Dikhitbah Pak Dosen

KAK_IKI tarafından

359K 23.5K 1.1K

Alangkah baiknya follow akun penulis terlebih dahulu sebelum membaca, karena itu adalah sebuah penghargaan ba... Daha Fazla

Prolog
Main Cast
BAB - 1
BAB - 2
BAB - 3
BAB - 4
BAB - 5
BAB - 6
BAB - 7
BAB - 8
BAB - 9
BAB - 10
BAB - 11
BAB - 12
BAB - 13
BAB - 14
BAB - 15
BAB - 16
BAB - 17
BAB - 18
BAB - 19
BAB - 20
BAB - 21
BAB - 22
BAB - 23
BAB - 24
BAB - 25
BAB - 26
BAB - 27
BAB - 28
BAB - 29
BAB - 30
BAB - 31
BAB - 32
BAB - 33
BAB - 34
BAB - 35
BAB - 36
BAB - 37
BAB - 38
BAB - 39
BAB - 40
BAB - 41
BAB - 42
BAB - 43
BAB - 44
BAB - 45
EXTRA BAB I
EXTRA BAB II
UHIBBUKA FILLAH
-DIKHITBAH PAK DOSEN-
PLAGIAT

LAST BAB

8.2K 419 13
KAK_IKI tarafından

[SELAMAT MEMBACA]
Follow dahulu sebelum membaca, kalian mudah, Iki senang ^∆^

-Sekarang ada umi bersamamu, Nak.-

Semesta semakin menunjukkan kekuasannya. Dibawah perintah Sang Kuasa.

Kalimat syukur tak henti-hentinya bergema dari mulut Fadil, setelah mengetahui darah Nada dan uminya cocok.

"Alhamdulillah, darah Ibu, cocok dengan Saudari Nada. Proses transfusi darah bisa dilakukan sekarang, guna mengurangi risiko," papar dokter dengan semburat senyumnya.

Semuanya ikut bersuka cita. Tuhan masih memberikan kesempatan bagi Nada untuk keluarganya lagi.

***

Satu jam berlalu. Proses pendonoran darah berjalan dengan lancar.

Dan sekarang, semua orang tengah berkumpul di ruangan tempat Nada berada.

Keadaan cukup hening, hanya suara kipas angin yang mengisi suasana. Serta detik jarum jam yang setia menunjukkan eksistensinya.

"Aghh ...."

Serempak semuanya mendekat. Memastikan jika suara itu benar dari Nada.

Uminya yang berdiri di samping kanan Nada, tersenyum penuh haru. Sudah sekian lama ia tak melihat wajah cantik putrinya itu. Ia merasa sangat bersalah.

Perlahan, mata Nada terbuka. Setitik cahaya masuk ke pandangannya. Sedikit silau, membuatnya harus menutup mata dengan telapak tangan.

"Aku, di mana?" lirihnya serak. Ia masih belum bisa sepenuhnya membuka mata, cahaya lampu yang teramat terang menyilaukan pandangannya.

"Kamu di rumah sakit, Nak." Suara itu. Suara yang baru Nada dengar kali ini. Namun, ia seakan tak asing dengan pemilik suara yang bergetar tersebut.

Cepat-cepat Nada membuka matanya dengan paksa. Rasa penasarannya sudah terlalu memuncak.

Mata keduanya bertemu. Perempuan paruh baya itu tersenyum. Getaran pada kulit wajahnya yang mulai keriput, terlihat jelas dari aksa cantik Nada.

"Nak, ini mama ...." Tak kuat menahan haru dan bahagia, sebulir air mata menetes dari sana.

"Ma ... mamah ...."

"Iya ... ini mama, Nak ...."

Nada menangis, air matanya tak dapat ia bendung. Tangisannya semakin pecah ketika sosok yang mengaku sebagai mamanya itu memeluknya, erat.

"Mama ... mama ke mana aja selama ini. Hiks ... Nada sudah cari mama ke mana-mana ... Nada takut kehilangan mama." Suara Nada tersendak, tangisannya terlalu deras kali ini.

