GlowApp (Aplikasi Cari Jodoh)

By gantistatus

1.9M 309K 40.6K

[Pemenang Wattys 2022 Kategori New Adult] Berawal dari sindiran pedas trah Kakek Sadewo, Anin sebagai cucu pe... More

Prolog
2. PD Tingkat Nirwana
3. Open BO
4. P
5. Kencan GlowApp
6. Namanya Qia
7. Dicium
8. Ok
9. Tebak Singkatan
10. Si Juki
11. Orange Juice
12. Feeling Guilty
13. Anin Kecil
14. Aliran Sesat
15. Pilih Bayi
16. Hohohihe
17. Room Tour
18. Jam 8
19. Pillow Talk
20. Kalo Sayang ....
21. Test Drive
22. Love Language
23. Berharap
24. Capek
25. Berhenti
26. Janji
27. Cincin dan Gelang
28. Semuanya dari Kamu
29. Salah Siapa?
30. Bebannya Berkurang
31. Mengusir
32. Dasar Louhan
33. Kacau
34. Harus Ambil Sikap
35. Suara Itu ....
36. Udah Nembak Belum?
37. Sakit nggak Seberapa, Malunya....
38. Mau Nggak?
39. Restui Kami
40. Nggak Boleh Cemburu!
Epilog
GlowApp 2 (Kenalan Sama Juki Yuk!)

1. Patung

74.5K 9.5K 820
By gantistatus

Rasa ingin update 📈
Saat sadar keyboard masih bermasalah📉

Jadi lama ehe😶

“Apa? Lo ikut semester pendek?

Iya, Nin.”

“Yaaaaah,” keluh Anin panjang. Ia rebahkan diri di tempat tidur dengan ponsel di telinganya. “Gue temenan sama siapa dong di kampus?”

Di seberang sana, Frisya, temannya sejak zaman bocil, tertawa. “Nin, ada 120 mahasiswa satu prodi, yang artinya masih ada 118 lainnya yang bisa temenan sama lo. Kayak temen lo cuma gue doang. Lo tuh jago banget bikin akrab orang, tau.”

“Tapi susah nyari yang sefrekuensi, Fris.” Anin meralat. “Maksud gue, susah nyari yang juteknya kayak lo. Kalo gue sama lo kan nggak keliatan banget tuh juteknya gue karena ketutup lo yang tingkat nggak pedulinya selangit. Coba kalo sama yang lain, beuh, gue dilihatnya jahat banget pasti.”

“Bertahun-tahun kita temenan, gue baru tau motivasi lo temenan sama gue ternyata biar nutupin kejahatan lo. Astaga, lo itu temen yang halal gue santet kayaknya.”

Giliran Anin yang tertawa. Ia tahu Frisya bercanda. “Galak amat bini orang.”

Galak gini suami gue cinta mati, Nin.”

“Iya cin bucin. Nikah di umur 20 bikin lo bucin mampus, Fris.”

Bucin sama suami sendiri nggak salah kali. Lo belum pernah cobain bucin ke yang halal kan? Cobain deh, rasanya—“

“STOP, gue nggak mau denger!” tanpa sadar Anin menutup telinga. Salah, seharusnya ia jauhkan saja ponsel dari telinga. Begonya natural. Anin baru sadar.

Di seberang sana, Frisya tertawa lagi. “Lo nggak ada niat pengin nikah juga, Nin?”

Anin tahu Frisya hanya menggodanya. “Nggak.” Ia tidak ada niat menikah dalam waktu dekat.

“Kalo ketemu yang dewasa, tajir, ganteng, baik, pengertian, perhatian, bertanggung jawab, nggak suka main cewek, terus—“

“Nggak!” jawab Anin serta merta. “Nggak nolak maksudnya. Hehe.”

“Iya, tapi nggak mungkin ada di dunia ini.”

Anin langsung cemberut. Sial si Frisya. Setelah dilambungkan, langsung dijatuhkan.

“Emang beneran nggak ada ya, Fris?”

Satu banding seribu itu mah. Semua orang punya kekurangan. Tapi lo yang tau kekurangan apa yang bisa lo maklumi.”

Benar sih. Anin yang tahu sendiri batas pemakluman terhadap kesalahan seseorang.

“Soal maklum maklum gitu, gue jadi inget tante-tante gue, Fris. Masih bisa dimaklumi nggak kalo tiap tahun nanyain jodoh gue? Berasa dikejar rentenir tau nggak? Keluarga gue aja santai kok bisa-bisanya mereka main hakim sendiri.”

Masih juga sampai sekarang?” tanya Frisya, terdengar kaget.

“Makin parah.” Anin berdecak.

“Padahal lo biasa tahan denger omongan orang deh, Nin. Bukannya lo udah kasih alibi, fokus pendidikan?”

