Secret Admirer

By beebaebees

269K 10.2K 296

Syahnarra hanyalah gadis lugu yang kerap kali terlibat ancaman dan suatu hal yang berbahaya. Dia mengagumi St... More

1. Pesona Stevano
2. Hari Ulang Tahun Narra
3. Kejutan Untuk Narra
5. I'am Jealous, Boy's - Part B
6. Patah Hati
7. Menjelang Ujian Nasional
8. Setelah Ujian Nasional
9. Prom Night
10. Mama.. You Always In My Heart
11. Species (Special Part)
12. Venna or Joana? (Special Part)
13. Masihkah Kau Mencintaiku? (Special Part)
14. Hurt (Special Part)
15. Not a Bad Thing
16. Seriously?
17. Almost
18. Dangerous
For You Information!
19. Remember
20. Barbeque's Time
21. And I'm Very Love You
22. Matchmaking
23. Stevano or Rendy?
24. Pengakuan
25. Suasana Yang Mengharukan
26. More Beautiful Than a Dream
27. Day With Vano's
28. A New Beginning
29. Ide Gila
30. Really Complicated
31. Kasus Baru
32. Hampir Selesai
33. Pengakhiran
Simplicity of Love Promotion
EPILOGUE SECRET ADMIRER

4. I'am Jealous, Boy's - Part A

9.3K 362 5
By beebaebees

"Ayo Narra, kejar aku, terus.." Vano meneriakiku sambil tertawa dan mengumbar senyumannya. Ia terus berlari menjauhiku di lahan yang banyak tertanam dandelion ini, sementara aku terus berusaha mengejarnya dalam kecepatan lariku.

"Ah, Vano. Capek, ah! Aku lambaikan tangan ke kamera nih." Kataku terengah-engah dengan melambaikan tangan keatas. Pertanda aku sudah tak kuat lagi berlari menangkap Vano

Pemuda itu berjalan mendekatiku, ia mengacak pelan tatanan rambutku, "Baru segitu saja sudah capek. Uh, payah kamu." Aku berusaha mengatur nafasku senormal mungkin. Jantungku berdegup kencang, lelah tak lagi ku rasa. Saat ini aku merasa sangat bahagia.

"Gendong dong, baru aku kuat deh." Pintaku manja.

Ah, aku tak percaya, Vano menuruti permintaanku. Ia berlutut membelakangiku dengan kaki kiri ditekuknya. Aku memandangi punggungnya, rasanya ini sebuah mimpi.

"Ayo naik, kok diam." Aku terkesimah, segera kunaiki punggung lebar itu, tangan ku mengalung dari belakang leher Vano.

Vano pun mulai bangun pelan-pelan, tangannya ia arahkan kebelakang, menautkan jemarinya untuk menopang bokongku, "Siap?"

Aku mengangguk penuh semangat. "Lari ya, Van." Begitu juga Vano, ia terlihat sangat bersemangat. Pelan tapi pasti, Vano mulai berlari kecil sambil menggendongku. Kami tertawa riang dan terkadang aku berteriak saat Vano berlari terlalu cepat. Aku takut ia tak menjaga keseimbangan dan kami malah akan jatuh nanti.

"Huh, capek ya." Aku mengelap peluh yang jatuh bergantian dari pelipis Vano dengan tanganku, kami berkeringat. Vano menatapiku dengan senyumnya yang khas.

"I love you, Narra." Katanya singkat dengan menahan tanganku untuk berhenti melakukan aktivitas ku sekarang. Meskipun singkat, kata-kata itulah yang selalu aku harapkan keluar dari bibir seorang Stevano.. Dan kini, itu terucap.

Aku membalas perkataannya dengan senyumku, "Do you love me?" Pertanyaan mengagetkan Vano barusan membuatku tersadar bahwa ia perlu jawaban dan bukan hanya sebuah senyum saja.

Aku membuka mulutku dan sedikit membasahi bibir yang kering ini dengan lidahku yang basah. Tubuhku bergetar, aku akan mengutarakannya, perasaan yang sudah lama ku pendam ini. Nyaris 3 tahun lamanya.