"Maafin mama, Nak. Mama salah telah ninggalin kamu ... mama rindu sama kamu, Nak."

Baik Fadil, Abi, bibi, maupun Syifa, semuanya tak dapat menyembunyikan tangisnya.

Mereka seakan juga merasakan apa yang dialami Nada selama ini. Tinggal tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani oleh seorang bibi dan sahabatnya.

Sejenak, Fadil sedikit terkejut dengan apa yang ia saksikan saat ini. "Nada, kamu ingat sama saya?"

Gadis itu mengelap air matanya. Matanya bergerak menatap satu persatu orang di hadapannya. "Pak Fadil? Syifa? Dan ... Abi?"

Saat itu juga Fadil tersenyum lebar.

"Lo udah inget sama gue, Nad?" serbu Syifa dengan heboh.

Nada mengangguk. "Allah masih baik sama gue, Fa."

Rasa itu tak dapat ia bendung lagi, dengan penuh jingkrak layaknya anak kecil, Syifa meraih tubuh Nada dan memeluknya. "Gue rindu banget sama lo, Nad!"

"Gue juga, Fa ... aww, jangan kenceng-kenceng, kepala gue masih sakit."

"Eh? Maaf, hehe."

Nada terdiam, kini matanya tertuju pada sosok Abi yang dari tadi senyum-senyum sendiri. "Abi, kamu, ngapain di sini?"

Pria itu terkekeh singkat. "Aku Abi, adiknya Kak Nada."

Benar saja, Nada tak menyangkan akan hal ini. Mulutnya terperangah tanda tak percaya. "Serius?" Kepalanya menoleh ke arah mamanya, meminta jawaban.

Perempuan paruh baya itu mengangguk. "Dia Abi, adik kamu."

"Ya ampun, sini, peluk kakak." Nada melebarkan tangannya, masih dari atas ranjangnya.

Masih sedikit malu dan ragu, Abi berjalan mendekat. Menghamburkan dirinya, memeluk erat kakak kandungnya.

"Aku gak nyangka kalo kamu adik aku, kenapa gak bilang dari dulu."

"Abi selalu gak dapet kesempatan yang pas, Kak."

"Ehem. Saya, izin pulang dulu." Merasa dirinya bukanlah siapa-siapa. Fadil memutuskan untuk beranjak dari sana.

Namun...

"Tunggu, Pak," cegat Nada cepat.

Fadil menghentikan langkahnya. Menoleh ke belakang.

"Raya sayang, sini, peluk mama."

Terlihat jelas, mata Raya sembap, ternyata gadis kecil itu juga ikut menangis. "Raya kenapa nangis?"

"Laya takut Mama Nada pelgi," jawabnya polos.

"Pergi ke mana? Mama di sini, kok."

"Tapi tadi mama tidulnya lama banget."

"Hehe, maafin mama, ya, Sayang?"

Raya mengangguk.

Nada kembali menatap Fadil yang kini berdiri di ambang pintu. "Pak, saya masih ingat, ketika Bapak bilang, jika kita akan berjuang bersama memulihkan ingatan saya. Dan ketika ingatan saya sudah pulih, kita akan hidup bersama."

Napas Fadil tersengal mendengarnya. Jantungnya berdegub dengan kencang. Namun, ia penasaran dengan kalimat yang akan keluar dari mulut Nada selanjutnya.

"Saya, mau, kok, jadi mama bagi Raya selamanya."

Waktu seakan berhenti. Detik jam berbunyi lebih keras. Semilir angin dari kipas seakan bertambah deras.

Fadil tersenyum lebar, lalu pergi dari sana tanpa sepatah kata pun.

Nada mengernyitkan dahinya bingung. Apakah ia sudah salah bicara. Namun, mengapa Fadil tersenyum?

Entahlah, yang terpenting sekarang ialah, Nada sudah mengungkapkan isi hatinya. Semuanya.

***

"Cintya, gawat! Kita jadi buron polisi!"

