I'M ALONE

By sphprmtsr

86.7K 4K 47

Self Injury, antisosial, dan trauma masa lalu semua itu Aluna miliki. Begitu banyak hal yang ia lupakan perih... More

Prolog
How to read the new version
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat belas
Lima belas
Enam belas
Tujuh belas
Delapan belas
Sembilan belas
Dua puluh
Dua puluh satu
Dua puluh dua
Dua puluh tiga
Dua puluh empat
Dua puluh lima
Dua puluh enam
Dua puluh tujuh
Dua puluh delapan
Dua puluh sembilan
Tiga puluh
Tiga puluh satu
Tiga puluh dua
Tiga puluh tiga
End: Season 1
Tiga puluh lima
Tiga puluh tujuh
Tiga puluh delapan
Tiga puluh sembilan
Empat puluh
Empat puluh satu
Empat puluh dua
Empat puluh tiga
Empat puluh empat
Empat puluh lima
Empat puluh enam
Empat puluh tujuh
Empat puluh delapan
Empat puluh sembilan
Lima puluh [End]

Tiga puluh enam

241 30 0
By sphprmtsr

"Sampai kapan kamu menyuruh aku menunggu di sini?"

Aluna mengeratkan pegangannya pada kemoceng di tangannya. Menatap Alan dengan nyalang, memperhatikan lelaki itu agar tidak mendekat padanya. Ia melirik jam dinding yang telah lama berlalu tanpa mendapatkan jawaban yang diinginkan dari mulut Alan. Hari semakin lama semakin larut namun Alan tidak juga memberikan penjelasan yang ingin Aluna dengar. Ia selalu mengatakan hal yang sama membuat Aluna merasa penantiannya sia-sia.

"Aku sudah bilang, Aluna. Kafa tidak bersamaku. Tapi dia pasti datang ke sini untuk mencarimu," ujar Alan penuh keyakinan.

Lantai dua dari tempat hiburan malam Lanza nampak sepi tidak seperti terakhir kali Aluna datang ke sana. Benar-benar lain dengan lantai satu yang menunjukkan hiruk pikuk kehidupan malam orang-orang yang perlu hiburan.

Dan diantara banyaknya ruangan di lantai dua, ruang pribadi Alan salah satunya. Tempat dimana Alan menerima Aluna setiap datang ke Lanza. Namun tidak seperti sebelumnya, Aluna lebih waspada dengan mengikutsertakan kemoceng yang diambilnya di sudut ruangan —entah mengapa berada di sana— untuk berjaga-jaga.

"Sejak kapan kamu menaruh curiga sebesar ini padaku, Aluna?" Pertanyaan itu akhirnya lolos juga dari mulut Alan. Ia yang sejak tadi hanya berdiri di samping pintu dengan melipat tangannya dan bersandar ke dinding, memandang Aluna dari kejauhan.

"Sejak kamu berbohong mengenai Fatih yang membunuh seseorang. Itu benar-benar jahat, Alan," cetus Aluna. Sekali lagi ia melirik jam dinding di ruangan Alan, bersiap untuk pergi dalam waktu dekat.

"Tapi Fatih saat ini memang tidak bersamaku, Aluna." Alan menunjukkan raut wajah santainya tanpa terlihat terintimidasi sedikitpun. "Dia akan tiba sebentar lagi."

"Bagaimana kamu tahu?" Sejak tadi, Alan selalu mengatakan hal yang sama. Hal itu juga yang menyebabkan Aluna menurut untuk dibawa ke lantai dua selagi menunggu Fatih mengingat ia tidak menyukai suasana di lantai satu Lanza yang ramai.

"Sayang sekali Alana tidak lagi muncul, ya? Padahal dia sangat menyenangkan." Alan mengalihkan topik. Ia menimpalinya, "kamu sangat kentara membenciku, Aluna. Aku kecewa."

"Aku tidak pe—"

Dor,

Dor,

Dor!

"Aaaahhkkkk!"

"Tolong!"

