersenyum. Dia mendekati Naza dan membawa perempuan yang masih berwajah bantal itu untuk duduk di depan meja makan.

“Selamat pagi,” ucap Alby. Setelah mengecup pucuk kepala Naza, pria itu segera menghidangkan beberapa masakannya untuk Naza.

Masakan Alby memang sederhana. Hanya segelas susu dan beberapa potong sandwich tuna, tapi ini pertama kalinya Alby memasak untuk orang lain. Selama ini, dia yang selalu menerima masakan orang lain. Saat sendirian pun, Alby lebih memilih memesan makanan cepat saji daripada memasak sendiri.

Jadi, kesederhanaan ini cukup spesial, bukan?

Naza hanya terdiam, memperhatikan bagaimana Alby begitu telaten menghidangkan masakannya. Setelah itu, Alby mendudukkan Leon di kursi mungilnya dan memberikan bayi gembul itu sebotol susu formula.

Naza sadar, Alby begitu berbeda saat ini. Sekarang, Naza semakin yakin, malam tadi Alby benar-benar masuk ke kamarnya dan semua perkataannya memang nyata.

Berbeda dengan Alby, dia menyadari kalau Naza hanya mematung di tempat duduknya. Alby kembali tersenyum sambil duduk di depan Naza. “Cobain masakan mas. Enak gak?” ucapnya.

Meski dengan pikiran yang masih bertanya-tanya, Naza memasukkan potongan sandwich itu ke mulutnya. Dia tak henti mengunyah, tapi tatapannya tetap tertuju pada Alby.

“Kenapa? Gak enak ya?” tanya Alby.

Naza langsung menggeleng dengan cepat. “Ewnak!” ucapnya kesusahan karena mulutnya yang masih penuh.

Senyuman terbit dari wajah rupawan Alby. “Syukurlah, habiskan,” ucapnya.

Naza kembali mengangguk seperti anak kecil. Makanan buatan orang lain memang selalu terasa lebih enak. Dia begitu lahap menikmati sandwich buatan Alby. Tak lupa, dia juga meneguk susu yang Alby siapkan untuknya.

“Z-za ….”

Suara Alby terdengar ragu. Alby berpikir sejenak. Mungkin, Natha ada benarnya. Dia dan Naza perlu bicara berdua dengan benar. Dia ingin mengatakan perasaannya pada Naza secara terang-terangan. Bukan dengan cara diam-diam seperti malam tadi.

“Kenapa?” tanya Naza.

“Za, Mas mau bicara,” ucap Alby lagi. Dia malah makin bingung untuk memulainya dari mana. Yang jelas, dia ingin menyampaikan perasaannya pada Naza saat ini juga. “Za—”

“PERMISI!”

Teriakan seseorang dari luar rumah lebih dulu menyela ucapan Alby dan mengambil alih perhatian Naza. Mereka menoleh ke arah pintu keluar yang memang terlihat jelas dari arah dapur dan ruang makan.

“PERMISI! PAKET! Ada orang di rumah!”

Entah siapa di luar sana. Orang itu terus berteriak. Bahkan dia menekan bel rumah dengan brutal dan membabi buta. Seingat Alby, dia sedang tidak menunggu paket.

“Punya kamu?” tanya Alby.

Naza sama herannya. Dia menggeleng. “Bukan. Aku gak pesan apa-apa kok,” sahutnya.

“PAKET GANTENG NIH, BESTIE!”

Alby mendengus kesal. Orang gila mana yang berteriak pagi-pagi, tapi dari suaranya, Alby dan Naza terasa familiar.

Alby beranjak dari kursi dan segera memeriksa si pelaku pengganggu itu. Langkahnya bahkan terkesan dihentak-hentakan karena kedongkolannya sendiri. Saat membuka pintu, Alby malah terkejut melihat Jimmy yang berdiri di balik pintu  dengan dua koper besar.

“Loh, Jim ... kamu masih di Jakarta?” tanya Alby heran.

Padahal, baru tadi pagi orang tua Alby memberi kabar bahwa mereka telah kembali ke Yogyakarta, tapi Jimmy malah datang ke sini. Pemuda sipit itu nyengir penuh arti. Alby hapal betul dengan ekspresi wajah adiknya itu.

Pasti ada maunya nih bocah, diam-diam batin Alby menggerutu.

“Hehehehe …. itu Mas. Aku nginep di sini boleh ya?” tanya Jimmy dengan cengiran khasnya.

“Nginep?” tanya Alby memastikan.