Wanita yang sedang bermain dengan kuku warna-warninya itu sontak berdiri kaget. "Serius? Kenapa? Lo ketahuan?"

"Gue lupa copot plat mobil! Sial!"

Cintya menggigit jarinya cemas. "Bego! Kenapa lo gak pake otak sih kalo kerja?!"

"Gue lupa! Jadi gimana sekarang? Kita lagi dikejar-kejar sama polisi!" pekik pria berperwakan tinggi dan penuh tato tersebut.

"Kita harus kabur." Cintya melangkah.

Pria itu mengekori dari belakang. "Kabur ke mana?"

Langkah Cintya terhenti. "Singapura."

"What?! Are you stupid? Kita sekarang lagi buron! Gimana caranya kita ke sana?! Persiapan tiket pun belum ada!"

"Lo diam aja, yang penting, sekarang kita ke atas atap, gue bakal minta bantuan helikopter bawahan gue, ngerti? Sekarang lo bikin pengalihan untuk mengulur waktu."

Pria itu hanya mengangguk menuruti. Ia masih belum paham dengan rencana Cintya kali ini. Apakah mereka akan melalui jalur udara ilegal?

"CEPAT KELUAR! KAMI TAHU KALIAN ADA DI DALAM!"

"Sial! Cepat tahan pintunya!"

Semua benda yang ada di sana mereka sandarkan di belakang pintu. Mulai dari lemari, sofa, hingga kulkas.

"Sudah, hanya ini barang yang berat!"

"Sial! Kita ketahuan!" teriak Cintya histeris.

"Ini semua gara-gara lo!" Cintya tak ragu menyalahkan pria yang menurutnya menjadi penyebab masalah ini.

"Kok lo nyalahin gue?!"

"Lo yang tolol! Kenapa gak melepas plat!"

DOR!

"Aww!"

"JANGAN BERGERAK!"

Keduanya mengangkat tangan. Perlahan, mereka berjongkok sesuai perintah segerombolan polisi di sekelilingnya.

"Bawa mereka!"

"Siap, Komandan!"

***

Malam ini cukup membosankan. Setelah mama dan adiknya izin pulang sebentar, Nada benar-benar merasa kesepian.

Ia belum dibolehkan untuk pulang, karena kondisinya yang masih lemah. Ditakutkan akan ada insiden yang tak diinginkan.

Blash!

Lampu padam. Nada kaget seketika. Ia sangat takut dengan kegelapan.

"Suster? Dokter? Lampunya kenapa padam?"

"Sus? Dok?"

Ketakutan Nada seakan menghilang, ketika suara alunan biola bergema, sangat merdu.

Karena kondisi sedang gelap gulita, menyulitkan Nada untuk mengetahui siapa yang berada di balik keindahan suara ini.

Dirinya semakin terhanyut dengan suara itu. Hingga ia lupa jika dirinya masih berada di kegelapan.

Flash!

Lampu menyala. Membuat efek kejutan bagi Nada, matanya refleks terpejam beberapa detik. Sangat menyilaukan.

"P-pak Fadil?"

Ternyata Fadil. Pria itu berdiri di depan Nada dengan setelan jas putih yang terpasang rapi di tubuhnya.

Senyum pria itu mengembang, seperti senyuman yang tak pernah Fadil berikan ke siapa pun.

Sementara Nada, ia masih bingung. Tak mengerti dengan konsep semuanya.

"Nada ...."

"Iya, Pak ...?"

"Kamu benar ... terkadang, perasaan seseorang itu tidak bisa diabaikan. Semakin dilupakan, maka semakin pula terasa menyakitkan."

"Ketika saya pergi setelah kamu berbicara menerima ajakan saya untuk hidup bersama, bukan berarti saya marah."

"Hanya saja, saya rasa tak pantas bagi seorang wanita menyatakan perasaannya lebih dahulu."

"Untuk itu ... saya akan meng-khitbahmu, kita akan mengikat janji suci, agar kita bisa terus bersama, sampai akhir."