"Sepertinya sudah datang," ujar Alan sambil menurunkan kedua tangannya. Membuka pintu ruangannya lalu mengulurkan tangan dan mengarahkan telapak tangannya ke bawah sambil menggoyang-goyangkan tangannya. "Ayo Aluna."

"Siapa? Kenapa dibawah sepertinya ribut sekali?" tanya Aluna tidak sabaran. Ia bangkit dari duduknya, melupakan eksistensi kemoceng yang kini tergeletak di atas meja kerja Alan.

"Fatih," ungkap Alan. Ia menyeringai lebar, "seperti film, bukan? Pahlawan yang datang kemalaman."

"Basi," ujar Aluna, tidak tertarik sama sekali dengan candaan Alan. Ia bergerak mendekati Alan lalu mengikuti langkah lelaki itu menuju lantai satu Lanza, asal keramaian itu terdengar.

"Dia sangat handal, bukan?"

Siapapun akan terkejut bila melihat seseorang yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya berkelahi —tidak peduli apapun alasannya. Rasa khawatir, cemas, kecewa, juga takut menyatu padu di hati Aluna kala melihat Fatih melawan satu-persatu penjaga keamanan Lanza. Bagaimana caranya memukul dan membuat lawannya terjatuh mampu membuat sendi-sendi Aluna melemas.

"Kamu tunggu sini," ucap Alan selepas Fatih menjatuhkan seluruh lawannya.

"Kenapa?" Sangat mengherankan Alan berbicara seperti itu saat ini, kala Aluna ingin segera menghampiri Fatih dan menanyakan apakah lelaki itu baik-baik saja."

"Kamu harus melihat, seberapa menakutkannya suamimu. Dia tidak sebaik yang kamu pikir." Alan seolah ingin memutarbalikkan cara Aluna melihat kejadian saat ini. "Lihat benda di belakang punggungnya yang terjepit celana dan badannya."

Aluna kembali mengarahkan pandangannya pada Fatih. Sesuatu dibelakang punggung lelaki yang perlahan-lahan luruh ke lantai itu, menarik perhatian Aluna.

"Itu pistol, Aluna," ungkap Alan yang kemudian pergi menjauh dari Aluna hingga membuat Aluna membeku di tempat.

***

"Aluna." Lelaki yang kini berdiri dengan kemeja berwarna hitam itu, menyebut nama Aluna dengan pelan.

Aluna bergerak mundur selangkah saking terkejutnya dia. Pupil matanya membesar dengan tenggorokan yang terasa tercekat hingga menyulitkannya untuk berbicara.

"Saya kembali, Aluna," katanya.

Tangan Aluna gemetar. Ia menggenggam gagang pintu semakin erat. Bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipinya, ia membalas.

"Alan."

Sewaktu kedua mata Aluna menemukan sosok yang beberapa tahun terakhir tidak terlihat dan menghilang entah kemana itu, ingatan Aluna langsung berputar pada pertemuan terakhir kalinya Aluna dengannya. Ucapan Alan saat itu, sangat menggangu pikiran Aluna hingga saat Fatih hilang, Aluna terus berprasangka buruk pada suaminya.

Bagaimana bila Fatih membunuh Alan?

Bagaimana bila Fatih tengah melarikan diri dari perbuatannya?

Semua pertanyaan itu, menemukan jawabannya hari ini. Saat Aluna kembali di hadapkan pada wajah Alan yang tidak pernah disangka Aluna akan muncul di depannya lagi.

Rasa lega memang sempat menghampiri Aluna karena menganggap bahwa Fatih tidak membunuh Alan seperti pemikiran buruknya. Namun kedatangan Alan hari ini, jelas bukanlah kabar baik yang patut membuat Aluna merasa senang.

Lalu kemana Fatih?

Itulah pertanyaannya.