"Vanooo..." Belum sempat aku membalas pernyataan Vano. Sebuah suara berteriak kearah kami memanggil nama Vano. Kami berdua menengok ke asal suara. Rupanya yang berteriak itu adalah seorang gadis. Siapa dia berani berteriak memanggil Vano-ku? Pikiranku meracau.

Gadis itu berjalan dengan anggunnya mendekati kami. Tangannya mengamit tangan Vano dan di genggam kuat-kuat.

Aku menatap Vano, ia memberikan senyum khas-nya pada gadis itu. Senyuman itu kan harusnya hanya untukku. Siapa sih gadis ini? Aku terus berperang batin.

Kini Vano beralih menatapku, tanpa senyum, wajahnya datar. Hei, kenapa ini? Aku buru-buru mengambil tangan Vano yang satunya lagi untuk ku genggam. Aku tak mau kehilangan dia. Aku sangat mencintai pemuda ini.

Vano tak merespon genggaman tanganku, beda saat kulihat justru Vano malah lebih merespon genggaman tangan gadis disebelahnya itu.

Aku membeku. Seperti yang kulihat, gadis itu berjalan meninggalkan langkahnya dengan menarik Vano pelan-pelan. Vano sendiri melepas genggaman tanganku, tanpa menatapku sedikitpun. Mereka berdua berlari sambil tertawa gembira dengan tangan mereka yang saling bergandengan. Gadis itu menggantikan posisiku. Dia merebut Vano dariku.

Pukkkk!

Sebuah benda padat tepat sekali menghantam kepalaku atau memang sengaja dilempar kearahku. "Aww.." Aku mengaduh dan mengelus kepalaku. Rasanya sakit sekali. Aku membenarkan posisi dudukku dan merapihkan penampilanku.

Astaga, aku baru ingat, ini masih di jam pelajaran fisika dengan Bu Veronica yang ku tau beliau sangat killer. Buktinya saja sebuah penghapus berhasil dilemparnya tepat mengenai kepalaku. Hitung-hitung hadiah mungkin karena aku tertidur di jamnya. Hah? Tertidur? Jadi itu tadi hanya mimpi?

"Lo sih tidur, kan udah gue bilang, jangan berulah di pelajaran Bu Veronica. Gini deh akibatnya." Omel Heni padaku yang tepat duduk disampingku. Ya, ia teman sebangkuku juga.

Aku menelan salivaku cepat-cepat. Aku bisa membayangkan bahwa setelah ini aku akan mendapatkan kasus dan Oma akan dipanggil kesekolah. Ah aku tak mau hal itu terjadi.

"Sudah pintar kamu sampai berani tidur di jam pelajaran saya?" Suara Bu Veronica yang tegas berhasil membuyarkan lamunanku, selalu berhasil ya nih guru. Hebat.

"Ma..Ma..Maaf, Bu. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Aku mengiba, ku harap dengan begini, Bu Veronica akan memaafkanku.

"Cuci muka, sana!" Perintahnya. Aku beranjak dari tempatku duduk, melewati barisan bangku dan tentunya Bu Veronica, "Permisi, Bu." Pamitku sebelum benar-benar pergi meninggalkan kelas.

***
Aku menghidupkan keran air di wastafel toilet sekolah. Hanya terdengar suara air mengalir. Aku segera membasuh wajahku dan sesekali melihat ke kaca yang terpampang di depan ku. Aku menatap dalam-dalam wajahku, mengamati setiap bentuk wajah yang Tuhan ciptakan untukku.

Memang benar, aku tak secantik gadis-gadis yang berada di dekat Vano yang famous itu. Inilah penyebab aku tertidur di jam pelajaran Bu Veronica tadi, semalaman aku terus memikirkan hal itu. Mataku sembab, wajahku tak ku beri riasan make-up, rambutku pun hanya ku kuncir asal. Bak orang yang tak terurus saja.

Aku menyesali perasaan ini, kenapa aku harus mencintai seseorang yang ku tau aku tak dapat memilikinya. Aku mengusap wajahku kasar, aku pusing. Aku tak ingin menambah rasa sesak dalam hatiku lagi. Cukup! Aku benci Vano, aku benci kenapa ia tak pernah menyadari perasaanku.