“Menginap alias bermalam alias tidur di rumah ini. Boleh, ya? Boleh dong! Asyik, boleh~” sahut Jimmy dengan cepat.

Tanpa menunggu perizinan sang kakak, Jimmy langsung melenggang masuk ke dalam rumah. Kelamaan gaul dengan Harsa, Jimmy yang imut dan menggemaskan sekarang sudah bermetamorfosis menjadi adik yang sangat menyebalkan. Rasanya, Alby ingin menoyor kepala si tiang listrik itu.
Jimmy mendorong dua koper yang dibawanya sambil celingak-celinguk mencari keberadaan Naza. “Mbak Naza!” Jimmy berteriak dengan suara menggelegar.

Alby mencebik. “Jimmy! Mas belum ngasih izin loh!”

“Kenapa?” tanya Naza. Dia datang bersama Leon di pangkuannya karena mendengar teriakan Alby dan Jimmy. Setahu Naza, kakak-beradik itu memang tak pernah akur.

“Mbak Naza! Aku nginep di sini boleh, ya?” tanya Jimmy.

Bukannya menjawab, Naza malah menatap Alby. Di balik punggung Jimmy, Alby membuat tanda silang besar dengan kedua tangannya. Pria itu juga menggelengkan kepalanya dengan ribut.

Melihat Naza yang terus menatap Alby, Jimmy langsung menoleh, memeriksa kelakuan kakaknya itu. Alby segera melempar pandangan pada cicak yang ada di langit-langit rumah. Dia berpangku tangan sambil bersiul-siul menyenandungkan lagunya pagi ini.

“Kenapa? Ada cicak lewat pake daster,” sahut Alby.

Jimmy langsung memasang wajah julid. Memang tak berguna bertanya pada Alby, kakaknya itu tak mungkin mengizinkannya untuk menginap. Jimmy kembali menatap kakak iparnya, meminta perizinan dari perempuan cantik itu.

“Boleh.”

Satu kata dan Naza membuat Alby terbelalak sempurna. Dia melempar tatapan bertanya pada Naza.

“Jimmy boleh nginep di sini ‘kan, Mas?” tanya Naza.

“Hah?! Oh, i-iya. Boleh dong ... masa gak boleh,” sahut Alby sambil menggerakkan giginya. Dia merangkul bahu Jimmy dan mencengkeramnya diam-diam. “Jangan aneh-aneh kamu,” bisiknya ke telinga Jimmy.

“Mbak Naza, Mas Alby kasar ih. Bintang satu ah, gak ramah!”

“Mas ….” Naza tak bisa berbuat apa-apa melihat kelakuan Alby dan adiknya.

“Iya. Nginep doang. Jangan aneh-aneh.” Alby menyerah.

“Jadi, di mana aku tidur?” tanya Jimmy sambil melepas rangkulan Alby dari bahunya.

Naza mengedip beberapa kali. Dia baru ingat, kalau rumah yang mereka tempati tak memiliki banyak kamar. Semua kamar sudah terisi. Karena dia dan Alby masih pisah kamar, jadi tak ada kamar kosong lagi saat ini. Dia menelan ludahnya dengan kasar, akan berbahaya jika Jimmy tahu kalau mereka masih tidur terpisah.

Gimana Mas? tanya Naza melalui sorot matanya pada Alby.

Ya, gimana? begitu respon Alby melalui raut wajahnya.

Alby menemukan ide fantastis dan mungkin ini akan menjadi kesempatannya juga. Dia berjalan mendekati Naza. “Za, tolong pindahin barang-barang Mas ke kamar kamu,” bisiknya, lalu mengambil alih Leon. 

Naza mengerti. Dia mengangguk. “Mbak rapikan dulu kamarnya. Nanti kamu tidur di atas, samping kamar Leon,”  ucapnya pada Jimmy.

Jimmy tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya, dia bisa menginap di rumah kakaknya. Sudah sejak dulu, dia ingin tinggal bersama Alby. Lebih tepatnya tinggal di Jakarta supaya lebih dekat dengan ayangnya yang memang tinggal di Jakarta. Namun, Alby selalu menolak. Dia takut tak bisa menjaga bujang itu.

Meski Alby dan Jimmy bukanlah saudara kandung, Alby tetap menyayanginya. Dia takut Jimmy terkontaminasi pergaulan bebas apalagi sampai mengenal dunia malam Jakarta. Terlebih, saat Jimmy sudah mengenal Harsa. Tamatlah sudah akhlak bujang berusia 22 tahun itu.