Tetapi karena terlanjur terkejut, Aluna lantas menutup pintu rumahnya dengan keras di depan muka Alan. Tidak peduli lelaki itu akan sakit hati, namun Aluna tidak bisa menahan dirinya lagi yang ketakutan dan gemetar. Juga kepalanya yang terasa pening sebab memikirkan segala kemungkinan yang mungkin terjadi.

Cukup lama Aluna terdiam sambil memegang erat gagang pintu utama rumahnya agar tidak bisa dibuka dari luar sana. Jantungnya berdetak kencang, bukan main. Rasanya seperti akan loncat keluar saking paniknya Aluna saat ini. Mungkin sekitar dua menit Aluna bersusah payah untuk kembali tenang, ia akhirnya kembali membuka pintu rumahnya. Berharap bisa segera berbincang tenang dengan Alan termasuk menanyakan soal Fatih.

Kosong.

Kala Aluna membuka pintu rumahnya lagi, ia tidak menemukan sosok Alan. Bahkan Aluna sampai membuka kedua daun pintu rumahnya lebar-lebar, berjinjit sambil menelusuri halaman rumahnya dengan kedua matanya, Aluna tidak juga menemukan kehadiran Alan yang menghilang sangat cepat.

"Nona?"

Aluna terlonjak kaget, hampir saja tubuhnya yang tengah berjinjit terjatuh ke depan bila Bi Nah tidak segera menahan lengan Aluna. Ia memegangi dadanya hingga mampu membuat Aluna merasakan detak jantungnya yang berdetak abnormal. Ia lalu berucap, "Bibi. Saya pikir siapa."

"Ada apa, Nona Aluna? Siapa yang datang? Saya sudah menaruh teh di perpustakaan Nona dan bersiap untuk mencari Mang Udin karena ingin belanja. Ternyata Nona masih ada di sini." Bibi menuturkan. Ia ikut celingak-celinguk ke halaman rumah untuk mencari sesuatu yang membuat Aluna sampai berdiri di luar rumah.

"Tidak ada, Bi. Saya salah lihat," jawab Aluna sembari memaksakan senyumnya. Ia lalu berkata, "bukan Papa yang datang ternyata, Bi. Nanti suruh Mang Udin untuk mengirimkan jas Papa melalui kurir saja supaya Mang Udin tidak perlu repot-repot ke ibukota."

"Baik, Nona." Bi Nah menyahut dengan patuh. Mengingat ada pertanyaan yang belum terjawab, ia bertanya lagi, "kalau bukan Tuan Rudi, lalu siapa yang datang, Nona?"

"Kurir. Salah alamat." Aluna menjawab asal sebelum sosoknya menghilang dari pandangan Bi Nah, menuju perpustakaan pribadi miliknya.

Padahal Bi Nah tahu bahwa rumah sederhana yang kini ditempati dirinya dengan Aluna, tidak mempunyai tetangga dekat. Bila ada pun, harus berjalan kaki cukup lama untuk sampai ke rumah Aluna yang berada di bagian paling ujung daerah tersebut. Meskipun begitu, Bi Nah tidak bertanya lagi. Membiarkan tanda tanya di kepalanya tidak mendapatkan jawaban.

***

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

Continue Reading

You'll Also Like

83.4K 7.2K 51
【 On Going 】 GIRLS Series #1 - - - Blurb: Dia Alexiore, seorang gadis dengan kedinginan melebihi rata-rata tiba-tiba menghembuskan nafas terakhirnya...
3.6K 222 30
[Follow sebelum baca!] 📍Based on true story Yang Lani pikirkan di masa SMA nya adalah beberapa hal yang menyenangkan, tidak menyeramkan ataupun memb...
162K 14.8K 35
Jeslyn berfikir jika dunianya telah hancur. Namun semua itu berubah ketika Jeslyn bertemu lelaki bisu yang kehilangan kedua orang tuanya. Namanya Ken...
58.4K 5.8K 43
(Belum Direvisi) Terkadang, apa yang terlihat baik di luar, tidak begitu pula di dalam. Seperti Daisy Ambarilis. Selebgram sekaligus vloger cantik ya...