Beberapa saat aku tenggelam dalam pesonanya, wajahnya, senyumnya dan suara khas-nya. Tapi mulai saat ini, aku akan berusaha untuk melupakannya. Semoga.

Aku menutup keran air di wastafel ini. Ku rasa wajahku sudah kembali fresh. Kunciran rambutku ku buka dan ku biarkan rambut ini tergerai. Aku keluar dari toilet sekolah, rasanya sudah tak mood untuk mengikuti pelajaran dari Bu Veronica lagi, aku yakin setelah ini aku akan mendapat sanksi jadi yasudahlah, sekalian saja, pikirku.

Ku putuskan duduk di bangku taman sekolah. Suasananya masih sepi, ya jelaslah ini kan belum waktunya istirahat. Mana ada yang berani keluar di jam-jam seperti ini kecuali aku. Tak tau nasibku kedepannya akan seperti apa. Biarlah seperti air mengalir saja.

Mataku menyapu sekeliling taman. Taman yang asri. Aku menghirup dalam-dalam udara sejuk ini, segar sekali. Akhirnya aku bisa bernafas dengan lega. Ku lihat jam tanganku, ah baru jam 08.00, pantas saja.

Aku memejamkan mataku. Batinku berteriak memanggil nama Vano. Tak terasa kelopak mataku basah. Aku menangis. Ku rasakan ada seseorang menduduki bangku taman yang kosong disampingku. Aku membuka mataku dan segera menghapus jejak air mata itu. Ku lihat orang disampingku, Maliq? Darimana dia tau aku disini?

"Hai.." Aku tersenyum seraya balik menyapa, "Ngapain disini?" Tanya Maliq sambil menatapku.

"Gue? Tadi abis dari toilet. Biasa." Kataku sebisa mungkin.

"Ketiduran? Haha. Pasti karena Bu Veronica, ya?" Maliq tertawa, darimana dia bisa tau lagi?

Seakan risih dengan tatapanku yang bertanya, Kok lo tau? Dia pun segera menjawab, "Biasa. Heni tadi update di bbm. Hehe." Ah males deh Heni comel banget, jadi malu kan.

"Terus lo ngapain kesini? Di hukum juga?" Maliq mengegeleng, "Gue kan abis olahraga. Liat dong, nih pakai baju olahraga kan?" Hoiyak, aku bahkan tak menyadari hal sekecil itu.

"Kebanyakan mikirin Vano sih lo.." Ledeknya sambil tertawa kecil. Aku memanyukan bibirku, baru saja aku berniat akan melupakan nama itu, ah di ingatkan lagi.

"Eh... Eh maaf, ga bermaksud, Nar.." Maliq sepertinya tau perubahan wajahku menandakan bahwa aku sedang tak ingin mendengar nama itu. "Gapapa, Mal."

Seketika suasana hening, kami terdiam. Maliq tak lagi bicara, mungkin ia takut menyinggung perasaanku lagi.

"Buat acara semalam dan atas sikapnya Vano, gue sebagai sahabatnya, minta maaf ya.." Akhirnya Maliq kembali buka suara, aku memalingkan wajahku menatapnya. Maliq ini selain tampan, punya jiwa kesatria sekali ya. Orang yang bersalahnya saja tak ada niatan untuk melakukan hal ini. Tetapi Maliq? Ku rasa Heni sangat beruntung sedang menjalin rajutan kisah dengannya.

"Nar.." Ia melambai-lambaikan tangannya kedepan wajahku, "Iya, apa?" Aku terperangah, "Maafin." Rajuknya manja. Haha.

Aku tersenyum, "Gapapa, Mal.. Gue tau kok kalau akan terjadi seperti itu."

Maliq terkekeh, "Fake smile. Ketahuan."

Aku memanyunkan bibirku, kentara banget ya wajahku yang sedang sedih ini? Ah, miris.

Tiba-tiba Maliq merentangkan tangannya. Aku sama sekali tak mengerti melihat kelakuannya yang seperti ini. Apa yang ia harapkan dariku?