Pertanyaan itu jadi terngiang di benak Anin. Fokus pendidikan. Fokus pendidikan. Benar juga. Ia jadi punya ide sekarang.

“Bentar, Fris,” ujarnya walau ia tidak memutus panggilan, beranjak keluar kamar dan mencari keberadaan mamanya. “Ma .... Mamaaaaa,” panggilnya.

“Mama di dapur.”

Suara itu terdengar dari arah dapur. Anin menuruni tiga undakan tangga terakhir sebelum berbelok ke arah kiri. Dilihatnya sang mama sedang memasak sesuatu. “Nikahannya Mel tanggal berapa ya?”

“Tanggal 5, Nin. Mama udah bilang berkali-kali.”

Anin lalu terkikik. Masih lima minggu. Dalam rentang waktu itu kan libur semester, jadi ….

“Yang ikut semester pendek berapa orang, Fris?” tanya Anin lagi saat sudah kembali mengangkat ponsel ke telinga.

“Udah genap 15. Yang penting udah menuhin syarat diadain semester pendek ajalah.”

Anin manggut-manggut. Memang tidak akan ada semester pendek kalau yang ikut hanya lima mahasiswa. Ia raih kue kering di meja saat sudah duduk di kursi ruang makan.

“Siapa aja tuh?”

Dari kelas kita cuma 6. Lainnya dari kelas sebelah. Yang gue tau kelas kita tadi ada Ratih, William, Bagus, Bayu, Cita, sama gue.”

“Wih, penuh dengan orang-orang rajin. Nggak kayak gue makhluk rebahan,” gumam Anin. “Ratih udah jelas motivasinya, ambisius yang nggak mau kalah cepet lulusnya. William, Bagus, sama Bayu mapres yang jelas nggak bakal betah lama-lama di bangku kuliah. Cita juga udah dikejar tunangannya biar cepet nikah. Lo udah pasti pengin mengabdi sama suami. Lah gue? Cuma demi menghindari dateng ke nikahan sepupu gue!”

Lo mau ikut semester pendek juga?”

Anin meringis mendengar itu. Pasalnya sekarang ada sang kakak yang duduk di sebelahnya dan mendengar pertanyaan Frisya tadi.

“Gaya lo ikut semester pendek.” Gagah berdecih. “Nulis angka 3 aja masih kayak 8.”

Astaga, kakak durhaka ini mah.

“Gue udah nggak kayak gitu!” sentak Anin tidak terima.

Sebel banget diingatkan masa sekolah dasar yang membuat Anin menangis kejang-kejang. Saat ia belum bisa menulis dengan benar malah diejek sama kakaknya. Apalagi pelajaran menggambar. Anin hanya ngikut tren gambar pemandangan dengan dua gunung dan matahari setengah lingkaran di tengahnya, malah diejek jelek.

Apa tuh yang nongol di antara dua gunung? Ada rambutnya juga, jabrik lagi!”

Kata Gagah waktu itu. Padahal kan itu gambar sinar matahari, bukan rambut jabrik. Belum lama ini Anin baru tahu maksud ejekan kakaknya. Ternyata … otak Gagah yang bermasalah.

“Fris, gue tutup dulu ya. Mau menyelamatkan harga diri,” ujar Anin di ponsel sebelum mengakhir panggilan.

Anin kembali merebut toples kue yang tadi sempat diambil-alih Gagah. “Mulai sekarang lo nggak boleh makan kue bikinan gue!”

Gagah menaikkan satu alisnya lalu tertawa. “Lo bikin kue, Nin? Masak air juga masih gosong.”

Anin memicing. Ia mengerahkan jari telunjuknya ke depan wajah Gagah. “Hati-hati lo ya. Gue emosian orangnya. Tekanan darah gue 670/210 mmHg.”

“Anjir, darah lo nge-bug?” Gagah ngakak sembari menghindari pukulan adiknya.

“Ma, cariin Bang Gagah jodoh gih. Biar cepet insyaf!” teriak Anin merasa kalah dengan Gagah yang kini sudah sampai di tangga.

“Lo aja sono yang cari jodoh. Di-ghibahin mulu di grup.” Gagah menjawab dari tangga lalu melenggang pergi.

Anin berdecak sebal. Kesal sekali rasanya. “Gitu tuh kalo minum teh pucuk tapi sekalian ulet-uletnya. Nggak bener anak Mama tuh. Masa hp-nya jadi asrama cewek. Isi chat-nya minta pertanggungjawaban semua.”

“Apa?! Abangmu hamilin anak orang?!”

Teriakan itu lantas membuat Anin sadar kalau gerutuannya salah sasaran. Ya ampun, kasihan encok mamanya nanti kambuh mendengar hal yang tidak-tidak.

