Rio memijat pangkal hidungnya saat mengingat apa yang dilakukan Ratih tadi. Ia tidak habis pikir mamanya itu kembali melakukan hal yang sama seperti dulu mesti berulang kali ia menolak tapi Ratih terus saja berusaha menjodohkannya dengan wanita yang berbeda dan yang pasti pilihan Ratih sendiri. Meski kini Ratih sudah tau tentang Ify dan Gio tapi mamanya itu tetap saja ingin memisahkan mereka.
Rio mengambil bingkai foto Ify yang terletak di atas meja kerjanya. Tadi ia langsung pergi ke kantor. Tidak mungkin ia pulang ke rumah Ify dalam keadaan pikiran yang kacau, pasti nanti akan membuat ibu dari anaknya itu berpikir yang bukan-bukan.
"Only you Fy, only you in my heart."
Rio mengusap gambaran wajah Ify dari atas permukaan kaca bingkai yang kini tengah ia pegang. Melihat senyum wanita itu secara naluriah membuat hatinya perlahan tenang, rasa berkecamuk di dadanya perlahan menghilang.
Hanya dengan melihat seulas senyum Ify, mendadak hatinya merindukan wanita itu. Apa yang sedang istrinya itu lakukan sekarang. Rio meletakkan kembali foto itu pada tempatnya dan beralih mengambil smartphone dari saku celananya. Ia pikir ada baiknya menelpon Ify saja, siapa tau perasaannya bisa kembali normal setelah mendengar suara memenangkan wanita yang amat ia cintai itu.
"Halo."
Rio tersenyum simpul mendengar suara lembut di seberang sana. Rasa ingin segera pulang tiba-tiba hadir begitu saja. Oh Rio merasa dirinya kembali seperti abg yang sedang jatuh cinta dan baru mengenal cinta pada lawan jenis.
"Hem,"
Jawabnya,
"Kok hem sih. Kamu kenapa Yo? bukannya lagi kerja ya?"
"Iya ini lagi kerja sayang tapi gak bisa fokus."
Rio berbicara setenang mungkin agar Ify tidak curiga pada nada bicaranya yang terasa lelah, hanya memikirkan omongan mamanya saja membuat ia lelah.
"Lah, kok gak bisa fokus? kamu butuh aqua kali,"
Entah Ify berusaha membuat lelucon atau tidak yang jelas ucapan wanita itu berhasil menciptakan kekehan dari mulut Rio.
"Kamu mau ngelucu?"
"Hehehe habis kamu aneh, kenapa bisa jadi gak fokus coba?"
"Mau tau kenapa?"
"Hem. Kenapa?"
"Gimana mau fokus Fy. Kamu tuh muter - muter terus di pikiran aku."
"Alahh gombal. Inget umur Yo. Udah punya anak juga."
"Kok gombal sih? ini aku serius loh."
" Iya deh, terserah kamu aja."
"Hahaa. Sayang aku gak bisa pulang ya siang ini, ada meeting jadi aku makan di kantor aja."
"Iya gak apa-apa, asal jangan gak makan aja."
"Ok siap cantik. Eh Gio mana sayang? kok gak ada suaranya."
"Gio ada. Lagi main sama anak tetangga di halaman belakang, sama bibik juga kok."
"Hem. Terus bundanya lagi di mana? jangan aneh - aneh loh kerjanya katanya tadi pagi lemes kan?"
"Iya. Ini lagi di kamar kok, tiduran sambil mainin hp terus kamu telpon."
" Aduh pengen pulang aku yang."
"Hah ngapain?"
"Ngerjain kamulah apalagi kalo udah di kamar."
"RIO!"
"hahahaha."
Tawa Rio tergelak mendengar teriakan istrinya. Sudah bisa ia bayangkan bagaimana ekspresi wanita itu saat ia godai seperti ini. Ah kan, lelahnya otak dan pikirannya menjadi hilang.
Memang Ify seperti obat baginya. Kadang menjadi obat penenang layaknya nikotin kadang juga menjadi obat untuk mengembalikan moodnya. Sesuai situasi yang ada.
"Udah ah aku tutup aja. Kamunya suka aneh kalo ngomong."
Rio tersenyum saat panggilannya di putuskan oleh Ify.
"Hem pasti malu. Jadi pengen pulang beneran gue, coba aja kalau gak meeting udah aku kurung kamu di kamar sayang."
Meletakkan smartphonenya di atas meja, Rio beralih membuka laptop dan beberapa berkas yag perlu ia periksa untuk bahan meeting nanti bersama perusahaan lain yang ingin bekerjasama dengan perusahaannya.
****
Di tempat lain, Ify tersenyum sendiri sambil memeluk bantal gulingnya. Pikirannya masih tentang Rio dan apa yang pria itu ucapkan di telpon tadi.
"Jadi kangen Rio, padahal masih jam sepuluh pagi. Ih Rio jahat banget sih buat aku kangen. Gak bisa pulang lagi siang ini. Harus nunggu sore dong."
Lagi-lagi Ify tersenyum. Bibirnya tak bisa berhenti untuk tersenyum.
"Mending lihat Gio ah daripada senyum sendiri kayak orang gak jelas karena mikirin ayahnya mending samperin anaknya. Moga aja bisa ngurangin rasa kangen kan Gio mirip banget sama Rio."