Mungkin terlalu lama menunggu respon membuatnya jenuh dan akhirnya.. Maliq menarikku dalam dekapannya, ia mendekapku, memberikan rasa hangat dalam diriku. Aku tau, Maliq melakukan ini untuk menghiburku agar tak terus memikirkan sahabatnya itu.

Karena perasaanku pada Maliq hanya sebatas teman, maka aku membalas pelukannya. Kami berpelukan. Di kesunyian taman sekolah ini. Oh tuhan, andai ini Vano-ku..

Maliq mengelus kepalaku berkali-kali, aku bahagia. Ternyata masih ada orang lain yang menyayangiku. Aku pun menenggelamkan wajahku pada dada bidang Maliq, bau keringat terasa sekali, tapi tak jadi masalah. Saat ini aku memang benar-benar membutuhkan pundak.

Tanpa ku sadari, aku terisak, ingatanku kembali pada Vano. Pemuda itu. Kenapa sih harus dia terus? Ku rasa Maliq mengetahuinya, ia mengeratkan pelukannya padaku dan itu membuatku malah semakin menangis. Beruntung ada Maliq yang bersedia melakukan ini.

Entah berapa lama kami telah berpelukan, ku dengar ada suara ranting pohon terinjak, aku melihat ke asal suara. Begitu juga Maliq

Astaga, itu Heni. Aku segera melepas pelukan -mesra- itu. Aku menatap Heni, ku lihat genangan air dimatanya. Ah, apa yang aku lakukan? Tanyaku dalam hati.

Aku berniat memberi penjelasan padanya, namun saat akan ku dekati. Heni berlari pergi meninggalkan ku dan Maliq. Aku merasa bersalah, ku rasa Maliq juga seperti itu. Ia lantas pergi mengejar Heni, aku sedikit lega akhirnya ada yang akan memberikan penjelasan pada Heni. Agar tak ada kesalah pahaman. Tetapi tetap saja, aku merasa bersalah. Aku menyesal.

***
Heni POV

Niat gue untuk memanggil Narra kembali ke kelas sirna sudah. Gue shock, apa yang barusan mereka lakukan? Berpelukan? Pelukan? Maliq sedikit pun belum pernah memeluk gue dan tadi itu? Gue ga nyangka.

Air mata terus berjatuhan dan langsung gue hapus secara kasar. Ah bodoh, ngapain gue nangis? Jadi selama ini Maliq cuma memberi harapan palsu aja? Pantes selama ini pula dia ga berani nembak gue.

"Hen, stop!"

Maliq meraih pergelangan tangan gue. Agar gue berhenti berlari dari kejarannya. Oh rupanya dia ngejar gue? Ih, drama banget sih nih.

"Gue.. Gue bisa jelasin kejadian tadi." Ucapnya merasa bersalah. Gue melihat ke arahnya, rasanya gue mau nampar dia. Berlebihan sih emang, tapi jujur gue akui, saat ini gue jealous. Lucu kan? Jealous sama orang yang bukan siapa-siapa kita.

"Semua yang gue lihat tadi mutlak menjelaskan apa yang akan lo jelaskan." Ucap gue dingin. Maliq membeku. Sejurus kemudian Maliq diam.

"Oke, oke.. Gue tau, gue salah. Maaf." Ucapnya memelas. Oh, Maliq, gue gabisa ngelihat lo kayak gini..

"Udahlah, Mal, lupain. Lagian lucu tau, buat apa gue marah? Kita kan bukan apa-apa.. Kita ga punya status.. Kita tuh layaknya friendzone yang cuma takut kehilangan tapi ga saling memiliki." Gue melepas genggaman tangan Maliq dari tangan gue dan beranjak untuk pergi

"Tunggu." Maliq buka suara dan akhirnya mencegah langkah gue untuk enyah dari lorong ini. Gue mengurungkan niat untuk pergi dan kembali menghadapnya, "Apalagi?"

