Indigo Tapi Penakut | END

Od nnnylegna

5.9M 1M 297K

"Gue jadi ekor lo, boleh?" - Axelleon Kastileo. *** Axel itu seor... Více

ツ|Axelleon Kastileo
ツ|Valetta Lizhunt
ツ|Chapter 1
ツ|Chapter 2
ツ|Chapter 3
ツ|Chapter 4
ツ|Chapter 5
ツ|Chapter 6
ツ|Chapter 7
ツ|Chapter 8
ツ|Chapter 9
ツ|Chapter 10
ツ|Chapter 11
ツ|Chapter 12
ツ|Chapter 13
ツ|Chapter 14
ツ|Chapter 15
ツ|Chapter 16
ツ|Chapter 17
ツ|Chapter 18
ツ|Chapter 19
ツ|Chapter 20
ツ|Chapter 21
ツ|Chapter 22
ツ|Chapter 23
ツ|Chapter 24
ツ|Chapter 25
ツ|Chapter 26
ツ|Chapter 27
ツ|Chapter 28
ツ|Chapter 29
ツ|Chapter 30
ツ|Chapter 31
ツ|Chapter 32
ツ|Chapter 33
ツ|Chapter 34
ツ|Chapter 35
ツ|Chapter 36
ツ|Chapter 37
ツ|Chapter 38
ツ|Chapter 39
ツ|Chapter 40
ツ|Chapter 41
ツ|Chapter 42
ツ|Chapter 43
ツ|Chapter 44
ツ|Chapter 45
ツ|Chapter 46
ツ|Chapter 48
ツ|Chapter 49
:(|Chapter 50
:(|Chapter 51
ツ|Epilog
ツ|Extra 1
ツ|Extra 2
SEGERA TERBIT
VOTE COVER + GIVEAWAY

ツ|Chapter 47

68.3K 15.8K 9.2K
Od nnnylegna

sᴇʟᴀᴍᴀᴛ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ
ᴊᴀɴɢᴀɴ ʟᴜᴘᴀ
ᴠᴏᴛᴇ , ᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛ , ғᴏʟʟᴏᴡ

Gaes jangan terlalu nethink 💔
Yang bebasin Anya itu cuman kameo 😭

Ruang tamu yang biasanya sepi di malam hari itu kini diisi oleh empat orang. Seorang pria dan tiga perempuan.

Aiden, pria itu duduk kaku di samping Vancia. Entah mengapa, dirinya takut saat dihadapkan oleh dua anak Vancia.

Lebih tepatnya lagi, Aiden takut dengan sosok perempuan berbadan tinggi yang sedari tadi menatap dirinya tajam.

Padahal Aiden sudah melewati masa pelatihannya sebelum menjadi seorang polisi. Masa pelatihan yang ia lewati dipenuhi oleh berbagai jenis rintangan.

Tapi, tidak usah bohong, Aiden lebih deg-degan bertemu dengan anak-anak yang nantinya akan menjadi anaknya juga.

Satu tindakan yang salah dapat berdampak pada hubungan kekeluargaan mereka ke depannya.

"Kenalkan nama saya Aiden, saya bekerja sebagai seorang polisi, sekarang saya berumur 40 tahun," ujar Aiden sesekali melirik Vancia yang tengah berusaha menahan tawanya.

Ara menatap penasaran lelaki berbadan besar itu. "Om yang bakal jadi Papa Ara, ya?"

"Eh? S-saya?" Aiden mengepal kedua tangannya gugup.

Vancia tak dapat lagi menahan tawanya, ia langsung tertawa terbahak-bahak. Rasanya sungguh senang melihat Aiden kesulitan berbicara dengan kedua putrinya.

Bahagia di atas penderitaan orang lain terkadang cukup mengasyikkan.

"Jangan terlalu takut, anakku tidak ada yang memakan manusia," ujar Vancia disela tawanya.

Valetta masih menatap Aiden, memperhatikan semua gerak-gerik Aiden.

"Lolos," ujar Valetta singkat sebelum dirinya menunduk untuk meminum secangkir tehnya.

Vancia menepuk kedua tangannya semangat. "Selamat, anda sudah diloloskan oleh anak sulung saya!"