Ify bangkit dari tidurnya dan beranjak menuju taman belakang rumahnya. Bisa gila ia kalau terus memikirkan pria yang bernama Rio, tak lain adalah suaminya.
***
"Kamu tenang aja ya. Tante akan buat Rio bisa nerima kamu."
Ratih mengusap bahu Ilma saat wanita itu mengatakan ketakutan nya perihal penolakan Rio tadi padanya.
"Tapi tante, Rio keliatan banget gak sukanya sama aku, gimana kalo beneran Rio terus berusaha buat pertahanin istri dan juga anaknya."
Ratih menggeleng.
"Enggak sayang, tante yng urus soal istri dan juga anaknya. Kamu tenang aja,"
"Beneran tante?"
Ilma menatapnya penuh harap.
"Iya bener sayang."
"Tante, aku punya ide biar Rio mau ninggalin wanita itu."
Usul Ilma tersenyum misterius pada Ratih.
"Oh iya, apa sayang?"
Ilma mendekatkan mulutnya ke telinga Ratih guna untuk membisikkan sesuatu rencana yang mungkin menurutnya bisa untuk mendapatkan Rio.
Ratih mendengarnya dengan seksama dan sesekali wanita paruh baya itu mengangguk - anggukan kepalanya setuju dengan apa yang Ilma katakan.
"Gimana tante?"
Wanita cantik itu meminta persetujuan Ratih.
"Oke. Tante setuju sama ide kamu. Secepatnya kita akan laksanakan rencana kamu sayang."
"Hem oke tante. Yaudah Ilma pulang ya tante, masih ada urusan sama mama soalnya."
Ilma mencium tangan Ratih dan memeluk ibu dari Rio itu,
"Hati-hati sayang. Sering-sering datang kesini ya,"
" Iya tante, Pasti."
Ratih mengantar Ilma sampai depan pintu rumah. Setelah itu ia kembali masuk ke dalam rumahnya.
****
Rio mengendap-endap layaknya pencuri di rumah istrinya. Ia melihat Ify sedang melamun di sofa depan TV. Sanking seriusnya dalam melamun wanita itu sampai tidak menyadari kedatangannya. Rio menutup kedua mata Ify dengan telapak tangannya dan membuat wanita itu terkesiap.
"Rio. Aku tau ini kamu,"
Ify menyentuh tangan Rio yang ada di wajahnya.
"Yah ketauan deh."
Rio ikut duduk di sofa bersama Ify. Ia mencium kening Ify sebelum memeluk wanita itu dengan sangat erat. Ify sama sekali tidak menolak. Ia bahkan semakin menyamakan posisinya di pelukan Rio.
"Ngelamunin apa sih?"
Rio mengusap punggung Ify yang masih melekat di tubuhnya. Ify mendongak menatap Rio.
"Enggak ada,"
"Enggak ada kok ekspresinya kayak yang lagi punya pikiran berat gitu. Pasti ada apa-apa nih. Cerita gih Yang, janji aku bakal dengerin semuanya."
Rio memandang tepat pada netra mata Ify seolah membaca isi hari Ify lewat pancaran mata wanita itu. Ify yang ditatap seperti itu hanya pasrah, ia merasa Rio sudah tau ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dan Ify masih bimbang ingin mengatakannya pada Rio atau tidak mengenai apa yang sedang pikirkan saat ini. Benar kata Rio, wanita itu sedang tidak baik-baik saja sekarang.
"Ada apa hem?"
Ify mendesah kasar sebelum melepaskan dirinya dari pelukan Rio. Dan ikut menatap pada mata pria itu, hatinya ingin mengatakan kegundahan hatinya tapi akalnya mengatakan belum saatnya.
Percayalah berada di posisi seperti ini sangat sulit bagi anak manusia, posisi di mana tidak sesuai antara perkataan hati dan alurnya pikiran. Tidak tau yang mana yang harus dimenangkan antara keduanya.
"Aku mau cerita tapi nanti ya, kamu kan capek banget. Gimana kalo kamu mandi dulu, habis itu aku janji bakalan bilang apa yang buat aku ngelamun tadi."
Ify bukannya berusaha mengalihkan ucapan hanya saja ia merasa perlu konsentrasi yang pas untuk berdiskusi dengan Rio, Ify melihat wajah lelah Rio. Tidak tega membuat Rio terpikirkan dengan apa yang ia katakan nanti. Maka lebih baik pemuda itu mandi dulu, untuk menyegarkan tubuhnya agar lebih fresh.
Rio mengangguk tidak ingin terlalu memaksakan Ify. Ia perlu mandi untuk mengoptimalkan pikirannya yang terkuras karena perihal di rumah mamanya tadi.
"Oke. Aku mandi dulu ya. Gio mana Yang?"
"Gio lagi di kamar Keke, gak tau ngapain,"
Rio mengelus rambut Ify lagi.
"Tidur sama Keke?"
"Katanya sih iya. Pingin diajarin membaca sama tantenya."
Rio beroh saja. Selanjutnya ia merangkul pinggang Ify menuju kamar untuk mandi. Dan tentu saja sebagai seorang istri akan menyiapkan keperluan Rio setelah mandi seperti baju dan lainnya.