Maliq kembali meraih kedua tangan gue untuk digenggam, "Mulai sekarang, gue akan meresmikan hubungan kita. Hen, percaya deh, gue cuma punya perasaan sama lo. Untuk Narra tadi, gue cuma sekedar memberi dia ketenangan atas kelakuan Vano malam itu. And now, kita pacaran. Lo mau kan jadi pacar gue?" Ah maliq, tentu saja gue mau. Ini yang gue tunggu selama ini. Batin gue berteriak senang

Gue mengangguk pelan seraya tersenyum. Maliq sepertinya mengerti atas apa yang gue tunjukkan, dia langsung meraih gue dalam dekapannya. Gue pun juga begitu. Kami berpelukan di lorong sekolah yang masih sepi ini. Akhirnya, kita berdua resmi taken, setelah 2 tahun pendekatan.

***
Annisa POV

Bunyi bel yang berdentum dua kali inilah yang selalu gue tunggu. Waktunya istirahat. Gue bangun dari tempat gue duduk. Gue lihat ke arah belakang, semenjak pelajaran Bu Veronica tadi, Narra sama Heni belum kembali. Kemana mereka? Bisa banget cabut jam pelajaran. Bukannya ngajak-ngajak gue. Gue menggerutu kesal dalam hati. Venna juga udah melongos duluan sesaat sebelum bel bunyi. Alasannya ke toilet, eh tuh anak-anak juga ga balik-balik. Pada jahat banget.

Gue berjalan ke kantin, membeli minuman kaleng dan beberapa snack. Mata gue menyapu seisi sudut di kantin. Gue ga menemukan siapa-siapa disini. Sahabat-sahabat gue ga ada. Starlight juga. Ih hobby banget sih ngilang gitu aja.

Jadilah di lapangan basket ini gue singgah, duduk di pinggir lapangan, eh tunggu deh.. Ternyata ini yang lagi olahraga kelasannya Stevent. Oohh, ternyata pangeran gue disini. Ugh.

Gue memperhatikan setiap gerak-gerik Stevent sambil menyantap snack yang gue beli di kantin tadi. Rambutnya basah karena keringat, mengibas kesana-kesini. Gue lihat-lihat Stevent makin tinggi. Buktinya aja, ring basket hampir menyamai tingginya. Ya beda beberapa jengkal aja.

Gue melambaikan tangan kearahnya dan sesekali bersorak setiap kali Stevent berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Tapi sayangnya, Stevent ga sadar gue ada disini. Saking serunya. Mungkin.

Permainan gamesnya pun usai, Stevent pun duduk bersebrangan dari tempat gue duduk. Dia sama sekali ga melirik ke arah gue. Benar-benar nih cowok, ga punya kontak batin apa sama gue.

Baru saja gue berniat untuk menghampirinya. Namun sudah terlebih dulu oleh seorang gadis. Gue menerawang gadis itu. Wajahnya seperti bukan angkatan dari kelas XII. Ya, itu Shella, osis baru dari kelas XI. Oh, cuma adik kelas.

Samar-samar gue mendengar percakapan mereka. Posisi gue kini ada di belakang gadis itu yang berdiri menghadap Stevent. Seperti menutupi Stevent dari pandangan gue, gadis itu enjoy aja. Sepertinya mereka lagi mengobrol.

"Jadi bisa kan, kak? Nanti malam ya jam 20:00 di Cafe biasa." Ajak Shella pada Stevent.

"Bisa-bisa. Tenang aja, gue pasti dateng kok." Pemuda itu menyanggupinya? Apa-apaan nih.

"Jangan ngaret kak, aku ga suka nunggu orang." Rajuk Shella manja.

Yang gue lihat, tangan Stevent mengelus lembut puncak kepala gadis itu. "Iya Shel, kakak ga lupa. Kamu nih, masih bawel aja."

Ah, rasa sesak menyerang rongga dada gue. Apasih mereka berdua sok asik banget.

"Ah kakak. Aku malu." Shella menurunkan tangan Stevent dari kepalanya.

"Abis kamu ngegemesin sih." Dasar cowok centil. Stevent malah mencubit kedua pipi gadis itu. Mereka berdua tertawa-tawa.

Siapa sih, Shella ini? Sebelumnya gue ga pernah ya melihat mereka sedekat ini. Maksudnya apa? Oh atau, jangan-jangan.. Stevent!!!