Aiden menunduk malu dan berucap terima kasih. Ara yang tidak tau apa-apa hanya ikut bertepuk tangan dan sesekali bersorak 'selamat'.

Sebulan berlalu begitu cepat. Ara dan Valetta semakin dekat, selama sebulan ini juga Valetta tidak bertemu dengan Zahra maupun Nara. Dua pribadi itu seakan-akan hilang ditelan bumi.

"Pernikahan kami berdua akan diadakan setengah tahun lagi," ujar Vancia secara tiba-tiba.

Valetta kaget dan hampir saja menyemburkan teh yang ada di mulutnya.

"Mama kebelet nikah?" tanya Valetta susah payah.

Vancia menunjuk ke Aiden. "Dia yang kebelet, justru Mama yang undurin setengah tahun lagi."

Aiden terbatuk-batuk. Ya, dirinya memang mau cepat-cepat nikah. Setelah hampir 20 tahun tidak melihat sosok yang ternyata memikat hatinya, Aiden langsung main gas aja.

Aiden takut kalau Vancia akan direbut orang lain. Saat tau Vancia sudah punya anak, betapa menyesalnya Aiden dulu tidak peka.

Tapi Aiden pada akhirnya bersyukur bisa bertemu dengan Vancia lagi. Kondisi Vancia sekarang juga janda, jadi tidak masalah jika Aiden ingin menikahi Vancia.

Semakin cepat mereka sah, semakin Aiden dibuat lebih tenang.

"Ekhem, ekhem." Aiden terbatuk-batuk, tidak mengaku kalau dirinya yang kebelet nikah.

Valetta memicingkan matanya. Menatap Aiden penuh penekanan. "Buru-buru apa yakin bisa bertanggung jawab?"

Secepatnya Aiden mengangguk. "Sangat yakin."

"Kalau Mama?" tanya Valetta menoleh ke arah Vancia.

"Mama yakin-yakin aja, ngikut doang."

"..." Valetta memijat pelipisnya. Enteng sekali Vancia mengambil keputusan untuk masa depannya.

"Ya sudah, Valetta tetap loloskan."

"Lolosin apa?" bisik Ara pada Valetta.

"Ini, Om itu bakal jadi Papa kita," bisik Valetta balik.

"Kita jadi keluarga?"

Valetta mengangguk. "Keluarga yang lengkap," ujarnya tersenyum singkat.

Aiden melirik Vancia, penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh dua remaja di hadapannya.

Vancia mengangkat kedua bahunya karena dia juga tidak dapat mendengar bisikan-bisikan Ara dan Valetta.

"Ya udah sekarang, kan, sudah selesai perkenalan... Ayo kita jalan-jalan sekalian bonding!" seru Vancia.

Ara menatap ke luar.

Satu bulan ini sangatlah beharga bagi Ara. Selama hidup Ara, ini pertama kalinya Ara bisa tertawa lepas, bisa melewati hari-hari tanpa merasa sakit.

Ara melangkah menuju meja belajarnya dengan langkah kecil. Perlahan Ara mengambil buku berwarna putih yang dibelikan oleh Valetta untuknya sebagai hadiah selamat datang.

Ara membuka buku tersebut. Seutas senyuman kecil terukir di wajahnya. Satu per satu kata yang ditulisnya, ia baca kembali.

Walau tulisan Ara tidak cukup rapi, Ara masih bisa membacanya.

Hari ini, Kakak Ara beliin Ara buku! Ara senang bisa punya buku, bukunya lucu. Ara suka! Kata Kakak, bukunya dikasih Ara biar Ara gak main hp terus... Ara sayang Kakak, Ara juga sayang Mama. Makasih hari ini

Ara kembali membuka lembaran baru.

Hari ini Ara bisa main di taman. Ara ketemu sama orang-orang baru, kata Mama mereka itu tetangga. Tetangga-tetangga Ara baik semua, enggak ada yang pukul Ara atau lukain Ara. Ara senang bisa kenal banyak orang baik.

Semakin membaca, Ara semakin tersenyum. Pada akhirnya, Ara sampai di lembaran yang terbaru di mana halaman sebelahnya masih kosong.

Ara mencari pensil dan penghapusnya. Bersiap-siap untuk menulis kegiatan mengesankannya hari ini.