“Jadi berapa hari, kamu nginep di sini?” tanya Alby. Dia berusaha mengalihkan perhatian Jimmy saat Naza sibuk memindahkan barang-barang Alby ke kamar Naza.

“Tiga bulan!” sahut Jimmy.

“Jangan bercanda kamu!” timpal Alby. Jika tidak bersama Leon, Alby hampir saja mengeluarkan kata-kata kasar.

“Iya, Mas. Aku lagi program magang. Kebetulan, ditempatkan di Jakarta. Sebetulnya, aku mau cari kosan, tapi kata Papah di rumah Mas aja. Mungkin Papah juga lupa buat ngomongin ini. Tadinya, mau minta izin dari kemarin. Cuman, saat acara kaya kemarin ‘kan semuanya pada sibuk. Jadi, sekarang deh, aku ke sini lagi, hehehe,” jelas Jimmy sambil terkekeh.

Alby mengangguk. Setahu Alby, Jimmy memang sedang fokus pada studi. Pemuda itu tengah mengejar gelar sarjana untuk menjadi seorang pemrograman komputer. Bukan sebuah pelanggaran juga jika dia membiarkan Jimmy tinggal bersama mereka selama program magangnya berlangsung. Dari pada Jimmy kost sendirian, Alby akan jauh lebih khawatir.

Ternyata, keberadaan Jimmy tak begitu buruk juga. Rumah menjadi lebih hidup dan ceria karena kelakuan aneh Jimmy. Pemuda itu juga bisa diandalkan untuk bermain bersama Leon.
Asyik bercengkerama, tak terasa sekarang sudah malam.

Alby masuk ke kamar Naza. Pernikahannya bersama Naza sudah hampir satu tahun, tapi malam ini akan menjadi pertama kalinya mereka berbagi satu ranjang yang sama.

Di sana, Naza sudah meringkuk di tepi ranjang. Jantung Alby tiba-tiba berdegup kencang. Padahal, saat malam pertamanya bersama Zia tak segugup ini. Melihat tubuh Naza yang tertutup selimut itu, membuat pikiran Alby berkelana kesana kemari.

Ayolah Alby ... hanya tidur, batin Alby bergumam. Dia menepuk-nepuk wajahnya untuk mengembalikan kewarasannya.

“Za,” panggilnya.

Naza terperanjat. Dia bangkit dari tidurnya. Perempuan cantik itu hampir lupa bahwa malam ini dia harus tidur sekamar dengan Alby. Eh, bukan hanya malam ini, tapi mungkin selama Jimmy ada di sini atau mungkin seterusnya. Jujur saja, Naza tak mau terus-terusan memiliki jarak dengan Alby.
Kini, Alby dan Naza tidur saling memunggungi satu sama lain dengan sebuah guling panjang yang menjadi penyekat antara keduanya.

“Za,” panggil Alby,  tapi tak ada jawaban dari Naza. “Za, maaf ya kalau tiba-tiba Mas kentut,” ucap Alby lagi.

Tetap tak ada jawaban dari Naza. Perempuan itu sepertinya sudah tertidur. Padahal, beberapa menit yang lalu masih sempat mengucapkan selamat tidur pada Alby.

Alby memutar tubuhnya untuk memeriksa keadaan Naza. Ternyata, benar. Naza sudah tertidur. Bahkan posisinya sudah berbalik ke arahnya. Naza terlihat seperti anak kecil saat memeluk guling dengan erat. Alby mengikis jaraknya untuk mendekati Naza. Dia menggantikan posisi guling itu dengan tubuhnya sendiri.

“Za,”  bisiknya.

Naza mengerjap dan langsung terkejut saat Alby berada dalam pelukannya.

“M-mas!” pekiknya gelagapan.

Alby membungkam bibirnya Naza dengan kecupannya. Dia dekap tubuh Naza yang terasa begitu hangat. “Begini dulu sebentar, boleh ya.”

— ° ° ° —

Continue Reading

You'll Also Like

984K 36.6K 68
Pernikahan tanpa cinta, itu yang sedang Ishana jalani sekarang bersama dengan pria yang di jodohkan dengannya. "Hidup sama kamu ataupun hidup sendiri...
170K 9.2K 56
Diawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan...
6.2M 235K 31
Devano Putra Syahreza (27) harus menerima perjodohan yang dilakukan oleh mamahnya dengan anak sahabat mamahnya karena ia tak kunjung menikah sampai b...
1.5M 81K 29
Cita-cita Saira itu salah satunya pengen nikah muda. Itu sih gak masalah, tapi yang bikin mumet lagi, Saira kepengen punya suami Pilot. Katanya sih...