Seperti kurang jelas apa yang gue lihat, tetapi gue tetap terus memperhatikan. Astaga, gue ga percaya. Mereka amat dekat. Mungkin hampir tak ada jarak diantara mereka. Mungkinkah mereka? Di lapangan seperti ini?

"STEVENT!!!" Teriak gue lantang menggema di lapangan ini. Beberapa orang sampai menghentikan aktivitasnya. Masa bodo lah, gue marah saat ini juga.

Mereka berdua menoleh kearah gue dan langsung berjauhan. Gue lihat raut wajah bersalah tertera di wajah mereka. Air mata gue jatuh, Stevent tega mengkhianati gue.

"Sayang." Stevent buru-buru berjalan mendekati gue, tapi gue malah berjalan mundur menjauhinya. Gue bisa jamin, setelah ini semua orang disekolah akan tau hubungan gue dengan artis mereka ini. Gue ga peduli. Stevent sialan.

"Cukup. Jangan mendekat." Gue membentaknya. Sekali lagi, saat ini gue menjadi pusat perhatian dari semua orang yang ada di lapangan.

"Aku bisa jelasin ini. Itu semua ga seperti apa yang kamu lihat dan kamu pikirkan." Ucap Stevent mencoba meyakinkan. Gue menggeleng secepat mungkin. Gue ga tau harus apa. Gue bersumpah mungkin setelah ini, gue akan jadi bahan bullying dari Starry.

"Ayo ikut." Stevent menarik pergelangan tangan gue untuk ikut dengannya. Entah kekuatan darimana, gue pun mengikutinya.

Sampailah kita di taman, taman belakang sekolah. Kami berdua duduk dibangku taman. Stevent masih memegangi kedua tangan gue. Dan tentu saja, wajah sedih gue ga bisa gue tutup-tutupin lagi.

"Kamu tenang dulu. Aku bisa menjelaskan kejadian tadi." Gue terdiam, kali ini gue mengalah. Gue mau dengar penjelasan dia meskipun menyakitkan nantinya.

"Shella itu cuma adik kelas kita. Dia mungkin salah satu Starry ya mungkin yang fanatic. Kalau kamu dengar obrolan kita tadi, niatnya itu cuma mau ngajak meet and greet kok. Dan yang terakhir, kamu salah besar kalau menganggap kita berdua melakukan.. Um, ciuman. Itu salah besar. Tadi aku cuma niupin mata dia yang kelilipan aja.." Stevent mencoba menjelaskan namun gue dengan cepat memotongnya, "Basi, Stevent!"

Gue sudah ga kuat lagi, rasanya gue mau buru-buru pergi. Tapi, pandangan mata Stevent selalu mencegah. "Terus kamu mau apa biar percaya sama aku?"

"Putus."

Stevent membelot, gue pun ga sadar atas apa yang gue ucapkan tadi. Stevent you know? Gue jealous banget sekarang.

"Jangan." Stevent mengangkat kedua tangannya untuk menangkup wajah gue. Gue menatapnya. Begitu pula Stevent.

Perlahan, Stevent mendekatkan wajahnya ke arah wajah gue. Deruan nafasnya terasa hangat. Wajah kami sangat dekat. Gue bisa merasakan bibir Stevent menyentuh bibir gue. Ya ampun, kami melakukan hal itu di tempat seperti ini. Gue harap siapapun ga ada yang melewati taman ini.

Berulang kali Stevent mengecup bibir gue. Sesekali memagutnya. Gue pun memberi respon yang sama. Sejenak kami hanyut dalam ciuman hangat ini sampai Stevent melepaskan tautan bibir kami. Gue menunduk malu, first kiss dengan Stevent. Gue ingin di ulang. Hehe

"Aku ga mau kita putus sia-sia. Please." Stevent mengelus lembut pipi gue. Nyaman. "Aku juga." Kami pun berpelukan. Stevent mendekap erat tubuh gue. Oh, Stevent you're my destiny.

~~~
Di pecah ya part-nya hehe.. Happy read! C'mon guys, votemment. Thanks yang udah baca. Walaupun bacanya gelap-gelap yak tak apa hehe.. Always support

Continue Reading

You'll Also Like

753K 69.1K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
15.7M 990K 35
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
6.4M 716K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...