Semakin Ara menulis, senyuman di wajah Ara luntur. Air mata tiba-tiba keluar dari matanya.

"Kok, Ara cengeng?" Ara bermonolog.

Ara menyeka kedua air matanya. Ara tidak tau kenapa dadanya tiba-tiba terasa sesak.

"Ara seharusnya senyum. Kan, sekarang Ara udah bisa punya keluarga."

"Cita-cita Ara itu punya keluarga, kan?"

Ara menepuk kasar kedua pipinya. Ara tersenyum, terlihat terpaksa tapi tulus dari hati.

"Ayo semangat! Besok Ara mau pergi jalan-jalan sama Kakak dan Om bayi, kan?"

Ara meninggalkan meja belajarnya. Berlari ke arah kasur untuk menenangkan dirinya yang entah mengapa tidak tenang.

"Sekarang, Ara harus tidur..."

Selama beberapa menit dirinya berada di ranjang kamar dengan mata tertutup.

"Ara enggak bisa tidur... Ara mau tidur sama Kakak aja."

Ara pun beranjak dari kasur dan pergi menuju kamar sebelah seraya memeluk boneka kelinci pemberian Vancia.

Ara membuka pintu yang ada di ruangannya, pintu tersebut tidak terkunci karena memang Valetta yang membiarkannya terbuka agar Ara dapat mudah masuk kalau takut tidur sendirian.

"Kakak, Ara boleh tidur sama kakak?"

Valetta yang masih belum tidur tentunya mengangguk membolehkan. Setiap Ara ingin tidur dengan Valetta, Valetta tidak pernah menolak.

Ara naik ke atas ranjang, memposisikan bonekanya di tengah-tengah Valetta dan dirinya.

"Kakak belum tidur?"

"Menurut, Ara?"

"Belum. Kakak masih buka matanya," celetuk Ara.

"Tuh tau," sahut Valetta tertawa kecil.

Ara ikut tertawa.

"Udah tidur sana, Ra. Udah jam sepuluh, besok mau pergi main, kan?"

Ara mengangguk. Besok adalah hari yang paling ia nanti. Taman kreasi adalah surga para anak-anak. Berawal dari iklan di televisi, Ara jadi ingin mencoba pergi ke sana.

"Selamat tidur," ujar Valetta mengacak rambut Ara.

Ara membalas ujaran Valetta, lalu memejamkan matanya.

Namun, tiba-tiba Ara kembali membuka matanya.

"Kakak."

"Iya?"

"Ara sayang Kakak."

Valetta menoleh ke arah Ara, "Kakak juga sayang sama Ara."

Ara tersenyum manis. "Makasih udah mau jadi Kakaknya, Ara.

Valetta merasa ada yang tak beres. Tapi dirinya mengesampingkan perasaan tersebut. Tidak baik jika terlalu berpikiran negatif.

"Kakak juga mau bilang terima kasih ke Ara karena Ara udah buat hari Kakak lebih berwarna," ungkap Valetta.

"Peluk?"

"Peluk sini." Valetta menghiraukan boneka di tengah-tengah mereka, ia memeluk tubuh Ara sejenak.

Setelah beberapa detik, Valetta beralih ke meja samping ranjang untuk mematikan lampu tidur.

"Good night, mimpi yang indah," ujar Valetta.

Ara menatap Valetta lekat walau tidak jelas karena gelap. Ia tersenyum sumringah.

"Kakak juga, mimpi yang indah dan selalu senyum kayak gini. Ara suka lihat Kakak senyum."

Valetta tentu tersenyum kala mendengar ucapan Ara.

"Iya, Ara tidur dulu, besok lihat Kakak senyum lagi."

Ara berdehem. Memejamkan matanya, membiarkan air mata lolos dari kelopak matanya.

Ara sampai di sini aja, ya.

"Nara Nara! Ara udah balik!"

Sosok keibuan itu membalikkan badannya, tersenyum hangat menyambut kedatang anak kecil berpakaian lusuh yang tengah memeluk boneka kelinci.

"Udah selesai mainnya?"

Ara mengangguk semangat. "Ara udah selesai!"

Perempuan berpakaian seragam di ujung ruang putih itu diam, memperhatikan interaksi Ara dan Nara.

"Kalian mau ke mana?"