“Bukan, Ma. Bukan.” Anin meluruskan. Ia mendekat ke mamanya yang masih melotot. Bahaya banget kalau sudah begitu. Tanda kalau dunia sedang tidak baik-baik saja. “Maksudku, minta kepastian. Kerjaannya nyari cewek tapi nggak ada yang cocok katanya.”

Sari—mamanya—langsung mengelus dada karena lega. “Kirain.”

Nah, kalau begini sudah aman. Anin lalu berdehem. Ia mendekat ke mamanya yang sedang mengiris bawang. Bukan tidak mau membantu, Anin biasanya kebagian nyuci piring saja. Karena memasak adalah hobi Sari dan tidak ada alat masak di sana yang boleh disentuh sembarang orang. Memang unik mamanya itu.

“Ma, aku boleh ikut semester pendek nggak?” tanya Anin pelan-pelan.

“Buat percepat masa kuliah? Kalau bisa lebih cepat ya nggak apa-apa. Tapi kalau nantinya kamu males-malesan pas skripsi mending nggak usah aja.”

Sepertinya mamanya belum sadar kalau ikut semester pendek itu artinya ia tidak bisa datang ke nikahan Amel.

“Bener nih boleh, Ma?”

Sari menoleh ke anaknya dan mengangguk. “Boleh.”

“Papa bolehin nggak ya?”

“Pasti boleh.” Sari meyakinkan. “Kalau Mama bilang sudah boleh, pasti Papamu juga.”

Anin langsung berseri. Sebelum terlambat. Sebelum orang tuanya sadar niatnya sebenarnya. Pokoknya sebelum semua rencana buyar.

“Aku langsung ke kampus ya, Ma. Ngurus syarat-syaratnya.”

***

“Lo liat Frisya nggak, Wil?” tanya Anin sesampainya di depan kantor jurusan.

“Udah pulang kayaknya tadi.”

Anin terduduk lemas. Ia juga yang salah, lupa kasih kabar ke Frisya kalau mau nyusul ke kampus.

“Lo mau daftar semester pendek juga, Nin?” William bertanya.

“Iya nih. Kenapa? Aneh ya?”

Anin sadar kalau dirinya bukan mahasiswa yang rajin-rajin amat. Kuliah memang jarang telat, kumpul tugas juga selalu on-time, tapi hanya sebatas itu. Ia hanya taat aturan. Tapi tidak terlalu ambisius ingin nilai yang muluk-muluk. Apa adanya saja yang penting ia lakukan sesuai yang ia mampu.

“Nggak juga.” William tersenyum. “Tapi kajurnya lagi ngajar kayaknya. Selesainya jam 2.”

“Yaaah, gue telat datengnya ya,” keluh Anin. Andai saja tadi tidak dicegat kakaknya di ruang tamu untuk lihat ikan koi peliharaan mereka yang mati di akuarium tadi, Anin pasti sudah sampai kampus tepat waktu.

“Tunggu aja, Nin. Itu si Bagus juga belum ketemu Pak Erwin kok. Bareng aja.”

Anin menoleh ke kirinya. Benar juga, ada Bagus. Mahasiswa yang pendiam banget. Demi apa pun ia tidak bisa bertahan dengan manusia yang diamnya separah itu. Yang ada, ia dicuekin kalau ngobrol.

“Gue duluan ya,” pamit William, mau tidak mau membuat Anin mengangguk.

Suasana depan kantor jurusan lumayan lengang. Hari terakhir perkuliahan aktif membuat kampus hampir tidak ada kehidupan.

Mengecek berkas-berkasnya, Anin lalu mengernyit. Syaratnya apa saja memangnya ya? Ia juga lupa tanya ke Frisya. Anak itu juga pasti lagi mesra-mesraan sama suami barunya. Duh, kalau begini Anin tidak menolak ikut jejak Frisya nikah di awal usia 20. Sayangnya ia tidak seberuntung percintaan Frisya. Kisah cintanya nggak mulus. Terjal, bergelombang, belok-belok, licin, berbatu, banyak halang rintang pokoknya.

Anin menoleh kanan kiri. Hanya ada satu orang yang entah bisa ia sebut teman atau tidak. Soalnya Bagus tuh jarang ngobrol sama mahasiswa lain kecuali tentang tugas. Beberapa kali ia bertemu di luar kelas, mentok hanya lihat Bagus lagi di gazebo belakang gedung kuliah satu. Merokok sambil termenung. Tipe anak yang gampang galau kayaknya.

“Gus,” panggil Anin mau tidak mau. “Bagus,” ulangnya.

Bagus menoleh, langsung menyingkirkan ponsel yang sedari tadi dipegangnya. “Apa?”

Anin meringis. Demi apa, ia tidak mau terlibat sama orang yang irit ngomong. Bikin canggung banget.

“Belum ketemu Pak Erwin?” tanya Anin to the point.

“Belum.”