Nada menangis, bukan karena sedih atau pun kecewa, melainkan kebahagiaan yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Perlakuan Fadil barusan sangat singkat, namun luar biasa bagi Nada, sangat menyentuh hatinya.

Gadis itu mengangguk. "Saya mau, Pak."

Seketika tepuk tangan menggema, ternyata semua orang bersembunyi di balik pintu, menunggu jawaban dari Nada.

"Maaf, aku gak bisa peluk kamu sekarang, kita belum menikah."

Nada mengangguk mengerti. "Iya, Pak. Saya juga paham."

"Mulai sekarang, panggil Mas, ya, Tuan Putri Nada."

Nada semakin menangis, tapi diselingi dengan tawa. "Iya, Mas Fadil ... tapi, bagaimana dengan mama-"

"Jangan takut."

Pintu terbuka. Muncul sosok wanita dengan pakaian serba putih. "Saya sudah merestui kalian berdua."

Senyum Fadil bertambah lebar, ketika melihat mamanya ada di sana. "Mama? Terima kasih."

"Sama-sama, Nak. Maafkan mama, karena terlalu mengatur kehidupan kamu."

"Gak apa-apa, Ma."

Semuanya berada di lingkungan kebahagiaan sekarang. Umi Nada dan mama Fadil juga mulai saling mengenal. Meski keduanya baru saja bertemu.

***

Siang ini, suasana di ruang sidang tampak khidmat. Tak ada suara teriakan lagi yang terdengar.

"Terdakwa Cintya dan Pito, diketahui telah melakukan upaya pembunuhan tiga kali berturut-turut, dan sudah membuat dua korban meninggal, yaitu almarhum ayahanda Fadil, Tuan Giorando, dan almarhumah istri Fadil, yang bernama Hana. Dengan ini, hakim memutuskan, dengan merujuk pasal 340 KUHP, terdakwa Cintya dan Pito, divonis hukuman mati."

Tok! Tok! Tok!

Fadil terdiam di tempat duduknya. Hatinya merasa sangat sakit ketika mengingat kembali almarhumah istrinya.

Ketika nama istrinya disebut hakim, tubuhnya seketika melemas, napasnya bergetar, tak sanggup menahan semuanya.

Di sampingnya, Nada mengelus punggung calon suaminya itu, berharap Fadil dapat ikhlas dan tabah.

Sungguh panjang perjalanan yang dialami Nada, kisah cinta, perjuangannya kuliah, kisahnya di kala tak ada orang tua, membuat Nada menjadi seorang yang tangguh.

Dia bukanlah wanita biasa, Nada sangat patut dicontoh oleh wanita lainnya. Sedih yang tak ia tampakkan, membuatnya menjadi wanita paling tegar.

Karena Nada percaya, dengan ikhlas, semuanya akan membaik.

Semesta itu adil. Tuhan tidaklah jahat, Dia akan menguji seorang hamba dengan ujian yang beragam.

Semakin kuat iman seseorang, maka semakin berat pula, ujian yang ia terima.

-Tamat-

Tarik napas panjang-panjang. Huuuuuuuuuffft. Buang ... Haaaaaaaaaaa...

Alhamdulillah, cerita ini akhirnya tamat juga!

(WOW!)

Terima kasih banyak Iki ucapkan untuk kalian semua, atas detik ini, Iki sangat bersyukur, karena dengan cara inilah, iki bisa berkarya.

Berkat kalian semua, iki sampai di titik ini, walaupun masih belum apa-apa, iki akan terus bersyukur.

In syaa Allah, akan ada dua extra part lagi, ditunggu, ya!

Salam hangat,

Iki.

18062021

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

96.7K 3K 64
RAMA PUTRI ARDIANA atau sering di panggil diana atau ana... dia merupakan dokter bedah di salah satu rumah sakit di daerah A ... ALVARO YUDA PRATAM...
997K 95.8K 52
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
4.8M 278K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
327K 24.3K 52
Reswara adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam yang dijodohkan dengan Anindya---gadis yang tak lain merupakan anak didiknya sendiri. Keduanya tid...