Ara memiringkan kepalanya ke kiri. "Kakak... Familiar..."

Nara tersenyum dan menggendong Ara. "Itu namanya Kakak Zahra, kenal, kan?"

"Zahra? Ara yang sudah besar?" tanya Ara memperhatikan Zahra.

Nara mengangguk. "Iya, Ara mau bilang sesuatu enggak ke Zahra?"

"Mau!"

Zahra mengernyitkan dahinya. "Ini, Ara?"

Ara menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah. "Salam kenal Kakak Zahra!"

Zahra mengangkat tangannya penasaran, meletakkan tangan tersebut di atas kepala Zahra.

"Lucu."

"Makasih, Kakak cantik!"

Zahra dengan tidak sadar tersenyum.

"Kalian mau ke mana?" tanya Zahra lagi.

"Sudah cukup sampai sini. Sehabis ini, semuanya akan baik-baik saja. Jangan berdiam diri di sini terus, jalankan hidup yang seharusnya kamu jalankan, Zahra."

"Maksudmu?"

Nara hanya tersenyum singkat. "Nanti kamu akan tau."

Zahra memperhatikan Ara dan Nara bingung. Tidak paham maksud mereka.

Selama ini Zahra berdiam di sini. Tempat aneh yang membuat dirinya tenang. Zahra senang bisa di tempat ini, semuanya sunyi.

Zahra seperti bermimpi panjang. Bahkan di mimpi itu, sesekali Zahra melihat dirinya disayang oleh Valetta dan keluarganya. Zahra tidak dipukul, juga tidak direndahkan, Zahra dihargai keberadaannya.

"Itu bukan mimpi, ya?" tanya Zahra tiba-tiba.

Nara menggeleng. "Aku tidak bisa berlama-lama di sini, aku dan Ara harus pergi dulu. Jangan takut dengan apa yang nanti kamu ingat, ya."

"Ingat?"

Ara meraih tangan Zahra.

"Kakak, Ara mau bilang sesuatu."

"I-iya?"

"Ara ada jurnal kecil, dikasih sama Kakak Ara, nanti kalau Kakak udah bangun, baca jurnalnya, ya, Kak?" celetuk Ara.

"Jurnal?"

"Iya, jurnal. Jurnalnya warna putih, Ara taro di meja Ara!"

Nara membawa Ara menjauh. Zahra diam di tempat bingung, tidak tau harus melakukan apa.

Ara dan Nara terlihat seakan mereka ditelan oleh sesuatu bercahaya putih. Namun, sebelum mereka berdua menghilang, Zahra mendengar teriakan lantang Ara yang khas.

"Kak Zahra semangat, ya!"

"Kalau enggak kuat, nangis aja! Sekarang kita ada Kak Valetta, Mama dan Papa!"

"Jangan dipendam terus ya, Kak! Lepasin aja semuanya!"

Kini hanya Zahra yang berdiri di tengah-tengah ruangan serba putih itu.

Lepas semuanya?

ᴠᴏᴛᴇᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛғᴏʟʟᴏᴡ

Terima kasih sudah membaca ♡

Selamat tinggal Nara dan Ara 😢

Triple update?
Spam komen sampai 5.2k
Deadline jam 10 malam.

Spam next sebelah sini 👉

Pertanyaan dan pesan di sebelah sini 👉

🔘🔘🔘

See you on next chapter ♡

Salam sayang,
Manusia Darat.

ᴘᴜʙʟɪsʜᴇᴅ ᴏɴ
30.07.2021

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

90.7K 5.4K 49
PART masih lengkap. 'Start 13 November 2019 // End 5 Maret 2020' Versi lama publish November 2019 Versi revisi republish Juni 2020 Kania si cewe pema...
1.7M 209K 43
Flori dan Flian Si pecinta senja, dan si malam yang tidak bisa hidup tanpa rembulannya. - Ini kisah Flori Altrian Bastara, 30 hari menuju kematiannya...
34.3K 8.3K 66
#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan ingatannya. Tapi juga memaksa Frans untuk ke...
22.4K 2.4K 47
"Ngapain lo!" Suara seseorang menyadarkanku, membuatku berbalik lalu menatapnya intens. Cowok belagu lagi. "Menurut lo, gue ngapain disini?" Ucapku s...