“Jadi gue mau ikut semester pendek juga. Lo tau syaratnya apa aja? Takutnya gue ada yang kurang.”

Awas aja. Anin sudah bicara panjang lebar tapi dijawab satu kata doang, Anin akan ….

“Tau.”

Astaga. Ya kalau tahu, harusnya Bagus bagi ke Anin dong. Bukan malah menunggu Anin meminta, kan?

“Apa aja?” Anin yang merasa butuh, jadi memang harus bertanya.

Anin sudah membayangkan jawaban Bagus pasti akan dirinci. Satu dulu. Lalu Anin bertanya lagi, baru dijawab lagi. Tanya lagi, jawab lagi. Begitu terus satu per satu sampai jam 2 nanti.

Tanpa disangka, Bagus malah membuka tas dan mengeluarkan map. Dibuka, ada satu lembar kertas paling depan lalu diserahkan ke Anin.

Isinya daftar berkas persyaratan pendaftaran. Baiklah, begini lebih baik daripada Bagus mengeluarkan suara emasnya. Pelit banget soalnya. Susah juga membuat Bagus ngomong panjang lebar.

“Gue baca bentar ya.” Anin minta izin, walau sebenarnya ingin sekali memutar bola matanya melihat kelakuan Bagus yang langsung fokus lagi dengan hp.

Anin memilih bergeser sedikit menjauh. Ia harus fokus mengecek berkas bawaannya. Kalau ada yang kurang segera dilengkapi sebelum jam 2 nanti.

Selesai merinci, Anin menghela napas lega. Hanya kurang daftar hasil studi semester terakhir. Gampang, ia bisa print di jurusan nanti. Ia lalu bergeser lagi ke kiri. Sempat mau bilang terima kasih tapi urung.

Anin tidak salah lihat kan? Bagus senyum-senyum sendiri ke ponsel? Memangnya patung bisa senyum ya? Sejak kapan?

“Kenapa?”

Pertanyaan itu menyentak Anin. Ia menggeleng kuat-kuat. Kini wajah Bagus sudah kembali datar dan tenang, seolah tadi tidak menarik dua sudut bibirnya ke atas alias senyum.

“Udah nih. Thanks, ya,” ujar Anin.

Baru akan bergeser menjauh setelah Bagus mengangguk, ia tersentak saat tidak sengaja melihat apa yang terpampang di layar ponsel Bagus. Sekilas, tapi ia hafal. Itu adalah tampilan sebuah aplikasi yang sedang hits sekarang.

Anin tidak salah ingat karena kemarin ia baru saja mendownload dan mendaftarkan diri walau ia belum memainkan aplikasi itu sampai hari ini.

Kalau si patung aja bisa senyum-senyum sendiri karena GlowApp, artinya aplikasi itu menyenangkan kan? Kalau begitu, Anin coba deh buka aplikasi yang sudah mengendap seharian tanpa ia jalankan.

Setidaknya dapat teman ngobrol, tidak muluk-muluk minta jodoh. Berdebar, Anin akhirnya berhasil membuka aplikasi itu. Niatnya juga iseng, jadi ia hanya memasang foto seadanya. Apalagi disuruh mengisi target match. Anin centang semua dari mulai jobless alias orang nganggur, sampai pengusaha.

Tampilan awalnya berwarna pink. Cewek banget sih. Kok bisa ya ada cowok pakai aplikasi seimut itu? Ada juga fitur-fitur yang belum Anin tahu untuk apa. Iseng ia pencet search nearby. Sayangnya karena jempolnya tremor, begitu layar berubah tampilan, ia tanpa sadar menekan profil paling atas.

Match! Tulisannya. Dengan gambar love bertaburan. Temui match-mu. Lanjut tulisan itu lagi.

Tapi tepat detik itu juga, sebuah notifikasi terdengar, bersamaan dengan sebuah profil yang muncul. Dan wajahnya ….

Sial.

Anin makin tremor. Kepalanya menoleh ke kiri, tepat juga seorang lelaki menatapnya dalam. Kedua alis tebalnya hampir menyatu saat dahinya berkerut heran.

Aduh, kenapa match-nya malah Bagus sih?

Malu! Mampus, setelah ini ia tidak akan punya muka di depan si patung!

Kalau patung bisa ngomong 🎶

Continue Reading

You'll Also Like

4M 310K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
4.7M 344K 28
Apa jadinya jika kamu batal menikah? Undangan sudah disebar dan segala persiapan sudah matang. Tinggal menunggu hari saja, tapi mempelai prianya mala...
78.2K 5.4K 53
Lo yakin ngejalanin LDR-an sama cowok yang belum pernah lo temuin? Dia itu cuma pacar hayalan lo doang! Ngapain lo ngarepin yang nggak pasti? Lo yak...
502K 25.2K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...